“Siapa kamu?” tanya Liana menghentikan langkahnya, kemudian diam membisu menunggu jawaban penelpon itu.
“Bukankah cukup mudah untuk mengakhiri semua ini. Kamu cukup membunuhku,” jawab penelpon itu tanpa memberitahukan identitas aslinya.
Liana kemudian mulai mengatur napas dan mengangkat wajahnya, bersiap untuk memulai pertarungan ini.
“Mungkin, kamu adalah orang suruhan Jack. Atau, mungkin kamu adalah Jack. Sayang sekali, aku tidak akan membiarkanmu mati dengan sederhana. Tunggulah, aku tidak sabar untuk menyayat tangan kotormu itu,” balas Liana kemudian mematikan ponselnya, dan melanjutkan perjalanan ke perpustakaan dengan percaya diri.
***
“Aku ditugaskan sebagai kepala divisi penyelamatan kota. Apa kamu akan baik-baik saja?” tanya Aji kemudian menyodorkan kopi kepada Liana yang terus membaca tumpukan buku usang milik perpustakaan kota.
Kenyataan bahwa setiap manusia lahir dan hidup dengan takdir yang mereka pikul, membuat Liana tersentak dengan kenyataan. Mendengar ucapan pria berkumis tebal itu, seakan-akan membuat hatinya tercabik-cabik.Kakak yang selama ini ia kagumi sekaligus sangat ia rindukan, menyuruh pria ini untuk membunuhnya. Ruangan kaca itu kini menjadi saksi, bahwa Panji memang benar-benar ingin menghabisi adiknya.“Liana dia berbohong, kak Panji tidak mungkin melakukan itu,” sangkal Aji dengan raut wajah terkejut, sekaligus menoleh kepada Liana.“Aku tidak berbohong. Untuk apa aku berbohong jika itu untuk menyelamatkan nyawa putriku,” ucap pria itu meyakinkan Liana yang terdiam sejak beberapa saat lalu.“Diam,” bentak Aji kemudian menggoyangkan bahu Liana yang tidak mengucapkan sepatah katapun.Liana kemudian berdiri dengan tubuh gemetar, mengucapkan selamat ti
Setelah mendengar berita itu dari Liana, Salma dan ratih kemudian mengaktifkan prototipe VEBU dan segera melaporkan kejadian itu kepada tim evakuasi kota. Sedangkan Liana berusaha kabur dan menghindari percikan magma yang hampir saja membuat bagian tubuhnya terbakar.“Ah, untung saja.” Ia berhenti tepat setelah menjauh beberapa kilo meter menggunakan VEBU. Kini, ia naik jip yang ia naiki sebelumnya. Dalam perjalanan, Liana melihat sebuah kabut tebal menyelimuti seluruh badan jalan, hingga membuatnya menghentikan jip dengan mendadak.Cittt…“Apa ini? Kenapa kabut itu begitu tebal?” tanya Liana bergegas keluar dan memastikan kabut apa yang tengah menghalangi jalannya. Saat ia mulai menyentuh kabut itu, tanpa sadar Liana telah memasuki dunia hampa.Ia kembali melihat 2 aliran sungai, sama seperti kedatangannya pertama kali di tempat ini. “Selamatkan mereka.&
“Apa yang terjadi?” tanya Ratih mundur beberapa langkah setelah mereka kehilangan koneksi dengan Liana.“Cepat, lakukan evakuasi. Cari semua korban akibat dentuman itu, dan temukan Liana,” perintah Salma memimpin tim evakuasi dan bergegas pergi ke tempat terakhir yang disinggahi Liana.Mendengar kabar bahwa Liana menghilang, Sofi kemudian pergi ke laboratorium kota dan menemui Prof. Rendra. Kini, evakuasi akan segera dilakukan, mengingat efek dari dentuman itu begitu kuat.Bagaimanapun juga menyelamatkan lebih banyak nyawa saat ini harus diprioritaskan, dari pada menemukan satu nyawa yang menghilang. Bagaimanapun juga, mereka yakin bahwa Liana akan bertahan dan tetap baik-baik saja hingga bantuan tiba.***6 minggu kemudian…“Apakah unit Kesehatan siap?” tanya Sofi kepada kepala unit kesehatan kota yang sibuk mencatat data pasien.
Reno kemudian menggunakan defibrillator untuk menstimulasi detak jantung Liana agar kembali berdetak. Beberapa kali percobaan, namun belum berhasil. Semua orang berdoa demi kesadaran Liana, dan keajaiban pun mulai muncul.“Detak jantungnya kembali, alat vitalnya juga stabil,” ucap perawat kepada Reno dan membuat semua orang merasa lega.Reno segera mengecek kondisi Liana saat ini. Salma dan Ratih terus menyatukan kedua telapak tangannya dengan bibir yang terus melantunkan doa, berharap Liana akan sadar dan baik-baik saja.“Cahaya apa ini? Terang sekali,” tanya Liana mulai membuka mata satu persatu, kemudian melihat cahaya dari senter kecil yang digunakan Reno.Namun, entah kenapa Liana mengucapkan pertanyaan itu tanpa membuka mulut sedikitpun. Ia hanya bisa membuka mata dan terus berbicara, tanpa mengeluarkan suara.Melihat Liana sadar, Aji kemudi
Tubuh Liana memang tidak bisa bergerak. Ia juga tidak bisa melontarkan perkataan dari bibir merah mudanya. Namun, tetap saja ia terus khawatir kepada prediksi yang terus terpikirkan olehnya.Ketika Ratih membaca pesan Liana melalui isyarat kedipan mata dengan bantuan sandi morse, ia pun berlari dan menuju barak pusat. Melihat Ratih berlari, kini Liana merasa bebannya sedikit terangkat.“Syukurlah, aku bisa menyampaikan pesan itu kepada Ratih. Semoga kita semua bisa mencegah sekaligus mengantisipasi bencana itu.” Setelah memikirkan banyak kemungkinan lain yang ada di dalam otaknya. Liana pun tertidur pulas karena efek dari kondisinya.***“Mama, Liana sudah sadar,” ucap Sofi menghampiri mama yang sibuk mengumpulkan beberapa album foto lama keluarganya.“Syukurlah,” balas mama memegang dada kemudian bersyukur kepada Tuhan, seakan-akan inilah kesempatannya untu
Semua orang kini meletakkan pandangan tajam kepada ponsel Liana. Dengan tangan gemetar, Liana mencoba menguatkan diri walaupun ia baru terbangun dari kondisi yang menentukan hidup dan matinya.“Izinkan aku untuk menjawab penelpon gelap itu,” pinta Aji mengulurkan tangan dengan tatapan khawatir melihat kegelisahan di mata Liana.“Tidak Aji, ini antara aku dan dia,” balas Liana mencoba menguatkan diri dengan menghela napas dan mulai menegakkan bahu.Awalnya Liana mengira bahwa semua ancaman itu datang untuknya. Namun setelah semua peristiwa yang ia alami, Liana sadar bahwa Jack kini tidak hanya mengincar dirinya.“Aku akan terus hidup, hingga tugasku selesai,” jawab Liana mendekatkan bibirnya ke ponsel dengan percaya diri.“Tentu, kamu akan terus hidup. Karena aku membutuhkanmu, untuk menyelesaikan semua misiku.”
Bloommm… Semua orang yang mendengar pengumuman dengan sirene darurat itu kemudian bergegas untuk berlindung. Sirene darurat dibuat untuk tanda bahaya serius, yang hanya boleh dibunyikan disaaat seperti ini. Liana memeluk Loli erat sembari menutup semua cela barak yang tersisa. Loli yang ketakutan terus memeluk Liana sembari memejamkan matanya. Semilir angin yang tadinya menyejukkan, kini berhembus begitu kuat dan kencang. “Bertahan!” teriak Liana melalui walkie talkie yang terhubung ke semua barak di posko ini. Bloomm… Suara ledakan itu menggelegar di seluruh penjuru. Menyadari hal itu, Liana memasang pagar pelindung diseluruh posko. Alhasil, karena alat itu semua yang ada di ruang lingkup posko masih tetap aman. “Liana, apa kamu baik-baik saja?” tanya Salma melalui walkie talkie. “Aku baik-baik saja. Te
Kini, hanya Liana yang bisa menjelaskan semua kejadian itu. Namun, di dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Liana tidak ingin mengatakan sesuatu yang membuat orang lain cemas, namun kali ini nashi dunia akan ditentukan melalui ucapannya.“Benar, danau Toba memanglah hanya sebuah danau indah. Namun, pada awalnya danau Toba merupakan super volcano yang meletus hebat hingga memicu bencana global. Setelah itu kaldera Toba tertutup bebatuan beku di dasar danau tersebut. Dari pengamatan yang sudah saya lakukan, aktifnya gunung itu dipicu oleh alat pemusnah massal,” jelas Liana menggenggam tangannya erat-erat ketika dia memutuskan untuk menunda kelanjutan dari penjelasannya.Semua orang yang mendengar hal itu, kini menghela napas dan terus bertanya-tanya. Meskipun sebagian tidak mempercayai kenyataan yang telah diungkap oleh Liana, bukti tentang ledakan dan kepulan asap itu meyakinkan akal sehat mereka, bahwa kini bencana ini
Salma kemudian mencabut sebuah kabel agar video itu berhenti, sebelum Liana melakukan hal yang tidak bisa dicegah. Semua orang terdiam dan terus memperhatikan Liana.“Aku akan membunuhnya,” ucap Liana kemudian mengaktifkan senjata andalan yang pernah ia siapkan bersama Panji, selama ada di bumi.Melihat itu, Sofi memeluk Liana dan berusaha menenangkannya. Sofi tahu, bahwa alat itu bahkan bisa menembak mati seekor godzila dengan sekali tembakan. Alat itu, dibuat khusus dan hanya Liana yang bisa memakainya.“Ada apa denganmu? Mereka hanya memancingmu Liana. Tidak mungkin, Aji dan Panji dalam kondisi itu,” jelas Sofi terus memeluk Liana.“Apa kakak tuli? Kak Panji jelas-jelas memanggil kakak, dan kini kakak memintaku untuk mengabaikannya? Apa kakak waras,” tanya Liana.Liana melontarkan pertanyaan itu sembari melepaskan pelukan Sofi. Ia berusaha menyembunyikan
Alat buatan Liana telah selesai. Alat berkilau yang ia kerjakan selama 13 jam non stop itu, akan menjadi salah satu komponen terpenting dalam sejarah penyelamatan planet ini.“Astaga, kenapa alat ini bisa berkilau?” tanya Ratih.“Ini adalah sebuah trik,” jawab Liana kemudian membawa alat itu dan pergi ke pusat teknologi kota.Salma dan Ratih bergegas mengikuti Liana. Mereka sadar bahwa saat ini, pilihan hidup mereka hanyalah membantu Liana dan kembali ke bumi bersama Aji dan Panji.***Proses evakuasi kota masih terus dilakukan. Semua penduduk diberi alat pelindung diri yang sudah dirancang khusus, untuk melindungi diri jika kota ini berhasil di ambil alih.“Tenanglah, Ana. Mereka berusaha memprovokasimu,” ucap Sofi terus memantau keadaan di luar sana.Sembari terus memantau lapisan keamanan, Ana mengaktifkan semua perlin
Semua orang berkumpul di kediaman utama, termasuk Ana dan penjaga kota. Setelah bedebat dengan kakaknya, Liana terkejut mendengar sirine diikuti dengan sensor merah yang menyala dimana-mana.“Apa yang terjadi?” tanya Ratih terkejut sembari menggenggam tangan Salma.“Mereka datang!” teriak salah seorang penjaga yang tergesa-gesa masuk ke kediaman utama.“Situasi darurat, amankan kota!” perintah kepala penjaga kota kemudian berlari keluar.Tanpa mengatakan sepatah kata, Ana berlari keluar dan segera menuju ke pusat teknologi. Entah apa yang akan terjadi, Sofi menarik tangan Liana dan melarangnya untuk ikut campur.“Liana dengarkan aku,” perintah Sofi sembari memegang tangan Liana.“Apa yang kakak lakukan? Kita harus mengikuti Ana,” tanya Liana terkejut ketika Sofi menghentikan langkahnya.“Tidak! Kamu tidak boleh ikut campur. Ka-k
Tiba-tiba suara larangan terdengar. Suara yang tidak asing bagi Liana, namun ia sendiri tidak tahu suara siapa itu. Liana terus memegang liontinnya erat-erat. Berharap sesuatu yang buruk tidak terjadi. Namun…“Pergilah Liana. Lari… cepat….” Teriakan larangan itu kembali mengusik Liana.Tanpa tahu apa arti dari suara itu, Liana dengan cepat mengaktifkan VEBU dan pergi meninggalkan tempat itu. Rasa berat hati meninggalkan tempat yang ia cari seharian penuh untuk menjawab tanda tanya di otaknya.***Sesampainya di kediaman utama, Liana terkejut beberapa penjaga beserta Ana memenuhi kediamannya. Terlihat pula Ratih dan Salma dengan raut wajah khawatir, sekaligus marah tanpa Liana tau apa penyebabnya.“Mengapa semuanya berkumpul di sini?” tanya Liana begitu sampai dan melihat semua orang.Tidak seorang pun membuka bibir mereka untuk
Mendengar perkataan kakaknya, Liana pun mencatat semua yang ia dengar. Sofi tidak lagi mengigau, atau terbangun sedikitpun. Namun, ucapannya itu, jelas membuat Liana merasa sangat penasaran.“Apa yang baru saja diucapkan kak Sofi? Mungkinkah, ingatan itu adalah kejadian yang tidak diketahui oleh siapapun, saat kak Sofi menghilang,” tanya Liana kepada dirinya sembari merapikan selimut Sofi.***Hari sudah berganti. Matahari di atas daratan mungkin sudah terbit saat ini. Tinggal di kota bawah tanah dengan waktu yang sama dengan daratan, membuat semua orang melupakan kenyataan bahwa mereka sudah hidup cukup lama di bawah sana.Dengan sinar matahari yang diserap langsung dari atas, mereka kerap kali tidak sadar bahwa saat ini tengah menjalani kehidupan di dalam bumi.“Selamat pagi,” sapa Ratih sembari membawa sepotong roti.“Apakah kak Sofi masih tertidur?&rdqu
“Mama akan melindungimu, jadi jangan bersuara.” Satu kalimat yang membungkam Sofi selama 5 tahun pertama dia tinggal di planet ini.Selama itulah, dia tidak berkomunikasi dengan siapapun. Bahkan, Sofi kerap kali menangis ketika mendengar bunyi benda keras yang berjatuhan.Kedua orang tua Ana berusaha untuk merawatnya seperti putri mereka sendiri. Namun, apadaya jika seorang anak terus merindukan kasih saying orang tua kandung mereka.“Saat itu, aku sedang menunggu,” ucap Sofi singkat.“Apa yang sebenarnya kakak tunggu?” tanya Liana semakin penasaran.“Mama,” jawab Sofi kemudian meneteskan air mata.Liana kemudian menggenggam kedua tangan Sofi erat. Ia sadar bahwa tidak seharusnya bertanya hal itu, karena akan membuat kakaknya semakin sedih. Namun, Liana ingin Sofi berbagih kesedihan itu dengannya.“Mama berkata,
Semua orang meletakkan pandangannya kepada Sofi. Siapa sangka, jika gadis kecil yang penuh dengan tatapan trauma itu adalah dirinya. Melihat diri kecilnya yang meringkuk di balik pohon, Sofi mengalihkan pandangannya dan mulai mengatur napas.“Apakah semua ini? Mengapa gadis kecil itu adalah kakak?” tanya Liana terkejut dengan raut wajah tidak percaya.Keinginan untuk terus bungkam membuat Sofi bergelinang air mata. “Tidak.” Kata yang saat ini membungkam bibir merah muda itu. Namun, sampai kapan derita itu akan dia tanggung seorang diri.“Itu aku, sekaligus keadaan pertama kaliku ketika menginjakkan kaki di planet ini,” jawab Sofi sembari mentup kedua matanya dengan telapak tangan.“Oh… apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Salma menahan air matanya ketika melihat gadis kecil yang tak lain adalah Sofi.“Saat itu Jack bahkan menghancurkan rumah kami.
Mereka masih berada di ruangan yang sama, sejak terakhir kali tersadar bahwa ada sesuatu yang menanti. Terperosok masuk ke dalam tanah, bahkan tidak terpikirkan oleh mereka.Sekarang, Liana telah menemui sosok yang dipanggil sebagai “Liana” di universe ini. Mereka saling memandang satu sama lain. Begitu juga dengan Salma dan Ratih, raut wajah terkejut itu membuat siapapun ingin tahu apa arti dari semua yang terjadi hingga detik ini.“Hai, aku Liana,” sapa Liana dari universe ke 4.Liana masih terdiam, tidak berucap apapun dan terus memandang gadis seusianya itu. Kali ini, suasana canggung mulai mengusik semua orang yang ada di ruangan itu, termasuk Sofi.“Canggung sekali, tidak ku sangka akan serumit ini,” gumam Sofi kemudian mendekati kedua Liana itu.Kali ini, Liana mulai maju satu langkah ke depan, untuk memastikan apa yang ia lihat bukan ha
Semua mata terbelalak, melihat puing-puing itu berceceran tanpa arah di angkasa. Untuk menghindari benturan akibat puing-puing tersebut, Sofi mengaktifkan fungsi pengaman pesawatnya.Fungsi aktif…“Kita harus segera mendarat. Akan lebih berbahaya jika benda-benda tanpa tujuan itu menabrak pesawat ini,” ucap Sofi kemudian menarik kemudi pesawat itu.“Sungguh membuatku penasaram,” celetuk Salma, terus memperhatikan keluar pesawat.Lagi-lagi, pesawat itu melesat layaknya pancaran kilat. Mereka tiba di daratan planet tempat seseorang yang Liana cari. Perlahan Liana melepaskan sabuk pengaman dan mengenakan semua alat keamanan yang sudah disiapkan sebelumnya. Begitupun dengan Salma, Ratih, san Sofi.“Huftt… aku merasa bahwa jantungku, tidak baik-baik saja,” keluh Ratih sembari mengelus dadanya dengan raut wajah khawatir.“Kita b