“Liana,” ucap Aji melihat seseorang mendekati Liana, yang terkapar tak berdaya.
Ia berlari kemudian menendang pria itu. Saat ini, terjadi perkelahian yang sengit, antara Aji dan pria penguntit itu. Beberapa saat kemudian, pria itu berhasil ditaklukkan oleh Aji. Kini, ia bersikeras untuk mengintrogasinya, setelah memanggil tim keamanan.
“Hei, berengsek, siapa kamu?” tanya Aji marah, sembari menarik kera pria itu.
“Aku tidak ada masalah denganmu, kenapa kamu memukuliku?” tanya pria itu kemudian tertawa.
“Aish… dasar gila,” ucap Aji dengan mata marahnya.
Ketika petugas keamanan datang, pria itu di bawa ke kantor polisi terdekat. Saat ini, Aji tengah menemani Liana mendapatkan pertolongan pertama, akibat kejadian itu. Meskipun Liana tidak terluka, Aji merasa ketakutan saat melihatnya terkapar di lantai, tanpa respon sama sekali s
Liana terus memikirkan banyak hal tanpa henti. Terkadang, semua angan-angan yang ada di pikirannya terasa sangat berat. Namun, Liana tetap saja berpikir untuk mencari lebih banyak opsi untuk penyelesaian setiap masalah, yang ada di kepala kecilnya. Kini, ia duduk termenung dengan menyandarkan kepalanya.“Tuhan, tidakkah sekarang engkau bersamaku.”Ya, Liana selalu percaya bahwa Tuhan selalu menyertainya. Tapi, ia tidak mengerti mengenai takdir Tuhan yang sudah digariskan untuknya.Tit…tit…tit…Alarm jam tangan Liana berbunyi keras, sehingga menyadarkannya dari lamunan. Kemudian, ponselnya berdering. 20 panggilan tidak terjawab.“Liana, tolong aku,” teriak Salma kemudian mematikan panggilan itu.“Kenapa? Ada Apa?” tanya Liana terkejut.Panggilan itu tiba-tiba berakhir. Karen
Liana kemudian berlari sambil mengikuti titik lokasi di jam tangan itu, dan sampai di taman kota. Ia menghela napas, kemudian menyandarkan tubuhnya di kursi taman. Liana menyadari, bahwa tepat di bawah air mancur dibelakangnya, terdapat kebocoran gas yang diakibarkan oleh efek alat pemusna itu.“Air mancur itu, pantas saja baunya sedikit samar.” Ia memilih untuk duduk diam, dan menunggu apakah Tuhan kali ini ada di pihaknya, atau sebaliknya. Namun, semua keputusannya itu berubah ketika Reno menghampirinya.***“Cepat, beri oksigen,” teriak beberapa petugas ambulan. Beberapa korban syok akibat ledakan itu, langsung dilarikan ke rumah sakit terdekat. Polisi dan pemadam kebakaran, menutup tempat ledakan itu agar masyarakat tidak melewati garis polisi untuk mencegah jatuhnya korban jiwa.Sofi memasuki ruangan cermin dengan raut wajah marah, kemudian menampar Liana.&l
“Tidak, kak Sofi.” Liana mulai berteriak memanggil nama Sofi. Namun, hologram itu menghilang seketika. Perawat langsung memanggil dokter, ketika tidak mendapati Liana ada di ruang inapnya. Ketika sampai di ruang rawat Liana, tidak satupun dari mereka melihat anak itu.“Cepat, temukan Liana,” perintah dokter Bagus.“Baik,” jawab perawat itu, kemudian berlari bersama beberapa rekannya.Dokter menugaskan 4 perawat untuk pergi mencari Liana. Mama dan papa menghubungi Reno, untuk membantu menemukannya. Liana merasa kesakitan karena melepas infus dengan keras. Ia terus berlari menyusuri kolidor rumah sakit dengan darah yang terus menetes.“Aa.. sakit, aku harus, menemukan kak Sofi,” keluh Liana menguatkan diri, dengan napas tak beraturan.Ia yakin, hologram itu nyata, bukan hanya halusinasinya semata. Dengan tubuh lemas, ia berusaha berla
“Barang-barang ini, aku mendapatkannya dari seorang anak perempuan psikeater. Aku ingat, psikeater itu, mirip seperti seseorang. Jika ditanya berapa lama ia jadi psikeater, ia selalu menjawab baru saja. Ya, psikeater itu mirip kak Sofi. Mungkinkah, anak perempuan yang aku lihat dulu, adalah kak Sofi,” gumam Liana, sembari memikirkan berbagai kemungkinan.Namun, ia akhirnya menyerah karena Sofi tidak pernah membahas soal pertemuan itu. Liana memandangi langit-langit kamar, berandai-andai apakah yang akan terjadi setelah ledakan itu.Kring…kring…kring…Tiba-tiba ponselnya berdering, itu telepon dari Aji. Ia mengetahui bahwa hari ini Liana diperbolehkan untuk pulang. Aji ingin mengajak Liana pergi untuk menyatakan perasaanya, sebelum semuanya terlambat.“Halo,” sapa Liana mengangkat panggilan itu.“Liana, aku ingin bertemu
Melihat Aji terjatuh, Liana segera berlari dan menjatuhkan ponselnya. Ia berhenti tepat di depan retakan tanah itu. Untung saja, Aji masih berusaha untuk bertahan sambil berpegangan beberapa besi pembatas jalan yang masih bisa menopang tubuhnya.“Aji, pegang tanganku,” teriak Liana mengulurkan tangannya dengan raut wajah cemas.“Tidak, kamu akan terjatuh bersamaku. Aku akan bertahan, hingga bala bantuan tiba,” balas Aji bersikukuh terhadap pendiriannya.“Kamu tidak bisa bertahan selama itu, ah bagaimana ini?” tanya Liana kebingungan, kemudian berlari ke arah mobil.Aji masih berusaha untuk naik ke atas, namun ia selalu gagal. Bahkan, saat ini tangan kirinya sudah mati rasa. Namun, ia tidak mau jika Liana berada dalam bahaya saat menolongnya. Sejak Aji menolak bantuannya, ia tidak melihat Liana atau bahkan mendengar suaranya.“Liana, apa y
Setelah Liana menjawab ucapan dari Aji, tiba-tiba semua berhenti bergerak. Ia yang masih berdiri di atas bukit, melihat semua hal yang tadinya nampak mengerikan, namun berhenti tanpa ada penjelasan sama sekali.“Aji,” ucap Liana melihat Aji diam bak membeku dengan raut wajah cemas itu. Ia kemudian terjatuh, karena dari semua yang terjadi saat ini hanya dia seorang yang bisa bergerak. Bahkan, debu dan burung yang tadinya berterbangan kini berhenti tanpa sebab.“Ah, a-pa yang terjadi?” tanya Liana kemudian memperhatikan kejadian ini dengan saksama.“Kamu terlalu lemah.”“Siapa yang berbicara?” tanya Liana terkejut, sembari mencari asal suara itu.Liana tidak melihat siapapun kecuali dirinya sendiri yang bisa bergerak saat ini. Aji masih membeku dan jarum jam tangannya berlum kembali bergerak. Tiba-tiba, ia melihat cahaya dari atas lan
Ketika helikopter itu mulai mendarat, orang tua Liana berlari dan memeluk putri mereka. Ia terus bertanya bagaimana keadaannya, namun Liana hanya terdiam dan membisu tanpa mengucapkan sepatah katapun. “Liana, ada apa?” tanya Aji menepuk bahunya karena ia terus diam membisu. “Bencana itu, tidak mungkin hanya terjadi di sana. Bencana itu pasti akan terus terjadi jika alat itu tidak dimusnakan,” jawab Liana kemudian memandang Aji dan membuat semua petugas kini menatapku. “Apa yang harus kita lakukan?” tanya Aji dengan wajah cemas kemudian menggelengkan kepalanya. “Aku harus pergi ke suatu tempat, tolong pastikan orang tuaku pulang dengan selamat,” pinta Liana kemudian berlari masuk ke dalam aula evakuasi. Aji kemudian mengantar orang tua Liana sesuai dengan permintaannya. Beberapa tim penyelamat masih menyisir lokasi bencana itu, dan memberikan peringatan kepada wilayah te
Mendengar suara ledakan itu, Sofi dan Liana menghentikan perdebatan tanpa ujung itu. Mereka kemudian menatap layar cermin, dan segera bertindak untuk mengirimkan sinyal bencana, kepada tim penyelamat nasional.“Kak, aku akan pergi ke lokasi,” ucap Liana kemudian mengaktifkan prototipe melalui jam tangannya.“Baiklah, jaga diri baik-baik,” perintah Sofi mengangguk kemudian segera mengirimkan video itu.***Ketika Liana sampai di posko evakuasi, tempat itu kini kosong dan ditinggalkan. Ia kemudian mendapatkan pesan dari Aji, jika posko evakuasi sudah di pindahkan ke dekat balai kota, karena hanya itu satu-satunya tempat yang cukup aman untuk saat ini.“Aku harus melakukan sesuatu, sebelum semua ini merambat ke pemukiman penduduk,” ucap Liana sembari memperhatikan sekitar, kemudian mendongakkan kepalanya ke atas dan mengulurkan tangan. Sebuah alat unik kemudian
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Tiba-tiba suara larangan terdengar. Suara yang tidak asing bagi Liana, namun ia sendiri tidak tahu suara siapa itu. Liana terus memegang liontinnya erat-erat. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun…“Pergilah Liana. Lari… cepat….” Teriakan larangan itu kembali mengusik Liana.Tanpa tahu apa arti dari suara itu, Liana dengan cepat mengaktifkan VEBU dan pergi meninggalkan tempat itu. Rasa berat hati meninggalkan tempat yang ia cari seharian penuh untuk menjawab tanda tanya di otaknya.***Sesampainya di kediaman utama, Liana terkejut beberapa penjaga beserta Ana memenuhi kediamannya. Terlihat pula Ratih dan Salma dengan raut wajah khawatir, sekaligus marah tanpa Liana tau apa penyebabnya.“Mengapa semuanya berkumpul di sini?” tanya Liana begitu sampai dan melihat semua orang.Tidak seorang pun membuka bibir mereka untuk
Mendengar perkataan kakaknya, Liana pun mencatat semua yang ia dengar. Sofi tidak lagi mengigau, atau terbangun sedikitpun. Namun, ucapannya itu, jelas membuat Liana merasa sangat penasaran.“Apa yang baru saja diucapkan kak Sofi? Mungkinkah, ingatan itu adalah kejadian yang tidak diketahui oleh siapapun, saat kak Sofi menghilang,” tanya Liana kepada dirinya sembari merapikan selimut Sofi.***Hari sudah berganti. Matahari di atas daratan mungkin sudah terbit saat ini. Tinggal di kota bawah tanah dengan waktu yang sama dengan daratan, membuat semua orang melupakan kenyataan bahwa mereka sudah hidup cukup lama di bawah sana.Dengan sinar matahari yang diserap langsung dari atas, mereka kerap kali tidak sadar bahwa saat ini tengah menjalani kehidupan di dalam bumi.“Selamat pagi,” sapa Ratih sembari membawa sepotong roti.“Apakah kak Sofi masih tertidur?&rdqu
“Mama akan melindungimu, jadi jangan bersuara.” Satu kalimat yang membungkam Sofi selama 5 tahun pertama dia tinggal di planet ini.Selama itulah, dia tidak berkomunikasi dengan siapapun. Bahkan, Sofi kerap kali menangis ketika mendengar bunyi benda keras yang berjatuhan.Kedua orang tua Ana berusaha untuk merawatnya seperti putri mereka sendiri. Namun, apadaya jika seorang anak terus merindukan kasih saying orang tua kandung mereka.“Saat itu, aku sedang menunggu,” ucap Sofi singkat.“Apa yang sebenarnya kakak tunggu?” tanya Liana semakin penasaran.“Mama,” jawab Sofi kemudian meneteskan air mata.Liana kemudian menggenggam kedua tangan Sofi erat. Ia sadar bahwa tidak seharusnya bertanya hal itu, karena akan membuat kakaknya semakin sedih. Namun, Liana ingin Sofi berbagih kesedihan itu dengannya.“Mama berkata,
Semua orang meletakkan pandangannya kepada Sofi. Siapa sangka, jika gadis kecil yang penuh dengan tatapan trauma itu adalah dirinya. Melihat diri kecilnya yang meringkuk di balik pohon, Sofi mengalihkan pandangannya dan mulai mengatur napas.“Apakah semua ini? Mengapa gadis kecil itu adalah kakak?” tanya Liana terkejut dengan raut wajah tidak percaya.Keinginan untuk terus bungkam membuat Sofi bergelinang air mata. “Tidak.” Kata yang saat ini membungkam bibir merah muda itu. Namun, sampai kapan derita itu akan dia tanggung seorang diri.“Itu aku, sekaligus keadaan pertama kaliku ketika menginjakkan kaki di planet ini,” jawab Sofi sembari mentup kedua matanya dengan telapak tangan.“Oh… apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Salma menahan air matanya ketika melihat gadis kecil yang tak lain adalah Sofi.“Saat itu Jack bahkan menghancurkan rumah kami.
Mereka masih berada di ruangan yang sama, sejak terakhir kali tersadar bahwa ada sesuatu yang menanti. Terperosok masuk ke dalam tanah, bahkan tidak terpikirkan oleh mereka.Sekarang, Liana telah menemui sosok yang dipanggil sebagai “Liana” di universe ini. Mereka saling memandang satu sama lain. Begitu juga dengan Salma dan Ratih, raut wajah terkejut itu membuat siapapun ingin tahu apa arti dari semua yang terjadi hingga detik ini.“Hai, aku Liana,” sapa Liana dari universe ke 4.Liana masih terdiam, tidak berucap apapun dan terus memandang gadis seusianya itu. Kali ini, suasana canggung mulai mengusik semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk Sofi.“Canggung sekali, tidak ku sangka akan serumit ini,” gumam Sofi kemudian mendekati kedua Liana itu.Kali ini, Liana mulai maju satu langkah ke depan, untuk memastikan apa yang ia lihat bukan ha
Semua mata terbelalak, melihat puing-puing itu berceceran tanpa arah di angkasa. Untuk menghindari benturan akibat puing-puing tersebut, Sofi mengaktifkan fungsi pengaman pesawatnya.Fungsi aktif…“Kita harus segera mendarat. Akan lebih berbahaya jika benda-benda tanpa tujuan itu menabrak pesawat ini,” ucap Sofi kemudian menarik kemudi pesawat itu.“Sungguh membuatku penasaram,” celetuk Salma, terus memperhatikan keluar pesawat.Lagi-lagi, pesawat itu melesat layaknya pancaran kilat. Mereka tiba di daratan planet tempat seseorang yang Liana cari. Perlahan Liana melepaskan sabuk pengaman dan mengenakan semua alat keamanan yang sudah disiapkan sebelumnya. Begitupun dengan Salma, Ratih, san Sofi.“Huftt… aku merasa bahwa jantungku, tidak baik-baik saja,” keluh Ratih sembari mengelus dadanya dengan raut wajah khawatir.“Kita b