“Memangnya kenapa? dia bunuh diri atau tidak itu bukan urusanku,” balasnya santai. Benar-benar pria dingin. Dia tidak sepeduli itu dengan wanita lain. “Bukan begitu, Tuan. Masalahnya Nona Jinny terus memanggil nama anda, dan lagi-” Nick menggantungkan kalimatnya. “Kenapa?” tanya Sanders. “Ponsel anda tidak aktif sejak semalam. Tuan William menghubungi saya karena beliau ingin anda ke rumah sakit sebentar,” jelas Nick. Sanders baru ingat. Dia memang sengaja menonaktifkan ponselnya seharian kemarin karena tidak ingin hari sakralnya terganggu dengan urusan pekerjaan. “Apa hubungannya dengan kamu, Sans?” tanya Ella. “Biasalah, Ma. Dia suka cari perhatian. Terakhir aku melarangnya untuk bermanja-manja denganku,” sahutnya datar. Ella memijit keningnya. “Kamu mungkin kurang tegas padanya.” “Tapi aku tidak pernah ada perasaan apa pun padanya, aku hanya anggap dia rekan kerja, itu saja,” sanggah Sanders. “Ya, tapi dia berharap lebih. Lelaki itu ‘kan mikirnya selalu pakai logika, s
“Jadi, kamu kemari karena terpaksa? Bukan karena khawatir padaku?” ulang Jinny. “Tapi, tetap saja aku bahagia kamu kemari, apa aku harus menyakiti diriku terlebih dahulu-” “Baru kemudian bisa mendapat perhatianmu?” tanya dia. Pria itu berdecak keras. “Jinny, sudahi aktingmu, aku tidak akan terpengaruh,” jawab Sanders. “Sampai kapan kau akan terus memaksa orang lain untuk menuruti semua keinginanmu?” Jinny tampak kecewa dengan penuturan Sanders. “Perlu aku tegaskan sekali lagi, ini kedua kalinya. Jika kau terus bersikap seperti anak kecil, terpaksa aku mengambil langkah tegas-” “Lebih baik kau resign dari perusahaan. Aku yakin sebenarnya kau tidak butuh pekerjaanmu itu.”“Kau hanya beralasan agar bisa dekat denganku,” lanjutnya. Memang benar kata Sanders, Jinny bertahan hanya karena ingin mengambil hatinya. Sebenarnya kalau untuk kecukupan materi, dia sudah lebih dari cukup. Toh orang tuanya kaya raya. “Jangan menyalah artikan kebaikanku, aku tidak ada perasaan sedikitpun pa
“Tuan, barusan Papa telfon, aku diminta pulang ke rumah,” ujar Faleesha saat sang suami telah sampai mansion. Gadis itu mengulurkan air putih hangat untuk diminumnya. “Aku sudah jadi suamimu sekarang. Bisakah kamu memanggilku dengan sebutan lain?” tanya Sanders malas. Dia tidak suka sang istri memanggilnya Tuan. Sanders juga heran, Faleesha tidak penasaran sedikit pun perihal dirinya menjenguk Jinny. “Terus, aku harus manggil apa?” Faleesha menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Panggil sayang, atau babe juga boleh,” jawabnya asal. Seketika Faleesha menjulurkan lidahnya pertanda mual. “Kenapa begitu?” sengit Sanders. “Oh tidak apa-apa.” Dia berusaha tersenyum semanis mungkin supaya sang suami tidak tahu jika dirinya ingin muntah mendengar sebutan itu. “Aku belum terbiasa,” balasnya beralasan. “Ya sudahlah terserah kamu saja,” tukas pria itu. Faleesha bernapas lega. Sanders tidak mempermasalahkan. “Diminum dulu air putihnya.” Wajah Sanders mengernyit. “Aku tidak suka
Pagi ini, akhirnya Feleesha menuruti permintaan sang ayah untuk jalan-jalan sekeluarga. Sebenarnya dia enggan bersama ibu dan saudara tirinya, tapi demi merayakan kesembuhan ayahnya, dia setuju. Hingga sekarang pun Fahaz tidak tahu jika obat yang dia minum sebelum Faleesha menghentikannya adalah racun untuk melemahkan syaraf penglihatan. “Makasih ya, Sayang. Papa seneng banget kita seperti keluarga utuh seperti ini.” Tak hentinya bibir pria paruh baya itu tersenyum lebar. Faleesha hanya mengangguk samar. “Kita harus sering-sering jalan sama-sama gini, Pa,” timpal sang istri. “Iya nih, Angel ikut bahagia lihat Papa full senyum,” godanya tak mau kalah. “Ah, kamu sayang, bisa aja,” jawab Fahaz. “Ck, dasar serigala,” batin Faleesha. Gadis itu mencebik merasai Angela semakin pandai berpura-pura. “Kenapa kamu diam saja, Faleesha?” tanya sang ayah. “Oh, tidak apa-apa, Pa,” balasnya cepat. Fahaz kembali tersenyum dan menatap satu persatu keluarganya. Seandainya gad
"Eh, bukan begitu, Pa. Jangan salah paham terus dong.” Kini Ervina mulai kesal. Namun, dia tahan sebisa mungkin. “Terus kenapa kamu melarangku?” “Namanya orang hilang ‘kan harus 24 jam dulu baru lapor, nah ini belum ada satu jam, Pa. Lebih baik kita tunggu dulu deh.”Fahaz menggeleng keras. “Tidak, Mi. Aku tidak bisa diam saja. Anakku tidak kembali, dan Papa curiga ada seseorang yang sengaja menjebaknya.” “Hah? Siapa, Pa? Jangan asal tuduh loh, bisa bahaya,” jelas Ervina mengingatkan. “Kamu tunggu sini, aku mau cek bagian CCTV.” Pria itu segera melangkah menjauh tanpa menunggu jawaban sang istri. “Pa! Tunggu!” teriak Ervina. Namun tidak dihiraukan oleh Fahaz. Dia tidak ingin sang istri menghambat langkahnya. “Huh, dasar tua bangka,” gerutu Ervina. “Semoga saja putrimu tidak ditemukan, sampai kau mati sekalipun,” sungutnya. Senyum tersungging di bibirnya yang merah oleh polesan lipstik. Wanita itu pun mengeluarkan ponselnya guna mengecek. “Halo, bagaimana? Berhasil?” tany
Setelah memperhatikan CCTV selama beberapa detik, Sanders yakin istrinya dibawa oleh orang tak dikenal. Dia menghilang setelah bersama wanita tambun itu. “Faleesha, kenapa kau ceroboh sekali,” gumamnya. Bahkan berselang lama, pria itu memperhatikan CCTV tidak ada jejak sang istri keluar lagi dari pintu toilet. “Apa ada jalan lain yang tidak terekam CCTV?” tanya Sanders pada pengelola mall. “Saya rasa tidak ada, Tuan. Satu-satunya jalan tebusan yang cepat mengarah ke basement dan itupun yang bisa mengaksesnya hanya para pegawai saja,” jelas orang itu. “Tuan, sepertinya ada ikut campur orang dalam,” sela Nick menyadari. “Kau benar, kita harus hati-hati,” balas Sanders. Netranya berubah redup, rahangnya mengeras. “Beraninya mereka mengusik milikku,” gumamnya yang masih bisa didengar oleh Nick. Pria muda itu hanya tertunduk. Dia tahu sang majikan sedang meredam amarahSanders pergi meninggalkan lokasi dengan perasaan campur aduk. Siapa kira-kira yang berani menculik istrinya?B
Faleesha menepis tangan Anita dengan kasar. Dia kesal wanita ini terus menghalanginya sejak tadi. “Maaf,” ujarnya lirih. Saat menyadari dirinya bersikap tak sopan. “Aku hanya tidak ingin kau terkena masalah,” jawab Anita. “Apa peduli anda, Bu?” Faleesha menyorot tajam. “Terserah, aku hanya mengingatkan,” balasnya. Sikap gadis ini mengingatkan Anita pada putri kesayangannya. Keras kepala. Dengan gerak cepat Faleesha mengambil ponselnya yang terselip di bawah kaki. Ah, lowbat. “Jadi kau bawa ponsel kemari?” Suara madam Soraya mengagetkan Faleesha. Wanita itu berdiri diambang pintu. Berganti dengan pakaian yang lebih terbuka. Namun tidak dengan Anita, wajahnya masih terlihat acuh. “Sini kembalikan ponselku, masih muda berani sekali kau ambil barang milik orang lain,” sela Anita. Dengan sigap dia meraih ponsel Faleesha dan mengantonginya. Tentu saja gadis itu melotot tak senang. “Ck, bagaimana kau bisa kecolongan. Sama anak bau kencur saja kau bisa kemalingan!” hardik san
Netra Anita membeliak seketika melihat foto yang tak asing baginya. Sebuah keluarga yang hangat. Seorang gadis kecil yang cantik dengan kedua orang tua yang kompak memeluknya. Tubuh wanita itu seketika lemas. Lututnya gemetar. Bertahun lamanya dia tidak pernah merasakan perasaan ini. Naluri keibuannya tidak pernah salah. Tampak Fahaz dan Meera saat masih muda menggendong gadis berusia dua tahun. Dia masih mengingat jelas momen itu. Lidahnya terasa kelu. Air matanya tak dapat ia tahan lagi. “Faleesha? Apa itu kamu, nak?” lirihnya sembari memukul-mukul dadanya pelan. Anita masih menatap foto itu dengan nanar. “Apa yang terjadi sampai-sampai kamu terjebak di sini, Sayang?” ucapnya lagi membelai foto dalam liontin. Tak mau dipenuhi dengan berbagai pertanyaan. Dia harus segera bertanya langsung pada gadis itu. Apalagi jika memang dia putrinya, Anita tidak boleh tinggal diam. Dia tidak akan membiarkan Faleesha disakiti. Wanita itu menyeka air matanya dengan kasar. Bergegas ban
Sanders menghentikan gerakannya. Dia menatap wajah Faleesha yang sedikit pucat. “Apa kau sakit? Kenapa tidak bilang?” tanya pria itu. Faleesha hanya menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, akhir-akhir ini tubuhku lemas sekali. Aku juga mual kalau mencium baumu.” Sanders seketika mengernyit. “Maksudmu aku bau?” Dia pun mengendus-endus tubuhnya sendiri. Merasai tidak ada yang salah dengan badannya. “Entahlah, aku tidak tau. Kenapa rasanya aku mual jika dekat denganmu,” balas Faleesha. Tetiba gadis itu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi dalam perutnya. Sanders mengikuti dan memijat tengkuk belakangnya. “Istirahatlah, aku panggilkan dokter,” titah Sanders. Faleesha hanya mengangguk lemah. Dia berjalan sembari memeluk pinggang sang suami. Walaupun mual dekat Sanders, tapi Faleesha tiba-tiba ingin sekali bermanja-manja dengannya. “Ck, katamu aku bau,” sungut Sanders merengkuh tubuh mungil istrinya. Tiba-tiba saja, Faleesha ambruk. Beruntung Sanders segera menangkapnya. “
Sesampainya di rumah sakit, Sanders segera memeluk Faleesha erat. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. “Sialan, kau membuatku sangat khawatir,” rutuknya. Pria itu mengecup lembut bibir Faleesha sampai tidak menyadari Meera menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. “Sst, kamu bisa tidak cium aku nanti aja. Itu Mama lagi sedih,” balas Faleesha berbisik. Sanders langsung terkesiap. Dia baru sadar jika ibu mertuanya berada tak jauh dari Faleesha. “Mama,” sapanya. Meera tersenyum sendu. “Tidak apa-apa, aku pernah merasakan seperti kalian. Masa pengantin baru, yang sulit berjauhan.” Sejurus kemudian tatapannya mengarah ke ruang Fahaz dirawat. “Bagaimana kondisi papa mertuamu?” tanya Meera. “Tidak ada luka yang parah, Ma. Dokter sudah menanganinya. Tetapi karena benturan yang cukup keras, Papa belum sadar hingga sekarang,” terang Sanders. “Baiklah, kalian bisa pulang. Aku yang akan menjaga Fahaz,” sela Meera. “Kita obati dulu tangan Mama,” jawab Faleesha. Meera baru s
“Aku yang seharusnya bicara seperti itu, Ervina. Kau datang kemari tidak membawa apa-apa, pergi juga harusnya tidak membawa apa pun,” tegas Meera tak takut. Dia pun lekas memanggil Wira agar membawa Yooshi ke rumah sakit terlebih dahulu. Pria berkaca mata itu datang tergopoh-gopoh dan terkejut melihat darah yang mengalir dari kepala bagian belakang. Sebenarnya, Wira sedikit mencemaskan keadaan Meera tetapi majikannya itu meyakinkannya agar dia berangkat terlebih dahulu. Meera akan menyusulnya nanti. Setelah Wira menghilang dengan membopong tubuh Yooshi. Ervina semakin menyeringai. “Tamat riwayatmu sekarang.” Ervina bergerak cepat mengeluarkan pisau dari balik saku bajunya yang sudah dia sembunyikan dan menyerang Meera. Meera terkejut melihat wanita yang pernah menjadi sahabatnya itu hendak menghunusnya. Dia langsung menahan pisau itu dengan tangannya. Meera meringis kesakitan saat benda tajam itu merobek telapak tangannya. Darah yang mengucur tidak dia hiraukan. Yang terpenti
Secepat kilat mobil Sanders melaju di perjalanan. Dia tidak menghubungi Faleesha terlebih dahulu karena takut sang istri panik. Sesampainya di rumah sakit, Fahaz langsung dibawa ke UGD, beruntung lukanya tidak parah. Hanya benturan kecil yang membuatnya syok hingga pingsan. Dia juga tidak harus dioperasi. Hanya perlu penanganan intensif. Tetapi rahang Sanders sudah mengeras. Pertanda dia benar-benar marah kali ini. “Nick,” panggilnya. “Ya, Tuan,” jawab Nick. “Segera hubungi polisi, dan laporkan kejadian barusan, juga serahkan semua bukti yang memberatkan mereka yang kita dapatkan sebelumnya-” Sanders menjeda ucapannya. “Dan jangan lupa, ambil rekaman CCTV dekat daerah persimpangan kecelakaan terjadi.” “Siap, Tuan.” Pemuda itu bergegas melaksanakan perintah majikannya. Sedangkan Sanders menunggu Fahaz dengan gelisah. Kali ini Ervina dan Angela tidak bisa dibiarkan. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Faleesha muncul. Dia terkejut kenapa waktunya tepat sekali. Apa perasaan se
Fahaz tengah bahagia. Usahanya untuk kembali meminta maaf dan mengambil hati Meera tidak main-main. Walaupun wanita terkasihnya itu masih tidak mau sekedar berbincang, tapi Meera sudah sering mengingatkan dia untuk minum obat. Terkadang ketika ibu kandung Faleesha itu ingin pergi atau angkat kaki dari rumahnya, Fahaz selalu mencari cara agar bisa menggagalkannya. Bertahun lamanya dia telah berbuat tidak adil pada keluarga kecilnya. Ini saatnya menebus semuanya. Bahkan dia tidak ingat sedikitpun tentang Ervina. Wanita licik itu sudah berhasil mengobrak-abrik keluarganya. Fahaz tidak akan membiarkannya kali ini. “Tuan, sepertinya ada yang mengikuti kita sejak tadi,” ujar sang sopir. Fahaz menoleh ke belakang untuk memastikan. “Jalan terus saja, Pak. Abaikan saja. Mungkin kebetulan arah kita sama.” “Baik, Tuan.” “Meera, aku akan menebus kesalahanku dan tidak akan membiarkanmu hidup menderita lagi,” gumam Fahaz dengan wajah berbinar. “Tuan, mobil di belakang semakin mendekat, dan
“Kamu keren sekali,” bisik Emily. Faleesha menghembuskan napas pelan. “Kamu tidak tahu saja betapa aku menyesal kenapa tidak bisa tegas sama mereka dari dulu.” “Bahkan ketika mereka mengucilkan aku dulu, Papa dengan mudahnya percaya begitu saja. Aku tak mendapat dukungan dari siapa pun, Em. Tapi sekarang, aku tidak akan tinggal diam setelah membongkar kebusukan mereka,” lanjut Faleesha. “Bagus, kamu memang harus seperti itu,” jawab Emily memberi semangat. “Makasih ya, sudah mau menemaniku dan menjagaku.” tiba-tiba gadis itu menjadi sentimentil. Karena selama ini merasa tidak pernah punya keluarga dekat. Dari dulu sang Papa melarangnya bertemu siapa pun tanpa alasan yang jelas. “Kau ini bicara apa, sudah jadi tugasku. Kau lupa Tuan akan menghabisiku kalau sampai kau kenapa-kenapa,” jawab Emily. Setelah mengatakannya, gadis tomboy itu membuat gerakan menggores lehernya dengan tangan. Membuat Faleesha semakin terkekeh. “Percayalah, suamiku sekarang tidak sekejam itu,” timpalnya.
Faleesha menghentakkan kakinya dengan keras. Dia memakai pantofel setinggi 5 cm. Tersenyum lebar berjalan menuju kedua ibu beranak itu. Angela dan Ervina tampak melongo melihat penampilan Faleesha. Dia sungguh berkelas. Tidak seperti biasanya yang cenderung casual. “Ngapain kamu di sini?” tanya Angela tak suka. Tatapannya penuh kebencian. Karena bukti yang Faleesha berikan membuat gadis itu menang telak. “Harusnya aku yang tanya, untuk apa kalian datang kemari?” Gadis itu melipat kedua tangannya ke dada. Memberi tatapan tidak bersahabat. “Ck, songong,” gumam Angela kesal. “Begitukah cara kamu berbicara pada ibumu, Fal?” Ervina bersuara. Dia tampak geram melihat tingkah laku Faleesha. Tahu begitu, dulu lebih baik gadis itu dilenyapkan saja. “Lantas aku harus bicara pada Tante dengan nada yang sopan? Sedangkan kalian saja marah-marah tidak tahu tempat, apa tidak malu jadi tontonan banyak orang?” tanya Faleesha penuh penekanan. "Dan satu lagi, Anda bukan ibu saya." “Heh, jang
“Tuan, saya baru saja menerima informasi dari Emily, Nona Faleesha sedang di perusahaan ayahnya,” ujar Nick. Sanders mengernyit. “Untuk apa?” “Kata Emily ada urusan yang harus Nona selesaikan, ibu dan saudara tirinya berulah lagi,” balas Nick. Ada rasa khawatir yang menyeruak dalam hatinya, namun Sanders berusaha mengabaikan. Bagiamana pun, Faleesha harus belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia juga nantinya yang akan menggantikan posisi ayahnya. “Apa kita ke perusahaan Tuan Fahaz saja?” tanya Nick memastikan. “Tidak perlu, jalan saja,” balas Sanders. “Apa Tuan tidak khawatir pada Nona?” “Tentu saja khawatir, tapi dia perlu belajar mandiri jika ingin memimpin perusahaan, Jika nanti ada kendala, barulah aku turun tangan,” balas Sanders. Nick tidak pernah melihat perubahan yang begitu besar pada majikannya selama ini. Dinilainya Sanders jauh lebih tenang dan tidak pernah emosi berlebihan. Faleesha benar-benar membawa dampak yang baik untuknya. “Lagipula katamu tadi, ist
Ada seseorang yang keras kepala selain dirinya. Sanders menyadari William bukan hanya keras kepala. Tetapi juga intimidatif. Namun, pria tua itu juga lupa siapa yang sedang ia intimidasi. “Kalau begitu kau mendekati ajalmu sendiri,” ucap William dengan sorot tajam. “Kita lihat hancurnya perusahaanmu perlahan, karena sebentar lagi pemiliknya akan hancur di tanganku.” Pria paruh baya itu yakin kali ini Sanders tidak bisa berkutik, apalagi dia masuk ke dalam rumahnya tanpa ditemani siapa pun. “Bahkan seekor singa pun tidak pernah menerima kekalahan dengan mudah,” ucap Sanders dengan santai. “Sayangnya kau hanya tikus kecil bagiku sekarang-” “Kupikir kau licik seperti kata orang-orang, rupanya kau tak lebih dari sekedar orang bodoh yang ceroboh. Berani sekali kau datang kemari dengan percaya diri, dan aku berharap bisa keluar dengan mudah?” Tawa William menggema di seluruh ruangan. Dia pikir sudah di atas awan. Menang telak atas ketidakberdayaan Sanders. “Aku memang bisa keluar d