Arnold mengacaukan seluruh isi ruang kerjanya. Pria itu tidak terima dengan hasil pekerjaan Arzan selama dua pekan ini.
Nihil. Pencarian Sofia tidak menemukan titik terang sama sekali.
Di seberang sana Arzan dan Dareen hanya terdiam. Mereka sama sekali tidak berani mengusik, sang singa jantan yang sedang mengamuk.
“Apa kau tidak bisa bekerja dengan benar?" teriak Arnold. Netra abunya menatap nyalang Arzan yang hanya membisu.
“Aku sudah berusaha semampuku. Tapi, kau tahu sendiri bukan? Sangat sulit mencarinya.” Arzan tak kalah berteriak. Dia begitu kesal dengan ambisi pria berdarah Belanda itu.
“Kak!”
Arnold mengangkat tangannya. Meminta Dareen agar tidak berbicara apa pun. Dia tidak mau sampai lepas kendali kepada Arzan ataupun Dareen.
“Sebaiknya kalian pergi dari apartemenku,” pintanya dengan dingin.
“Aku tidak bisa ....”
Arzan mencekal tangan Dareen. “Sebaikny
Akhir pekan kembali datang. Nicholas bangun lebih pagi dari biasanya. Pria itu bergegas menuju kamar mandi, dan membersihkan diri.Dia ada janji hari ini. Menemani El bermain, dan berencana mengajak anak itu jalan-jalan. Kini hatinya semakin mantap, untuk kembali memperjuangkan Sofia.Bukan dengan rayuan atau kata-katanya manis. Mungkin, dengan menghabiskan hari bersama mereka sesering mungkin, membuat wanita itu perlahan luluh. Meski dia tahu, hal itu bukanlah hal yang mudah.Pria Italia itu bersenandung ria di bawah guyuran air. Mengingat kembali interaksi yang terjadi dengan Sofia akhir-akhir ini, membuat hatinya begitu gembira. Wanita itu seperti gunung es yang sudah sedikit mencair.“Aku akan membuat seluruh gunung es itu mencair,” ungkap Nicholas sembari tersenyum.***El beranjak ketika mendengar deru mobil yang berhenti di depan rumahnya. Anak berusia 4 tahun itu segera berlari keluar, karena d
Pusat perbelanjaan di akhir pekan seperti ini, memang terlihat lebih ramai dari biasanya. Terlihat banyak sekali orang berlalu lalang. Dari para pemuda-pemudi yang sedang menghabiskan hari untuk merajut kasih, dan banyak keluarga yang juga datang untuk sekadar menghabiskan waktu di akhir pekan.Nicholas berjalan dengan tangan kiri yang terus menggenggam telapak tangan Sofia. Sedangkan, tangan kanannya menggendong anak kecil berusia empat tahun.Siapa saja yang melihatnya pasti akan mengira bahwa mereka adalah sebuah keluarga. Keluarga yang terlihat begitu harmonis.Seperti biasa, pria Italia itu sukses menarik perhatian pengunjung di sana. Tubuhnya yang lebih tinggi dari orang-orang di sana, serta wajahnya yang terlihat begitu tampan, membuat para wanita menatap penuh damba kepadanya.Tubuh atletis yang dibalut kaus berwarna putih, mencetak jelas otot-otot tubuhnya.“Pandangan mereka seperti ingin membunuhku,” gumam Sofia sembari berjal
“Kau ....”Belum selesai Sofia berbicara, Nicholas kembali membungkam bibir tebal itu dengan bibirnya. Wanita itu terkadang begitu cerewet, sehingga membuatnya begitu tidak sabar.Nicholas meraih tangan Sofia yang terus saja memukul pelan dadanya. “Divertiti stasera, mio caro (Nikmati malam ini, Sayangku),” bisik Nicholas sesaat setelah melepaskan tautan bibir mereka.Netra biru itu menatap teduh wanita yang kini berada di dalam dekapannya. Netra biru yang selalu saja berhasil membius Sofia dalam keadaan apa pun.Mendapati Sofia diam, Nicholas kembali mendaratkan bibirnya.Melumat bibir tebal yang selalu membuatnya candu. Menghisap bibir tebal yang selalu terasa begitu manis.Aroma dan rasa wine bercampur menjadi satu, dengan saliva mereka.Sofia memejamkan kedua matanya. Tak dipungkiri sentuhan bibir Nicholas memang selalu memabukkan. Sapuan lembut bibir Nicholas memang begitu membuatnya tergila-gila, dan meng
Ini pertama kalinya Arnold menginjakkan kaki di perusahaan Askara Group. Pria itu menatap kagum desain interior perusahaan yang cukup ternama. “Mari Tuan.” Aldi langsung menyambut kedatangan mereka berdua. Kemudian, mengarahkan keduanya untuk masuk ke dalam lift khusus petinggi perusahaan. Di dalam lift ketiga pria itu hanya diam membisu, dengan pikiran masing-masing. Setelah lift berhenti, Aldi mempersilakan tamu mereka untuk masuk ke dalam ruang rapat. Lalu meminta Arnold dan Arzan untuk menunggu kedatangan Ettan sebentar lagi. “Maaf, Tuan. Tuan Ettan sedang dalam perjalanan menuju kemari.” Aldi membungkukkan tubuhnya, merasa tidak enak, karena bosnya belum sampai kantor di jam seperti ini. “Tidak masalah.” Arnold tersenyum miring. "Mungkin dia ada sedikit masalah.” “Terima kasih Tuan.” Lagi-lagi Aldi merasa sungkan. Sebenarnya Ettan memang tidak masuk bekerja hari ini, karena alasan penting. Namun, mengingat janji mereka beb
Beberapa saat sebelumnya.Arnold menatap keluar kaca jendela mobil, dengan perasaan jenuh. Netra abunya terus saja meneliti pemandangan sekitar. Apalagi perasaan gelisah masih terus saja mengusik pikirannya.Arzan menoleh sebentar lalu kembali menatap jalanan yang tampak lengang di depan.Mereka tidak melewati gang sempit, melainkan memutar arah mencari jalan yang lebih lengang. Hanya ada keramaian di depan gedung-gedung sekolah, yang mereka lewati tadi.Arnold menepuk pundak Arzan dengan tiba-tiba, ketika melihat sesuatu yang ganjil di kawasan sekolah yang baru saja mereka lewati.“Apa?” Arzan menoleh dengan sedikit tidak suka.“Lihat ke belakang!” Arnold memutar kepalanya, melihat ke belakang sana.“Apa?” Arzan masih tidak mengerti. “Mereka sedang menjemput anak-anak mereka. Itu hanya taman kanak-kanak, biasanya di jam seperti ini memang sudah waktunya pulang.”Arnold menepuk ba
Mobil sport milik Arnold terus saja membuntuti jeep hitam, yang sudah hampir satu jam berjalan.Kini mereka mulai memasuki kawasan yang terbilang sepi, tepatnya wilayah pinggiran kota. Pria itu jarang melihat rumah penduduk di sana. Hanya ada pepohonan rindang di tepi jalan.“Tempat apa ini?” tanya Arnold kesal. Pria itu ingin langsung memberhentikan jeep hitam di depan sana, tetapi dia teringat tujuan awal mereka mengikuti mobil tersebut.“Kita ada di pinggiran kota.” Arzan masih memusatkan perhatiannya. Dia tidak ingin jika jeep itu lepas sedikit saja dari pandangannya.“Kau sudah hubungi polisi?” tanya Arnold.Arzan menggeleng kuat.Melihat hal itu Arnold segera merogoh saku jasnya, untuk mengambil ponsel.“Shit, sialan!” umpat Arnold ketika tidak menemukan jaringan di ponselnya.“Ada masalah?” tanya Arzan tanpa menoleh sedikit pun.“Tidak jaringan di s
Di sisi lain.Sofia masih terus memaksa untuk ikut, ketika Nicholas mengantarkannya ke apartemen pria itu.“Biarkan aku ikut, Nic. El pasti sangat membutuhkanku.” Sofia memegang lengan Nicholas. Netra cokelatnya menatap pria itu dengan penuh harap.“Di sana sangat berbahaya, Fia. Kita tidak tau apa yang akan terjadi di sana.”“Lalu, bagaimana bisa aku membiarkan anakku dalam kondisi berbahaya seperti itu.”Nicholas menghela napas berat. “Kau percaya padaku, kan?” Tangan besar Nicholas membingkai wajah cantik Sofia.Sofia termangu. Bibirnya mendadak kelu, entah apa yang dirasakannya. Kini dia tidak bisa percaya kepada siapa pun, termasuk dirinya sendiri.Semua kejadian ini adalah kesalahannya. Bagaimana bisa dia mempercayai orang lain, atau dirinya sendiri di saat sang anak berada dalam kondisi berbahaya karena dirinya.“Aku janji akan membawa El pulang dalam keadaan baik-bai
Sofia bergerak gelisah, entah mengapa perasaannya menjadi sangat tidak tenang sejak tadi. Dia selalu memikirkan tentang keadaan anaknya.“Tuhan, tolong jaga anakku,” ujar Sofia seraya berdoa.Wanita itu berjalan ke dapur, lalu mengambil air di dalam lemari pendingin. Menenggaknya hingga kandas. Rasa khawatir membuat kerongkongannya terasa kering kerontang.Sudah hampir satu jam sejak kepergian Nicholas, tetapi pria itu masih belum menghubunginya untuk memberikan kabar apa pun.“Tolong jaga dia juga untukku,” lirih Sofia pelan, ketika ingat Nicholas. Bagaimana pun hanya Nicholas yang dia miliki saat ini.***“Halo, Ken. Bagaimana?” tanya Nicholas seraya menyetir mobil.Pria itu sedang berjalan menuju titik yang sudah dikirimkan oleh Kenzo sebelumnya.“Kami melacak mobil, dan menemukan keberadaannya di sekitar sini. Tidak begitu jauh. Apa kau masih lama?” tanya Kenzo di seberang san
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering