Kami pulang naik taxi, sedangkan mobil Pajero sport milik Mas Lutfi diurus anak buahnya."Siapa ya, Mas, yang ngempesin ban mobil kita?" tanyaku saat sudah sampai di rumah."Engga tahu, apa mungkin ...." Mas Lutfi tak meneruskan ucapannya."Kirana." Aku menyahut.Siapa lagi kalau bukan mereka, kalau memang kempes tak sengaja tak mungkin semua 'kan."Tapi kita ga ada bukti." Mas Lutfi membuka kancing baju atas dan melepas dasinya.Aku berdecak kesal, suamiku ini terlalu santai menghadapi Kirana, ia tak tahu saja sejahat dan senekat apa perempuan itu.Aku masih ingat dulu saat masih menjadi istri Mas Hanif, setelah ketahuan ada main di belakang, pasangan luknut itu terang-terangan berzina di rumah kami, membuatku jijik dan tentunya sakit hati.Luka yang digoreskan mereka membuatku trauma dalam jangka waktu lama, hampir tiga tahun lebih menjanda, hingga akhirnya emak dan bapak menjodohkanku dengan seseorang yang berasal dari desa sebrang.Seorang bujang lapuk yang berusia hampir kepala e
'Alhamdulilah, setelah sekian lama akhirnya kami diberi momongan juga, suatu kebanggaan bagi seorang wanita saat mengandung anak suaminya, sebagai seorang wanita belum sempurna kalau belum melahirkan anak'Status Kirana muncul di beranda efbe-ku pagi ini, aku menelan ludah, padahal sejak dulu mengandung adalah impian terbesar dalam hidup ini.Kenapa Kirana bisa hamil sedangkan aku belum? atau jangan-jangan benar kata Mas Hanif waktu itu kalau aku yang mandul?"Hasil pemeriksaan menyatakan kalau kamu itu ga bisa berikan keturunan, sangat kecil kemungkinannya,". ucap Mas Hanif tempo hari saat aku masih menjadi istrinya.Dahulu kami pernah mengecek kesuburan masing-masing ke dokter, tapi saat mengambil hasilnya aku tak ikut sebab harus pulang kampung.Saat itu jelas saja Mas Hanif kecewa, bisa jadi karena itu juga ia selingkuh dengan Kirana. Ah menyebalkan kalau ingat masa kelam itu.Kolom komentar Kirana dibanjiri ucapan selamat. Aku menengadah minta pada Tuhan agar menjauhkan hati ini
"Ah sudahlah, Mas." Aku hampir saja mau membuang benda pipih itu saking putus asanya."Eh jangan buang dulu, sini coba Mas lihat." Ia merebut benda itu dari tanganku.Dilihat bolak balik pun percuma garis merah melintang hanya ada satu yang nampak, kalau begini aku harus bagaimana? kasihan Mas Lutfi kalau sampai tak memiliki anak hingga akhir hayatnya."Yang, lihat deh. Ini tuh kaya garis tapi kok ...." Ia menunjuk-nunjuk benda pipih itu.Aku melirik, garis apaan orang itu samar ga jelas begitu."Sudahlah, Mas." Aku mendesah lelah."Mas yakin kamu hamil tapi belum terdeteksi karena masih dini, kita tunggu semingguan lagi ya." Mas Lutfi memelukku."Setiap wanita yang punya rahim insya Allah berpeluang memiliki keturunan, jangan pesimis gitu dong." Mas Lutfi mengelus punggungku.Kata-katanya memang menyejukkan, tapi kekecewaan ini tetap saja ada enggan sirna, apalagi kalau ingat hasil tes kesuburan waktu itu, semakin putus asa saja."Tapi umur kita ga muda lagi, Mas. Apa mungkin?" Aku m
Mobil yang membawa Kirana melesat dengan cepat."Kirana kenapa?" tanya salah satu tetanggaku, ia pun sama ingin tahu apa yang terjadi."Ga tahu tadi roknya banyak darah, masa iya keguguran?" Aku bergumam tapi tetanggaku ini mendengar."Wah kalau ada darah sih sudah pasti keguguran, dia 'kan lagi hamil muda." Ia menebak-nebak.Gosip tentang Kirana keguguran tak lama lagi pasti akan menyebar, aku memilih pulang masuk rumah ketimbang ikut ibu-ibu lain ngerumpi, selain ghibah itu dosa, Mas Lutfi juga akan marah kalau tahu.Waktu sore tiba, begitu Mas Lutfi pulang aku langsung pergi ke dokter kandungan, selama di jalan Mas Lutfi menghibur agar aku tak tegang."Kantung janinnya sudah terlihat ya, Bu. Wajar kalau di tespek belum jelas kelihatan," ucap dokter setengah baya yang bernama Diana itu.Aku melirik Mas Lutfi dengan raut bahagia."Jadi saya hamil?" tanyaku dengan mata berkaca."Iya, Bu, selamat ya. kayanya ini baru empat minggu. Masih sangat muda," jawabnya sambil tersenyum.Aku dan
"Aku sudah menyakiti kamu dengan selingkuh sama Kirana, aku udah usir kamu dari rumah, padahal rumah itu hadiah pernikahan kita, dan aku juga sudah membiarkan Kirana memakai semua baju dan perhiasanmu." Mas Hanif sesenggukan.Diingatkan masa lalu, hatiku tersayat lagi. Untung saja masa depanku bahagia, ada penggantinya yang lebih baik dan bisa menuntunku ke jalan yang benar.Hadirnya Mas Lutfi memang sangat mengobati luka hati ini."Aku sudah membiarkanmu pergi tanpa pernah mengembalikanmu pada kedua orang tuamu," lanjut Mas Hanif dengan mata berkaca.Rasanya aku pun ingin menangis jika ingat masa itu. "Kamu harus tahu diri kalau ga mau dimadu, pergilah dari sini, jangan bawa apapun! ATM, perhiasan semuanya dibeli pakai uangku dan sekarang akan menjadi milik istri baruku."Begitulah katanya dulu, aku pun pergi hanya dengan beberapa helai baju yang sudah dikemas di dalam tas, dan dengan selembar uang berwarna merah."Sekarang aku menerima karmanya, Ris, anakku meninggal padahal aku be
Siapakah dia? apakah Mas Lutfi memilik rahasia?Tanganku bergetar kala memegang ponsel pintar milik Mas Lutfi, segala prasangka buruk tentangnya melintas di kepala.Bisa jadi Mas Lutfi itu duda tapi mengaku bujangan saat menikah denganku, lalu bagaimana dengan orang tuanya? kenapa mereka tidak katakan saja yang sebenarnya, toh aku tak mempermasalahkan mau dia duda atau bujang.Aku menggigit bibir, menebak-nebak sambil sambil berfikir, kalau kutanyakan langsung ke orangnya bisa saja dia berbohong.Tapi 'kan selama ini Mas Lutfi selalu jujur, mungkin tak ada salahnya jika kucoba tanyakan. Sekarang yang penting aku tenang.[Ini dengan siapa maaf?] sendTak ingin larut dalam penasaran aku pun membalas pesan nomor kontak tak bernama itu.Sayangnya centang satu warna abu, di telpon pun percuma takkan nyambung."Makanannya enak, Yang, udah lama ga makan persambelan," ucap Mas Lutfi, ia sangat menikmati pecel ayam buatanku."Kok ga makan?" Ia bertanya heran.Aku menggaruk pipi yang tak gatal
"Terus Ibu sama Bapak ke sini naik apaan? kalau bilang dulu 'kan bisa dijemput sama Lutfi," sahut suamiku."Naik mobil rental, sudahlah Ibu sama Bapak punya uang kok buat bayarnya," jawab bapak."Oh ya, besok Ibu mau ke kontrakan Laila. Anak itu bulan ini ga pulang kampung, betah amat di kontrakan sendirian, Ibu jadi khawatir Lutfi, sama adikmu," ungkap ibu.Laila adik Mas Lutfi yang jutek itu memang tinggal sendiri di kota ini, pernah ditawari tinggal bersama di sini katanya ga mau dengan alasan tak enak sama aku.Pas aku yang menawari ia beralasan ingin mandiri dan sudah dewasa, bagaimana lagi kami tak bisa memaksa, yang penting ia bisa jaga diri dan sering-sering main ke sini.Gadis itu kini bekerja di sebuah perusahaan ternama, Ia menjabat sebagai CEO di perusahaan itu, maklum ia lulusan sarjana sedangkan suamiku lulusan SMA.Dulu, katanya Mas Lutfi mengalah putus sekolah demi adiknya yang pintar, sedangkan suamiku ini biasa saja nilai juga pas-pasan. Eh! Itu kata ibunya ya."Lai
"Ga usah serakah kamu! Selama ini aku selalu transfer lima juta, masa iya sekarang minta dua puluh juta, dia itu masih anak-anak, ga mungkin kebutuhannya sebanyak itu," ucap Mas Lutfi membentak.Ya Tuhan, ada apa lagi ini? apa maksudnya?"Aku kasih delapan juta, pokoknya ga mau tahu harus cukup, sekarang istriku juga lagi hamil dan butuh biaya banyak, ngerti kamu!""Engga ada tapi-tapian!"Sepertinya Mas Lutfi menyudahi telponnya, sementara tubuhku masih nempel di dinding."Eh, Ris, lagi ngapain kok berdiri di situ?"Sial, ibu mertuaku ini ngagetin saja, aku 'kan jadi terkejut mana tubuh lagi lemes, untuk tak jatuh."Ehh ... eng ... engga apa-apa kok," jawabku sambil cengengesan."Nempel-nempel di dinding meni kos cak-cak," ujarnya sambil geleng-geleng kepala."Loh, Risti. Kamu ... sejak kapan di sini?" Itu Mas Lutfi yang bertanya, mungkin ia mendengar percakapan kami makanya dia ke sini.Awas kau, Mas, akan kubrondong dengan seribu pertanyaan sebentar lagi ."Sejak tadi, sejak Mas ne
Menjelang sore kami pulang kembali ke Jakarta hingga matahari tenggelam barulah kami bisa menginjakan kaki di rumah bercampur lelah."Mbak Ris, Ibu pulang ya. Itu di luar kayanya ada tamu," ucap asistenku, ia terbiasa pulang sore dan berangkat pagi."Oh suruh masuk aja.""Biar Emak yang bawain barang-barang ke dalam sekalian mau istirahat." Emak mengangkat paper bag dan beberapa kantong kresek, oleh-oleh dari Teh Naya dan sebagiannya kubeli di perjalanan tadi.Yang datang ternyata Sabrina bersama Rafka, aku menghela napas jangan sampai ia membuat tubuhku semakin lelah.Wanita itu tersenyum. "Assalamualaikum.""Wa'alaikumus'salam," jawabku dan Mas Lutfi serentak.Ia duduk di sofa bersebrangan denganku dan Mas Lutfi."Kayaknya kalian lagi pada capek ya, sebelumnya mohon maaf aku udah ganggu waktu istirahat kalian," ucap Sabrina.Wajah cantik dan segar itu menatap kami satu persatu, bodohnya aku selalu saja tersimpan cemburu ketika ia memandang suamiku."Ga apa-apa, santai aja. Rafka kan
"Oh, jadi kamu istri keduanya ya?" tanyaku sambil maju satu langkah.Kulihat Bapak tampak khawatir memandang kami bertiga."Maksudnya?" tanya wanita itu terkejut."Dia ini ibu saya, istri pertamanya lelaki ini, fix selama ini Emak dibohongi sama Bapak, ada untungnya juga ya kita kemari." Aku menyeringai sinis.Wanita yang terlihat lebih muda dari emak itu nampak terkejut, sejurus kemudian matanya mulai berkaca-kaca, lalu menatap bapak penuh kecewa"Jadi ... jadi Akang punya istri selain aku?" tanya wanita itu dengan mata berkaca-kaca.Bibir bapak bergetar, tubuhnya terlihat sangat kurus dengan wajah yang semakin menua."Halimah, Akang bisa jelaskan," ucap Bapak sambil berusaha meraih tangannya."Akang udah bohong! Selama sepuluh tahun Akang bohongi aku! Keterlaluan!" Wanita itu berteriak.Sontak saja pasien yang lain saling melirik, karena ini kamar nomor dua, jadinya satu ruangan ditempati oleh beberapa orang."Maaf, Halimah, Maaf," ucap bapak dengan suara bergetar.Aku maju lagi sat
"Mbak, sekarang aku benar-benar merasa di posisimu dulu, ditinggalkan dan dicampakkan. Hanya bedanya aku bersama anakku, ada tanggung jawab besar yang harus kupikul." Lagi-lagi Kirana terisak."Aku udah ngerasain karmanya akibat ngerebut suami orang, kamu benar, Mbak, kalau akhirnya Mas Hanif suatu saat akan direbut juga sama orang lain, sekali lagi aku minta maaf," ujar Kirana dengan suara bergetar."Kirana, aku udah maafin kamu." Tenggorokanku tercekat mendengar suara tangisannya."Terima kasih, terima kasih, Mbak. Aku berharap masa depanku nanti akan bahagia bersama anakku, aku harap karma ini hanya berlaku untukku tidak untuk keturunanku." Kirana bicara lagi."Syukurlah kalau kamu udah menyadari semuanya, aku seneng, Kirana."Hening, aku merasa terharu dengan semua yang terjadi, tak dapat dipungkiri ada rasa puas yang menjalar dalam hati, rasanya semua sakitku di masa lalu telah terbayar lunas."Tapi, kamu tinggal di mana sekarang?" tanyaku, agak khawatir juga karena setahuku oran
"Aku ga ada urusan ya, Rin, dia itu bapak kamu, ya urus lah." Aku berucap sinis.Gantian, karena biasanya dia yang akan bicara ketus seperti itu padaku."Nyebelin! Cepat bilangin ke Emak tentang keadaan bapak, suruh dia pulang urusin suaminya, aku capek tahu nyuciin baju bapak yang bau pesing." Ririn membentak.Aku menahan tawa, akhirnya kena karma juga tuh anak sombong, baru beberapa hari ngurusin bapaknya saja sudah lelah, bagaiman emak yang berpuluh-puluh tahun mengurusnya, tak pernah dihargai lagi."Gugatan ke pengadilan sebentar lagi akan diajukan, Ririn anak manja, jadi bapakmu itu bukan lagi suami emakku, tapi mantan!" tegasku dengan suara pelan."Oh ya, emangnya bapakmu sudah ga kuat jalan ke kamar mandi ya? sampai pipis aja harus di celana?" Aku menahan tawa"Kamu tuh ya bener-bener ngeselin, masa iya nyuruh Emak sendiri bercerai, anak durhaka!" Ririn murka."Bodo amat, dari pada menikah tapi dibuat susah dan ngebatin, ya mending suruh cerai, di rumahku Emak kujadikan ratu, b
Mas Lutfi mangut-mangut sambil terus menenangkan Maryam yang masih merengek."Ya sudah kalau gitu siap-siap, kita akan berangkat sekarang. Ris, motor udah dikasih?" Mas Lutfi melirikku.Aku mengangguk. "Udah Mas.""Oh ya, Mak, ga usah bawa baju banyak-banyak, bawa keperluan Emak yang penting aja, soal pakaian kita bisa beli di Jakarta."Emak mengangguk lalu memintaku untuk ditemani berkemas di kamarnya, ketakutan jelas masih tercipta di wajah tuanya."Temani Emak, Maryam biar sama aku." Kata Mas Lutfi seraya keluar bersama Teh Naya, dari kejauhan kudengar mereka mengobrol.Di dalam kamar Emak melipat baju-baju dan memasukkan beberapa buah perhiasan yang selalu ia sembunyikan dari Ririn dan bapak."Terima kasih ya, Ris, tapi beneran ga apa-apa 'kan kalau Emak tinggal sama kamu?" tanya Emak sambil menatapku.Aku mengangguk serius. "Ga apa-apa, Mak, Mas Lutfi juga menerima dengan senang hati, jangan mikir macem-macem ya." Aku tersenyum yakin."Oh, jadi kamu beneran mau pergi, Heti? mau t
"Nih, Pak, mereka berdua yang udah hasut Emak buat minta cerai sama Bapak, anak macam apa kalian nyuruh orang tua cerai." Ririn si anak songong itu menunjuk wajah kami.Seketika suasana jadi tegang, Mas Lutfi dan Kang Ruswan berhamburan datang mengerumuni kami di dapur."Ada apa ini, Ris?" tanya Mas Lutfi."Heti! Apa bener anak-anak kamu mau kita pisah?" tanya bapak sambil melotot.Heti adalah nama emakku sedangkan nama bapak tiriku yang nyebelin itu Rusdi.Tangan emak dingin dan bergetar, wajahnya menunduk dalam. Lalu kugenggam erat tangan keriput itu dan kuelus punggungnya untuk menenangkan."Jawab, Heti!" tegas bapak dengan mimik wajah menyeramkan.Lelaki tua itu membanting kopiah yang ada di kepalanya ke lantai hingga tubuh emak terguncang ketakutan."Iya," jawabku dengan wajah menantang."Saya ga nanya kamu!" Bapak menunjuk wajahku."Cukup ya selama ini Emakku disiksa batinnya sama kamu! Sekarang tolong ceraikan dia dan tinggalkan rumah ini," cetus kakakku memasang tampang bengi
"Setiap orang punya takdir, Ris, dan mungkin ini udah takdir Emak. Dengan melihat kalian sama suami kalian hidup bahagia aja Emak udah bahagia," jawab Emak sambil menyeka air mata."Kata siapa aku bahagia?!" Kupandangi wajah Emak dengan kubangan air mata."Aku ga bahagia kalau lihat ibu sendiri disakiti setiap harinya, harus kerja keras kerja di sawah milik orang, sementara aku setiap hari hidup enak dan nyaman, Emak pikir aku bahagia?!" Kupukul dada dengan linangan air mata.Akhirnya tangis kami bertiga pecah kami sama-sama menangis di ruangan sempit dan banyak perabotan lusuh ini.Kami saling merangkul dan menguatkan satu sama lain, dari sini aku menilai jika emakku ini memang sudah rapuh, hati dan dan juga jiwanya."Emak harus kaya gimana, Risti? Emak juga udah ga tahan, tapi kalau minta cerai Emak takut disantet." Emak sesenggukan hingga tubuh kurusnya tergoncang.Aku menyentuh pundak Emak yang hanya tinggal tulang, menatap yakin kalau semua akan baik-baik saja."Ga usah takut kit
"Alaah, si Ririn sama bapaknya sebelas dua belas, bisanya bikin Emak repot, kamu harus tahu ya penghasil warung itu semua dimakan oleh bapak dan si Ririn, sedangkan emak, buat beli kebutuhannya tetap harus kerja di kebun dan di sawah."Tanganku mengepal erat mendengar hal itu, dasar tua Bangka licik, kukira warung itu akan membuat emakku sejahtera, nyatanya ia tetap saja kesusahan."Teteh ga bohong 'kan?" ucapku dengan nada jengkel."Engga, Risti, ngapain bohong. Rumahku ini berdekatan, pastinya aku tahu apapun yang terjadi sama Emak," jawab Teh Risti masih berbisik pula."Kita harus buat emak sama lelaki tua itu pisah, Teh, aku ga rela Emak disakiti." Aku emosi bukan main."Sudah sering Teteh bilang gitu tapi Emaknya aja yang belum siap, katanya takut nyusahin anak kalau jadi janda, lah punya suami aja susah." Teh Naya geleng-geleng kepala."Modal warung itu 'kan dapet pinjem dari suami kamu, coba sekarang tagih, aku yakin lelaki tua itu ga bakal mau balikin, pasti ada aja alasannya
bab 40.B hd"Enak aja dipikir aku ini bangke tikus." Aku mendelik kesal lalu meninggalkannya.Malam hari aku dan Mas Lutfi diskusi, rencananya motor yang selalu aku gunakan ingin disedekahkan, tapi pada siapa? aku ingin orang itu orang yang tepat."Gimana kalau dari keluarga kamu aja, misal Teh Naya, motornya itu udah sering mogok 'kan?" ujar Mas Lutfi.Betul juga, kalau di keluarganya semua pada mapan, punya usaha dan ada pula yang bekerja di sebuah perusahaan besar seperti Laila."Betul juga ide kamu, Mas, kira-kira kapan kita ke kampung ya, kamu atur jadwal deh.""Emm, sekarang-sekarang juga ga masalah sih kalau aku, tapi fisik kamu kuat ga? ke kampung itu perjalanan lama dan jalannya jelek, emang kuat? 'kan abis lahiran," ujar Mas Lutfi lagi."Kuat lah, 'kan naik mobil bagus." Aku menarik turunkan sebelah alis."Masa? berarti itu juga bakal kuat dong ga takut lagi." Mas Lutfi menggodaku.Pasti ujung-ujungnya ke sana."Itu apaan?!" Aku melotot."Itu ntar malem," jawabnya sambil mes