Rintik hujan turun dengan sangat deras, menemani seorang gadis yang sedang berjalan di dalamnya. Dia tidak peduli dengan dinginnya air, yang mengguyur tubuh mungil tersebut.
Saat ini dia hanya ingin menghilangkan segala sesak, yang ada di dalam dada. Menghapus segala jejak air mata, yang masih saja memaksa untuk terus mengalir.
“Kau bodoh Sofia,” umpatnya kepada diri sendiri.
Entah ke mana arah tujuannya, Sofia hanya berjalan mengikuti langkah kaki.
Dia tidak pulang ke apartemen Ettan. Melainkan pergi dari keluarga itu untuk selamanya. Dia tidak mau melihat ibunya terus sakit, apalagi jika Ettan ikut bersamanya. Sudah cukup. Cukup Sofia saja yang pergi dari kehidupan keluarga Askara.
Di dalam rintik hujan, air mata gadis itu terus saja mengalir. Dia menyesali semua kebodohannya. Kenapa harus seperti ini pada akhirnya?
Langkah kecil itu terus melangkah, tanpa tujuan. Tidak tahu harus pergi ke mana? Sebab dia tidak memiliki siapa pun lag
Apa kalian merasa pernah baca chapter ini? Yap bener banget, chapter ini sedikit mirip dengan chapter 3. Di mana pertama kali Nicholas dan Sofia bertemu. Jika di chapter 3 hanya melihat dari sudut pandang Nicholas, maka di sini aku menulis dari sudut pandang Sofia... Aku juga mau mengucapkan banyak terima kasih buat kalian semua yang sudah setia baca karya pertama aku dari awal... Thank you buat kalian semua..
Sejak pertemuan Sofia dengan pria bernetra biru beberapa hari yang lalu, gadis itu kembali mengubah sudut pandangnya terhadap seorang pria. Sudut pandang yang sempat membuatnya berpikir bahwa semua pria itu sama saja, brengsek. Hanya Ettan, pria terbaik yang pernah ada di dalam hidupnya. Namun, kini pria asing tersebut berhasil mengubah kembali pemikiran Sofia.Sudah hampir satu pekan, dia hidup di jalanan. Berbekal uang seratus ribu, sebisa mungkin Sofia menghemat pengeluarannya. Namun, hari ini dia sudah tidak bisa membeli makanan. Uangnya sudah habis sejak kemarin sore, padahal Sofia sudah berusaha sebisa mungkin menghemat pengeluarannya, hanya dengan memakan roti.Tangan kecilnya menyusut air mata yang kembali menetes. Baru kali ini dia merasakan bagaimana susahnya hidup tanpa orang tua. Bagaimana sangat bernilainya, uang yang selama ini dia habiskan begitu saja.“Sayang maafkan ibumu yang masih belum bisa memberikanmu makanan yang layak.”
Jakarta, 20 Maret 2018Nicholas berjalan dengan sangat santai, ketika sudah turun dari dalam mobil mewahnya. Diliriknya jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan. Dia terlambat hampir satu setengah jam, jalanan di Jakarta begitu macet, sehingga membuatnya tidak leluasa melaju cepat jalanan.Langkah panjangnya terus saja melangkah. Dia tidak perlu terlalu terburu-buru, sebab hanya ada Kenzo saja yang menunggunya di sana. Mungkin pria itu akan sedikit mengomel, tetapi hal tersebut bukan masalah besar bagi Nicholas.Nicholas sudah terbiasa dengan ocehan panjang dari sahabatnya.Pria bernetra biru itu, melangkah menuju tempat yang sudah diberi tahu Kenzo sebelumnya. Restoran di dalam bandara yang masih bisa dikunjungi oleh publik.Nicholas hampir lupa, jika dari kemarin Sofia sama sekali tidak ada kabar. Terakhir kali dia ingat, tidak ada perdebatan yang terjadi diantara mereka. Merasa khawatir, pria Italia i
“Sofia!” Sofia menghentikan langkah kakinya, menoleh ketika mendengar suara yang seperti memanggil namanya. “Ada apa?” tanya Nicholas. Kini mereka sedang berjalan untuk segera keluar dari dalam bandara. “Seperti ada yang memanggil namaku,” ujar Sofia dengan melihat ke sana-sini. “Mungkin hanya perasaanmu saja.” Nicholas kembali merengkuh pinggang ramping Sofia. “Dai. Dovete essere tutti molto stanchi, giusto? (Ayo. Kalian semua pasti sangat lelah, bukan)?” Sofia mengangguk. “Sepertinya begitu. Ayo! El dan Ken juga pasti sudah di luar,” ujar wanita itu. Mereka berdua kembali melanjutkan langkah yang sempat terhenti. Selama itu, tangan Nicholas tidak pernah lepas dari pinggang Sofia. *** “Sofia!” teriak Arnold kencang. Pria itu menghentikan langkah kakinya. Napasnya sedikit terengah, belum lagi teriakan sang adik yang membuatnya hampir menjadi pusat perhatian. Bibirnya mendada
Setelah mengantarkan Kenzo ke apartemen yang sudah disediakan oleh pihak perusahaan, Nicholas membawa Sofia dan juga El ke apartemen pribadinya. Apartemen yang dulu sempat ditinggali Sofia sebelum pergi ke Milan, bersamanya.Sofia mengedarkan seluruh pandangannya. Menatap gedung tinggi yang dulu pernah menjadi tempat tinggalnya untuk sementara.“Maaf, untuk beberapa hari ke depan, kalian tinggal bersamaku di sini dulu. Apartemenku yang satu lagi belum dibereskan, karena aku pikir kau masih ragu untuk kembali,” ucap Nicholas membuyarkan lamunan Sofia.“Aku sangat merepotkanmu, Nic,” ucap Sofia tidak enak hati. Pria itu selalu saja membantunya.Nicholas menggeleng. “Sudah seharusnya kita saling membantu, karena ....”“Karena apa?” tanya Sofia ketika Nicholas menggantung ucapannya.‘Karena kalian berdua adalah tanggung jawabku. Aku tidak mungkin melepaskan kalian begitu saja.’&
Pria dengan kulit eksotis itu, terlihat tidak fokus dengan layar komputer yang ada di hadapannya. Pikirannya berkelana jauh, memikirkan seseorang yang entah di mana keberadaannya.Dia mendesah kasar. Tangannya terulur, membuka laci meja. Mengambil kalung dengan nama ‘Sofia’ yang terukir indah. Peninggalan terakhir dari gadis itu yang masih dia temukan di hotel, setelah malam panjang mereka.Entah perasaan apa yang selalu ada di hatinya.Rasa bersalah?Cinta?Atau apa pun itu, Arnold sama sekali tidak mengerti. Yang dia mau hanya Sofia saat ini.Terdengar suara ketukan pintu yang membuat alisnya sedikit terangkat, heran. Dia tidak ada meminta seorang pun untuk datang ke ruangannya.“Masuklah!” perintahnya sesaat kemudian.Pintu terbuka, dan memperlihatkan sosok Arzan yang berjalan masuk dengan wajah lelah. Dari kemarin dia sibuk dengan pencarian Sofia.“Ada apa?” tanya Arnold dingin sep
Ketika hati sudah saling terpaut, bagaimana bisa dia melepaskan ikatan itu dengan mudah?Bagi Arnold, sejak malam itu hatinya sudah terpaut dengan seorang gadis mungil, yang berhasil membuatnya menjadi seperti saat ini. Gadis yang membuatnya terbelenggu dalam rasa bersalah, yang amat dalam.“Ar, kita sudah sampai.” Arzan menepuk pelan bahu Arnold, karena pria itu hanya diam ketika dia memanggilnya.Arnold terkesiap. Pria itu menoleh, lalu mengangguk perlahan.“Kita turun sekarang.” Pria bernetra abu itu segera turun dari mobil, yang dikemudikan oleh Arzan.Setelah hampir satu pekan pencarian Sofia dilakukan, Arnold belum mendapat kabar apa pun dari sahabatnya.“Kenapa mereka mengajak pertemuan di restoran seperti ini?” tanya Arnold seraya masuk ke dalam restoran Jepang, untuk melakukan pertemuan bisnis dengan salah satu perusahaan IT yang sedang berkembang pesat saat ini.“Mereka lebih suka me
“Kau ingin bicara apa?” Nicholas mulai membuka suaranya, setelah sudah selesai dengan makan siang mereka.“El bisa bermain di depan dulu?” Sofia tidak merespons pertanyaan Nicholas. Dia tidak ingin berbicara mengenai hal ini di depan El, anaknya.“Sure, Mom.” El segera beranjak dari meja makan, dan bergegas ke ruang tamu.“Apa sangat penting?” tanya Nicholas lagi.Sofia masih diam. Dia bingung harus memulai dari mana dulu.“Fia!” panggil Nicholas ketika Sofia hanya diam saja.“Besok aku akan pindah dari apartemenmu.” Sofia mengatakan hal itu dalam satu tarikan napas. Dia benar-benar merasa sangat gugup saat ini.Nicholas mengernyitkan dahinya. “Kau bicara omong kosong.” Setelah itu dia menggeleng pelan.“Tidak, Nic,” sanggah Sofia. “Aku tidak bicara omong kosong. Besok aku akan pindah dari sini.” Wanita itu menggigit kuat
“El, sudah selesai?” Sofia menatap anaknya yang masih duduk di meja makan, dengan sepotong sandwich dan satu gelas susu yang masih utuh. “Tidak diminum?” tanyanya seraya memandang El, heran.El menggeleng kecil. “Mom, apa benar kita tidak tinggal bersama daddy lagi?” Anak itu tidak sengaja mendengar percakapan Nicholas dan Sofia, kemarin siang.Sofia menepuk dahinya. Dia terlupa untuk memberitahu El perihal kepindahan mereka. “Hu'um, rumah kita tidak terlalu jauh dari sekolahmu, Sayang,” jelas Sofia.“El tidak mau.” Anak itu menggeleng kuat. “I want to stay with daddy.”Nicholas datang dan berdehem. Pria itu sudah terlihat begitu rapi dengan pakaian kerjanya. Dia menoleh kepada Sofia, lalu kembali menatap El dengan senyum lebar.“Kau belum menghabiskan susumu, Boy?” Pria bernetra biru itu segera menarik kursi di sisi El, lalu menyusul duduk.El hanya menggele
Ettan mendorong kursi roda milik ibunya dengan perasaan hampa. Wanita paru baya itu juga terlihat tidak sehat beberapa hari terakhir. Hari ini tepat empat belas hari setelah kejadian jatuhnya pesawat Air 367. Pencarian sudah ditutup, dan para korban yang sampai saat ini belum ditemukan, dinyatakan tiada. Sama seperti Sofia dan juga El. Ibu dan anak itu sama sekali tidak ditemukan. Hanya koper milik Sofia saja yang berhasil ditemukan dan dikembalikan kepada pihak keluarga. Tentu saja hal ini menjadi pukulan yang amat berat untuk Ettan dan juga ibunya, tidak terkecuali untuk Bagas, seorang ayah yang selama ini menganggap putrinya tidak pernah ada. Ettan menatap lautan dari balik kacamata hitamnya. Hari ini semua awak media, dan keluarga korban berkumpul di tepi pantai. Rencananya mereka akan melakukan upacara tabur bunga untuk memberi penghormatan yang terakhir. “Ettan, Sofia—“ Suara Soraya tertahan ketika ingin melanjutkan percakapannya. Ettan menunduk, kemudian berjongkok di hada
Nicholas menatap laut biru di hadapannya dengan dada yang terasa sesak. Sudah tujuh hari sejak kecelakaan pesawat yang ditumpangi Sofia terjadi, dan mereka masih belum bisa menemukan Sofia dan juga El. Bangkai dari badan pesawat sudah mulai bisa dievakuasi satu-persatu, begitu juga dengan para korban yang semuanya ditemukan dalam kondisi tidak selamat. Potongan tubuh manusia sudah seperti penampakan yang biasa bagi Nicholas dalam tujuh hari terakhir. Tentu, dia tidak diam berpangku tangan saja. Nicholas mengerahkan semua orang-orangnya untuk membantu proses pencarian. Namun, sampai detik ini baik tubuh maupun barang Sofia belum bisa ditemukan. “Ke mana kalian pergi? Apa kau ingin menghukumku dengan cara seperti ini, Fia?” Suara Nicholas terdengar lirih. Kulit pria itu sudah terlihat pucat dengan tubuh yang sedikit kurus. Dia sama sekali tidak pulang ke rumah, atau makan dengan teratur selama tujuh hari terakhir. Nicholas menghabiskan hari-harinya untuk bermalam di sini dengan para
Arnold memukul kemudi setirnya berkali-kali. Pria itu sudah terjebak macet hampir satu jam lamanya, dan di sinilah dia berada dengan rasa kesal yang luar biasa. Pria itu mematikan radio yang sejak tadi dia nyalakan. Berita di dalam sana itu-itu saja, dan Arnold mulai merasa bosan.Arnold menghela napas malas ketika ponselnya kembali berdering. Nama Arzan tertera di sana, dan ini entah sudah panggilan ke berapa dari temannya itu. “Halo, apalagi, Ar? Kau tidak bisa mencarikan aku solusi? Aku jenuh berada di tengah-tengah kemacetan ini!” bentak Arnold tanpa menunggu terlebih dahulu Arzan berbicara. Pria itu benar-benar kesal dan butuh sesuatu untuk melampiaskan kekesalannya tersebut. “Arnold.” Suara Arzan terdengar lirih. Pria itu sama sekali tidak terdengar kesal setelah mendapatkan omelan dari Arnold. “Ada apa? Kenapa dengan suaramu?” tanya Arnold dengan raut wajah bingung. Arzan bukanlah orang yang bisa berbicara lirih seperti ini setelah dimarahi oleh Arnold. Biasanya pria itu ak
“Mommy, apa nanti dad akan menyusul kita?” Entah sudah pertanyaan keberapa yang Sofia dengar mulut anak laki-laki yang duduk di sampingnya itu. El menatap Sofia dengan serius. Sejak tadi Sofia belum memberikan jawaban yang memuaskan rasa penasarannya. Sofia terlihat bingung untuk sesaat. Namun, wanita itu sudah bertekad apa pun yang terjadi, mereka tidak akan lagi menyusahkan Nicholas. “Sepertinya tidak. Dengar El—“ Sofia langsung berusaha menyela ketika anak laki-lakinya itu ingin berkomentar. “Daddy mungkin ... maksud Mommy, sekarang kita harus bisa hidup mandiri. Di hidup daddy tidak hanya ada kita saja. Daddy juga punya kehidupan yang lain. Pekerjaan dia terlalu banyak sehingga menghabiskan banyak waktu. El mengerti maksud Mommy, kan, Sayang?” tanya Sofia dengan lembut. Tangan Sofia mengusap kepala El dengan penuh kasih sayang. Hanya penjelasan seperti ini yang bisa Sofia katakan. Usia El masih terlalu kecil untuk bisa memahami segala persoalan di hidup mereka. El menatap Sofia
“Pada pukul 13:00 wib pesawat Air 367, penerbangan Jakarta dengan tujuan kota Helsinki-Finlandia, dinyatakan hilang kontak di atas perairan laut Banten. Pesawat yang diawaki oleh 2 pilot dan co-pilot, dan 10 awak kabin, serta 99 penumpang yang merupakan warga negara asing maupun WNI juga dinyatakan hilang.Hingga berita ini diturunkan, baik pihak bandara maupun tim-tim yang bertugas sedang berupaya mencari keberadaan pesawat Air 367.” Nicholas menaikkan kepalanya yang tertunduk sejak duduk di ruang tunggu—yang sedang menunggu kepastian dari pihak bandara, mengenai mengapa penerbangan mereka harus tertunda. Namun, setelah mendengar berita yang baru saja disiarkan oleh media di televisi, mata pria itu menatap layar besar di hadapannya dengan sedikit ragu. Terdengar tarikan napas Nicholas dengan wajah sedikit gusar. Pria berkulit putih itu lalu berdiri dan berlari, menerobos keramaian. Sejak kembali dari luar tadi, dia baru sadar jika keadaan bandara sudah lebih ramai, dengan keberad
Arnold menyetir mobil dengan keadaan tidak karuan. Gugup, panik, marah, dan kecewa. Benaknya selalu bertanya-tanya sejak tadi, mengapa Sofia berniat pergi lagi? Mengapa Sofia melakukan hal ini lagi—meninggalkan dirinya dalam ketidakpastian? “Ah, sial!” Arnold memukul kemudi mobil dengan kuat. Amarah pria itu benar-benar membuncah saat ini. Kemarin-kemarin dia memang sengaja tidak menemui Sofia sampai fakta tentang siapa El jelas, tetapi bukan berarti dia akan melepaskan Sofia lagi, bukan? Sampai kapan pun Arnold tidak akan bisa menerima jika Sofia pergi lagi dari hidupnya, apalagi wanita itu membawa El. Anaknya! Entah apa dan bagaimana pikiran itu terus mengusik Arnold. Apakah saat ini Sofia sudah tahu jika Arnold menyelidiki El? Apa Sofia lari karena merasa takut jika El memang terbukti putranya, maka Arnold akan mengambil anak laki-laki itu? “Oh, Sofia! Tidak mungkin! Kalau memang kau berpikir seperti itu, itu hal yang mustahil. Aku tidak akan mengambil El dirimu, atau berniat
“Ar!” Arnold tersentak ketika mendengar suara Arzan yang memanggilnya dengan cukup kuat. Pria itu membuang napas dengan kasar lalu menatap Arzan dengan penuh tanya. “Kita ada rapat siang ini. Kau tidak lupa, bukan?” tanya Arzan dengan wajah heran. Arnold terlihat tidak sehat selama beberapa hari ini. “Kau baik-baik saja?” Arzan berjalan mendekati meja kerja Arnold, dan duduk di kursi yang saling berhadapan dengan temannya itu. Arnold mengangguk pelan. “Sudah dapat kabar dari rumah sakit?” “Belum.” Arzan kembali menatap Arnold dan memastikan jika pria itu benar-benar baik-baik saja. “Mereka bilang dalam 2 atau tiga hari lagi hasilnya akan keluar.”Arnold kembali mengangguk dengan wajah gelisah. Pria itu melepaskan kacamata dan meletakkan berkas-berkas yang sedang dibaca. “Bagaimana dengan Sofia? Kalian sudah menemukan di mana dia tinggal?” tanya Arnold dengan penuh harap. Semenjak Sofia pergi begitu saja di hari itu, Arnold sama sekali tidak bisa tenang.Arzan mengambil ponsel yang
Kenzo berlari dengan terus meneriaki nama Sofia, ketika melihat wanita itu berjalan dengan El. Tidak! Dia tidak mungkin salah. Wanita yang sedang berjalan itu adalah Sofia. “Sofia!” panggil Kenzo dengan napas terengah-engah. Pria itu menatap Sofia dengan heran. Mengapa Sofia bisa ada di bandara? “Sofia, tunggu!” teriak Kenzo, tetapi sepertinya Sofia tidak mendengar sama sekali. Kenzo melihat ke pergelangan tangan kirinya. Jadwal penerbangannya sebentar lagi, tetapi dia juga tidak bisa pergi begitu saja setelah melihat Sofia. Apalagi setelah tahu ada seorang pria yang pergi bersama Sofia. “Shit! Sialan! Dia pergi begitu saja setelah mencampakkan Nicholas!” maki Kenzo dengan wajah kesal. Tangan pria itu mengambil ponsel di dalam saku jasnya. Demi apa pun jika dia tidak ingat bagaimana kondisi Nicholas sekarang, Kenzo tidak ingin memberitahu jika dia melihat Sofia di bandara. “Halo, Nic.” “Kau belum berangkat? Pesawatmu akan lepas landas sebentar lagi, bukan?” “Sofia!” jelas Kenzo d
Sofia menatap pagar rumah mewah di hadapannya dengan bimbang. Entah bagaimana, dan mengapa hingga wanita itu bisa berakhir di tempat ini. Tempat di mana dia pernah menghabiskan masa kecilnya dulu. “Mommy, ini rumah siapa?” tanya El dengan wajah bingung. Sepulang dari sekolah Sofia tidak langsung mengajaknya pulang, melainkan kemari—ke sebuah rumah yang tidak tahu siapa pemiliknya. Sofia berjongkok di hadapan El lalu meraih tangan mungil putranya tersebut. Andai El tahu jika ini adalah rumah keluarga mereka juga. “Mommy menangis?” El mengusap pipi Sofia yang mendadak basah. Kenapa ibunya justru menangis? Anak laki-laki itu terlihat bingung. Akhir-akhir ini ibunya terlihat sering menangis. Sebenarnya siapa yang menyakiti ibunya? “Mom, apa semua orang jahat?” tanya El dengan lembut. Apa semua orang menyakiti ibunya? Sofia mengusap pipinya yang basah dengan senyum tipis. Wanita itu menggeleng pelan, dia sadar dengan pertanyaan El. Mungkin saja anak laki-laki itu sudah terlalu sering