"Astaghfirullah, Alina! Tolong, Nak. Jangan bilang Papamu, ya! Mama mohon. Mama tak mau dimadu, Mama tak mau berbagi. Papa tak boleh mencintai wanita lain selain Mama;" Mama histeris. Aku tertawa geli. Panik ga? Paniklah masa engga!"Gapapa, Ma. Mama mau lihat orangnya?" Mama menggeleng tapi aku tanpa mempedulikan Mama tetap membuka folder galeri di ponsel, lalu memperlihatkan seorang wanita pemilik perusahaan kosmetik ternama yang wajahnya sangat cantik dan tampak masih muda."Ini, Ma. Usianya sudah 45tahun, tapi wajahnya, seperti wanita berusia 30an,"Mama melirik segan tapi penasaran."Al, Mama ga sudi! Pokoknya Mama tak mau jika Papa kawin lagi. Tolong ya, jangan kasih tau Papa," Mama terus memelas."Maaf, Ma. Ini amanah dari Bu Claudia yang wajib Alina sampaikan,""Ya Allah, Al. Mama mohon,"Akhirnya setelah sekian lama saling terdiam, Mama pamit keluar. Aku menutup mulut meredam tawa agar tak terdengar oleh Mama. Segitu aja Mama, udah panik. Apalagi kalau beneran. Karena Bu Cla
Saat sedang menikmati wajah Mama yang syok, ponselku berbunyi.Pesan di dalamnya membuatku cemas. "Kenapa, Sayang?" Ternyata Mas Ubay menangkap wajah cemasku setelah membaca pesan itu."Mas, kamu capek ga?" Mas Ubay masih menatapku bingung."Engga, kenapa emang?"jawabnya kemudian."Bisa tolong antarkan aku ke rumah Flo?"Mama terkesiap."Ngapain, Al? Yang ada nanti Mbak Rosita marah-marah lagi pada kita,""Ini pembantu Flo mengirim pesan, katanya hari ini dia diberhentikan kerja sama Bibi Rosita. Dia tak bisa lagi menjaga Flo. Sedangkan Flo seperti orang depresi, tak mau makan, tak mau ngomong hanya bergumam 'ingin mati saja' gitu, Ma,""Ya Allah, apa yang ada dipikiran Mbak Ita. Astaghfirullah ... Anaknya selamat, seharusnya dia syukuri, bukan malah di sia-siakan,""Entahlah, Ma. Flo sepertinya sudah putus asa, apalagi sikap Mamanya yang juga sudah berubah sejak ada Aina,""Apa hubungannya dengan Aina?" Mama terlihat kaget."Aina menghasut Bi Rosita untuk menyingkirkan Flo, begitu k
"Maaf, Ma. Ubay akan tetap pindah dengan atau tanpa persetujuan Mama. Cukup sudah Mama menyakiti hati Alina. Seharusnya Mama berada di pihak kami. Tapi, nyatanya Mama malah memihak perempuan murahan itu!""Mama sudah tobat! Mama juga tak mau Aina menjadi menantu Mama,""Tetap ini sudah keputusan terakhir Ubay, Ma. Jika saat ini Mama tega kepada Alina. Ubay yakin akan ada Aina-aina lain yang akan membuat Mama kembali menyakiti istri Ubay,"Mama terdiam, sedangkan aku berlari mengikuti masih Ubay. Berusaha membujuknya agar tidak kasar kepada Mama, walau sebenarnya aku juga ingin melakukan hal yang sama. Tapi, memaafkan jauh lebih baik."Tak ada toleransi lagi, Sayang. Besok kita akan menempati rumah ini. Mas akan meminta orang untuk membersihkannya. Karena ini terlalu banyak debu dan kotoran,"Aku tak berani lagi menjawab. Biarlah mungkin ini lebih baik, dan menjadi sebuah pembelajaran untuk Mama,"Kami berniat melanjutkan perjalanan ke rumah Flo. Sekarang sudah mendekati jam dua. Kami
"Pembunuh, kalian pembunuh!"Aku menatap Mas Ubay, sedangkan Mama tampak pucat. Kenapa malah diteriakin pembunuh sama Bibi Rosita?"Ada apa sih, Mbak? Teriak-teriak, ini rumah sakit,"Bukannya malah tenang, Bibi Rosita mendorong tubuh Mama hingga terdorong ke belakang. Mas Ubay dengan sigap menyambut Mama hingga Mama tak terjengkang."Bi! Bibi apa-apaan! Udah syukur anak Bibi kami tolong!""Kalian yang keterlaluan! Sejak awal Flo pulang dari luar negeri, dan dekat dengan keluarga kamu. Dia ketiban sial! Jatuh dari tangga, suaminya dipenjara, dan sekarang jatuh lagi,""Lalu Bibi menuduh kita yang melakukan itu, begitu?"tantang Mas Ubay."Iya! Kalian ngiri pada Flo, kan?""Ngiri? Ngiri untuk apa? Kalau ngiri sudah dari dulu Flo kami aniaya," Bibi Rosita terdiam dan menatapku tajam."Semua sejak ada dia! Kalau saja kamu tidak salah memilih istri, tak akan ada kesialan dalam keluarga kita!""Jaga mulut Bibi! Jangan bawa-bawa istri saya. Saya bisa saja melakukan apa yang Bibi tuduhkan itu
[Baiklah, mbak. Saya akan kirim alamat di sini, ya. Makasih sebelumnya,][Sama-sama, Bu. Saya nitip Mbak Flo. Mbak Flo itu sebenarnya orang baik, hanya saja dia merasa kehidupan tidak berpihak padanya,][InsyaAllah, Mbak,]Aku pun mengirim alamat rumah ini padanya. Sengaja aku tidak memberitahu keadaan Flo, agar dia tak kepikiran.Usai mengirim pesan balasan itu, aku segera keluar. Mama dan Mas Ubay tampak serius menonton televisi. Mama terlihat syok, sedangkan Mas Ubay memilih membuang pandangan ke arah lain."Berita apa, Ma?"Mama menunjuk ke layar datar itu. Mataku sontak melebar. Di sana terlihat jelas Aina yang di bawa polisi, berita tentang kasus Aina yang diduga kumpul kebo dengan managernya, juga ada laporan percobaan bunuh diri pada seorang wanita cacat."Astaghfirullah ..." Lirihku bersamaan dengan Mama. Aku meraih tangan Mas Ubay agar melihat apa yang aku dan Mama perhatikan.Dengan jelas berita itu memperlihatkan video Aina yang mendorong Flo dari dari rumah. Video yang se
"Pembunuh, kalian pembunuh!"Aku menatap Mas Ubay, sedangkan Mama tampak pucat. Kenapa malah diteriakin pembunuh sama Bibi Rosita?"Ada apa sih, Mbak? Teriak-teriak, ini rumah sakit,"Bukannya malah tenang, Bibi Rosita mendorong tubuh Mama hingga terdorong ke belakang. Mas Ubay dengan sigap menyambut Mama hingga Mama tak terjengkang."Bi! Bibi apa-apaan! Udah syukur anak Bibi kami tolong!""Kalian yang keterlaluan! Sejak awal Flo pulang dari luar negeri, dan dekat dengan keluarga kamu. Dia ketiban sial! Jatuh dari tangga, suaminya dipenjara, dan sekarang jatuh lagi,""Lalu Bibi menuduh kita yang melakukan itu, begitu?"tantang Mas Ubay."Iya! Kalian ngiri pada Flo, kan?""Ngiri? Ngiri untuk apa? Kalau ngiri sudah dari dulu Flo kami aniaya," Bibi Rosita terdiam dan menatapku tajam."Semua sejak ada dia! Kalau saja kamu tidak salah memilih istri, tak akan ada kesialan dalam keluarga kita!""Jaga mulut Bibi! Jangan bawa-bawa istri saya. Saya bisa saja melakukan apa yang Bibi tuduhkan itu
Hafidz sudah tidur, aku turun dari ranjang dengan perlahan. Aku meraih ponselku yang sedari tadi terdengar ada pesan masuk di sana.[Bu, saya dapat amanah dari Mbak Flo untuk menyampaikan sebuah surat untuk Mbak Alina. Kemarin saya lupa mengantarkan. Saya langsung pulang, sampai di kampung baru ingat ada surat buat Mbak. Saya kirim pakai eskpedisi saja, ya, Mbak?]Pesan dari pembantu Flo. Tumben Flo tidak berkirim pesan saja atau ngomong langsung denganku.[Baiklah, mbak. Saya akan kirim alamat di sini, ya. Makasih sebelumnya,][Sama-sama, Bu. Saya nitip Mbak Flo. Mbak Flo itu sebenarnya orang baik, hanya saja dia merasa kehidupan tidak berpihak padanya,][InsyaAllah, Mbak,]Aku pun mengirim alamat rumah ini padanya. Sengaja aku tidak memberitahu keadaan Flo, agar dia tak kepikiran.Usai mengirim pesan balasan itu, aku segera keluar. Mama dan Mas Ubay tampak serius menonton televisi. Mama terlihat syok, sedangkan Mas Ubay memilih membuang pandangan ke arah lain."Berita apa, Ma?"Mama
Assalamu'alaikum Alina.Mungkin ketika kamu membaca surat ini, aku sudah tak bisa lagi menyapamu, apalagi membuat hatimu hancur seperti dulu.Maafkan aku ya, Al. Terlalu banyak hal buruk yang aku lakukan padamu. Sedari dulu, saat kita masih putih abu-abu. Kamu tau, Al. Aku melihatmu sebagai makhluk Tuhan yang paling sempurna. Meski kamu tak memiliki harta. Mungkin itu sebuah keseimbangan yang Tuhan ciptakan, agar kamu tetap seperti itu. Sedangkan aku, aku memiliki segalanya. Apa saja yang kuminta akan dikabulkan dengan sekejap mata. Tapi, aku tak memiliki orang yang mencurahkan kasih sayang seperti yang ibu dan bapakmu berikan. Aku tak tahu, apa salahku, sehingga untuk dicintai saja aku harus mengemis terlebih dahulu.Kadang aku merasa aku bukanlah anak yang diinginkan orang tua. Mereka memang mencukupi segala kebutuhan, tapi mereka tidak menyirami jiwaku dengan kasih sayang. Al, maafkan jika aku punya keingin merebut cinta yang tercurah untukmu untuk kumiliki. Aku menginginkan hid
Perjalanan pun kami lakukan, menikmati alam meski kami tengah diberi ujian olehNya. "Kenikmatan kita itu lebih banyak dari pada ujian yang Allah berikan, Sayang. Jangan berkecil hati. InsyaAllah akan ada kemudahan dibalik kesulitan. Nadiva akan menjadi gadis cantik seperti bundanya." Mas Ubay tak henti-hentinya menguatkanku.Bahkan saat Nadiva dibawa ke ruang operasi, dia selalu menjadi tempatku bersandar. Air mata tak kunjung habis mengingat bayiku sedang dalam perawatan.Hafidz dan Bude Tia menunggu di hotel. Aku percaya bude Tia akan menjaga Hafidz selama kami dirumah sakit.Sekitar 3 jam, Nadiva selesai di operasi. Alhamdulillah, Operasinya berjalan lancar. Hanya saja menurut dokter nanti perlu terapi wicara untuk Nadiva. Namun, dokter menyakinkan jika bekas operasi itu tak akan menganggu penampilan Nadiva kelak. Teknologi sudah canggih, apapun bisa tampak sempurna saat ini. Hanya butuh uang saja.***Hari berlalu, tahun berganti.Nadiva sudah menginjak usia 4 tahun. Memang ada s
Kelahiran Nadiva Az-Zahra anak perempuan keduaku menjadi harapan yang seakan kandas. Nadiva lahir dengan keadaan fisik yang tak sempurna. Bibir dan langit-langit mulut Nadiva tidak normal. Orang biasa menyebutnya bibir sumbing. Awalnya aku menangis mengetahui hal itu. Apalagi tampak gurat kecewa diwajah Mama.Bersyukur Mas Ubay selalu menguatkan hatiku."Semua ciptaan Allah itu indah, bersyukur hanya secuil kekurangan ini saja yang Allah berikan pada kita. Tak usah berkecil hati. Nanti kita cari solusi gimana Nadiva bisa tumbuh menjadi gadis yang percaya diri."Mama agak acuh padaku, lebih sering ke rumah Lea yang juga telah melahirkan. Anak Lea laki-laki. Tampan dan sempurna, Mama selalu membicarakan perkembangan Hasan anak kedua Lea itu.Aku lebih sering menghindar dari obrolan itu. Menyibukkan diri di dapur atau pura-pura sedang menyusui Nadiva.Melihat keadaan itu, Mas Ubay memutuskan untuk sementara kami menempati rumah kami yang telah lama kosong.Mama keberatan, tapi kali ini M
"Kalau ada niat mah, apa saja bisa, Ma! Mau tinggal disebelah rumah kita, juga pasti mampu." sahut Papa yang baru datang dari kamarnya."Eh, Om. Apa kabar, Om?""Sehat! Apalagi sejak ada Alina di sini. Berdua dengan mamanya Ubay, cerewetin Om untuk makan makanan sehat dan rutin minum vitamin."Aina mencebikkan bibirnya. Walau segera dia tersenyum setelah itu. Tapi, hati kecilku berkata jika Aina datang bukan membawa keberkahan sebagai seorang tamu. Namun, sedang menunjukkan eksistensinya sebagai wanita pelakor sejati. "Nak Aina mau makan di sini? Kebetulan kami mau makan siang. Tapi, kayaknya bik irah ga masak nasi lebih, ya, Al?" Papa beranjak masuk. Aku berusaha menahan tawa. Papa mengajak orang makan tapi, ga punya nasi. Orang yang punya otak, pasti akan paham maksud papa mertuaku itu."Ga usah, Om. Lain kali aja. Nanti Aina mampir lagi." Tak lama perempuan itu pamit.Aku dan Mama mengantarkanku ke pintu, lalu kami sama-sama kembali masuk dan masuk ke ruang makan."Kamu ini, giman
Bayang-bayang Aina mengusik hatiku. Ternyata perempuan itu sudah keluar dari penjara. Kini penampilannya juga jauh berbeda. Tak ada lagi rambut panjang bergelombang dengan bibir bergincu merah menghiasi wajah.Yang tampak wajah dengan riasan sederhana dibalut kain panjang dan baju longgar seperti yang kukenakan. Tak terlihat apakah perutnya besar atau tidak karena seingatku waktu ditangkap, Aina dalam keadaan hamil. Ah, kenapa dia yang kupikirkan? Tapi, aneh saja. Kenapa dia datang ke restoran? Lalu menatapku dengan tatapan seperti itu. Seolah sedang mengatakan "Aku kembali!"Sudahlah, aku yakin setiap episode kehidupan akan menemukan ujiannya masing-masing. Dan aku sangat percaya, jika aku sanggup melewatinya."Alina, makan dulu, Nak. Ini Mama buatkan sop hangat untuk kamu." Teriakan Mama terdengar dari luar. Aku yang sedari pulang dari resto masih rebahan di kamar. Langsung bangkit dan berjalan ke pintu."Iya, Ma.""Sini, Sayang. Kamu pasti lapar. Mama masak sop iga sapi muda. Hmmm
Aku ingin melawan, tapi rasa sakit ini membuatku tak sanggup bangkit lagi. Doa minta pertolongan tak henti-hentinya aku lafaskan. Hanya pertolongan Allah yang saat ini aku harapkan. Sakit di perut makin menggila. Hingga aku merasa ada yang basah dibawah sana. Ya Allah, kenapa ini? Mencoba meraba, ada warna merah ditanganku. Ya Allah, aku kenapa?Ketika, Alex hendak mendekat lagi, pintu tiba-tiba terbuka dengan kencang hingga menimbulkan suara gaduh Karena pertemuan kayu dengan tembok itu.Beberapa orang laki-laki masuk dan langsung menghajar Alex. Sementara aku tak kuasa lagi menahan rasa sakit di perut."Cepat angkat! Korban mengalami pendarahan." Aku hanya mendengar teriakan itu sebelum semua menjadi gelap.****"Kamu sudah sadar, Sayang? Alhamdulillah, ya Allah..."Mas Ubay mengabaikan pertanyaanku. Laki-laki itu menciumi wajahku, lalu meraih tangan dan menggenggamnya erat. Ada air yang mengambang di matanya."Makasih, ya Allah. Makasih, Sayang, kamu sudah bertahan demi kita, demi
Aku terbangun dalam ruangan serba putih. Kepala masih sedikit pusing. Perlahan aku menoleh mengitari setiap sisi ruangan ini. Sepi, hanya aku sendiri di sini. Tak lama, terdengar samar-samar suara obrolan dari luar. Meski sangat pelan tapi masih dapat kudengar dengan jelas.Aku tersenyum tipis mendengar jawaban Mas Ubay atas permintaan perempuan yang dapat kupastikan itu adalah Aisyah. Silahkan saja coba rebut dia dariku. Aku telah menyerahkan hatiku dan cinta kami pada Allah. Dengan seyakin-yakinnya aku berkata, jika Mas Ubay akan menjadikan aku istri satu-satunya yang akan mendapatkan penghargaan berupa cinta darinya.Terlepas, jika kelak Allah takdirkan dia bersanding dengan perempuan lain, nyatanya cinta kami sudah terlebih dahulu terpupuk bersama.Aku mencoba menulikan pendengaran, seharusnya Aisyah lebih mengerti tempat untuk mengutarakan isi hati. Aku yang kini lemah tak berdaya butuh dukungan untuk bangkit dan melupakan kenangan pahit saat Alex berusaha menjadikan aku wanita
"Cucu saya gimana, Dok?" lirih Mama yang tampak ripuh."Alhamdulillah, sejauh ini dia masih bertahan. Bantu do'a saja ya, Bu. Ini karena Bu Alina banyak kehilangan darah, juga mengalami dehidrasi. InsyaAllah semua akan baik-baik saja."Semua bernafas lega. Alhamdulillah, Alinaku memang wanita kuat, dia wanita hebat yang pernah kutemui. Aku yakin dia akan sembuh dan jauh lebih kuat."Ma, Mama, Papa juga Lea, pulang saja. Biar Ubay yang menjaga Alina di sini.""Mama juga mau di sini.""Ma, Mama harus menjaga kesehatan. Mama sebentar lagi akan punya dua cucu dari Ubay, dan dua cucu dari Lea. Jangan sampai Alina melihat mama dalam keadaan pucat karena kelelahan.""Benar, Ma. Kita pulang, biar Ubay menjaga Alina. Besok pagi-pagi kita kesini. Mudah-mudahan Alina sudah sadar."Akhirnya malam itu aku sendiri menjaga Alina. Jam delapan malam, ada telepon dari Pak Freddy. Aku bergegas keluar agar tidak menganggu tidur Alina."Saya ikut prihatin dengan apa yang terjadi dengan Pak Baihaqi. Saya h
Mama menangis melihat Alina yang masih belum sadarkan diri. Terpaksa aku menyampaikan kejadian yang sebenarnya kepada Mama. Walau sebenarnya tak tega. Tapi, jika nanti ada terjadi hal yang tak di inginkan aku tak mau Mama ngedown."Maafkan Ubay, Ma," lirihku.Mama terisak memelukku."Kamu kalau ada apa-apa kasih tau, Mama. Bagaimana pun Alina anak Mama, menantu Mama. Mama pasti akan mengusahakan yang terbaik untuknya. Kalau sudah begini, terjadi apa-apa dengannya gimana?""Sudah, Ma. Ubay memikirkan kesehatan Mama. Jangan salahin dia terus." Papa berusaha menenangkan Mama. Aku tertunduk, "sabar Bang, Mama hanya syok!" lirih Lea menenangkan."Gimana Mas, apa dalangnya sudah tertangkap?" tanya Arsyad."Belum, Ar. Menurut teman gw yang bekerjasama dengan polisi, orang itu melarikan diri keluar negeri.""Memang siapa dalangnya, Bay?" sahut Papa."Wiliam, Pa."Daniel sudah memastikan jika pelaku adalah William, dan seorang perempuan yang juga pengusaha seperti dirinya. Chaterine, perempua
Sesampainya di sana, gerbang rumah itu terbuka lebar. Sebuah mobil polisi sudah parkir di halaman dan beberapa mobil lain yang kupastikan itu mobil Daniel dan anak buahnya. Ternyata mereka sudah mengrebek rumah itu. Seorang laki-laki yang sangat kukenal sudah dalam kondisi terborgol. "Daniel, mana Alina?""Alina sedang dalam perjalanan ke rumah sakit. Lu susul ke sana. Gw sedang melacak otak dibalik semua ini. Tadi istri lu pingsan. Gw takut terlambat jika menunggu lu, sebab, istri lu pendarahan.""Innalilahi, pendarahan?""Iya, buruan lu ke sana. Laki-laki kurang aj*r ini berusaha menodai istri lu, untung Alina bisa bertahan sampai gw dan polisi datang."Bugh! Sebuah pukulan kulayangkan pada Alex sesaat setelah mendengar penjelasan Daniel."Biad*b!""Sabar, Pak! Kami dari pihak kepolisian yang akan menangani laki-laki ini dan menghukum sesuai hukum yang berlaku." Pak polisi itu mengiring Alex menjauh."Gimana rasanya perempuan bekasku!" ujar Alex dengan wajah yang sudah babak belur.