Suasana gedung olah raga terlihat sangat ramai. Turnamen basket sudah dimulai. Bersama dengan Pak Roni, Aksa duduk di kursi khusus untuk para wakil sekolah. Hari ini ada pertandingan dari beberapa sekolah, oleh karena itu gedung ini terlihat ramai dan sesak oleh para pendukung. Aksa mulai menikmati jalannya pertandingan. Dia tersenyum bangga melihat anak-anak didiknya yang memiliki poin lebih unggul. Dia juga bisa melihat Ezra duduk di bangku cadangan. Aksa akan bersikap tidak peduli untuk saat ini.
Suara melengking dari salah satu pendukung membuat semua orang tertawa tapi tidak untuk Aksa. Dia mencari asal suara itu dan terkejut saat melihat Era yang berdiri di kursi penonton dengan spanduk berukuran sedang di tangannya.
"Anak 12 nggak ada pelajaran tambahan, Pak?" tanya Aksa pada kepala sekolah.
"Ada, tapi khusus pertandingan sekolah kita aja mereka bisa ikut, Pak. Habis selesai, mereka langsung kembali ke sekolah," ucap Pak Roni menjelaskan, "Biar mere
Kehilangan. Semua orang tentu tidak ingin merasakan hal itu. Namun bagaimana jadinya jika kau merasa kehilangan tanpa tahu penyebab kenapa harus merasa kehilangan? Itu yang dirasakan Era saat ini. Sudah berhari-hari tidak bertemu dengan Bian membuatnya resah dan bingung. Tentu Era tidak tinggal diam. Dia juga sudah menghubungi Bu Ratna, tapi kesibukan menjadi alasannya. Era sadar jika ada sesuatu yang aneh di sini. Sesibuk apapun Bu Ratna, wanita itu pasti akan menyempatkan diri untuk berkunjung ke panti."Ra!" Aldo menepuk bahunya, "Ikut liat pertandingan kan?"Era mengerutkan dahinya untuk berpikir. Jam sekolah sudah selesai dan saat ini banyak murid yang akan menuju lokasi turnamen basket secara bersama-sama. Era ingin ikut, tapi dia mempunyai rencana lain kali ini."Gue skip dulu ya?”"Kenapa nggak ikut?" tanya Lala kecewa. Tentu saja kecewa, grup mereka tidak akan sama jika salah satu di antara mereka memilih untuk absen."Nggak ta
Hari minggu, hari di mana semua orang terbebas dari beban pekerjaan yang menumpuk. Biasanya orang-orang akan bersantai atau bermalas-malasan di atas kasur, tapi tidak untuk keluarga Aksa. Di pagi hari, rumah sudah heboh karena tingkah Bian."Nek, nanti bawa sepatu olahraga ya. Bian mau main bola," ucap Bian dengan mulut yang penuh akan nasi.Bu Ratna hanya mengangguk dan memasukkan semua keperluan Bian ke dalam tas. Sudah ada Bibi yang membantunya menyuapi cucunya sarapan."Mau warna merah, Nek." Bian kembali berbicara sambil menunjuk sepatu berwarna ungu."Ini warna ungu, Bian.""Iya, itu maksud Bian, yang warna ungu." Bian tertawa.Tidak ada kata santai untuk Bu Ratna. Di pagi hari, dia harus sudah siap dengan keperluan Bian dan dirinya. Hari ini Bu Ratna akan pergi ke Bandung, tapi tidak dengan Bian. Bu Ratna akan menitipkan cucunya ke panti."Mana Papa kamu? Kok belum turun? Katanya mau anter ke panti," tanya Bu Ratna setela
Setiap orang pasti memiliki rahasia yang harus disimpan dengan rapat. Namun bagaimana jadinya jika rahasia itu terbongkar dan diketahui oleh banyak orang? Itu yang dirasakan Aksa saat ini. Seperti kata peribahasa, angin tak dapat ditangkap, asap tak dapat digenggam yang artinya rahasia tidak selamanya dapat disembunyikan, akhirnya akan terbuka juga.Aksa tidak pernah menyesal dengan apa yang dia katakan pada Era malam itu. Hatinya justru merasa lega. Aksa memang takut akan jawaban Era, tapi setelah beberapa hari menenangkan diri, dia memilih untuk menerima apapun jawaban Erananti."Nggak ke kantor, Sa?" tanya Bu Ratna melihat anaknya berdiri santai di samping kolam renang.Aksa yang sudah rapi dengan kemeja kantornya masih terlihat santai dengan secangkir kopi panas di tangannya. Pria itu menoleh dan tersenyum pada ibunya,"Sebentar lagi," jawab Aksa kembali menatap kolam renang."Kangen Era ya?" tanya Bu Ratna tepat sasaran,"Kamu b
Bagi Era, tidak ada keinginan lain selain memelukBiansaat ini. Setelah lomba berakhir, dengan cepat dia mengemasi barangnya dan berlari kecil menghampiriBian. Anak kecil itu terlihat lucu saat melambaikan tangannya pada Era.Langkahkakinyaterhenti saat Ezra muncul di hadapannya. Pria itu tersenyum sambil melambaikan tangannya. Melihat itu, Era mendorong Ezra dan kembali berlari menghampiriBian."Sialan lo, Ra!" teriak Ezra kesal."Bodo!" balas Era menjulurkan lidahnya.Saat sudah berada di hadapanBian, Era menunduk dan memelukbocahitu erat. Begitu erat sampai membuatBiantertawa karena tingkah Era."Kenapa nggak pernah main ke panti?" tanya Era sedikit merenggangkanpelukannya.Biantampak bingung dan mulai menatap ayahnya. Mata Era menyipit melihat itu. Dengan kesal dia menatap Aksa yang memilihuntukmengalihkan pandangannya."NggakdibolehinPapa
Hari Minggu, hari di mana Aksa lebih senang berada di rumah untuk beristirahat. Namun, tidak untuk sekarang. Aksa masih mengingat jelas ucapan Era untuk lebih meluangkan waktu bersamaBian. Sekecil apapun itu, pasti akan membekas dan berkesan di hati anaknya.Di dalam mobil, Aksa tersenyum sambil menatap jalandi depannya. Sesekali dia melirikBianyang tengah bernyanyi di sampingnya.Pagi tadi, Aksa mengajakBianuntuk olahraga di taman. Memang hanya dirinya yang olahraga, karenaBianmemilih bermainbersamaanak-anak lainnya. Tipikal seorangBian, mudah sekali untuk bersosialisasi, sama seperti ibunya."Mau es krim, Pa.""Habis olahraga kok makan es krim?" tanya Aksa masih fokus menyetir."Dikit aja, Pa. Nanti habis makanBianolahraga lagi.""Mau es krim rasa apa?" Aksa menghentikan mobilnya di depan kedai es krim."Durian!" teriakBiansemangat."E
Mantan terindah. Menurut Aksa, tidak ada yang namanya mantan terindah. Jika memang terindah, tentu suatu hubungan tidak akan berakhir. Pasti akan dipertahankan bagaimanapun caranya. Jika memang sudah berakhir, berarti dia bukanlah pasangan terindah yang diberikan oleh Tuhan.Sesimpelitulah isi pikiran Aksa.Dari kejauhan,diabisa melihat Renata yang tengah berenang bersamaBian. Mereka tertawa bersama dan Aksa bersyukur akanhal itu. Setelah menunggu setahun lebih, akhirnya Renata bisa datang untuk mengunjungi anaknya.Kesibukannyasebagai pembawa acara kuliner di Belanda yang membuatnya sulit untuk mencari waktu luang."Sa! Ayo, ikut renang!"panggilRenata saat melihatAksayang hanya diam.Aksa menggeleng dan membiarkanBianmenikmati waktu bersama ibunya. Sudah dua hari wanita itu rutin berkunjung ke rumahnya. Tujuannya hanya satu, yaitu menemaniBiandan melepas rindu dengan a
Sudah beberapa hari berlalu tapirasa malu yang Era rasakan tidakkunjunghilang.Dia masih mengingat jelas kebodohannya di depan Aksa. Pria itu terlihat senang saat berhasilmenggodanya. Terpaksa Era harus menjauh demi kesehatan jantungnya sendiri.Aksi menghindari Aksa masih berlangsung hingga saat ini, tapi entah kenapa Bu Asih seolah tidak mendukungnya untuk bersembunyi. Dengan santainya wanita itu meminta Erauntukmengantarkan sayur nangka muda kesukaan Bu Ratna. Era yang memang segan untuk menolak memilih untuk menurut. Dia hanya bisa berdoa supaya Aksa tidak ada di rumah.Doa buruk tidak akan pernah terkabul. Era berdiri di halaman rumah Aksa dengan lemas. Dia bisa melihat dengan jelas mobil pria itu di halaman. Aksa ternyata sudah kembali dari kantor. Ingin sekali Era lari dan menitipkan makanan yangiabawa pada satpam, tapi tentu dia tidak akan melakukannya. Era masih mempunyai sopan santun, setidaknya untuk Bu Ratn
Keresahan membawa keberuntungan, kalimat ituberlakuuntukErasaat ini. Keresahan yang dia rasakan selama beberapa hari terakhir ini berakhir dengan mimpi indah.Bahkan hingga saat ini Era masih berpikir jika semuanya adalah mimpi. Keberadaan Renata di samping Aksa yang membuatnya nekat untuk menyatakan perasaannya yang sebenarnya. Jika tidak ada Renata, mungkin Era tidak akan menyadari perasaannya hingga saat ini.Bukan bodoh, tapi Era tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya. Hidupnya hanya dipenuhi dengan pendidikan dan adik-adiknya. Percintaan adalah nomor sekian yang akan ia pikirkan. Namun siapa sangka di usianya yang ke-18 ini Aksa hadir masuk ke dalam hidupnya. Seorang duda beranak satu yang mampu menggetarkan hatinya. "Ra, kenapa lo senyum-senyum?" bisik Lala saat melihat Era mendengarkan materi dengan tersenyum. "Orang kalo lagi pelajaran biasanya wajahnya kusut, lah ini malah ceria. Lo stres ya?" tanya Aldo yang ikut merasa bing
Aksa membuka matanya saat cahaya matahari mulai menyilaukan mata. Setelah berhasil membuka mata dengan sempurna, Aksa melihat siluet tubuh istrinya yang berdiri didepanjendela, tampak menikmati udara pagi Belanda yang sejuk."Jam berapa?" tanya Aksa dengan suara serak. Tangannya meraih selimut untuk menutupi tubuhtelanjangnya."Jam tujuh." Era berjalan mendekat dengan senyum manisnya. Era tampak cantik dengan baju tidur putihnya. Seketika Aksa mengalamiDejavu. Dia seperti pernah merasakan hal ini sebelumnya, tapi dia lupa kapan dan di mana. Kening Aksa berkerut mencoba untuk berpikir. Dia masih menatap Era yang berdiri di depannya denganpenasaran. Benar saja! Seketika Aksa teringat dengan mimpi-mimpinya dulu. Dia pernah bermimpi seperti ini sebelumnya. Persis dengan Era yang membangunkannya di pagi hari. Apa mimpi itu adalah gambaran tentang masa depannya? Jika iya, maka Aksa sangat takjub dengan takdir Tuhan."A
Seperti yang sudah Aksa dan era duga sebelumnya. Sepulang dari bulan madu, sudah banyak kegiatan yang menanti mereka. Liburan yang dijadwalkan hanya berlangsung selama dua minggu mundur menjadi tiga minggu. Terima kasih pada Aksa yang sudah mengabulkan permintaan Era untuk melihat Napoli. Bulan madu mereka meninggalkan kesan yang membahagiakan untuk Era.Untuk pertama kalinya dia dapat berlibur berdua dengan orang yang ia cintai. Sudah bertahun-tahun Era menunggu momen ini. Bukan hanya dirinya,tapijuga Aksa."UdahSiap?" tanya Aksa masuk ke dalam kamar. Pria itu terlihat tampan dengan jas abu-abu yang dipakainya.Era mengangguk dan mulai mengambil tasnya. Hari ini adalah hari yang penting untuknya. Untuk pertama kalinya Era akan membuka toko interior danfurnituremiliknyasendiri. Terima kasih pada ayahnya yang sangat bekerja keras untuk membantu mewujudkan mimpinya itu."Papa sama Mama udah ada di sana. Kita sedikit t
Denganmengenakankaca mata hitamnya, Era dan Aksa mulai keluar dari bandara. Di sana, sudah ada seseorang yang Aksapekerjakanuntuk menjadi supir mereka di Italia selama dua minggu. Ya, akhirnya Italia menjadi tujuan bulan madu mereka. Semua keputusan ada di tangan Aksa dan Era hanya menurut. Era memang tidak memiliki keinginan untuk mengunjungi suatu tempat. Baginya, selama ada Aksa, dia tidak masalah."Kalau Kak Aksa capek bisa tidur dulu." Era memberikan bahunya.Aksa terkekeh mendengar itu. Lihat, Era sangat berbeda. Biasanya pria yang akan mengatakannya tapi itu tidak berlaku untuk Era. Wanita itu jauh lebih dewasa sekarang, meski sifatkekanakannyamasih ada."Kamu aja yang tidur." Aksa menarikkepalaEra untuk bersandar di bahunya."Sebentar," ucap Era. Meskipun menolak tapi dia tetap bersandar di bahu Aksa dengan nyaman. Tidak tidur, mata Era malah masih tertuju padaponselnya."Kamu cari
Era keluar dari mobil bersamaBian. Matanya menatap halaman rumah Aksa dengan tatapan tenang. Mulai hari ini, Era akan tinggal di rumah ini, rumah yang dia pikir hanya akan menjadi markas sementara saja. Namun siapa sangka jika dia akan tinggal di rumah ini selamanya?Aksa membuka bagasi mobil dan mengeluarkan koper Era. Melihat itu,Era membantu denganmembawatas-tas kecil yang berisi beberapa kebutuhannya."Ayo, masuk," ajak Aksa.Era masuk dengan menggandeng tanganBian. Saat akan membuka pintu utama, Aksa dikejutkan dengan ibunya yang lebih dulu membuka pintu dari dalam. Wanita paruh baya itu tersenyum senang danmerentangkankedua tangannya,"Selamat datang!" teriaknya.Era terkekeh melihat tingkah ibu mertuanya. Sampai saat ini Era masih belum percaya jika Bu Ratna akan menjadi ibu mertuanya. Tidak ada yang berbeda, karena selama ini Bu Ratna sudah menganggap Era sebagai anaknya."Ayo, masuk." Bu Ratna m
Tepat pukul delapan pagi, di sebuah masjid yang cukup ternama, rombongan dari dua keluarga sudah memenuhi ruangan yang telah disediakan. Hanya ada keluarga dan saudara yang datang di acara akad nikah ini. Semua mata tertuju pada Aksa sekarang. Pria itu terlihat tampan dengan pakaian putihnya, senada dengan pakaian Era. Namun bukan pakaian yang menjadi fokus utama, melainkan tangan Aksa yang mulai menjabat tangan ayah Era.Dengan penuh keyakinan, Aksa mulai mengucapkan kalimat sakral yang akan menjadi gerbang menuju hubungan yang lebih resmi. Semua orang tampak menahan napas saat Aksa melakukannya. takut jika pria itu akan melakukan kesalahan. Meskipun bukan kali pertama, bukan berarti Aksa mahir dalam hal ini bukan?"Sah!" ucap para saksi yang membuat semua orang mulai bernapas lega, termasuk Era.Mata Era yang sedari tadi terpejam mulai terbuka. Perlahan matanya memanas, dia tersenyum saat Aksa melakukannya dengan sangat lancar. Sedari tadi jantung Era ti
Di sore yang cerah, Era memutuskan untuk berkunjung ke rumah Aksa. Bersyukur hari ini adalah hari Minggu sehingga dia tidak disibukkan dengan pekerjaannya. Era memang sengaja tidak mengabari Aksa, lagi pula dia memang ingin bertemu dengan Bian. Motor Era berhenti di garasi rumah Aksa. Meskipun sudah memiliki banyak uang, tapi Era masih tetap menggunakan motor lamanya. Bukannya apa, tapi motor itu adalah saksi mata atas perjalanan hidupnya yang menakjubkan.Dengan membawa beberapa kotak donat dan es krim, Era mulai mengetuk pintu. Tak lama pintu terbuka dan muncul Bibi yang tersenyum melihatnya."Mbak Era, ayo masuk, Mbak. Kebetulan Dek Bian lagi main di belakang.""Makasih, Bi. Ini tolong es krim-nya dimasukin kulkas ya.""Iya, Mbak."Era mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Saat di ruang tengah, dia meletakkan donat yang dia bawa di atas meja. Pandangannya mengedar ke segala arah. Perlahan senyum bahagia menghiasi wajahnya. Era masih ingat s
Di sebuah kafe, terlihat seorang pria tengah kebingungan melihat pasangan di depannya yang tengah berdebat. Dia hanya bisa diam dan menunggu keputusan final yang akan disampaikan. "Lebih bagusoutdoor, Kak." Era masih berusaha untuk membujuk Aksa. "Indoorlebih enak, Ra. Kamu nggak takut hujan apa?" Era mendengkus, "Panggil pawang hujan." "Pawang hujan bisa kalah sama takdir Tuhan." Ucapan Aksa membuat Era menutup mulutnya rapat. Dia kesal dengan Aksa yang meminta pernikahan mereka dilaksanakan di dalam ruangan. Sejak kecil, Era memiliki impian untuk menikah di taman bunga. Apa salahnya jika dia menginginkan itu sekarang? Pernikahan hanya akan terjadi satu kalibukan? "Jadi gimanaPak..Bu?" tanya Ardi, pria muda yang sedari tadi duduk di depan mereka, menunggu Aksa dan Era selesai berdebat. "Indoor." "Outdoor." Mereka menjawab secara bersamaan. Era berdecak dan menatap pria di sampingny
Langit yang cerah seolah mendukung suasana yang ada. Taman belakang rumah Era telah disulap sedemikian rupa menjadi tempat acara yang luar biasa. Sama seperti langit, wajah semua tamu juga samacerahnya. Terutama dua bintang utama hari ini, Era dan Aksa.Dengan mengenakan batik, Aksa terlihat tampan hari ini. Dia tidak ragu untuk menunjukkan senyumnya. Senyuman yang mampu membuat semua orang terpesona. Begitu juga Era, dia tampak cantik dengan kebaya modern yang senada. Sama seperti Aksa, Era tidak bisa menyembunyikankabahagiaannya.Acara pertunangan dibuat privat dengan mengundang keluarga, orang-orang terdekat,danawak media yang terpilih. Tentu saja wartawan ikut hadirkarenaAksa adalah salah satu pengusaha yang cukup berpengaruh. Mereka yakin jika berita inimuncul di pemberitaannanti,akanbanyak wanita yang patah hati karena Aksa Kusumaakan segera menikah."Sini,Bian!" panggil Era pada&n
Di pagi hari, Era sudah duduk di meja kerjanya sambil berkutat dengan komputernya. Meskipun dia bekerja untuk kekasihnya tapi bukan berarti dia bisa bermalas-malasan. Niat Era bekerja di sini tak hanya ingin dekat dengan Aksa, tapi dia juga ingin belajar. Meskipun Aksa dan Era adalah sepasang kekasih, tapisaatjam sudah menunjukkan waktu bekerja maka mereka akan berubah profesional. Bahkan Era menggunakan bahasa baku jika berbicara dengan Aksa. Bukannya apa, tapi memang harus seperti itu bukan?Telepon di meja Era berdering. Dengan segera dia mengangkatnya, "Ya, Pak?" sapa Era."Saya minta data pengeluaran bulan lalu, Ra.""Baik, Pak."Seperti itulah interaksi Era dan Aksa saat bekerja. Apa ini kemauan Aksa? Tentu saja tidak. Era yang memberikan ide ini. Setidaknya sebelum mereka sah, Era tidak ingin ada pemberitaan negatif tentang dirinya. Dia tidak mau para karyawan beranggapan jika dia adalah anak emas Aksa. Meskipun itu benar, tapi Era tida