Jam tepat menunjukkan pukul 5 sore hari saat aku dan Alex memutuskan untuk menjenguk Rayes di Rumah Sakit. Aku membawa bingkisan kecil meski Alex sudah melarangku karena rasanya sedikit hambar kalau menjenguk orang yang sedang sakit dengan tangan kosong. Meski aku tau harga bingkisanku tidak berarti apa untuk Rayes. "Sore, Pa." Sapa Alex saat pintu kamar perawatan VIP dibuka olehnya. Tentu saja sapaan Rayes cukup mengejutkan Rayes dan Adel yang sedang membantunya bekerja menandatangani berkas yang dibawakan oleh sekertarisnya. "Selamat sore, Tuan Rayes." Sapaku saat memasuki ruangannya. "Sore." Balas dingin Rayes dan kembali mengacuhkan kehadiran kami untuk kembali fokus pada lembaran yang sedang dipegangnya. Mataku sempat berpapasan dengan mata Adel dan menyapanya dalam diam. Adel mengerti itu dan mengangguk kecil sembari fokus melayani keinginan Rayes. Tanpa mempedulikan mereka lebih lanjut aku kembali fokus pada Alex yang melangkah menuju sofa yang sepertinya itu memang di khu
Alex kini kembali menatap Rayes dengan pikiran yang jauh mengembara ke masa lalu. "Aku tau dia mencintai Mama melebihi kami berdua. Terlihat jelas dari sorot matanya itu. Tapi semenjak kehilangan Lexa, Mama perlahan juga mulai ikut berubah. Itulah awal penyakit itu menggerogoti pikirannya. Awalnya aku dan Papa tidak menyadarinya sama sekali. Tapi ada masanya kepanikan ekstrim melanda Mama dan sampai harus menyakiti salah satu di antara kami agar ia merasa tenang. Dan awalnya aku yang selalu menjadi target karena aku menolak untuk dipanggil dengan nama Lexa. Dia mulai panik dan menyerangku sampai berniat menyakitiku. Semenjak itu, kubiarkan Lexa untuk tetap hidup di ingatan Mama sampai saat ini." Jelas Alex panjang lebar ia berhenti sebentar untuk kembali menatapku dengan tatapan sendunya. "Tapi lihatlah pria itu. Pria yang masih bertahan untuk bersama dengan Mama dengan kondisi yang jelas sudah tidak bisa dikatakan normal lagi. Dengan alasan cinta seumur hidup dia masih mau menyayang
Setelah menghabiskan cukup waktu dengan Gerald dan Alexandre Rayes kini aku pamit mengundurkan diri karena jam sudah menunjukkan pukul 8 malam. Belum lagi ponselku yang terus bergetar karena Niel maupun Liam yang terus menanyakan dimana keberadaanku sekarang. Aku tidak boleh menyebutkan kalau Rayes sedang dirawat di Rumah Sakit karena mereka tidak ingin kabar mengenai Stacy yang mencelakai Rayes sampai terdengar oleh orang lain, terutama para pemegang saham."Apa kamu baik-baik saja? Aku bisa mengantarkanmu pulang. Mobilmu dipakai Kakakmu kan?" Tanya Alex."Ah tidak, Tuan. Aku bisa memesan taksi dari sini, terima kasih." Tolakku halus."Apa kamu yakin?" Khawatir Alex.Aku mengangguk pasti. Alex hanya bisa menghela nafas panjangnya."Baiklah. Tapi kabari aku kalau kamu sudah sampai." Pinta Alex yang kusambut dengan anggukan kepala."Baiklah kalau begitu, sekali lagi saya permisi." Tundukku sebelum meninggalkan ruangan.Sampai detik sebelum aku meninggalkan kamar rawat Rayes, pria itu m
"TADAAAA!" Ucap Liam dengan semangat menunjukkan satu set makan malam yang sepertinya sengaja ia pesan untuk menyambut kepulanganku."Ah, terima kasih. Tapi seharusnya tidak perlu repot-repot." Ucapku sungkan."Tidak masalah. Aku tau kamu pasti belum makan malam. Jadi aku sengaja menyiapkan makan malam untukmu. Maaf kalau bukan seleramu." Ucapnya menarikku untuk duduk tepat disebelahnya.Kuedarkan pandanganku mencari bayangan Niel yang tidak telihat sama sekali."Dia sedang pergi bersama temannya, katanya dia mau melanjutkan pekerjaannya." Ucap Niel yang sepertinya paham akan pergerakanku."Oh, begitu."Hah? Apa itu respon yang wajar untukku saat ini? Maksudku, artinya aku hanya berdua dengan Liam saja kan di apartemen yang luas ini?! Kenapa aku bisa sesantai ini?!"Ayo makan. Nanti keburu dingin." Ajak Liam yang membuatku mengikuti pergerakannya untuk menyendok makanan."Apa hari ini sibuk sekali? Sampai-sampai kamu harus lembur seperti ini?" "Oh, iya. Ini hari pertamaku kerja setel
Panas matahari mulai membakar kelopak mataku dan berhasil membuatku bergerak untuk segera membuka mata yang terasa sangat berat ini. Tunggu dulu, apa tadi aku berkata sinar matahari?SIAL! AKU TERLAMBAT!Dengan jantung yang berdetak kencang, mataku segera terbuka dan kesadaranku sepenuhnya kembali dengan sempurna namun tidak dengan kondisi fisikku yang mendadak merasakan pening yang sangat menyiksa kepalaku. Rasanya seperti dihujam oleh ribuan palu dan mataku menghitam sesaat sebelum sebuah sentuhan hangat seseorang mendarat di bahuku."Jo? Minum dulu." Suara Niel menyadarkanku."Kak?" Rasa perih mendadak mengiris kerongkonganku saat aku menyapa Niel yang sepertinya menatapku dengan tatapan iba.Segera kuraih segelas air putih hangat beserta obat yang disodorkan oleh Niel. Sembari kerongkonganku tengah meneguk air putih, mataku juga sibuk menyisiri ruangan yang kuyakini sebagai kamarku. Saat ingin mengingat kembali apa yang terjadi malam tadi, mendadak rasa mual dan sakit kepala menyi
"Niel!!!" Teriakku panik sembari menggedor pintu kamarku yang Niel kunci dari luar."Niel! Buka Niel! Tolong!" Pintaku sekali lagi.Tanganku tidak berhenti menggedor pintu berharap Niel mendengarkan permintaanku sementara kepalaku tidak berhenti mencoba mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Tapi ingatanku terhenti pada kegiatanku bersama dengan Liam. Hanya sekedar minum bersama dan tidak lebih. Iya kan?"Ada apa?!" Niel membuka pintu dengan pakaiannya yang sudah rapi."Aku... Apa yang terjadi?!" Bingungku menatap Niel yang juga bingung menatapku."Apa?!""Ini..." Ucapku menunjukkan kissmark yang hampir memenuhi leherku."Apa yang terjadi? Mana Liam?!" Tanyaku sedikit panik.Namun berbeda dengan Niel. Ekspresinya tampak berubah menjadi rasa kesal bercampur amarah. Apa yang sudah terjadi pada Liam? Aku yakin sesuatu sedang tidak berjalan dengan baik semalam."Niel, jawab aku! Mana Liam?" Tanyaku sedikit membentaknya yang masih hening enggan menjawab."Apa?! Aku tidak tau! Aku mele
Kuarahkan supir taksi yang kukendarai saat ini menuju ke Prime Care Hospital tempat dimana Violla, Rayes dan kini Liam dirawat. Setelah mengikuti instingku untuk mencari tau keberadaan Liam melalui nomor ponselnya yang masih kusimpan dengan baik, Liam memberikanku kabar kalau dia sedang dirawat di kamar perawatan akibat pemukulan yang dilakukan Niel semalam. Karena merasa bersalah, kuberanikan diriku untuk mengunjungi Liam hanya untuk menyampaikan permintaan maafku padanya."Terima kasih, Pak." Ucapku saat mobil taksi yang kukendarai telah tiba di tujuan.Setelah beberapa kali mengunjungi tempat ini, secara tidak langsung aku juga sudah mengetahui denah rumah sakit ini. Jadi sangat mudah menemukan lokasi ruang perawatan Liam."Permisi." Sapaku ketika membuka pintu geser ruang perawatan Liam.Saat kulangkahkan kakiku masuk ke dalam ruang perawatannya, Liam dengan ekspresi kagetnya menyambut kehadiranku."Kamu beneran datang rupanya." Ucapnya."Maaf aku tidak sempat membeli bingkisan, L
"Nona? Ada apa?" Bingung Daniel yang melihatku berjalan cepat dan terburu-buru."Daniel, tolong aku." Pintaku yang segera mengintip ke belakang dan segera bersembunyi di belakang tubuh Daniel yang tinggi besar begitu mataku menangkap sosok Liam yang masih berjalan cepat seperti memburuku.Kini dihadapan Daniel, Liam menghentikan langkahnya dan menatapku serta Daniel secara bergantian."Anna, ayo bicara baik-baik kalau begitu." Pinta Liam padaku.Aku masih mengintip pria egois itu dari balik Daniel."Tidak, Li. Istirahatlah. Aku sudah menyampaikan maksud dan tujuanku kemari. Urusanku sudah selesai." Balasku terengah-engah."Selesai? Lalu aku? Lihat ulah perbuatan Niel padaku, Anna. Apa kau tidak merasa bersalah?""Aku sudah cukup meminta maaf, Liam. Kau mau apa lagi?" Ucapku sedikit menaikkan nada bicaraku."Sudah cukup? Kau bilang itu sudah cukup? Kenapa kau begitu mudah membuangku, hah?!" Kini Liam balik meninggikan nadanya."Hey kau! Aku tau siapa kau sebenarnya. Jadi sebelum semuan
Tri semester terakhir menjadi tantangan terbesar bagiku yang semakin kesulitan untuk bernafas karena rasa sesak memenuhi perutku yang sudah terlalu besar. Layaknya ibu hamil pada umumnya, semua ukuran baju dan sepatuku mendadak berubah. Dan untuk alasan tertentu, dokter menyarankan agar aku terus melakukan olahraga ringan di pagi dan sore hari demi mempertahankan posisi bayi kami yang sudah berada pada tempatnya."Baby? Are you ready?" Tanya Roger yang sudah siap dengan pakaian olahraganya.Sepulang dinas dan sebelum berangkat kerja, sudah menjadi tugas tambahan untuk Roger menemaniku jalan-jalan di sekitar taman. Dengan senang hati Roger menemaniku karena selain meniduri wanita, olahraga merupakan salah satu kegiatan favoritnya."Let's go." Ajakku bersemangat.Roger tersenyum sebelum berjalan beriringan bersamaku menuju ke lift apartemen. Namun untuk kali ini sepertinya sesuatu yang tidak beres sedang melandaku ketika lift yang kami tumpangi sedang bergerak turun ke lantai dasar."Mh
Kondisi perutku mulai terlihat lebih menonjol di usia kandunganku yang sudah memasuki tri semester kedua. Setelah puas bergulat dengan rasa mual dan ngidam yang aneh-aneh, kini aku harus memasuki fase dimana gairah seksualku mendadak berubah.Beberapa kali aku harus memancing nafsu para serigala yang sedang tampak tenang itu, namun mereka tolak mentah-mentah mengingat dokter melarangku untuk berhubungan intim di awal kehamilan demi menjaga keselamatan kandunganku yang masih sangat rentan.Tapi untuk malam ini, rasanya aku sudah tidak bisa menahannya lebih lama lagi. Karena terus dianggurkan selama beberapa bulan belakangan ini, sekarang aku ingin menjamah tubuh mereka seperti yang biasanya kulakukan setiap malam sebelum aku menyadari kalau aku sedang hamil."Papa Dan~" R
Hampir tiga bulan lamanya aku menjalani kehidupan baruku sebagai wanita yang sedang berbadan dua. Meski pada awalnya berat menerima kehadiran makhluk hidup baru yang tumbuh dan berkembang di dalam perutku. Suami dan kedua sugar daddyku terus memberikanku support yang tidak pernah berhenti. Bahkan mereka tidak ingin mempertanyakan anak siapa yang sedang kukandung, karena bagi mereka ini adalah anak dari buah cinta mereka.Jadi kunikmati seluruh kasih sayang yang mereka limpahkan padaku tanpa henti sampai makhluk kecil ini hadir diantara kami berempat dan merebut semua perhatian kami. Seperti saat jadwal check up rutin datang, aku bahkan sampai harus mengacuhkan pandangan orang-orang Rumah Sakit yang kebingungan melihatku dikawal oleh suami serta dua sugar daddyku yang sampai harus izin tidak masuk kerja hanya untuk melihat tumbuh kembang anak mereka dalam perutku. Kini tantangan terbesar yang harus kulewati adalah fase mual dan ngidam yang berlebihan. Ah- Membayangkan kombo mematikan
Beberapa bulan setelah kunjungan Mama dan Papaku, kujalani hari-hari sibukku sebagai istri rumah tangga yang baik untuk suami dan kedua sugar daddyku. Mengurusi segala kebutuhan mereka lahir maupun batin. Dan sesuai keinginanku yang disepakati bersama, kegiatan panas kami akhirnya berjalan teratur sesuai jadwal. Malam tertentu aku hanya milik mereka seorang dan malam khusus dimana aku akan menjadi milik mereka bertiga. Khusus untuk Daniel, malam kami hanya diisi dengan kegitan manis di ranjang bersama. Tanpa sedikitpun aktivitas panas yang akan memicuku untuk menggodanya, Daniel akan terus mencurahkan perasaannya melalui perlakuan manisnya yang membuatku semakin mencintainya sebagai pasangan hidupku yang sah. Namun untuk pertama kalinya semenjak kami memutuskan untuk tidur di ranjang yang sama, perutku merasakan sesuatu yang membuat tubuhku tidak karuan. Rasanya aku ingin memuntahkan makan malam yang barusan kami santap berempat sebelum berpisah untuk tidur di kamar masing-masing kar
"Halo? Ya Ma?" Sapaku ketika mengangkat telepon dari Mama yang jarang sekali menghubungiku di pagi hari seperti ini."Dek, Mama dan Papa sudah boarding pesawat ya. Jemput kami nanti di bandara ya." Pinta Mama yang berhasil membuat jantungku berhenti berdetak untuk beberapa saat kemudian."Hah?! Mama mau ke sini? Kok nggak bilang dari kemarin?" Keluhku yang membuat Roger kebingungan karena aku segera terbangun dari pahanya."Ya namanya juga kejutan. Ini saja Mama ngabarin kamu dulu, takutnya kamu lagi nggak di rumah. Gimana kalau Mama dan Papa langsung gedor pintu rumahmu, hayo." Mama membela dirinya."Iya iya iya.. Ya sudah, Mama Papa safe flight ya. Aku bersih-bersih rumah dulu." Ucapku yang segera beranjak dari tempatku bersantai dengan Roger."Baby? Kenapa? Apa orang tuamu mau ke sini?" Tanya Roger melihatku berlari panik."IYA!" Teriakku menuju ke kamar utama tempat dimana barang pribadiku berada.Segera kuraih tas hitamku yang setahun lalu pernah kugunakan untuk kabur bersama den
Beberapa haripun berlalu, berkat segala bantuan Rayes dan Roger akhirnya secara hukum aku sudah sah menjadi Nyonya Henery. Tidak ada acara mewah setelah kami menandatangani akta pernikahan kami. Yang ada kedua Daddyku hanya mempersiapkan acara makan siang sederhana di yacht pribadinya. Mereka berpesan agar aku tetap menjaga stamina sebelum pulang kembali ke kotaku untuk melaksanakan resepsi yang sebenarnya. Tidak masalah untukku. Aku juga merasa tidak terlalu merasa nyaman dengan keramaian Ibu Kota. Lebih menyenangkan berkumpul bersama mereka bertiga. Menikmati indahnya sinar matahari dengan hembusan angin laut yang menyegarkan. "Baby, jangan berjemur disana. Kulitmu bisa terbakar. Ingat kamu masih punya resepsi minggu ini." Pesan Roger yang sedang duduk dengan Rayes serta Daniel dengan segelas champagne di tangan mereka masing-masing. "Sayang sekali rasanya kalau tidak berjemur di laut." Keluhku. "Seharusnya kamu pakai bikinimu. Kalau tidak, kulitmu akan belang." Rayes menambahka
"Honey?" "Honey??" "Sayang???" Sayup-sayup suara Daniel yang sedang memanggilku berulang kali berhasil menyadarkan dari tidur pulasku semalam. Sampai-sampai aku tidak menyadari sentuhan tangan hangat Daniel yang terus membelai rambutku seolah sedang berusaha menyadarkanku. "Sayang, bangun." Daniel mengusap keningku berkali-kali. "Mhh~" Lenguhku manja karena rasanya aku masih mau melanjutkan tidurku. "Bangun sayang. Aku dan Tuan Rayes akan segera berangkat kerja. Roger belum pulang karena terjebak delay. Apa kamu tidak masalah ditinggal sendirian?" Tanya Daniel mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Aku mengernyitkan dahi sambil berusaha membuka mataku. "Iya." "Minumlah dulu. Aku sudah menyiapkan sarapan di atas meja untuk kalian berdua nanti. Sekarang bangunlah dulu. Aku sedikit trauma meninggalkanmu dalam kondisi tidur seperti ini." Pinta Daniel. Tanpa bantahan meski dengan kondisi mata yang masih terasa sangat berat, Daniel melihatku terbangun dari tempat tidur dan berjalan l
Mataku yang terbuka secara tiba-tiba membuat tubuhku tersentak pelan seakan aku baru saja mengalami kejadian yang sangat menegangkan. Kesadaranku yang perlahan pulih sejalan dengan nafasku yang berburu seperti mencoba menenangkan detak jantungku yang tidak beraturan untuk kembali pada ritmenya. "Baby?" Kaget Rayes yang ikut terbangun masih dengan lengan kokohnya yang kujadikan sebagai bantal tidur. Aku menatap Rayes yang tertidur di sebelah kiriku dan Daniel tertidur disebelah kananku dengan tangannya yang berada di atas perutku. Masih dengan detak jantung yang belum tertata, aku tersenyum menanggapi pertanyaan Rayes. "Daddy Roger sudah berangkat ya?" Tanyaku kemudian. Rayes mengangguk. "Sekarang masih jam setengah dua belas malam. Do you need something, Baby?" Tanya Rayes dengan suaranya yang serak-serak basah. Aku mengangguk. "I need to clean that part. Sepertinya aku tidur terlalu lama. Rasanya badanku segar sekali." "Baiklah, sayang. Bersihkan tubuhmu dulu. Kamu terlalu
Dengan sorot matanya yang semakin dibutakan oleh kabut gairahnya sendiri, Daniel terus memijat batang kejantanannya yang sudah menegang di ujung sana. Tidak sedikitpun ia berniat mendekatiku yang sedang sibuk bersetubuh dengan Rayes sembari memeluk Roger yang tak henti-hentinya memberikanku rangsangan kecilnya dengan memijat kedua gunung kembarku. Desahan dan lenguhan terus kulanturkan karena kenikmatan tanpa ujung yang diberikan oleh kedua sugar daddyku. "Damn, you're hot as hell." Desis Rayes yang kembali menghentakku agar kembali fokus pada genjotannya. "Daddy~" Rengekku pada Roger yang kini meraih bibirku untuk menciumku dengan rakus. "Ah- Kau sangat spesial sayang." Rayes kembali mendesis dan memukul-mukul buritan sintalku secara bergantian. "Nggh, capek." Keluhku saat kulepas bibirku dari pagutan bibir Roger. Tak ambil pusing, tanpa melepas miliknya dari kewanitaanku. Rayes lalu menarik tubuhku dari pelukan Roger dan segera menjatuhkanku di atas pangkuannya yang sedang terdu