“Hujan turun deras, ya?”
Arum menatap ke langit yang mendung, bulir-bulir air mulai jatuh deras, membasahi jalan kecil tempat ia berdiri. Rendra, yang berdiri di sampingnya, mengangguk sambil tersenyum, tatapan matanya tertuju pada Arum dengan sorot yang tak bisa ia sembunyikan.
Di tengah hujan yang semakin deras, keduanya berteduh di bawah naungan pohon besar, namun cipratan air hujan tetap membasahi pakaian mereka. Arum bisa merasakan dinginnya hujan yang menyentuh kulitnya, namun ada kehangatan yang berbeda di hadapan Rendra.
“Sepertinya kita tidak bisa pulang sekarang,” ucap Rendra, mencoba mengusir rasa canggung yang tiba-tiba terasa di antara mereka.
Arum tersenyum kecil, jantungnya berdegup kencang. “Mungkin hujan akan segera reda…”
Namun, dalam hati, Arum tahu bahwa hujan ini bukan sekadar hujan biasa. Ada sesuatu dalam keheningan di antara mereka, dalam tatapan yang terjalin tanpa kata.
Per
“Kau mencintainya, bukan?”Suara Intan terdengar tenang, hampir berbisik, namun di baliknya ada luka yang begitu nyata. Rendra menatap Intan, terdiam di ambang pintu rumahnya. Pertanyaan itu melayang di udara, seolah waktu berhenti di sekitarnya.Wajah Intan tampak tenang, tetapi matanya berkaca-kaca, menyiratkan kepedihan yang selama ini ia simpan rapat-rapat.“Intan…” Rendra akhirnya bicara, tapi suara itu tenggelam, seakan tak mampu menahan beratnya perasaan yang ia bawa. Ia tahu ia harus jujur. Setelah semua yang terjadi, kebohongan bukan lagi pilihan.“Ya,” jawab Rendra, akhirnya. Suaranya nyaris berbisik, namun cukup jelas bagi Intan. “Aku mencintai Arum.”Intan mengangguk, meskipun terlihat ada air mata yang mengalir perlahan di pipinya. Ia mengusapnya cepat, seolah tak ingin memperlihatkan kelemahannya pada Rendra. Namun tak ada lagi alasan untuk menyembunyikan perasaan yang selama ini
“Arum, ada sesuatu yang ingin aku katakan.”Arga menatap Arum dengan sorot mata yang hangat namun penuh ketegasan. Mereka duduk di sebuah kafe kecil di pinggir kota, tempat yang selama ini menjadi tempat favorit Arga untuk melarikan diri dari rutinitasnya yang padat.Namun kali ini, suasana terasa berbeda; ada ketegangan lembut yang terjalin di antara mereka. Arum menatap Arga dengan sedikit kebingungan, tapi ia merasakan bahwa ada sesuatu yang serius di balik tatapan lelaki itu.“Ya, Arga?” jawab Arum, mencoba memecah keheningan dengan senyumnya yang lembut.Arga menarik napas panjang, mencoba merangkai kata-kata yang selama ini terpendam dalam hatinya. “Aku… aku sudah lama menyimpan ini, Arum. Mungkin kau sudah menyadarinya atau mungkin juga tidak, tapi aku ingin kau tahu, aku mencintaimu.”Arum terkejut, ekspresi wajahnya berubah, dan dia hanya bisa menatap Arga dengan mata yang melebar. Kata-kata itu m
“Kau tahu, Rendra, terkadang keluarga kita memang harus mengorbankan satu hal untuk mendapatkan yang lebih berharga.”Suara Fajar terdengar dingin dan penuh perhitungan saat ia duduk di hadapan Rendra di kantor keluarga. Sorot matanya menunjukkan ketegasan yang tak menyisakan keraguan sedikit pun, membuat suasana semakin mencekam.Rendra memandang sepupunya itu dengan penuh waspada, mencoba membaca maksud di balik kata-katanya. Mereka telah berdebat sepanjang minggu ini, khususnya mengenai penolakan Rendra untuk mengikuti perjodohan dengan Intan.Namun, kali ini, Rendra merasa bahwa Fajar sedang merencanakan sesuatu yang lebih serius.“Fajar, apa sebenarnya yang kau inginkan?” Rendra mencoba menahan nada kesal dalam suaranya, meski amarahnya sudah mulai membara.Fajar menyeringai kecil, menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. “Aku ingin kau menyadari apa yang terjadi jika kau terus bersikeras mengikuti keinginan hatim
Keesokan harinya, Rendra berdiri di luar rumah keluarga Cahyaningtyas. Tangannya mengepal erat, tekad untuk berbicara dengan Arum semakin kuat. Ia tahu bahwa tidak bisa menunda lagi; ia harus memberitahu Arum tentang rencana Fajar dan cara Fajar telah menekan keluarganya selama ini.Namun, sebelum ia sempat mengetuk pintu, suara langkah kaki mendekat dari arah samping rumah.Rendra berbalik dan mendapati Ratna berdiri di sana. Mata mereka bertemu, dan Rendra merasakan keterkejutan bercampur dengan rasa bersalah. Ratna, yang selama ini ia tahu sebagai sahabat setia Arum, kini kembali setelah beberapa bulan menghilang dari kota. Ratna tampak berbeda—lebih tegar, namun sorot matanya menyiratkan kelelahan yang mendalam.“Rendra,” sapa Ratna, suaranya terdengar tenang namun penuh arti.“Ratna,” Rendra berusaha tersenyum, meskipun ia tahu senyum itu tak sepenuhnya jujur. “Kau kembali?”Ratna mengangguk, d
Hari mulai beranjak malam ketika Arum, Rendra, dan Ratna berkumpul di ruang tamu rumah keluarga Cahyaningtyas, mencoba menyusun langkah selanjutnya. Di tengah-tengah pembicaraan mereka yang serius, suara ketukan pintu terdengar.Rendra menoleh dengan cepat, ekspresi penuh kewaspadaan. Namun ketika pintu terbuka, wajah Dimas Aditya Kusuma muncul di baliknya.“Pak Dimas?” Arum menyambut dengan kaget, namun segera menyadari ada alasan serius di balik kunjungan mendadak ini. Dimas masuk, menatap mereka bertiga dengan pandangan penuh makna, lalu menunduk, memberi salam pada mereka semua.“Aku harus bicara dengan kalian. Ini soal keluarga kalian dan cara untuk menyelamatkan kehormatan keluarga Cahyaningtyas,” ujar Dimas, suaranya terdengar serius dan tegas.Rendra dan Arum saling bertukar pandang, sementara Ratna duduk dengan tatapan penuh perhatian. Mereka tahu, Dimas bukan orang yang berbicara sembarangan, terlebih lagi soal urusan kel
Rendra berdiri di luar kantor ayahnya, napasnya memburu oleh amarah dan tekad yang semakin menguat di dalam dirinya. Setelah pembicaraan dengan Dimas dan melihat tekanan yang dihadapi Arum, Rendra tahu bahwa tak ada lagi alasan untuk diam.Hari ini, ia akan menentang keluarganya, menghadapi langsung apa yang selama ini ia hindari—yaitu melawan ayahnya, Argono Kuswoyo.Ia mengetuk pintu dengan tegas, kemudian masuk tanpa menunggu jawaban. Di dalam, Argono duduk di belakang meja besar yang penuh dengan berkas-berkas penting, sebuah simbol kekuasaan yang selama ini mendominasi keluarga mereka.“Ada apa, Rendra?” suara Argono terdengar datar namun penuh kewaspadaan. Ia menatap putranya dengan tatapan dingin, seolah sudah menyadari bahwa ini bukan sekadar kunjungan biasa.“Ayah, aku ingin bicara tentang pertunanganku dengan Intan,” Rendra membuka pembicaraan tanpa basa-basi.Mata Argono mengeras, wajahnya berubah serius. &l
Intan menatap bayangan kota dari jendela kantornya, membiarkan pikirannya tenggelam dalam kekosongan yang selama ini ia sembunyikan di balik senyum anggun dan sikap tenangnya.Sejak pertunangannya dengan Rendra batal, ia merasa bahwa semua yang ia bangun demi kehormatan keluarganya telah runtuh. Dunia di sekitarnya tampak sepi, meski ia tetap menjalani hidupnya dengan keteguhan hati.Suatu sore, ketika ia tengah melangkah keluar dari kantornya, seorang pria tinggi dengan postur tegas menunggunya di depan pintu. Pria itu adalah Adiarja Wibowo, seorang pengusaha sukses dengan senyum percaya diri dan aura karisma yang tak bisa diabaikan.Adiarja adalah sosok yang penuh pengaruh dalam dunia bisnis, dan ia sudah sering berpapasan dengan Intan di berbagai acara sosial.“Intan,” sapanya dengan nada santai namun penuh perhatian. “Boleh aku temani kau untuk makan malam?”Intan mengangkat alis, sedikit terkejut dengan undangan itu. &l
Desas-desus cepat menyebar di antara masyarakat, mengabarkan keputusan berani Rendra yang meninggalkan keluarga Santoso. Keputusan yang dianggap sebagai pemberontakan melawan tradisi, sebuah penghinaan terhadap keluarga yang selama ini dihormati.Namun, dampaknya tidak hanya dirasakan oleh Rendra. Arum dan keluarganya, Cahyaningtyas, juga terkena imbasnya, dijadikan kambing hitam atas “kejatuhan” Rendra.“Kau dengar berita tentang Rendra? Anak keluarga Santoso itu benar-benar tak tahu diuntung,” ujar seorang ibu-ibu di pasar pada tetangganya, suaranya tak tertahan oleh bisikan.“Keluarganya sudah membesarkannya, memberinya segalanya, dan sekarang dia malah memilih perempuan dari keluarga biasa itu!”Tetangga yang mendengarkan hanya mengangguk setuju, matanya sesekali melirik ke arah rumah keluarga Cahyaningtyas, yang terletak di ujung jalan.Sejak Rendra meninggalkan keluarganya, setiap mata di lingkungan itu ter
“Arum, apakah kamu yakin sudah siap?” suara lembut Rendra terdengar, suaranya mengandung keraguan sekaligus harapan. Mereka berdiri di sebuah taman kecil yang dikelilingi pohon-pohon berbunga, diapit oleh senja yang memancarkan cahaya keemasan.Arum mengangguk pelan, memandang Rendra dengan tatapan yang tenang namun sarat makna. “Aku siap, Rendra,” jawabnya dengan suara mantap. “Untuk segala hal yang telah kita lalui, dan apa pun yang akan datang.”Senja di taman itu menjadi saksi kehangatan dan kedamaian yang akhirnya bisa mereka raih. Hanya dihadiri keluarga terdekat dan sahabat-sahabat terbaik, mereka memutuskan untuk memperbarui janji pernikahan mereka dalam keheningan, jauh dari keramaian dan drama yang dulu pernah membayangi hubungan mereka.Di sudut taman, Ratna, yang hadir bersama Aldi, menatap Arum dengan senyum bangga di wajahnya. Aldi, yang berdiri di sebelahnya, menganggukkan kepala seolah ikut merasakan kebahagiaa
"Arum, kamu datang juga akhirnya!" Suara Ratna terdengar penuh semangat saat melihat sahabatnya melangkah masuk ke galeri tempat pameran terbarunya. Ratna segera menghampiri Arum, memeluknya dengan erat."Aku kan sudah janji, Na. Aku ingin lihat langsung semua karya hebatmu ini," jawab Arum sambil tersenyum hangat, matanya penuh kekaguman melihat ruangan galeri yang dipenuhi karya-karya Ratna.Dinding-dinding galeri dihiasi dengan lukisan-lukisan batik kontemporer yang unik, setiap goresannya memancarkan ekspresi hati dan jiwa Ratna.Ratna tertawa kecil sambil memandangi Arum. “Akhirnya, aku bisa berdiri di sini, Arum. Setelah semua yang terjadi…,” suara Ratna melirih, mengingat perjalanan panjang dan penuh rintangan yang telah ia lalui.Arum menepuk lengan Ratna pelan, seolah ingin menguatkannya. “Kamu pantas mendapatkan ini semua, Na. Setiap kerja keras, setiap air mata. Aku bangga padamu,” kata Arum dengan tatapan yang tu
"Apakah kita benar-benar siap untuk ini, Ren?" Arum bertanya sambil menatap mata Rendra yang penuh keyakinan.Rendra menggenggam tangan Arum erat. “Kalau kita tidak mencoba, kita tidak akan pernah tahu, kan?”Mereka berdiri di depan rumah kecil yang baru saja mereka sewa. Rumah itu sederhana, jauh dari kemewahan yang pernah mereka bayangkan, tetapi terasa hangat.Hawa sore yang sejuk menyusup di antara dedaunan pohon mangga di halaman, membawa aroma tanah yang khas dan memberi suasana damai.Arum memandang rumah itu dengan senyum tipis. “Aku suka rumah ini, Ren. Sederhana, tapi terasa seperti rumah sungguhan.”Rendra tersenyum, menyadari bahwa itulah yang ia inginkan selama ini. Rumah kecil dengan Arum, bukan istana megah yang dipenuhi intrik dan beban masa lalu.“Kamu tahu, Arum, ini mungkin pertama kalinya dalam hidupku aku merasa benar-benar tenang. Tidak ada tekanan dari keluarga, tidak ada skandal, hanya...
“Apakah kamu sungguh yakin, Arum?” Rendra menatap dalam mata Arum, seolah berusaha menemukan keyakinan di sana.Arum tersenyum lembut, menggenggam tangan Rendra. “Aku yakin, Rendra. Aku juga sudah lelah berlarut-larut dalam keraguan. Mungkin kita memang harus melalui semua ini untuk benar-benar mengerti apa artinya kebersamaan.”Rendra mengangguk pelan, mata cokelatnya berkedip-kedip menahan emosi. Mereka duduk berhadapan di taman kecil yang penuh kenangan, di mana mereka berkali-kali bertemu dan berkali-kali pula bertengkar.Namun, sore ini terasa berbeda. Udara sore terasa hangat, dan aroma bunga melati yang lembut memenuhi suasana.“Aku ingin kita mulai dari awal,” ucap Rendra dengan nada mantap. “Tanpa janji-janji besar. Cukup kita saling percaya dan berjalan bersama.”Arum merasakan haru mengalir di hatinya. Semua luka yang pernah ada, semua pertengkaran dan air mata, perlahan-lahan terasa memuda
“Kamu yakin, Arum?” Suara Dimas terdengar lembut, penuh perhatian. Mereka duduk di beranda rumah keluarga Arum, ditemani angin malam yang sejuk dan secangkir teh hangat di tangan masing-masing.Arum menatap secangkir teh di pangkuannya, jari-jarinya membelai pinggiran cangkir dengan gerakan pelan. “Aku... mungkin ini aneh, Om, tapi aku tetap merasa ada sesuatu di antara aku dan Rendra yang sulit aku lepaskan. Meskipun... semua hal yang terjadi membuatku bertanya-tanya.”Dimas mengangguk, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Kadang cinta memang tidak mudah, Arum. Hubungan yang paling berarti sering kali yang paling sulit dipertahankan. Tapi, yang penting, kamu tahu kenapa kamu memilih untuk bertahan.”Arum menatap jauh ke depan, pandangannya melewati taman kecil di halaman rumah yang dipenuhi bunga-bunga warna-warni. Keindahan itu, sekilas, mengingatkan dirinya pada momen-momen indah yang pernah ia alami bersama Rendra.
“Aldi,” suara Ratna terdengar lembut, tapi tegas. Mereka duduk berhadapan di sebuah kafe kecil yang tenang, dikelilingi oleh keramaian orang-orang yang tenggelam dalam percakapan mereka masing-masing. Namun, di antara mereka berdua, suasana terasa begitu hening, hampir seolah waktu berhenti.Aldi menatap Ratna dengan cermat, wajahnya sedikit bingung. "Ada apa, Ratna? Kamu kelihatan... serius hari ini."Ratna tersenyum kecil, namun ada sedikit kesedihan dalam tatapannya. “Aku rasa kita perlu bicara. Tentang kita.”Mata Aldi memancarkan keterkejutan. "Maksudmu... hubungan kita?"Ratna mengangguk pelan, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Selama ini, kamu selalu ada untukku, bahkan di saat aku merasa paling jatuh. Kamu memberi dukungan yang luar biasa, dan aku sangat menghargainya. Tapi...”Aldi meraih tangan Ratna, menggenggamnya dengan lembut. “Tapi apa, Ratna? Apa yang kamu rasakan?”Ratna menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberania
"Jadi... ini keputusanmu?" Suara Arga terdengar pelan namun penuh kepastian. Mereka berdua duduk di sebuah bangku di taman kota yang sepi, tempat di mana mereka sering berbincang saat masih remaja, ketika dunia terasa lebih sederhana.Arum menundukkan wajahnya, merasa berat hati untuk mengucapkan kata-kata itu, namun ia tahu bahwa ia harus jujur. "Iya, Ga. Aku... aku nggak bisa berpura-pura lagi. Aku sangat menghargai kamu, semua yang sudah kamu lakukan buat aku, tapi..."Arga tersenyum kecil, meski sorot matanya menyimpan luka yang dalam. "Tapi hatimu tetap untuk Rendra," potongnya, menyelesaikan kalimat yang mungkin sulit bagi Arum untuk diucapkan.Arum mengangguk perlahan. "Maaf... aku merasa begitu bersalah sama kamu. Kamu selalu ada, selalu mendukungku saat aku terpuruk, saat aku sendiri.""Arum," Arga memotong, suaranya terdengar lembut, namun tegas. "Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tahu bagaimana perasaanmu dari awal, tapi aku selalu berharap bahw
"Arum..." Rendra menghela napas dalam, suara lembutnya nyaris tenggelam dalam keheningan sore yang menenangkan di taman kota. Ia menatap Arum dengan penuh harap, sementara gadis itu duduk di sebelahnya, tangan tertaut di pangkuannya, jelas menunjukkan kegugupan yang berusaha ia sembunyikan.Arum menunduk, melihat rerumputan yang bergoyang ditiup angin, mencoba menghindari tatapan Rendra. Ia tahu apa yang mungkin akan dikatakan Rendra. Di satu sisi, ada bagian dari hatinya yang ingin mendengarnya. Namun di sisi lain, ketakutan akan sakit yang sama terulang lagi membuatnya waspada."Aku tahu ini sulit bagimu," Rendra memulai lagi, nada suaranya penuh dengan kerendahan hati dan rasa bersalah yang selama ini tertahan. "Setiap kali melihatmu, aku sadar bahwa luka yang kuberikan masih membekas. Dan aku tahu, mungkin aku tak layak mendapatkan kesempatan kedua."Arum mengangkat wajahnya perlahan, menatap mata Rendra yang kini menunjukkan ketulusan yang dalam, jauh lebih
Arum duduk di teras rumahnya, memandangi langit sore yang mulai meredup. Di tangannya, secangkir teh hangat menemani keheningan pikirannya yang bimbang. Pesan dari Rendra semalam masih terngiang di kepalanya.Ia merasa bahwa setiap kata dalam pesan itu memancarkan ketulusan dan penyesalan yang dalam.Di sisi lain kota, Rendra memandang pantulan dirinya di cermin. Matanya menunjukkan kelelahan yang telah bersembunyi di balik ketenangannya selama ini. Kini, ia sadar bahwa tidak ada yang lebih penting daripada memulihkan kepercayaan Arum dan memperbaiki dirinya sendiri.Dengan tekad yang baru, Rendra turun ke ruang kerja kecilnya. Di sana, di tengah dokumen-dokumen dan berkas yang telah ia susun, ia memulai langkah pertama dalam menebus semua yang pernah ia rusakkan.Ia memutuskan untuk menyusun laporan penuh tentang setiap proyek keluarganya yang mencurigakan dan menyerahkannya ke pihak berwenang. Rendra sadar bahwa inilah satu-satunya cara untuk membuktika