Langit senja mulai memancarkan cahaya keemasan di taman kota yang tenang. Arum dan Rendra duduk berdampingan di bangku kayu, membiarkan angin sore yang lembut menyapu wajah mereka.
Setelah semua yang mereka lalui, sore ini terasa seperti jeda yang berharga, sebuah waktu istimewa yang seolah-olah hanya ada untuk mereka.
“Senja ini indah sekali, ya,” gumam Arum, memandang langit dengan senyum yang tak disadarinya merekah perlahan.
Rendra menoleh, matanya berbinar saat ia menatap Arum. “Ya, tapi keindahan senja ini nggak ada apa-apanya dibandingkan dengan kehadiranmu di sampingku, Arum.”
Arum tertawa kecil, meski pipinya memerah. “Kamu bisa aja, Ren.”
Namun, di balik gurauan mereka, hati Rendra berdebar keras. Hari ini bukan sekadar waktu santai baginya. Ini adalah hari yang ia siapkan dalam pikirannya sejak lama, hari ketika ia akan meminta Arum untuk menjadi bagian dari hidupnya, selamanya.
Tapi tidak ada h
Galeri seni di tengah kota malam itu penuh dengan para pecinta seni dan kolektor yang terpukau oleh karya-karya terbaru Ratna. Batik modern yang ia ciptakan bukan hanya sekadar pola di atas kain; setiap desain mencerminkan perjalanan emosional dan keteguhan hatinya.Di sudut galeri, Ratna berdiri dengan senyum puas, menyaksikan orang-orang yang terpesona oleh hasil karyanya. Semua usaha dan ketekunan yang ia tanam selama ini akhirnya membuahkan hasil.“Selamat, Ratna.” Suara seorang pria terdengar lembut di sampingnya. Ratna menoleh, dan matanya bertemu dengan seorang pria berpenampilan sederhana namun berkarisma. Pria itu tersenyum tulus, wajahnya memancarkan rasa kagum yang dalam.“Oh, terima kasih,” jawab Ratna sambil mengangguk sedikit, berusaha mengingat apakah ia pernah bertemu pria ini sebelumnya.“Maaf, aku nggak memperkenalkan diri,” katanya sambil mengulurkan tangan. “Namaku Andi. Aku sebenarnya bukan ko
Suasana di rumah keluarga Santoso tegang sejak kabar kedatangan Fajar terdengar. Setelah berbulan-bulan menghilang, pria yang dulu menjadi kebanggaan keluarga itu tiba-tiba kembali tanpa pemberitahuan.Tidak ada sambutan hangat untuknya kali ini, tidak ada rasa hormat yang dulu pernah melekat padanya. Fajar berjalan perlahan menuju ruang keluarga, matanya menyapu ruangan besar yang terasa asing meski pernah menjadi rumahnya sendiri.Ibunya, Ibu Siti, duduk di sofa dengan wajah yang penuh dengan rasa kecewa dan luka. Rendra berdiri di sudut ruangan, menyilangkan tangan di dada dengan ekspresi wajah dingin dan tanpa kompromi.Di sebelahnya, Arum duduk dengan tatapan waspada, seolah menjaga Rendra agar tak terperangkap lagi oleh tipu daya sepupunya itu.Fajar memandangi mereka satu per satu, lalu menundukkan kepalanya dengan perasaan bersalah. “Bu... Rendra... Arum... aku tahu kehadiranku di sini mungkin membuat kalian semua tidak nyaman,” ucapny
Langit senja berwarna oranye lembut menyelimuti rumah besar keluarga Cahyaningtyas saat Dimas Aditya Kusuma berdiri di beranda, memandangi pemandangan yang telah menemani hari-harinya selama bertahun-tahun.Udara sore yang hangat dan tenang membuatnya merenung lebih dalam tentang keputusan yang akan ia sampaikan malam itu kepada keluarganya, sebuah keputusan yang akan mengubah arah hidup mereka semua.Di ruang tamu, keluarga telah berkumpul, suasana penuh dengan kehangatan dan keakraban. Arum duduk di sebelah ayahnya dengan tatapan waspada, mencoba membaca apa yang ada di pikiran pria yang selama ini menjadi sosok pelindung keluarganya itu.Rendra duduk di samping Arum, siap mendukung apa pun yang terjadi.Dimas akhirnya berjalan masuk dengan langkah mantap. Ia tersenyum melihat wajah-wajah yang begitu berarti baginya, wajah-wajah yang telah ia bimbing dan dukung. Ketika semua mata tertuju padanya, ia menarik napas panjang, lalu memulai percakapan yang te
Mentari pagi mulai menyelinap di sela-sela jendela besar galeri tempat Ratna bekerja. Udara pagi itu sejuk, penuh aroma bunga segar yang menghiasi ruang galeri dengan seni batik Ratna yang menjadi pusat perhatian.Namun, pagi ini ada yang berbeda—di antara kain-kain batik bermotif indah, ada keheningan yang mendalam, seolah suasana itu memahami bahwa pertemuan hari ini adalah perpisahan terakhir.Rendra dan Arum masuk ke galeri dengan hati-hati. Keduanya berbagi senyum kecil, tetapi di antara mereka ada kesadaran yang melingkupi, bahwa ini bukanlah pertemuan biasa.Ratna, yang sejak lama telah menjadi bagian dari kehidupan mereka, adalah sosok yang telah menemani perjalanan mereka dengan segala keterbatasan dan cinta yang ia simpan dengan begitu tulus. Kini, saatnya mengucapkan selamat tinggal.Ratna menyambut kedatangan mereka dengan senyum ramah, tatapannya lembut, namun menyiratkan kedewasaan baru yang telah tumbuh di dalam dirinya. “Kalian
Pagi itu, langit biru tanpa awan menjadi saksi bagi hari yang telah lama ditunggu-tunggu oleh Arum dan Rendra. Cahaya matahari menelusup lembut di sela dedaunan taman kecil di belakang rumah keluarga Cahyaningtyas, tempat pernikahan mereka akan dilangsungkan.Arum berdiri di depan cermin di kamar yang telah ia tinggali sejak kecil, mengenakan kebaya sederhana berwarna gading yang menambah keanggunan dalam dirinya.Di dalam kamar, Dewi dan Ratna sedang membantu menyempurnakan riasannya. Mereka bertiga tertawa kecil, mengingat berbagai kenangan yang telah mereka lalui bersama.Dewi mengagumi kain batik yang dikenakan Arum, yang dihiasi motif parang khas yang berarti kekuatan dan keberanian. Batik itu adalah karya Ratna, hasil kerja kerasnya selama ini yang dihadiahkan khusus untuk sahabatnya.“Arum, kamu terlihat luar biasa hari ini,” kata Dewi dengan tatapan bangga. Ia melirik Ratna dan tersenyum penuh arti. “Ini bukan hanya karena kebaya
“Ini yang terakhir kali, Fajar. Jangan cari masalah lagi,” ujar Dimas dengan nada penuh peringatan. Dimas berdiri di ambang pintu ruang tamu, menatap Fajar dengan sorot mata yang tajam dan tegas.Fajar hanya mengangkat bahunya, senyum tipis sinis menghiasi wajahnya. “Masalah, Dimas? Yang kumiliki hanyalah kesempatan,” balasnya dengan nada dingin. Mata Fajar menyiratkan sesuatu yang dalam: keputusasaan dan kebencian yang nyaris tak terbendung.Setelah berbulan-bulan dalam pelarian, ia tahu, kembali ke rumah bukanlah pelipur lara, melainkan peringatan akan realitas yang pahit.“Apa pun alasanmu, keluargamu sudah merasakan dampaknya. Lihat dirimu, Fajar. Bahkan Rendra, yang dulu begitu menghormatimu, tak ingin melihatmu lagi,” Dimas menambahkan, mencoba memberi tekanan pada sepupunya yang dulu dikenal sebagai sosok ambisius dan penuh kebanggaan.Fajar tak seperti dulu lagi—keangkuhannya telah menipis, digantikan oleh
“Pantai ini seperti membawa ketenangan tersendiri, ya?” Intan duduk di atas pasir, memandang lautan yang luas dengan wajah tenang. Ombak yang datang bergulung-gulung tampak seolah berirama dengan napasnya, mengisi hatinya dengan rasa damai yang baru saja ia kenal.Di sampingnya, ada Wulan, seorang teman baru yang ia temui sejak pindah ke Bali. Mereka bertemu di sebuah komunitas sukarelawan yang sering berkegiatan di sekitar pantai, membersihkan sampah dan membantu para nelayan.Wulan, perempuan Bali yang ramah dan sederhana, adalah sosok yang membantu Intan melihat hidup dari sisi yang lebih ringan dan penuh syukur. Wulan mengangguk, tersenyum lebar dengan gigi putihnya yang kontras dengan kulitnya yang sawo matang.“Memang benar, Tan. Air laut itu seolah membawa semua beban kita ke dalamnya. Apa yang membawamu ke Bali, selain ingin berlibur dari kehidupan kota?” tanya Wulan sambil mencelupkan jari-jarinya ke pasir, membuat bulatan-bulata
“Rendra, kamu yakin kita bisa melupakan semuanya begitu saja?” Arum bersandar di balkon, menatap matahari pagi yang baru saja terbit, menyejukkan udara pagi dengan cahaya hangat. Di sebelahnya, Rendra berdiri terdiam, melihat ke arah yang sama tapi dengan pikiran yang jauh mengembara.Rendra menarik napas dalam, lalu mengangguk perlahan. “Aku ingin bisa melupakan, Arum. Tapi bayangan itu... semuanya, tidak mudah hilang begitu saja,” jawabnya jujur, suaranya terdengar berat. Ada ketegangan halus di matanya, mengisyaratkan perasaan bersalah dan kelelahan yang ia simpan sejak lama.Arum menoleh, mengamati ekspresi Rendra dengan cermat. Ada sesuatu yang selalu melayang di balik senyumnya yang tenang belakangan ini, seolah ada bagian dirinya yang tetap terikat oleh masa lalu.Ia tahu Rendra telah melalui banyak hal, dan bahwa semua perubahan ini mungkin terlalu mendadak, bahkan untuk dirinya.“Sepertinya aku juga merasakan hal yan
“Arum, apakah kamu yakin sudah siap?” suara lembut Rendra terdengar, suaranya mengandung keraguan sekaligus harapan. Mereka berdiri di sebuah taman kecil yang dikelilingi pohon-pohon berbunga, diapit oleh senja yang memancarkan cahaya keemasan.Arum mengangguk pelan, memandang Rendra dengan tatapan yang tenang namun sarat makna. “Aku siap, Rendra,” jawabnya dengan suara mantap. “Untuk segala hal yang telah kita lalui, dan apa pun yang akan datang.”Senja di taman itu menjadi saksi kehangatan dan kedamaian yang akhirnya bisa mereka raih. Hanya dihadiri keluarga terdekat dan sahabat-sahabat terbaik, mereka memutuskan untuk memperbarui janji pernikahan mereka dalam keheningan, jauh dari keramaian dan drama yang dulu pernah membayangi hubungan mereka.Di sudut taman, Ratna, yang hadir bersama Aldi, menatap Arum dengan senyum bangga di wajahnya. Aldi, yang berdiri di sebelahnya, menganggukkan kepala seolah ikut merasakan kebahagiaa
"Arum, kamu datang juga akhirnya!" Suara Ratna terdengar penuh semangat saat melihat sahabatnya melangkah masuk ke galeri tempat pameran terbarunya. Ratna segera menghampiri Arum, memeluknya dengan erat."Aku kan sudah janji, Na. Aku ingin lihat langsung semua karya hebatmu ini," jawab Arum sambil tersenyum hangat, matanya penuh kekaguman melihat ruangan galeri yang dipenuhi karya-karya Ratna.Dinding-dinding galeri dihiasi dengan lukisan-lukisan batik kontemporer yang unik, setiap goresannya memancarkan ekspresi hati dan jiwa Ratna.Ratna tertawa kecil sambil memandangi Arum. “Akhirnya, aku bisa berdiri di sini, Arum. Setelah semua yang terjadi…,” suara Ratna melirih, mengingat perjalanan panjang dan penuh rintangan yang telah ia lalui.Arum menepuk lengan Ratna pelan, seolah ingin menguatkannya. “Kamu pantas mendapatkan ini semua, Na. Setiap kerja keras, setiap air mata. Aku bangga padamu,” kata Arum dengan tatapan yang tu
"Apakah kita benar-benar siap untuk ini, Ren?" Arum bertanya sambil menatap mata Rendra yang penuh keyakinan.Rendra menggenggam tangan Arum erat. “Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu, kan?”Mereka berdiri di depan rumah kecil yang baru saja mereka sewa. Rumah itu sederhana, jauh dari kemewahan yang pernah mereka bayangkan, tetapi terasa hangat.Hawa sore yang sejuk menyusup di antara dedaunan pohon mangga di halaman, membawa aroma tanah yang khas dan memberi suasana damai.Arum memandang rumah itu dengan senyum tipis. “Aku suka rumah ini, Ren. Sederhana, tapi terasa seperti rumah sungguhan.”Rendra tersenyum, menyadari bahwa itulah yang ia inginkan selama ini. Rumah kecil dengan Arum, bukan istana megah yang dipenuhi intrik dan beban masa lalu.“Kamu tahu, Arum, ini mungkin pertama kalinya dalam hidupku aku merasa benar-benar tenang. Tidak ada tekanan dari keluarga, tidak ada skandal, hanya...
“Apakah kamu sungguh yakin, Arum?” Rendra menatap dalam mata Arum, seolah berusaha menemukan keyakinan di sana.Arum tersenyum lembut, menggenggam tangan Rendra. “Aku yakin, Rendra. Aku juga sudah lelah berlarut-larut dalam keraguan. Mungkin kita memang harus melalui semua ini untuk benar-benar mengerti apa artinya kebersamaan.”Rendra mengangguk pelan, mata cokelatnya berkedip-kedip menahan emosi. Mereka duduk berhadapan di taman kecil yang penuh kenangan, di mana mereka berkali-kali bertemu dan berkali-kali pula bertengkar.Namun, sore ini terasa berbeda. Udara sore terasa hangat, dan aroma bunga melati yang lembut memenuhi suasana.“Aku ingin kita mulai dari awal,” ucap Rendra dengan nada mantap. “Tanpa janji-janji besar. Cukup kita saling percaya dan berjalan bersama.”Arum merasakan haru mengalir di hatinya. Semua luka yang pernah ada, semua pertengkaran dan air mata, perlahan-lahan terasa memuda
“Kamu yakin, Arum?” Suara Dimas terdengar lembut, penuh perhatian. Mereka duduk di beranda rumah keluarga Arum, ditemani angin malam yang sejuk dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing.Arum menatap secangkir teh di pangkuannya, jari-jarinya membelai pinggiran cangkir dengan gerakan pelan. “Aku... mungkin ini aneh, Om, tapi aku tetap merasa ada sesuatu di antara aku dan Rendra yang sulit aku lepaskan. Meskipun... semua hal yang terjadi membuatku bertanya-tanya.”Dimas mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kadang cinta memang tidak mudah, Arum. Hubungan yang paling berarti sering kali yang paling sulit dipertahankan. Tapi, yang penting, kamu tahu kenapa kamu memilih untuk bertahan.”Arum menatap jauh ke depan, pandangannya melewati taman kecil di halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Keindahan itu, sekilas, mengingatkan dirinya pada momen-momen indah yang pernah ia alami bersama Rendra.
“Aldi,” suara Ratna terdengar lembut, tapi tegas. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe kecil yang tenang, dikelilingi oleh keramaian orang-orang yang tenggelam dalam percakapan mereka masing-masing. Namun, di antara mereka berdua, suasana terasa begitu hening, hampir seolah waktu berhenti.Aldi menatap Ratna dengan cermat, wajahnya sedikit bingung. "Ada apa, Ratna? Kamu kelihatan... serius hari ini."Ratna tersenyum kecil, namun ada sedikit kesedihan dalam tatapannya. “Aku rasa kita perlu bicara. Tentang kita.”Mata Aldi memancarkan keterkejutan. "Maksudmu... hubungan kita?"Ratna mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Selama ini, kamu selalu ada untukku, bahkan di saat aku merasa paling jatuh. Kamu memberi dukungan yang luar biasa, dan aku sangat menghargainya. Tapi...”Aldi meraih tangan Ratna, menggenggamnya dengan lembut. “Tapi apa, Ratna? Apa yang kamu rasakan?”Ratna menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberania
"Jadi... ini keputusanmu?" Suara Arga terdengar pelan namun penuh kepastian. Mereka berdua duduk di sebuah bangku di taman kota yang sepi, tempat di mana mereka sering berbincang saat masih remaja, ketika dunia terasa lebih sederhana.Arum menundukkan wajahnya, merasa berat hati untuk mengucapkan kata-kata itu, namun ia tahu bahwa ia harus jujur. "Iya, Ga. Aku... aku nggak bisa berpura-pura lagi. Aku sangat menghargai kamu, semua yang sudah kamu lakukan buat aku, tapi..."Arga tersenyum kecil, meski sorot matanya menyimpan luka yang dalam. "Tapi hatimu tetap untuk Rendra," potongnya, menyelesaikan kalimat yang mungkin sulit bagi Arum untuk diucapkan.Arum mengangguk perlahan. "Maaf... aku merasa begitu bersalah sama kamu. Kamu selalu ada, selalu mendukungku saat aku terpuruk, saat aku sendiri.""Arum," Arga memotong, suaranya terdengar lembut, namun tegas. "Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu bagaimana perasaanmu dari awal, tapi aku selalu berharap bahw
"Arum..." Rendra menghela napas dalam, suara lembutnya nyaris tenggelam dalam keheningan sore yang menenangkan di taman kota. Ia menatap Arum dengan penuh harap, sementara gadis itu duduk di sebelahnya, tangan tertaut di pangkuannya, jelas menunjukkan kegugupan yang berusaha ia sembunyikan.Arum menunduk, melihat rerumputan yang bergoyang ditiup angin, mencoba menghindari tatapan Rendra. Ia tahu apa yang mungkin akan dikatakan Rendra. Di satu sisi, ada bagian dari hatinya yang ingin mendengarnya. Namun di sisi lain, ketakutan akan sakit yang sama terulang lagi membuatnya waspada."Aku tahu ini sulit bagimu," Rendra memulai lagi, nada suaranya penuh dengan kerendahan hati dan rasa bersalah yang selama ini tertahan. "Setiap kali melihatmu, aku sadar bahwa luka yang kuberikan masih membekas. Dan aku tahu, mungkin aku tak layak mendapatkan kesempatan kedua."Arum mengangkat wajahnya perlahan, menatap mata Rendra yang kini menunjukkan ketulusan yang dalam, jauh lebih
Arum duduk di teras rumahnya, memandangi langit sore yang mulai meredup. Di tangannya, secangkir teh hangat menemani keheningan pikirannya yang bimbang. Pesan dari Rendra semalam masih terngiang di kepalanya.Ia merasa bahwa setiap kata dalam pesan itu memancarkan ketulusan dan penyesalan yang dalam.Di sisi lain kota, Rendra memandang pantulan dirinya di cermin. Matanya menunjukkan kelelahan yang telah bersembunyi di balik ketenangannya selama ini. Kini, ia sadar bahwa tidak ada yang lebih penting daripada memulihkan kepercayaan Arum dan memperbaiki dirinya sendiri.Dengan tekad yang baru, Rendra turun ke ruang kerja kecilnya. Di sana, di tengah dokumen-dokumen dan berkas yang telah ia susun, ia memulai langkah pertama dalam menebus semua yang pernah ia rusakkan.Ia memutuskan untuk menyusun laporan penuh tentang setiap proyek keluarganya yang mencurigakan dan menyerahkannya ke pihak berwenang. Rendra sadar bahwa inilah satu-satunya cara untuk membuktika