"Jack. Rani udah sadar."Janu langsung mematikan sambungan telepon dan bergegas menuju ke rumah sakit. Sebelum berangkat, dia sudah menitipkan Nadine kepada Inah, dan berpesan agar segera menghubungi jika terjadi sesuatu. Istrinya sudah meminta untuk pulang ke rumah orang tua, tetapi dia masih menahan. Rencananya nanti sekalin mendekati hari lahiran.Mobil Janu melaju membelah jalanan ibu kota yang siang ini padat, sehingga harus extra sabar jika terkena macet. Lalu lalang kendaraan yang saling berebutan dan tak sabar ingin mendahului satu dengan yang lain, menjadi pemandangan lumrah di setiap harinya. Sepanjang perjalanan, ada sedikit rasa lega di hatinya saat menerima telepon tadi. Paling tidak, dengan sadarnya Rani mengurangi rasa khawatir mereka. "Sini."Andreas menarik lengannya, lalu membawa lelaki itu masuk ke ruangan intensif. Mereka menuju bed tempat Rani berbaring. Beberapa selang masih menempel di tubuhnya. Wanita itu lemah, hanya saja ketika melihat Janu mendekat, bibirny
Ruangan praktik dokter yang kali ini mereka datangi berkesan mewah dengan design interior yang mewah. Sama seperti dokter lainnya, ada banyak poster mengenai kesehatan kandungan dan organ intim wanita. Hanya saja, wallpaper-nya gelap, karena didominasi warna hitam. "Malam, Dokter Arjuna." Mereka menyapa."Panggil Juna saja." Arjuna tersenyum manis, menampilkan sebuah lekukan di sudut pipinya. "Silakan duduk." Nadine dan Janu duduk berhadapan dengan dokter yang akan memeriksanya hari ini. Arjuna, itulah nama spesialis kandungan yang mereka datangi. Atas rekomendasi Abraham, akhirnya mereka sepakat datang ke sini. Dokter Arjuna mulai bertanya. Diawali dengan riwayat kehamilan Nadine sebelumnya. Cukup kaget saat wanita itu mengatakan bahwa mereka hampir satu tahun menikah dan belum dikarunia momongan."Kita periksa dulu ya, Ibu Nadine?" Arjuna memastikan nama pasiennya. Matanya menatap wajah manis di hadapannya. Entah mengapa dia malah jadi berdebar. Nadine mengangguk. Lalu berjalan
Andreas memandang wajah sendu yang sejak tadi diperiksanya. Bibirnya masih pucat dengan tubuh yang masih lemah. Walaupun sudah ada sedikit rona merah di wajahnya. Rani memasrahkan diri saat cairan bening itu disuntikkan ke infusnya. Menimbulkan denyut pada bagian yang tertanam jarum di kulit gadis itu."Sakit?" Andreas bertanya. Ada rasa iba dalam hatinya saat melihat wanita itu memejamkan mata hingga dahinya berkerut. Jenis obat ini memang menimbulkan rasa nyeri setiap kali disuntikkan. Rani mengangguk. Matanya menatap pada lelaki tampan berjas putih di hadapannya. Ada stetoskop yang menggantung di lehernya. Wajahnya putih bersih. Andreas merupakan sosok yang tenang dan teratur. Ada rambut halus yang tumbuh di sekitar rahang kokohnya. Juga kacamata yang membingkai wajah, membuatnya terlihat smart."Jangan banyak gerak dulu. Kalau cepat pulih, nanti suster bawa jalan keluar pakai kursi roda, ya.""Masih lama disini?" ucap Rani terbata."Masih lama. Nanti tiap hari ketemu aku," jawa
Perawat itu menjelaskan sambil mendorong kursi roda mengelilingi sebagian kawasan rumah sakit. Kebetulan bagian gedung ini berdekatan dengan kamar perawatan Rani sehingga mereka bebas berjalan-jalan."Ini gedung belakang. Sudah lapuk, tapi belum di enovasi. Jadi kami biarkan saja." Rani meminta diajak keluar karena dia merasa bosan berada di kamar seharian. Sudah hampir satu bulan dia berada di rumah sakit dan Andreas belum mengizinkannya pulang. "Dokter Janu belum datang, ya?" Rani bertanya. Sejak tadi pagi dia menunggu hingga petang ini, namun sosok sang pujaan hati belum nampak batang hidungnya. "Belum ada, Dokter. Kangen, ya?" goda si perawat. Melihat binar indah di mata Rani setiap kali lelaki itu datang, membuatnya tahu bahwa ada hati yang menyimpan sekuntum rindu. Hanya saja, sepertinya wanita itu menempatkannya pada orang yang salah."Ah, enggak," jawab Rani malu. "Masa sih?"Rani tersipu malu, lalu menjawab. "Dia udah punya istri."Sang perawat tersenyum. Benar sesuai du
Rani memandang wajah tampan yang sedari tadi membantunya makan. Matanya menatap mesra dengan penuh kerinduan. Dia ingin, tangan itu merengkuhnya dalam dekapan.Setelah berjalan-jalan melihat gedung lama rumah sakit ini, mereka kembali ke kamar. Andreas segera berpamitan pulang ketika melihat Janu datang. Lelaki itu dengan sigap membantu Rani duduk di pinggir ranjang. Ada yang berdenyut dalam hati Andreas ketika melihat itu. Rani bergelanyut manja dengan melingkarkan kedua lengannya di bahu Janu. Dia membuang pandangan, saat lelaki itu malah membalas tatapannya dengan senyuman. Andreas tahu, rasanya bertepuk sebelah tangan. Namun, status Janu sudah menikah. Jadi kemungkinan untuk mendekati Rani masih ada. Dengan langkah gontai, Andreas berjalan keluar dan menutup pintu kamar tempat Rani dirawat. Lelaki itu bersenandung kecil saat berjalan menuju parkiran, menghibur luka hatinya sendirian.Sementara itu, suapan terakhir makanan sudah lolos masuk ke mulut Rani. Tadi, dia sengaja berma
"Jack. Ke ruangan Rani, sekarang!"Secepat kilat Janu menghabiskan makanannya dan menuju ruang rawat inap. "Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Janu keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Janu akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Sementara itu Janu berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud. Pikirannya berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Lelaki itu berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Rani yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Janu datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang s
Andreas mematung saat mendengarkan perbincangan dua orang tadi. Dari arah yang berlawanan dia datang hendak mengunjungi Rani. Dua orang tadi itu mungkin tidak menyadari kehadirannya karena sedang serius membicarakan sesuatu. Namun, dia cukup jelas mendengar semua ucapan mereka hingga bagian yang terakhir."Nak Dokter, ini cuma status. Siapa yang mau menikahi perempuan cacat. Saya juga juga ndak bisa melindungi dia terus-terusan."Ada yang tertohok di hati Andreas saat mendengar kata-kata itu. Seakan cinta yang baru tumbuh di hati harus layu sebelum bunganya mekar. Kalau diizinkan, biarlah dia yang menjadi penyelamat agar Rani bisa terus bertahan hidup dengan kondisinya yang cacat. Sayang, wanita itu tak melirik ke arahnya. Sekalipun dia sudah berusaha mati-matian menunjukkan kepeduliannya. Mungkin, bagi Rani perhatian yang dia berikan hanya sebatas tanggung jawab profesi. Padahal dia tak pernah berlaku seperti itu kepada pasiennya yang lain."Dokter Andreas?" tanya Rahmat saat meliha
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Dokter?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster," kata Rani. Dia tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Rani diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Andreas sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. Andreas tampak berat hati saat akan menanda-tanganinya. Namun, dia sudah merencanakan akan mengunjungi Rani di hari libur sebagai bentuk tanggung-jawab
Sedari tadi Janu merasa gelisah. Mondar mandir di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Lelaki itu ingin mendampingi istrinya, tetapi dilarang masuk. Janu berulang kali menggosok kedua tangan, kemudian mengusap wajah. Lelaki itu juga sesekali meremas rambut, mirip seperti seseorang yang sedang frustrasi. Sudah satu jam dia menunggu bersama Raka. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Ketika terdengar suara teriakan kesakitan dari dalam ruangan, jantung Janu serasa hendak melompat keluar. Raka menegur menantunya karena melihat lelaki itu gelisah sedari tadi. "Janu, duduk!" tegurnya sekali lagi. Janu menoleh tanpa berucap, kemudian duduk di sebelah papa mertuanya. Lelaki itu hanya terdiam dan enggan berbicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa."Tenang." Raka menepuk bahu menantunya."Nadine kesakitan, Pa. Harusnya dia gak usah lahiran normal. Operasi aja.""Doakan, dia sedang berjuang.""Pa--" Janu m
Dua bulan kemudian.Dua orang itu bergandengan tangan saat memasuki gedung resepsi. Pernikahan mewah yang tentunya memakan biaya yang tidak sedikit. Sang pengantin tampak bahagia bersanding di pelaminan. "Rani cantik ya, Mas." Reisa berbisik di antara suara bising orang-orang yang bercakap. Juga suara musik yang mengalun mengiringi acara. Wanita itu berjalan kesulitan karena perutnya yang semakin membesar."Akhirnya dia dapat jodoh yang cocok. Gue nggak nyangka Dokter Andreas bisa meluluhkan hatinya," kata Janu. Matanya tak lepas menatap panggung megah di hadapannya. Sementara itu tangannya sibuk memasukkan makanan ke dalam mulut. "Jodoh setiap orang udah tertulis Lauhul Mahfuz. Kita gak tau dipertemukan dengan siapa. Gimana awal bermulanya. apakah baik atau enggak," kata Nadine bijak."Sama kayak kamu sama aku." Janu mengedipkan mata menggoda istrinya. Nadine tertawa geli kemudian memukul lengan suaminya. Untung saja makanan di piring Janu tidak ada yang berhamburan. Sengaja mere
Nadine menggeliat merasakan sesuatu yang geli di pipi, juga embusan napas di telinganya. Apakah dia sedang bermimpi bahwa ada seseorang yang menyentuhnya. Namun, ini terasa nyata. "Bangun, Bumil. Bobok terus." Jemari Janu mengusap wajah istrinya, membelai lembut dengan penuh kasih sayang. Bibirnya mengecup lembut pelipis Nadine, yang rambutnya begitu harum. Nadine membuka mata. Samar-samar melihat sosok lelaki yang beberapa hari ini dia rindukan. Setelah telepon waktu itu dengan papanya, Janu bahkan menghilang dan tak menghubunginya sama sekali. Nadine sempat merasa kesal, tetapi dia memilih untuk diam. Suasana hatinya sedang tidak baik, jika galau malah membuat badannya terasa tidak enak."Kamu datang?" Nadine menatap lekat wajah tampan di depannya dengan penuh kerinduan. Matanya sempat melirik ke arah dinding yang menunjukkan jam sembilan malam lewat lima belas menit. "Iya, dong. Kangen." Sebuah kecupan mendarat di bibir mungil Nadine. Janu ingin bermain lama di situ. Namun, m
Ada yang berbeda pagi ini. Suara denting sendok dan garpu di meja makan masih seperti biasa, tapi entah mengapa terasa hambar. Janu beberapa kali melirik ke arah istrinya. Juga Inah yang sedari tadi terdiam menyiapkan sarapan pagi ini. Biasanya suara mereka riuh sekali, berisik saling bersahutan. Kali ini diam membisu, sibuk masing-masing tak saling menyapa. Janu tahu, ada sesuatu yang tak beres di rumah ini. Kemarin masih baik-baik saja. Hanya terasa berbeda saat malam ketika Nadine mendiamkannya. Dia juga tahu, hanya memilih untuk menunggu. Istrinya tak pernah marah terlalu lama. Biasanya hanya sebentar, setelah itu mereka berbaikan."Bik Nah. Nasi goreng masih ada, nggak?" Janu bertanya. Setelah dia mengucapkan itu, tiba-tiba saja Nadine meletakkan sendok dan langsung berjalan ke dalam tanpa berucap kata.Jika Nadine memang marah kepadanya, kenapa dia juga mendiamkan Inah. Janu memilih untuk tetap melanjutkan makan. "Nadine kenapa, Bik?" "Anu, Den--" Inah tak dapat melanjutkan u
Andreas menutup panggilan dengan hati riang. Setelah salah satu perawat mengirimnya pesan mengenai kondisi Rani yang semakin menurun setelah kepulangannya dari rumah sakit, dia segera bertindak.Jadwal operasi masih setengah jam lagi. Dia sendiri sedang berada di ruang ganti dan memakai pakaian kebesaran mereka, seragam hijau. Pikirnya, mungkin dengan menelepon, Ranimau menuruti perintahnya. Selain itu, mendengar suara sang pujaan hati juga dapat mengobati rindunya yang terpendam selama tiga hari ini."Lagi jatuh cinta ya, Dokter?" tanya salah seorang perawat anastesi yang akan mendampinginya nanti di ruang bedah. "Sok tahu kamu." Andreas memalingkan wajah, malu dengan kelakuannya yang sedari tadi tersenyum melihat layah ponsel. Di kontaknya juga beberapa akun media sosial. Rani sengaja memasang foto profile yang sangat cantik sebelum kecelakaan itu terjadi. Wanita itu terlihat sedang berdiri di belakang sebuah bangunan megah ciri khas salah satu kota di sebuah negara di luar negeri
"Dokter makan, ya." Si perawat menyodorkan sesuap nasi ke mulut Rani. Wanita itu menolak karena tak berselera sama sekali. Sudah tiga hari di pulang ke rumah, tapi tak sekalipun Janu datang menjenguk. Wanita itu mencoba menelepon tetapi lambat direspons. Pesan yang dia kirim juga hanya dibaca. Lelaki itu sepertinya tak berniat membalas."Nanti Dokter sakit." Rani membuka mulut dengan terpaksa. Jika tidak makan maka tubuhnya akan lemas. Namun, semua makanan yang masuk ke mulut tak ada rasanya. "Nak" Rahmat menghampiri mereka yang sedang makan di taman belakang. Si perawat berinisiatif untuk membawa Rani keluar, setelah setelah dua hari mengurung diri di kamar.Melihat hal itu, seisi rumah menjadi bingung dibuatnya. Setelah tak ada Janu, Rani seperti kehilangan semangat hidup."Kok ndak habis makannya?" Rahmat mengambil tempat duduk di sebelah Rani, saat melihat piring yang isinya masih banyak. Bahkan setengahnya pun belum habis dan itu membuatnya bingung."Malas makan, Pak," jawab
Keesokan harinya.Beberapa orang di ruangan itu tampak sibuk membereskan barang-barang. Sementara wanita yang duduk di kursi roda hanya terdiam menatap kesibukan yang terjadi di depan matanya. Dia ingin membantu, hanya kondisinya tak memungkinkan. "Ini mau dibawa, Dokter?" tanya si perawat sambil menunjukkan sebuah handuk kecil yang tergeletak di nakas."Yang kecil-kecil tinggalin aja, Suster," kata Rani. Dia tak mau mobil nantinya penuh dengan barang yang sudah pasti tidak akan dipakai saat pulang ke rumah. Sebagian bahkan pemberian rumah sakit yang merupakan bagian dari fasilitas selama dirawat di sana.Si perawat dengan cekatan memasukkan dan menyusun rapi semua barang ke dalam tas. Hari ini Rani diizinkan pulang ke rumah karena kondisi fisiknya sudah pulih. Dokter Andreas sejak pagi sudah memberikan surat pengantar kepulangannya. Andreas tampak berat hati saat akan menanda-tanganinya. Namun, dia sudah merencanakan akan mengunjungi Rani di hari libur sebagai bentuk tanggung-jawab
Andreas mematung saat mendengarkan perbincangan dua orang tadi. Dari arah yang berlawanan dia datang hendak mengunjungi Rani. Dua orang tadi itu mungkin tidak menyadari kehadirannya karena sedang serius membicarakan sesuatu. Namun, dia cukup jelas mendengar semua ucapan mereka hingga bagian yang terakhir."Nak Dokter, ini cuma status. Siapa yang mau menikahi perempuan cacat. Saya juga juga ndak bisa melindungi dia terus-terusan."Ada yang tertohok di hati Andreas saat mendengar kata-kata itu. Seakan cinta yang baru tumbuh di hati harus layu sebelum bunganya mekar. Kalau diizinkan, biarlah dia yang menjadi penyelamat agar Rani bisa terus bertahan hidup dengan kondisinya yang cacat. Sayang, wanita itu tak melirik ke arahnya. Sekalipun dia sudah berusaha mati-matian menunjukkan kepeduliannya. Mungkin, bagi Rani perhatian yang dia berikan hanya sebatas tanggung jawab profesi. Padahal dia tak pernah berlaku seperti itu kepada pasiennya yang lain."Dokter Andreas?" tanya Rahmat saat meliha
"Jack. Ke ruangan Rani, sekarang!"Secepat kilat Janu menghabiskan makanannya dan menuju ruang rawat inap. "Mau ke mana, Dokter?" tanya perawatnya ketika melihat Janu keluar begitu saja dari ruangan dengan tergesa-gesa. Jarum jam dinding menunjukkan pukul lima sore lewat dua puluh tujuh menit. Jamnya pulang bagi semua karyawan. Namun, biasanya Janu akan keluar kantor pukul tujuh malam untuk menghindari macet. "Saya harus ke ruangan rawat inap sekarang."Sementara itu Janu berjalan cepat menuju ruangan yang dimaksud. Pikirannya berkecamuk. Telepon tadi membuat konsentrasinya buyar. Ponselnya kembali berbunyi. Dia sudah tahu siapa yang menelepon, hanya mengabaikannya. Lelaki itu berbelok arah di bagian tengah gedung ini. Dia tentunya sudah hapal setiap bagian dari rumah sakit. Hanya kali ini, bukan Rani yang akan dia temui.Pintu kamar pasien itu terbuka. Melihat Janu datang wanita itu langsung menangis sesegukan. Lelaki itu mendekati bed pasien. Di sana terbaring sosok cantik yang s