Dengan kantung mata yang menghitam, Aksa menatap pantulan dirinya di depan cermin. Kemeja rapi yang ia pakai tidak membuat wajahnya terlihat segar. Hal itu karena dia kesulitan tidur semalam. Pikirannya terus tertuju pada Era yang tidak bisa dihubungi hingga saat ini. Anggap saja Aksa berlebihan, tapi dia merindukan Era. Tidak bertemu dengan gadis itu selama beberapa jam membuatnya tidak suka. Ditambah fakta dengan kedatangan Ezra semalam. Aksa penasaran, apa yang sebenarnya terjadi? Sambil merapikan dasinya, Aksa kembali melirik ponselnya untuk yang kesekian kali, berharap jika ada nama Era yang muncul di notifikasi ponselnya, tapi yang ada hanya email-email pekerjaan yang iadapat. Selesai dengan kegiatan paginya, Aksa bergegas untuk keluar. Dia memilih untuk berangkat pagi agar bisa mampir ke panti. Dia khawatir dengan Era yang mendadak menghilang.
"Sa!" panggil Bu Ratna semangat saat melihat anaknya,&nbs
Mengambil satu langkah ke depan untuk perubahan yang positif adalah sebuah keharusan.Era memilihkehidupanbaru dengan harapan jika semuanya akan menjadi lebih baik. Setelah menerima banyak nasihat dari orang-orangterdekatnya, akhirnya Era memilih untuk mencobanya.Dia bersedia untuk memberikan ayahnya kesempatan untuk hidup bersama.Era menatap rumah di depannya dengan pandangan menerawang. Sangat asri dengan sentuhan kayu yangindah. Seketika ingatannya tertuju pada adik-adiknya di panti yang suka bermain di atas rumput. Ezra memiliki rumah dengan halaman yangsangatluas."Ayo, masuk. Mama sama Ezra udah nunggu di dalem," ajak ayahnya sambil membawa tas ransel milik Era. Ya, hanya tas ransel karena Era masih ingin beradaptasi terlebih dahulu.Saat sudah berada di dalam rumah, aroma khas kayu mulai masuk ke inderapenciumannya.Eramengingatucapan Ezra tentang pekerjaan ayahnya yang merupakan seora
Kebahagiaan adalah hal yang diinginkan oleh semua orang. Setelah diterpa oleh badai besar, langit cerah adalah momen yang paling ditunggu. Begitu juga Aksa, setelah beberapa tahun hidup menyedihkan tanpa kasih sayang, akhirnya dia dapat kembali merasakan kebahagiaan yang dia inginkan, yaitu dengan hadirnya seorang wanita di hidupnya.Sedari tadi Aksa tidak berhenti tersenyum di depanponselnya.Sudah banyak foto dirinya yang ia ambil. Aksa ingin mengirimkan gambar itu pada Era.Diayakin jikagadisnyaakansenang melihat wajahtampannyapagi ini. Aksa kembali tersenyum setelah berhasil mengirim foto yang menurutnya paling tampan. Padahal semua foto yang dia ambil memiliki gaya yang sama. Pria memang begitu bukan?Sambil menunggu balasan dari Era, Aksa mengambil dasi dan memakainya. Entah kenapa dia terlihat lebih segar pagi ini. Mungkin karena efek berbincang dengan Eravia teleponsemalaman.Ponsel Aksa berbunyi mena
Bagi sebagian orang, mungkin terasa aneh saat melihat remaja memiliki hubungan dengan seorang duda. Banyak yang akan menyayangkan hal tersebut. Namun bagi Era, meskipun duda, Aksa adalah pria yang paling baik di dunia. Terlepas dari masa lalu yang kelam, Aksa adalah pria dewasa yang sangat mengerti dirinya.Saat Era dibingungkan dengan dua pilihan, ada Aksa yang membantunya. Pria itu selalu memiliki jawabanyangmasuk akaldantidak pernah membuatnya kecewa. Aksa dan logikanya membuat Era semakin jatuh cinta. Untuk pertama kalinya dia merasa seperti ini pada seorang pria. Sepertisekarang, Era berdiri di depan panti dengan senyuman lebar. Apalagi saat melihat mobil Aksa yang datang dari kejauhan. Hatinya seketika berbunga-bunga. Seperti rencana yang sudahmereka buat, Era dan Aksaakan mengunjungi panti bersama. Namun karena pekerjaan yang padat, Aksa terpaksa lembur dan meminta Era untuk datang terlebih dulu.Di dalam mobil, Aksa terse
Ciri menjadi dewasa adalah mampu mengambil keputusan dan mampu bertanggung jawab dengan keputusan yang diambil. Berat memang, tapi itu akan terjadi pada semua orang. Jika bisa, Era tidak ingin merasakan hal itu. Dia dilema di antara dua pilihan. Antara Aksa atau keluarganya?Era tersenyum saat melihat wajah Aksa diponselnya. Pria itu tampak serius dengan laptop di depannya.Pria itusudah berada di Singapura sekarang."Kamu kenapa?"tanya Aksa pada Era yang memilih untuk diam. Tidak biasanya gadis itu seperti ini."Nggak papa," jawab Era dengan tersenyum.Aksa melirik jam diruangannyadan kembali menatap Era, "Udah jam 10, kamu harus tidur."Era berdecak dan menggeleng, "Nggak mau.""Besok kamuujian, Ra."Era kembali menggeleng, "Nggak mau," ucapnya lirih. Mungkin hanya dirinya sendiri yang bisa mendengar suaranya."Kamu kenapa, hm?""Kak Aksa cintanggaksama aku?" tanya E
Dengan langkah pelan, Era mulai memasuki panti. Hari terakhirujiandiamemutuskan untuk datang ke tempat ini, tempat di mana dia habiskan seluruh masa kecilnya dengan limpahan kasih sayang dari Bu Asih. Kedatangan Era disambut bahagia oleh adik-adiknya. Dia tersenyum tapi tidak dengan hatinya, seolah banyak beban yang ia tanggung dan memaksa untuk segera dikeluarkan."Loh, kamudateng, Ra? Kok nggak kabarin Ibuk?" Bu Asih keluar dari dapur saat mendengar teriakan heboh dari anak-anakasuhnya."Ibuk," ucap Era sambil merentangkan kedua tangannya. Tanpa bisa dicegah air mata itumulaimengalir. Bu Asih yang bingung hanya bisa pasrah saat Era memeluknya erat. Dia tidak tahu apa yang terjadi pada Era."Kamu kenapa? Ada masalah di rumah?" tanya Bu Asih khawatir.Era menggeleng dan mulai menghapus air matanya. Dia memilih untuk duduk di sofauntukmenenangkan diri. Era butuh pencerahan sekarang. Dia tidak bisa
Waktu berlalu begitu cepat. Semua persiapan sudah Era lalukan sebelum pergi. Ini pertama kalinya dia keluar negeri dan bersyukur keluarganya mau membantunya. Tidak banyak barang yang dia bawa, mengingat jika di sana pun Era akan mengenakan pakaian baru. Hal itu dikarenakan musim yang berbeda.Selama beberapa hari menjelangkeberangkatannya, Era sering menghabiskan waktu bersama Aksa. Bukan hanya pria itu, tapi jugaBian. Era akan merindukan anak itunantinya.Bianterlihat sedih saat mendengar keputusannya, tapi saat Aksa menjelaskan tujuan Era,Bianmau menerimanya. Dia malah meminta Era untuk menjadi guru pribadinya nanti jika sudah kembali ke Indonesia.Bianmasih memeluk Era erat. Bibirnya yang maju membuktikan jikadiasedang kesal sekarang. Bahkan ucapan ayahnya ia abaikan. Telinganya seolah tertutup rapat dengan segala bentuk alasan."Bian,dengerinPapa."Bianmenutup telinganya dengan kedua
Suara alarm yang terdengar nyaring mulai mengganggu tidur Era. Dengan mata yang terpejam,dia meraih ponsel dan mematikan alarm-nya cepat. Saat akan kembali tidur,ponselnyakembali berbunyi. Kali ini bukan alarm, melainkan panggilan dari Ezra."Ezra! Lo sengaja ya?!" teriak Era dan mematikanponselnyacepat."Bangun, Nyet!" teriak Ezra dari luar kamar sambil menendang pintu.Dengan malas Era mulai bangkit dari tidurnya. Terlihat dengan jelas kantung mata di wajahnya. Dia hanya tidur tiga jam setelah menyelesaikan sketsa gambar untuk ayahnya. Ya, dia masih menekuni hobimenggambarnyahingga saat ini. Meskipun menggambar adalah kesukaannya, tapi Era tidak mengambil jurusan desain ataupun arsitek seperti ayahnya. Dia justru mengambil jurusan bisnis yang menurutnya memiliki peluang lebih luas. Setidaknya itu yang dia pikirkan dua tahun lalu. Ternyata jurusan bisnis tidak semudah yang ia kira."Bangun, Ra." Pintu terbu
Dua tahun berlalu, kehidupan Aksa masih sama. Dia seolah kembali ke masa lalu di mana ia masih sendiri. Namun kali ini rasanya begitu berat karena dia memiliki seseorang yang ia cintai. Berbeda dengan dulu yang meskipun Aksa sendiri tapi tidak ada beban rindu yang ia rasakan.Selama empat tahun menjalani hubungan jarak jauh dengan Era, Aksa merasa ada perubahan pada gadis itu, perubahan ke arah positif tentu saja. Meskipun Era semakin dewasa, baik secara fisik dan pemikiran tapi ada masanya gadis itu masih menangis di telepon karena sulitnya tugas kuliah yang ia kerjakan. Di saat seperti itu, Aksa ingin sekali memberi dukungan dan masukan secara langsung untuk Era. Namun ia tidak bisa karenakesibukannyadi sini. Bahkan bisa dihitung dengan jari berapa kali mereka bertemu dan itupun hanya berlangsung selama beberapa jam. Aksa juga harus diam-diam agar tidak ketahuan ayah Era. Jika tidak ingat ucapan Ezra tentang tes dari ayah Era, tentu Aksa memilih untu
Aksa membuka matanya saat cahaya matahari mulai menyilaukan mata. Setelah berhasil membuka mata dengan sempurna, Aksa melihat siluet tubuh istrinya yang berdiri didepanjendela, tampak menikmati udara pagi Belanda yang sejuk."Jam berapa?" tanya Aksa dengan suara serak. Tangannya meraih selimut untuk menutupi tubuhtelanjangnya."Jam tujuh." Era berjalan mendekat dengan senyum manisnya. Era tampak cantik dengan baju tidur putihnya. Seketika Aksa mengalamiDejavu. Dia seperti pernah merasakan hal ini sebelumnya, tapi dia lupa kapan dan di mana. Kening Aksa berkerut mencoba untuk berpikir. Dia masih menatap Era yang berdiri di depannya denganpenasaran. Benar saja! Seketika Aksa teringat dengan mimpi-mimpinya dulu. Dia pernah bermimpi seperti ini sebelumnya. Persis dengan Era yang membangunkannya di pagi hari. Apa mimpi itu adalah gambaran tentang masa depannya? Jika iya, maka Aksa sangat takjub dengan takdir Tuhan."A
Seperti yang sudah Aksa dan era duga sebelumnya. Sepulang dari bulan madu, sudah banyak kegiatan yang menanti mereka. Liburan yang dijadwalkan hanya berlangsung selama dua minggu mundur menjadi tiga minggu. Terima kasih pada Aksa yang sudah mengabulkan permintaan Era untuk melihat Napoli. Bulan madu mereka meninggalkan kesan yang membahagiakan untuk Era.Untuk pertama kalinya dia dapat berlibur berdua dengan orang yang ia cintai. Sudah bertahun-tahun Era menunggu momen ini. Bukan hanya dirinya,tapijuga Aksa."UdahSiap?" tanya Aksa masuk ke dalam kamar. Pria itu terlihat tampan dengan jas abu-abu yang dipakainya.Era mengangguk dan mulai mengambil tasnya. Hari ini adalah hari yang penting untuknya. Untuk pertama kalinya Era akan membuka toko interior danfurnituremiliknyasendiri. Terima kasih pada ayahnya yang sangat bekerja keras untuk membantu mewujudkan mimpinya itu."Papa sama Mama udah ada di sana. Kita sedikit t
Denganmengenakankaca mata hitamnya, Era dan Aksa mulai keluar dari bandara. Di sana, sudah ada seseorang yang Aksapekerjakanuntuk menjadi supir mereka di Italia selama dua minggu. Ya, akhirnya Italia menjadi tujuan bulan madu mereka. Semua keputusan ada di tangan Aksa dan Era hanya menurut. Era memang tidak memiliki keinginan untuk mengunjungi suatu tempat. Baginya, selama ada Aksa, dia tidak masalah."Kalau Kak Aksa capek bisa tidur dulu." Era memberikan bahunya.Aksa terkekeh mendengar itu. Lihat, Era sangat berbeda. Biasanya pria yang akan mengatakannya tapi itu tidak berlaku untuk Era. Wanita itu jauh lebih dewasa sekarang, meski sifatkekanakannyamasih ada."Kamu aja yang tidur." Aksa menarikkepalaEra untuk bersandar di bahunya."Sebentar," ucap Era. Meskipun menolak tapi dia tetap bersandar di bahu Aksa dengan nyaman. Tidak tidur, mata Era malah masih tertuju padaponselnya."Kamu cari
Era keluar dari mobil bersamaBian. Matanya menatap halaman rumah Aksa dengan tatapan tenang. Mulai hari ini, Era akan tinggal di rumah ini, rumah yang dia pikir hanya akan menjadi markas sementara saja. Namun siapa sangka jika dia akan tinggal di rumah ini selamanya?Aksa membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper Era. Melihat itu,Era membantu denganmembawatas-tas kecil yang berisi beberapa kebutuhannya."Ayo, masuk," ajak Aksa.Era masuk dengan menggandeng tanganBian. Saat akan membuka pintu utama, Aksa dikejutkan dengan ibunya yang lebih dulu membuka pintu dari dalam. Wanita paruh baya itu tersenyum senang danmerentangkankedua tangannya,"Selamat datang!" teriaknya.Era terkekeh melihat tingkah ibu mertuanya. Sampai saat ini Era masih belum percaya jika Bu Ratna akan menjadi ibu mertuanya. Tidak ada yang berbeda, karena selama ini Bu Ratna sudah menganggap Era sebagai anaknya."Ayo, masuk." Bu Ratna m
Tepat pukul delapan pagi, di sebuah masjid yang cukup ternama, rombongan dari dua keluarga sudah memenuhi ruangan yang telah disediakan. Hanya ada keluarga dan saudara yang datang di acara akad nikah ini. Semua mata tertuju pada Aksa sekarang. Pria itu terlihat tampan dengan pakaian putihnya, senada dengan pakaian Era. Namun bukan pakaian yang menjadi fokus utama, melainkan tangan Aksa yang mulai menjabat tangan ayah Era.Dengan penuh keyakinan, Aksa mulai mengucapkan kalimat sakral yang akan menjadi gerbang menuju hubungan yang lebih resmi. Semua orang tampak menahan napas saat Aksa melakukannya. takut jika pria itu akan melakukan kesalahan. Meskipun bukan kali pertama, bukan berarti Aksa mahir dalam hal ini bukan?"Sah!" ucap para saksi yang membuat semua orang mulai bernapas lega, termasuk Era.Mata Era yang sedari tadi terpejam mulai terbuka. Perlahan matanya memanas, dia tersenyum saat Aksa melakukannya dengan sangat lancar. Sedari tadi jantung Era ti
Di sore yang cerah, Era memutuskan untuk berkunjung ke rumah Aksa. Bersyukur hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak disibukkan dengan pekerjaannya. Era memang sengaja tidak mengabari Aksa, lagi pula dia memang ingin bertemu dengan Bian. Motor Era berhenti di garasi rumah Aksa. Meskipun sudah memiliki banyak uang, tapi Era masih tetap menggunakan motor lamanya. Bukannya apa, tapi motor itu adalah saksi mata atas perjalanan hidupnya yang menakjubkan.Dengan membawa beberapa kotak donat dan es krim, Era mulai mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Bibi yang tersenyum melihatnya."Mbak Era, ayo masuk, Mbak. Kebetulan Dek Bian lagi main di belakang.""Makasih, Bi. Ini tolong es krim-nya dimasukin kulkas ya.""Iya, Mbak."Era mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Saat di ruang tengah, dia meletakkan donat yang dia bawa di atas meja. Pandangannya mengedar ke segala arah. Perlahan senyum bahagia menghiasi wajahnya. Era masih ingat s
Di sebuah kafe, terlihat seorang pria tengah kebingungan melihat pasangan di depannya yang tengah berdebat. Dia hanya bisa diam dan menunggu keputusan final yang akan disampaikan. "Lebih bagusoutdoor, Kak." Era masih berusaha untuk membujuk Aksa. "Indoorlebih enak, Ra. Kamu nggak takut hujan apa?" Era mendengkus, "Panggil pawang hujan." "Pawang hujan bisa kalah sama takdir Tuhan." Ucapan Aksa membuat Era menutup mulutnya rapat. Dia kesal dengan Aksa yang meminta pernikahan mereka dilaksanakan di dalam ruangan. Sejak kecil, Era memiliki impian untuk menikah di taman bunga. Apa salahnya jika dia menginginkan itu sekarang? Pernikahan hanya akan terjadi satu kalibukan? "Jadi gimanaPak..Bu?" tanya Ardi, pria muda yang sedari tadi duduk di depan mereka, menunggu Aksa dan Era selesai berdebat. "Indoor." "Outdoor." Mereka menjawab secara bersamaan. Era berdecak dan menatap pria di sampingny
Langit yang cerah seolah mendukung suasana yang ada. Taman belakang rumah Era telah disulap sedemikian rupa menjadi tempat acara yang luar biasa. Sama seperti langit, wajah semua tamu juga samacerahnya. Terutama dua bintang utama hari ini, Era dan Aksa.Dengan mengenakan batik, Aksa terlihat tampan hari ini. Dia tidak ragu untuk menunjukkan senyumnya. Senyuman yang mampu membuat semua orang terpesona. Begitu juga Era, dia tampak cantik dengan kebaya modern yang senada. Sama seperti Aksa, Era tidak bisa menyembunyikankabahagiaannya.Acara pertunangan dibuat privat dengan mengundang keluarga, orang-orang terdekat,danawak media yang terpilih. Tentu saja wartawan ikut hadirkarenaAksa adalah salah satu pengusaha yang cukup berpengaruh. Mereka yakin jika berita inimuncul di pemberitaannanti,akanbanyak wanita yang patah hati karena Aksa Kusumaakan segera menikah."Sini,Bian!" panggil Era pada&n
Di pagi hari, Era sudah duduk di meja kerjanya sambil berkutat dengan komputernya. Meskipun dia bekerja untuk kekasihnya tapi bukan berarti dia bisa bermalas-malasan. Niat Era bekerja di sini tak hanya ingin dekat dengan Aksa, tapi dia juga ingin belajar. Meskipun Aksa dan Era adalah sepasang kekasih, tapisaatjam sudah menunjukkan waktu bekerja maka mereka akan berubah profesional. Bahkan Era menggunakan bahasa baku jika berbicara dengan Aksa. Bukannya apa, tapi memang harus seperti itu bukan?Telepon di meja Era berdering. Dengan segera dia mengangkatnya, "Ya, Pak?" sapa Era."Saya minta data pengeluaran bulan lalu, Ra.""Baik, Pak."Seperti itulah interaksi Era dan Aksa saat bekerja. Apa ini kemauan Aksa? Tentu saja tidak. Era yang memberikan ide ini. Setidaknya sebelum mereka sah, Era tidak ingin ada pemberitaan negatif tentang dirinya. Dia tidak mau para karyawan beranggapan jika dia adalah anak emas Aksa. Meskipun itu benar, tapi Era tida