Lili terhuyung kebelakang lalu berjalan mundur sedangkan pria yang ada di hadapannya terus menatapnya dengan tatapan memangsa. "Aku tahu Revan menyembunyikan kamu disini." Ujarnya dengan terus melangkah maju. "Keluarlah! Mas Revan tidak di rumah!" Lili meninggikan ucapannya. Namun bukannya pergi pria itu terus melangkah kan kaki mengikuti langkahnya. "Aku sudah tahu dia tidak di rumah jadi aku kesini untuk menemani kamu Lili." Dengan tersenyum licik. Lili membalikkan badannya, dia ingin berlari tapi tangan teman Revan itu memeganginya. "Aku sudah kecanduan tubuh kamu Lili, aku yakin kamu juga rindu pelanggan setia kamu ini." Ujar pria itu yang berusaha mencium Lili. Lili mendorong dengah kuat pria itu, lalu dia berlari namun lagi-lagi pria jahat itu dapat menangkap tubuhnya. "Aku mohon, aku bukan seperti yang dulu." Dengan menangis Lili mencoba meminta belas kasihan pria itu. "Bagiku sama saja, tubuhmu sudah dinikmati banyak orang lagipula Revan tidak akan tahu kamu melay
"Kalau pas di lidah kamu maka mulai dari sekarang kopi itu akan ada di meja setiap pagi." Wanita itu tersenyum lalu mengambilkan Revan makanan. Keduanya makan sambil mengobrol di meja makan hingga Kirana datang dan bergabung dengan mereka. "Duh asiknya." Entah ungkapan sindiran atau tidak tapi setelah kedatangan Kirana, Revan agak kikuk. Kirana menarik kursi lalu bergabung dengan mereka. Revan yang awalnya aktif bertanya pada Lili kini mulai aktif dengan Kirana sehingga membuat keberadaan Lili seperti tak dianggap. Buru-buru Lili menyelesaikan makan paginya lalu bergegas kembali ke kamar. "Kamu mau kemana Lili?" tanya Kirana. "Ke kamar Kirana, perutku agak kurang nyaman." Jawab Lili lalu mrninggalkan mereka. Kirana dan Revan agak panik, mereka takut terjadi apa-apa dengan kandungan Lili. "Apa kita bawa ke rumah sakit saja Mas?" Bukannya tidak setuju dengan keinginan Kirana tapi pagi ini Revan ada meeting penting. "Bagaimana jika kamu yang membawanya sayang, pagi in
"Eh Mas Rangga." Lalita tersenyum menatap Rangga. Terlihat Rangga begitu bahagia, jika ponselnya tak tertinggal mana mungkin bertemu dengan Lalita. "Kamu ngapain?" Rangga berbasa-basi. "Ini ngantar bekal makan siang tapi Mas Arga kelihatannya sedang makan siang diluar." Wanita itu sedikit terlihat kecewa karena surprisenya gagal kali ini. "Iya Arga dan teman-teman makan sedang keluar makan siang." Ujar Rangga. Melihat Rangga yang tiba-tiba datang Lalita mengira jika pria itu juga mencari suaminya seperti tempo dulu yang tanpa dia tahu pria itu datang untuk mengambil ponselnya. "Pak Rangga pasti mencari Mas Arga ya." Terka Lalita. Rangga hanya tersenyum lalu berjalan menuju sofa tempat dia dan teman-temannya tadi mengobrol.Melihat bekal yang dibawakan Lalita, Rangga pun berbasa-basi. "Sayang sekali bekal makan siangnya." Sambil menatap Lalita. "Iya tahu gini, aku tak perlu pakai surprise segala." Dia terkekeh merasa konyol dengan dirinya sendiri. "Oh ya kalau Mas Rangga kala
Arga masih belum puas, dia terus mempertanyakan perihal makan siang yang dibawakan oleh Lalita tadi. "Astaga Mas, ya aku berikan pada Mas Rangga daripada mubazir." Jawab Lalita. Pria itu mengepalkan tangannya, merasa dicurangi oleh Rangga. Namun Lalita menurunkan emosinya, "Sudahlah Mas, aku baik pada Mas Rangga karena dia teman kamu, aku tidak memiliki niat lebih, aku bisa menjaga batasanku." Wanita itu mengelus punggung suaminya. "Tapi dia mencintai kamu." Sahut Arga ketus. "Dia yang mencintai aku bukan aku." Hanya satu cara agar Arga tidak marah lagi yaitu membuat pria itu berhasrat dan meluapkan semua di atas ranjang. ##### Tak terasa kandungan Lili sudah terlihat, perut yang semula rata kini terlihat berisi. Bahkan pergerakan bayi bisa dirasakan. Revan sangat senang karena kini dia bisa merasakan kehadiran calon bayinya. "Dia bergerak." Pria itu sangat girang. Lili tersenyum melihat Revan yang seperti ini. Seperti anak kecil yang diberi mainan. Saking senang
Hari minggu datang dengan cepat, pagi itu seperti biasa Lili membuatkan kopi untuk Revan. Dengan senyum yang mengembang dia berniat membawakan secangkir kopi itu langsung ke suaminya yang kini berada di taman samping rumah tapi senyumnya perlahan menghilang. Wajah sumringah berubah menjadi mendung. Di taman samping rumahnya, Revan dan Kirana melakukan video call, Revan nampak mengelus perut Kirana, ternyata mereka berakting seolah Kirana tengah hamil. Sebenarnya sah sah saja tapi entah mengapa hati Lili sangat sakit. "Aku yang seharusnya kamu akui sebagai ibu anak kamu Mas." Ucap Lili lalu dia membalikkan badan dan kembali ke kamarnya. Mendengar Kirana mengklaim kehamilannya, Lili tak terima meski ini sudah disepakati bersama. Rasa cintanya kepada Revan membuat Lili terus merasa tak terima dengan apa yang Kirana lakukan. Di dalam kamarnya wanita malang itu menangis, meratapi kesakitan yang setiap hari menghujamnya. "Kenapa semua tidak adil padaku!" Wanita itu berteria
"Revan siapa wanita hamil ini? kenapa kamu membawanya pulang?" Mama Revan menatap anaknya tajam. Revan dan Kirana saling tatap, lalu Revan tersenyum. "Dia adalah Lili Ma, istri anak buah Revan. Suaminya baru meninggal. Karena usia kehamilannya sama seperti Kirana alangkah baiknya jika dia turut hadir." Ujar pria itu. Respon orang tua Revan justru diluar dugaan, mama Revan iba terhadap Lili lalu dia membawa Lili masuk ke dalam rumah. Revan dan Kirana saling senyum, lalu mereka masuk. Mama Revan yang sangat bahagia memperlakukan Kirana dengan sangat baik, begitu pula dengan Lili. Mendapatkan kasih sayang dari Mama Revan, diam-diam Lili menangis hal ini membuat panik Mama Revan. "Kamu kenapa Lili?" tanya Mama Revan dengan menatap Lili. "Tidak kenapa-kenapa Tante, saya hanya terharu karena saya tidak pernah dipeluk oleh ibu." Ucapnya. "Kasian sekali kamu Lili." Rasa iba Mama Revan semakin besar. Memang dari kecil Lili sudah yatim piatu, dia diasuh oleh paman dan bibinya. Ketidaka
"Ketoprak datang.... " Pria itu membawa sebungkus ketoprak yang Lili minta. Mencium aroma kacang membuat saliva Lili mengucur dengan deras. Di samping Lili Revan membuka bungkusan ketopraknya. "Makanlah." Segera Lili mengambil sendok dan memakan ketoprak yang dibawa Revan, dalam sekejam sebungkus ketoprak tandas, "Enak Mas." Ujar Lili dengan tersenyum. Melihat ada sisa makanan di mulut Lili Revan pun mengambilnya. "Seperti anak kecil makan meninggalkan sisa." Kata pria itu dengan tersenyum pula. Lili yang malu menundukkan kepala, kembali dia naik ke awan, dan mungkin dia harus siap-siap terjun bebas kembali. Selepas itu, Revan pamit kembali ke kamarnya. Dia lelah dan harus istirahat. Pagi itu di teras rumah, Kirana dan Mama Revan duduk bersantai, Lili yang ingin menghirup udara segar memutuskan untuk bergabung bersama. Melihat cara orang tua Revan yang menyayangi Kirana entah mengapa membuat Lili iri, seharusnya dia lah yang mendapatkan cinta itu karena dia yang meng
Pertanyaan Revan mendorong Lili untuk tertawa di tengah kesedihannya, ada apa? Revan bertanya ada apa? Perlahan Lili melemparkan tatapannya, menatap tajam kedua bola mata yang sudah menatapnya. "Sikapmu, perhatian kamu membuat aku tertawan Mas, mengetuk pintu hatiku dan memaksa aku mencintai kamu." Mendengar ungkapan hati Lili Revan memalingkan wajah, "Sudah aku bilang jangan main perasaan." Ucapnya pelan. Suara tawa Lili terdengar kembali, "Bagaimana aku nggak main perasaan Mas, kita sudah menyatu bahkan benih kamu berkembang di rahimku, setiap hari kamu memperlakukan aku sangat baik, sekarang katakan padaku, bagaimana caranya aku tidak main perasaan?" Air mata Lili perlahan menetes. Hatinya terasa sesak mendengar ucapan Revan. Pria itu terdiam akan kalimat Lili, dia tidak bisa menjawab atau berkomentar apapun karena semua yang Lili ungkap benar adanya. Di dalam lubuk hatinya yang paling jauh, tak bisa dipungkiri ada rasa cinta yang berusaha dia tekan untuk Lili lant
"Bukan aku yang jahat tapi kamu Sayang! kamu terus saja mengabaikan aku!" Emosi Arga memuncak. Lalita tertawa mendengar ucapan suaminya, dia menolak bukan tanpa sebab karena memang sang buah hati dalam fase pertumbuhan. "Kamu tau kan jika alasan aku menolak karena Arcello, aku lelah! tapi kamu malah di hotel dengan sekretaris itu!" Air mata Lalita mengalir, hatinya tergores akan ucapan Arga. Kerutan di kening Arga mulai kentara, pria itu menatap istrinya dengan lekat. "Aku memang di hotel tapi bukan sama sekretaris!" Pria itu menatap Lalita dengan tajam. "Bohong! mana mungkin ada orang pria booking kamar hotel sendiri kalau bukan membawa jalang!" Kata Lalita dengan keras. "Terserah kamu percaya apa nggak! lagipula aku menginap di hotel bukan tanpa alasan." Pria itu mencoba menahan emosinya. Lalita masih tak percaya dan lagi dia semakin memojokkan Arga sehingga pria itu menghela nafas dalam-dalam. Agaknya pria itu tidak mau mengerti keadaan istrinya sehingga dia memotong debat
Kian hari Arcello semakin mahir berjalan hingga membuat Lalita harus ekstra mengikuti langkah kaki anaknya. Wanita itu sengaja tidak mengekang Arcello, dia membebaskan sang anak yang ingin bermain diluar sambil mengasah kemampuan berjalan.Kemanapun sang anak pergi dia mengikutinya hingga dirinya begitu kelelahan. "Nyonya biar saya saja." Baby sitter meminta Lalita untuk istirahat. Dengan senang dia mengangguk. "Baiklah." Ujar Lalita lalu duduk. Namun baru saja meletakkan pantatnya, Arcello mendekatinya untuk mengajak bermain. Baby sitter yang kesian kepada Lalita berusaha membujuk Arcello tapi kelihatannya bayi itu hanya ingin ditemani oleh sang mama. "Ayo." Dengan menghela nafas Lalita mengikuti langkah kaki sang anak. Hingga siang Arcello masih ingin bermain di taman padahal Lalita sudah sangat lelah. Kelelahan mengurus Arcello membuat Lalita mengabaikan kedatangan Arga. Biasanya Lalita begitu manis ketika dia datang kali ini nampak cuek, bahkan istrinya masih menggun
Hati Kirana sangat sakit mendengar Revan mengucap kata cinta untuk Lili tapi keadaan mereka kini dalam keadaan yang darurat. Namun upaya penyelamatan itu tidak membuahkan hasil, mata Lili tetap menutup untuk selamanya. Revan menangis, kilatan ingatan bersama Lili teringat kembali. Tak bisa dipungkiri dia juga memiliki perasaan yang sama hanya saja rasa itu terus dia tekan karena tidak ingin menyakiti Kirana. Arga pun diberitahu perihal meninggalnya Lili, awalnya Arga tidak peduli tapi Lalita tentu sangat sedih bahkan saat pemakaman Lili wanita itu turut hadir. ##### Setelah menghadiri pemakaman Lili, Arga dan Lalita duduk bersama sang kakek di ruang keluarga. Pria tua itu juga sedih dengan apa yang menimpa Lili. "Kasian sebenarnya anak itu." Ujar kakek. Tak terasa waktu terus berlalu, Arcello kini telah bisa berjalan. Tentu hal ini Arga meminta baby sitter dan Lalita untuk siaga. Suatu ketika, saat Lalita dan Arcello di taman, ponselnya berbunyi. Melihat K
Damar tertawa mendengar ucapan Arga, mana mungkin dia ngidam. Dimana-mana yang ngidam itu wanita bukannya pria. "Anda ada-ada saja Pak, mana mungkin saya ngidam." Ujarnya sambil menggelengkan kepala heran dengan atasannya. "Mana mungkin pria hamil." Sambungnya kemudian. Damar lalu menghidupkan mesin mobil, dan cuitan Arga kembali dia dengar. "Bukan kamu tapi Kania." Mendadak pria itu menginjak rem, "Apa Pak?" Dia segera menatap ke belakang. Sementara itu Arga menatapnya kesal karena hampir saja kepalanya terbentur jok. "Mau aku pecat!" tatapannya tajam. Asisten itu terkekeh kemudian meminta maaf. Setelah masalah itu selesai dia kembali bertanya akan maksud Arga. "Tadi anda bilang Kania hamil?" "Iya, mungkin itu yang membuat kamu ngidam." Ujar Arga. Sepanjang jalan kembali ke kantor, Damar sangat senang, jika Kania benar hamil pastilah dia menjadi manusia terbahagia di dunia. Sepulang dari kantor, Damar bergegas keluar untuk pulang terlebih dahulu, dia melupa
"Entah Sayang, tiba-tiba aku mual." Ujar Damar sambil menutup mulutnya. Kania nampak mengerutkan alis, kilatan ingatan semalam datang. Dia masih ingat bagaimana sang suami menghajarnya dengan rasa nikmat di bathup semalam. "Pasti masuk angin, kamu sih Mas ngajak bercinta di kamar mandi kan gini Akibatnya." Kania mengelus punggung sang suami. Pria itu terkekeh lalu dia mengangguk membenarkan ucapan istrinya. "Bisa jadi." Ucapnya. Karena tidak mungkin memakan masakan istrinya, Damar memutuskan berangkat tanpa sarapan. Siang harinya Arga mengajak Damar untuk makan siang bersama, pria itu meminta sang asisten untuk pergi ke restoran langgananya. Hal aneh terjadi kembali, perut Damar kembali bergejolak ketika melihat makanan yang Arga pesan. "Kamu kenapa?" tanya Arga yang melihat gelagat asistennya. "Saya mual." Jawab Damar. Arga tentu mengerutkan alisnya, "Mual?" Katanya heran. "Iya Pak, mungkin saya sedang masuk angin, " sahut Damar. Tanpa memperdulikan asistennya
Malam itu Lalita dan Arga bersantai sejenak di balkon, mereka mengobrol random hingga obrolan mereka membahas Lili yang kini di rumah sakit. "Lili kasian ya Mas." Kata Lalita dengan menunjukkan raut sedihnya. "Tidak, itu balasan untuk wanita jahat sepertinya." Seketika raut wajah Arga berubah menjadi malas. "Sudahlah Sayang jangan bahas wanita setan itu!" Kekesalannya semakin bertambah. Lalita menghela nafas, tapi agaknya wanita itu belum mau menyudahi bahasan tentang Lili. "Bentar Mas satu lagi, bagaimana bisa teman kamu yang bertanggung jawab atas keadaan Lili? apa jangan-jangan anak Lili anak teman kamu?" Sambil membulatkan mata, Lalita menatap sang suami. Arga berdecak kesal, "Mana mungkin, Revan adalah orang yang setia sama seperti aku." Usai berucap demikian Arga justru tertawa, dia berbangga diri dengan mengklaim dirinya adalah pria yang setia. "Alah, setia apaan kadang masih jelalatan tuh mata lihat yang seger-seger!" Lalita kini yang kesal. Pria itu se
CEO itu segera bertindak, dia meminta dokter yang merawat Lili melakukan yang terbaik, bahkan bila perlu mendatangkan dokter profesional. Hingga sore datang, keadaan wanita itu tak ada perkembangan. Hingga Kirana dan Revan mulai putus asa. "Aku takut terjadi apa-apa dengannya Mas." Ujar Kirana dengan menangis. Revan menenangkan Kirana, dia mengatakan bahkan Lili akan baik baik saja. Karena keadaan Lili masih sama, Kirana dan Revan melihat anak mereka, saat itulah mereka berpapasan dengan Arga dan Lalita yang hendak memeriksakan anaknya. "Arga." Revan memanggil Arga. Mendengar namanya disebut Arga pun menoleh, "Revan." Dia memanggil balik. Revan segera mendekati Arga, dia nampak bersalah kepada Arga karena bagaimanapun juga Lili adalah sepupu Arga. "Siapa yang sakit?" Tanpa basa-basi Arga langsung to the point. Revan dan Kirana saling pandang, lalu kemudian dia bersuara. "Sepupu kamu Arga." Arga dan Lalita mengerutkan alis mereka. Sepupu? Nama Lili telah mereka lupa
Plak.... Sebuah tamparan mendarat di pipi Lili, Kirana yang merupakan wanita lemah lembut kini murka ketika Lili meminta suaminya. "Aku awalnya mengira jika seorang pelacur seorang wanita juga, mau menolong wanita lain tapi aku salah pelacur tetap lah pelacur yang ingin memiliki milik lelaki wanita lain." Dengan tatapan amarah Kirana menatap Lili. Sementara itu Lili justru tertawa, meski hatinya sangat perih akan ucapan Kirana. "Aku meminta suami padamu, kamu malah mengingatkan aku akan asalku, lantas bagaimana dengan dirimu Kirana yang memisahkan seorang ibu dari anaknya, mengambil anak yang aku lahirkan dan setelah itu mendepakku." Kini gantian Lili yang meluapkan isi hatinya. Kirana terdiam seribu bahasa, dia tahu apa yang dia lakukan salah tapi semua sudah menjadi kesepakatan di awal. Seandainya Lili tidak setuju maka kesepakatan ini juga tak ada. Saat bersamaan, tangan Lili menegangi perutnya. Tiba-tiba dia merasakan sakit yang luar biasa. Wanita itu mengerang kesa
Pertanyaan Revan mendorong Lili untuk tertawa di tengah kesedihannya, ada apa? Revan bertanya ada apa? Perlahan Lili melemparkan tatapannya, menatap tajam kedua bola mata yang sudah menatapnya. "Sikapmu, perhatian kamu membuat aku tertawan Mas, mengetuk pintu hatiku dan memaksa aku mencintai kamu." Mendengar ungkapan hati Lili Revan memalingkan wajah, "Sudah aku bilang jangan main perasaan." Ucapnya pelan. Suara tawa Lili terdengar kembali, "Bagaimana aku nggak main perasaan Mas, kita sudah menyatu bahkan benih kamu berkembang di rahimku, setiap hari kamu memperlakukan aku sangat baik, sekarang katakan padaku, bagaimana caranya aku tidak main perasaan?" Air mata Lili perlahan menetes. Hatinya terasa sesak mendengar ucapan Revan. Pria itu terdiam akan kalimat Lili, dia tidak bisa menjawab atau berkomentar apapun karena semua yang Lili ungkap benar adanya. Di dalam lubuk hatinya yang paling jauh, tak bisa dipungkiri ada rasa cinta yang berusaha dia tekan untuk Lili lant