Aricia kini memandangi Pangeran dengan raut merasa bersalahnya. "Asvaldr kenapa kau tidak mengatakannya dari awal?" celetuk Aricia berbicara sendiri. "Karena aku baru bisa melakukan telepati padamu, Dasar Bodoh." "Satu hal lagi, bukankah tadi Pangeran itu bilang jika dia baru bertemu Ratu dari Plumeria itu? bukankah Duke juga sedang pergi menuju perbatasan Plumeria dan Helian?" "Apa yang tengah kau coba katakan?" "Pikirkan lagi, apakah kebetulan ini terlalu aneh?"Aricia tidak lagi menanggapi ucapan Asvaldr yang menggema dibenaknya itu. Aricia beranjak meski ia dicegah oleh Pangeran Alphonse. Ia menatap Pangeran itu dengan tatapan datarnya. "Aku harus kembali," ucap Aricia dingin. "Baiklah, kita bisa tunda makan malamnya, di lain waktu," ucap Pangeran dengan senyuman tenangnya. Aricia memberi hormat pada Sang Pangeran kemudian pergi tanpa sepatah kata apa pun. Pikirannya berkecamuk karena memikirkan Ratu Clara yang memang memiliki kebencian padanya, meski Aricia tahu tipuan dari
Aricia menerjabkan kedua matanya. Pandangan yang ia lihat pertama kali adalah bintang-bintang kerlip pada langit yang gelap. Aricia terbangun saat malam hari, ia masih berada disebuah kapal pengangkut batu bara yang akan menuju kerajaan Plumeria. Ia keluar menuju geladak, suasana kapal yang sepi kecuali awak kapal yang masih terjaga dianjungan. "Nona, ini sudah malam, kapal tiba di Plumeria saat subuh nanti," ucap Awak Kapal yang kebetulan berjalan melintasi Aricia. "Aku hanya ingin bersantai," sahut Aricia. "Kalau begitu ambillah, meski kain selimut ini berasal dari bahan domba yang tak berkualitas sehingga tipis," ucap Awak Kapal itu. Aricia mengangguk sembari meraih kain itu. "Terima kasih." Aricia berucap sembari berjalan lebih jauh sembari menyelimuti dirinya dengan kain tipis yang didapatkan dari awak kapal. Angin malam menerpa membuat rambut panjang bergelombangnya ikut bertiup. Aricia memandangi lautan luas tanpa ujung. Ia menghela napas, untuk merasakan perasaannya yan
"Nak, minumlah," ucap Tabib Gilovich sembari meneteskan air pada bibir Aricia yang mengering."Aku ... aku di mana?" tanya Aricia dengan suara paraunya. Pria itu menyentu dahi Aricia kemudian kembali duduk di bangku yang ada didekat ranjang kasu itu. Pria berjubah putih menatap Aricia tajam dan tak bersahabat meski sikapnya baik hati padanya. "Kau cukup bodoh mendatangi Negara yang paling membenci keberadaanmu, seharusnya kau sudah mati,"desak Pria Tua itu.Aricia tertegun, kedua matanya merjab terkejut tak kala ketika Pria Tua itu tampak mengenalnya dengan baik. Kala Aricia masih terkejut panel menampilkan dekripsi pemberitahuan mengenai Pria Tua itu. [Pemimpin Markas Penyembuhan, Tabib Agung Gilovich, Sang Healer tertinggi]. Aricia menghela napas cukup panjang karena orang yang paling ia temui sejak dulu ada dihadapannya. Beruntung selama ini Aricia sering membaca mengenai dirinya dari Afokrifa. Aricia tak mengelak karena keputusannya mendatangi Plumeria memang karena hendak menem
"Apa maksud dari semua ini?" tanyanya heran."Itu adalah upacara pengukur energi seorang Healer, setiap lukisan sudah dimanterai untuk mengetahui potensimu dan sebenarnya kau punya Energi yang hampir menyeimbangi seorang Dewa." Tabib Gilovich menjawab sembari duduk disalah satu bangku. "Tapi tampaknya kau lupa menggunakan kekuatanmu, maka aku akan melatihmu lagi," ucapnya. "Aku ingin menanyakan satu hal juga," ucap Aricia."Katakan, aku tak suka berbasa basi.""Apa kau tahu mengenai kematianku?" tanya Aricia dengan pandangan mata yang serius, ia tau jika Tabib Agung Gilovich mengetahui kebenaran dari semua ini. Setidaknya itulah dugaan Aricia karena menganggap Tabib Gilovich sebagai salah satu yang berpengaruh. Tabib Agung Gilovich menatap Aricia. "Kau memang kembali tapi seolah jadi orang lain." Pria Tua itu berucap sembari beranjak berdiri dan mengibas ujung lengan jubahnya yang lebar itu. "Bergegaslah, latihan akan dimulai," ucap Pria itu sembari beranjak pergi.Sepeninggalan Tabi
"Nak, Gracewill terakhir terlihat lima tahun lalu, itupun karena Kepala Keluarga Gracewill dipanggil Yang Mulia Clara untuk melaporkan kematian dari Putri Termuda mereka yang berbakat itu," jawab Sang Nenek."Mengapa semua orang membenci Gracewill?" tanya Aricia."Itu karena ... Putri Termuda mereka jadi Healer paling berbakat disepanjang sejarah, ia dibenci karena kemampuannya yang luar biasa hebat bukan karena kesalahannya." Nenek itu tersenyum. "Satu kesalahan saja akan diingat oleh manusia meski kau membuat seribu kebaikan sekalipun, itulah yang membuat Iblis mudah menyerang kita." Nenek itu melambaikan tangannya kala Aricia memulai perjalanannya. Aricia menggunakan petunjuk Sang Nenek untuk pergi menuju kediaman Gracewill. Kala itu hari nyaris menjelang petang, Aricia tiba di tengah hutan belantara. Pepohonan wisteria tumbuh subur di sekitar hutan ini. warna kelopak magenta yang gugur memenuhi sepanjang jalanan setapak menuju ke sebuah kediaman.Aricia mendadak gugup karena temp
"Jangan mencoba lebih mahir dariku atau Emily," cibir Gadis itu. "Akulah yang akan lolos jadi lulusan terbaik Healer," ucap Gadis itu dengan tatapan sinisnya. Kemudian meninggalkan Aricia yang mematung di ruang tamu."Apa ... yang baru saja terjadi?" gumam Aricia masih memengangi pipinya sendiri. Demi menyelesaikan Quest agar bisa kembali ke alur dunia ini, Aricia menghela napas dan membiarkan rasa berdenyut di pipi usai diberi tamparan oleh Karina. Aricia menatap kediaman mewah ini kemudian berjalan keluar dari ruang tamu. Ia mendapati para pelayan sibuk mengurusi seisi mansion, ada yang sedang membukakan pintu untuknya, ada yang berjalan membawa hidangan makanan dan ada yang sedang mengelap vas-vas kaca yang mahal itu. Aricia menghela napas. Ia sadar jika Aricia di dunia ini benar-benar anak seorang bangsawan yang hidupnya tragis. "Aku ... benar-benar tak menyangka, sebenarnya apa yang Babushka itu hendak perlihatkan padaku?" tanya Aricia seorang diri. Aricia pu mendatangi ruang
"Ayah, tunggu!" teriak Aricia sembari bangkit berdiri. Ia berjalan menghadapi ayahnya dikala Earl Gracewill baru saja hendak meninggalkan ruang makan. "Aku anakmu, katakan kepadaku kenapa aku selalu dianggap tabu dan aneh?" tanya Aricia. Ia pikir hanya itulah satu-satunya cara untuk mendapatkan informasi mengenai dirinya saat ini agar bisa mengetahui teka-teki dari Babushka. Babushka yang sedari tadi menunduk dan patuh terhadap tuannya mulai tertawa usai mendengar pertanyaan dari Aricia. "Kedua mata merah kutukan, katakan Earl ... Putri bungsumu tiada memiliki warna mata warisan dari Gracewill melainkan mata dari Sang Iblis," celetuk Babushka. "Oh, aku mulai bosan mendengar hal itu," sahut Aricia. "Kau menyadari permainan waktu ini?" tanya Babushka. Aricia tersenyum miring. "Ini masa lalu bukan? kau mau menunjukkan bagaimana hidup Aricia sebelum ini atau ... kau mau menunjukkan hidupmu di masa lalu?" terka Aricia sembari melipat kedua tangan di depan dadanya bersidekap. Seluruh
"Itu dia, Anak Kutukan, masih punya nyali ternyata memasuki kelas," ucap Murid Laki-laki.Aricia Anahita Gracewill memakai jubah putih dan seragam Markas Penyembuh namun kali ini penampilannya berbeda karena ia merelakan rambut hitam panjangnya jadi lebih pendek seperti laki-laki. Rambut pendek itu tetap saja tak bisa menipu keindahan wajahnya yang jelita itu. Aricia tidak lagi terkejut menghadapi Para Murid yang memang terdiri atas para pria. "Berkat ulahmu, tiada murid perempuan yang lagi boleh bersekolah di Markas Penyembuh untuk jadi seorang Healer, itu perintah Ratu." Pemuda berwajah bintik-bintik itu berucap sembari menghadang Aricia yang hendak duduk di salah satu bangku.Aricia terkekeh sendiri. "Oh, Ratu terlalu takut kalah saing sampai-sampai tak memperbolehkan Wanita bersekolah," ucap Aricia dengan santai. Ia melintasi Pemuda itu kemudian duduk di sebuah bangku pada kelas ini. Lamban laun Aricia mulai terbiasa dengan kebencian para murid padanya. Seorang Pengajar berjalan
"Sungguh? bagaimana diriku saat itu?" tanya Victor dengan santai."Anda ... salah satu cara keabadian dari Iblis yang gagal didapatkan," jawab Aricia. "Aricia kau tahu, aku benci dongeng ...," ucap Pria itu segera Aricia sela."Dan aku mencintaimu, di versi apa pun itu!" jerit Aricia sembari memundurkan langkahnya. Kedua matanya membelalak karena menatap hal yang tak dapat ia percayai, ia baru saja mengungkapkan perasaannya karena rasa rindu menghantui dirinya. Aricia terisak sendiri. "Aku menderita karena harus berpisah darimu meskipun semua ini karena kebodohanku," ucap Aricia. Aricia berlutut sembari terus terisak. "Meski kau menipuku, memakai wujud dan rupanya, berbicara dengan suaranya, tapi ... aku ....," ucap Aricia tertahan. Ia menyeka air matanya sendiri. "Kau tetap licik, menggunakan penderitaanku untuk menjebakku Iblis!" bentak Aricia. Wajah Aricia menanggah, ia menatap sosok Victor Katsh Braun yang sedang menyeringai tipis padanya. Bagaimana Aricia baru bisa menyadariny
"Memangnya kenapa?" "Jika benar maka kau tak dapat luput dari hadapanku,""Ya, kenapa?""Demi membuktikan jika dongeng turun temurun itu benar maka jika Healer Gracewill bereinkarnasi maka keluarga Katsh Braun bertanggung jawab atas keselamatannya," "Tidak perlu,""Kalau begitu bagaimana jika kita menikah saja?""Apa katamu?!" kedua mata Aricia melotot sempurna. Sudahlah kembali pada hidup yang tak diinginkan tapi ia dijebak lagi untuk menikah dengan Victor lagi. Sejenak saat itu Aricia terdiam, dia pernah menolak Victor meski bertolak belakang dengan perasaannya. "Beri aku waktu untuk memikirkannya," ucap Aricia. Victor Katsh Braun mengangguk. Ia beranjak berdiri untuk pergi dari ruang perawatan ini. Pria itu sempat menatap Aricia sejenak. Samar-samar benaknya menampilkan kilas sosok wanita yang mirip dengan Aricia meski ia sendiri yakin belum pernah bertemu dengan Aricia. "Tuan Braun?" tanya Aricia menatap Pria yang melamun di hadapannya itu.Victor menggeleng. "Maaf, aku akan p
"Aku mengenalmu, jauh sebelum kau bertemu denganku," ucap Aricia. Perasaannya bergemuruh tentu saja, sosok lelaki yang membuatnya cinta setengah mati dan juga membuat Aricia rela mengorbankan dirinya. Aricia sendiri meragukan arti perasaannya pada Victor tapi saat kehidupan itu ditinggalkan kemudian kembali, justru Victor kembali hadir pada sosok Pria ini.Victor Katsh Braun hanya memandangi Aricia dengan heran. Dia tak kenal Aricia sebelum Erika yang mengenalkan Gadis yang hendak bekerja sebagai perawat neneknya itu. "Jangan menatapku begitu, kau seperti orang patah hati padahal aku baru pertama kali bertemu denganmu," ucap Victor dengan nada dingin meskipun suaranya berat. "Lantas kenapa?!" sahut Aricia menginggikan suaranya. "Kenapa? apakah kau mau uang untuk membalas budi jasamu?" sahut Victor tak mau mengalah. Aricia malah menatap geram Victor. Di dunia yang ia kenal, Victor Frederick Ashkings memanglah pria yang arogan. Seharusnya ia terbiasa tapi ini dunia asalnya. Bagaimana
[Sistem akan melakukan reset pada protagonis]"Eh? apa maksudnya? apakah aku selesai?" tanya Aricia yang bergumam dalam kehampaan itu. Aricia terdiam mendapati dirinya di ruang hampa. Aricia menatap keheningan semua ini. Ia seorang diri kemudian beranjak berdiri. "Aku di mana?" Aricia bergumam seorang diri. Aricia menatap cahaya-cahaya yang berkilau ke sekitarnya kemudian berkumpul membentuk sosok seorang wanita yang bercahaya. Aricia bahkan tak bisa melihat jelas rupa wajahnya. "Siapa kau?" tanya Aricia."Aku selama ini membimbingmu," jawab Wanita itu.Kedua mata Aricia membulat sempurna. "Kaukah Sistem?" Aricia menunjuk Wanita itu. Sang Wanita hanya mengangguk pelan. Sekujur tubuhnya hanyalah cahaya, sampai ia mendekati Aricia kemudian menyentuh pipi kanannya. "Kau memilih Ending yang menyakitkan dirimu sendiri, Aricia." Sang Wanita berucap sembari membelai wajah Aricia. "Kalau begitu, apakah semua orang yang mengenalku sudah melupakanku?" tanya Aricia bernada sendu. Ia memikirkan
"Kalian datang berdua?" Ratu Clara bertanya dengan nada angkuhnya. Ia duduk di singasana hitam, istana yang sudah suram dan banyak monster besar yang menjadi bawahannya. Sekejab mata, Plumeria yang putih sudah jadi gelap. Aricia berdiri di sebelah Victor, Duke yang seharusnya tak perlu bersikap sejauh ini. "Aku berniat mati sendiri, asal kau tahu." Aricia berceletuk sembari tersenyum kecil. "Katakan, bagaimana cara memulihkan semua kekacauan yang kau buat, bedebah!" bentak Aricia yang langsung merubah raut wajahnya.Ratu Clara tertawa terbahak-bahak. Ia menertawakan Aricia yang berani menantang mautnya sendiri. "Clara sudah tiada, aku baru saja melahap habis jiwanya seperti yang ia inginkan ... dia hanya mau kematianmu!" bentak Ratu Clara sembari menuruni singasananya. Aricia langsung waspada. "Victor, aku tak mau kau yang berkorban," tegas Aricia.Duke Victor tertegun mendengar ketangguhan Aricia. Seorang Wanita yang berdiri lebih dulu di depannya bagaikan ksatria yang tangguh. Sek
"Tabib Agung ... Helian memberi sinyal meminta bantuan!" "Victor!" teriak Aricia panik. Ia mengabaikan deretan para bangsawan yang menatap Aricia. Saat itu Aricia merasakan jika tangannya digenggam oleh Tabib Agung Gilovich. Aricia langsung menoleh mendapati wajah cemas dari Pria Tua itu. "Guru, anggaplah aku manusia dari antah berantah ... yang telah siap mati," ucap Aricia tersenyum lembut. Tabib Agung Gilovich menggeleng. "Belati itu masih bisa menyegelnya tapi kekasihmu jadi kunci keabadiannya," sahut Pria itu."Aku tahu, aku tahu." Aricia menurunkan tangan Sang Tabib. "Aku tak akan mengambil takhta, aku tidak tahu apakah aku masih hidup usai berhadapan dengan Ratu kalian ... sebaliknya, carilah garis keturunan yang aku yakin masih ada," perintah Aricia dengan suara mengalun lembutnya. Aricia keluar dari Markas Penyembuh. Ia menghela napas, terasa penat karena semuanya tak kunjung usai. Aricia berhenti di depan gerbang Plumeria. Ia merasakan angin senja berhembus pelan membelai
"Apa yang sedang kau coba katakan?" tanya Aricia. "Berhenti membuatku penasaran.""Aku ... jantung seorang Naga Suci dapat membuat Iblis hidup abadi sekaligus mendapatkan tubuh manusianya," "Apa!" kedua mata Aricia membelalak. Ia mendadak melangkah mundur. Ternyata usaha kerasnya menghunus belati peninggalan Ellis Francielli sebuah kesia-siaan. "Rever tewas untuk harga yang sia-sia," ucap Aricia dengan suara yang bergetar. Penyesalan dan merasakan diri sendiri yang salah menjadi-jadi karena semua itu Aricia berlari keluar dari kediaman Ashkings. "Aricia!" teriak Duke Victor hendak menghentikannya tapi mengurungkan niatnya.Davis yang sejak tadi telah kembali hanya bisa menatap prihatin tuannya itu. "Sire ... alangkah lebih baiknya kita membiarkan Healer menenangkan dirinya, Ksatria Rever orang yang cukup dekat dengan Healer jadi wajar jika dia berduka," ucap Davis. Duke kembali duduk di kursi kayu kemudian menompang dahi dengan kedua tangannya sembari menunduk. "Seharusnya aku kata
Tiga hari seorang Aricia terbaring tak sadarkan diri. Pagi ketika matahari menaiki permukaan angkasa semesta sosok Aricia membuka kedua kelopak matanya. Ia terbangun dengan keadaan tubuh seutuhnya terasa nyeri. Gadis itu mengerang pelan sembari menduduki dirinya. Ia menyibak rambut hitam panjangnya."Seingatku rambutku itu masih pendek?" tanya Aricia seorang diri dengan suara serak paraunya. Tenggorokannya terasa sakit. "Aku haus, butuh air." Aricia berucap sembari beranjak berdiri. Tubuh rampingnya memakai gaun tidur dengan jubah yang menutupi kedua lengan polosnya. Aricia berjalan keluar dari kamarnya. Ia berada di kediaman Ashkings dengan tatapan heran. "Bukannya kediaman ini hancur oleh ulah Ratu Clara," ucap Aricia sendiri. Tak lama ia mendapati Duke tengah menyeduh teh. Aricia tersipu karena Pria itu yang biasanya berpakaian resmi dan formal kini menggunakan kemeja putih yang sebagian lengannya digulung hingga ke sikunya. "Duke ... aku," ucap Aricia tertahan."Oh, iya, selamat
Ratu Clara tiba di istana dengan wajah masamnya. Seisi istana masih belum menyadari jika Sang Ratu sudah terpengaruh oleh iblis termasuk Ksatria Rever. Ratu tiba menatap Ksatrianya yang sibuk karena penyeranga diseluruh penjuru kota yang ada di Plumeria. Pria itu langsung mendatangi Ratu kemudian menggengam tangannya."Ya Tuhan, kemana saja Anda sedari tadi yang mulia?" tanya Ksatria Rever dengan cemas.Ratu Clara sudah buta mengenali segalanya. Selain perasaan benci yang teramat sangat dengan Aricia. "Apakah kau mencemaskanku?" tanya Ratu Clara.Pria itu mengangguk kemudian mendekap Sang Ratu. "Clar bagaimana bisa aku tidak mencemaskanmu sementara Sang Iblis di luar sana sudah mulai memporak-porandakan Plumeria?" Ksatria Rever berbalik melontarkan pertanyaan dengan senyuman hangatnya. "Apa yang sudah kau lakukan?" celetuk Ratu Clara sembari menepis tangan Ksatria Rever. Ia mengamuk tanpa sebab sembari mengayunkan kedua tangannya yang telah berupa cakaran tajam. Ratu Clara yang kehil