Cklek. Brak.Pemilik ruangan mendongak dan terkejut mendapati pintu ruang kerjanya diserbu seseorang yang kurang ajar. Maximilian Alexander melemparkan penanya ke meja kerja, lalu bersandar di kursinya. Sambil bersedekap, dirinya menunggu apa gerangan yang membuat asisten pribadinya menerobos masuk ruang kerjanya. Selama ini, Martin selalu bersikap layaknya robot yang menyebalkan. Sopan dan dingin."Aku perlu penjelasan, Max."Alis Max semakin meninggi mendengar interupsi Martin yang juga menggebrak meja dengan kedua tangannya. "Penjelasan tentang apa? Seingatku aku tidak berhutang PENJELASAN apa pun padamu," jawab Max kalem namun penuh penekanan."Aku sudah mengatakan padamu agar bersikap lembut pada gadis itu. Dia masih polos dan juga dalam kondisi mabuk," desak Martin yang kembali menggebrak meja kerja Max. "Kenapa kamu berbuat kasar padanya?""Kasar?" ulang Max dengan nada suara yang tajam. Max tidak suka dirinya direcoki masalah privasi ranjangnya, termasuk asisten pribadi sekali
Marigold menyamankan dirinya di jok mobil Rolls-Royce. "Padahal sofa empuk di apartemenku sudah nyaman, tapi ini.. jok mobil mewah ini dua kali lebih nyaman lagi. Pantatku bisa lupa berdiri jika nyaman begini," desah Marigold yang memejamkan matanya. Marigold tidak memperhatikan bahwa tingkahnya yang polos membuat Pak Umar, sopir dari Rolls-Royce ini tergelak pelan. Kata Pak Umar, Edelweis mansion yang adalah kediaman dari tuan milyader itu berjarak kurang lebih dua jam perjalanan dari villa. Mobil mewah yang membawa Marigold sedang meluncur ke sana. Marigold akan memulai hidup barunya bersama tuan milyader dan keenam istri lainnya. Marigold menarik nafas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan untuk menetralkan dadanya yang mulai berdegup dua kali lipat. Marigold melipat kedua tangan di dada sembari mengamati jalanan. Kerutan di kening bertambah dalam, saat tiba-tiba apa yang terjadi dengan 'malam pertama' nya dengan tuan milyader, kembali terlintas di benaknya. Sesuatu ya
"Boleh kakak ceritakan sedikit tentang para istri dari Tuan Max?""Cerita? Aku bukan orang yang tepat bercerita," tolak Amarilis seraya menggeleng.Marigold menyatukan kedua telapak tangannya ke depan wanita cantik itu, seolah seperti memohon. "Please, bantulah aku. Kupikir sebelum aku masuk ke dalam mansion itu, setidaknya aku sudah punya gambaran seperti apa lawan yang akan kuhadapi. Itu poin yang sangat penting dalam sebuah pertandingan. Dengan mengukur kekuatan lawan, aku bisa menilai kekuatanku sendiri, apakah perlu upgrade atau tidak."Mata Amarilis semakin berbinar. Bagaimana bisa, gadis ini menganggap sesuatu di dalam mansion itu seperti di dalam sebuah pertandingan? Tetapi memang benar, semua wanita di dalam mansion akan bertanding ketat untuk memperebutkan perhatian tuan milyader. Hadiah dari pertandingan itu adalah menikmati cinta semalam bersama Tuan Max.Ini akan menjadi sangat menarik. Gadis ini tidak akan hanya menceriakan suasana mansion yang muram, tetapi juga mencera
Selama hampir satu jam, Marigold menghabiskan waktunya untuk mengagumi setiap sudut kamar yang kini menjadi miliknya. Kamar yang lebih luas, lebih hebat, lebih mewah, dan lebih semuanya dari villa tempat dirinya menjalani perawatan sebelum malam pertama.Kasur empuknya memiliki empat tiang, persis kasur milik princess yang dilihatnya di tivi-tivi. Lampu hias yang imut dan cantik di dua meja nakas, di samping ranjang. Juga sebuah televisi layar datar yang besar, menghiasi dinding Kemudian ada sebuah ruang ganti yang luar biasa besar dan lengkap, biasanya disebut orang sebagai walk-in closet."Wah, ini sungguh mewah," gumamnya seraya meraba meja, lengkap dengan semua perlengkapan make up. Dilihatnya merk dari make up itu juga tidak sembarangan. Itu adalah sebuah brand ternama milik internasional. "It's amazing," pekiknya girang.Kemudian Marigold membuka lemari besar yang tertanam di dinding. "Apakah ini semua milikku? Baju, kaos, celana panjang, celana pendek, semuanya dari merk terken
"Sudah, jangan cerewet," bentak Marigold sambil mulai memanjat pohon.Marigold memanjat dengan penuh semangat. Well, sudah lama dirinya tidak memanjat pohon. Diabaikannya suara-suara teriakan dari bawah. Dalam sekejap, Marigold sudah tiba di dekat wanita yang masih memegang dahan pohon dengan sangat erat. Namun, wanita itu tidak lagi menangis, melainkan memandang takjub pada Marigold yang memanjat pohon dengan cepat kayak anak monyet."Kamu baik-baik saja?" tanya Marigold ramah sambil mengulurkan tangan. Sebuah anggukan samar membuat Marigold menghembuskan lega. "Ayo kita turun sama-sama. Aku akan membantumu. Jangan takut.""O-oke."Marigold turun dari pohon dengan merayap perlahan karena harus memegangi tangan wanita ini."Hati-hati. Hati-hati."Namun, pijakan Marigold berikutnya tidak kuat hingga membuatnya terpeleset dan terjatuh dengan menyeret wanita itu bersamanya. Teriakan histeris dari para pelayan meredam suara keras dentuman jatuhnya Marigold dan wanita itu di rumput."Anda
"Tuan Max.""Hm," sahut Maximilian tanpa mengalihkan perhatiannya dari meneliti dokumen lalu menandatanganinya. "Ada apa, Martin?" tanyanya sambil menutup map dokumen, lalu mendongak menatap asisten pribadinya yang berdiri gelisah di depannya."Ada berita dari Edelweis mansion.""Oh, berita apa?" tanya Max acuh tak acuh sambil berdiri dari kursi kerja, lalu meraih jas di gantungan kayu di sebelahnya. Max tidak terlalu tertarik dengan berita dari Edelweis mansion. Pasti berita yang hendak disampaikan Martin, tidaklah jauh dari kehebohan para istrinya. Setiap hari dirinya mendapat laporan dari mansion nya mengenai keseharian para istri. Hal itu membuat Max jenuh dan muak. Jadi Max menganggapnya angin lalu."Saat mendengar berita ini, tolong kendalikan amarahmu," ucap Martin dengan raut wajah serius.Max menghentikan gerakannya mengenakan jas. Sorot mata penasaran ditujukan pada asisten pribadinya. Kemudian Max melanjutkan kembali mengenakan jas nya."Amarahku? Memangnya apa yang telah t
RS Internasional, ruang rawat VVIP. Pukul 21.50"Lho anda kenapa datang kemari lagi, Tuan Max?" tanya Martin heran, ketika baru saja menutup pintu ruang rawat VVIP dimana Marigold dirawat. Martin merasa janggal melihat Max berada di rumah sakit, padahal saat ini seharusnya atasan sekaligus sahabatnya ini sedang melakukan penerbangan ke Inggris untuk melakukan pertemuan dengan investor."Malam ini aku akan melakukan telecoference dengan para investor itu. Aku mengatakan pada mereka bahwa istriku sakit. Jadi dengan menyesal, aku tidak bisa bertemu mereka secara langsung. Dan para investor itu menyetujui pertemuan secara virtual," jawab Max sambil melonggarkan dasinya. "Bagaimana keadaannya?" tanyanya lanjut seraya mengedikkan dagunya ke arah pintu kamar yang masih tertutup."Sedang tidur," jawab Martin sambil membuka pintu lagi dan membiarkan Max masuk terlebih dahulu. "Apa anda akan menginap disini?" tanyanya ketika melihat Max duduk di sofa dan merebahkan kepalanya di sana."Menurutmu
Marigold mengernyitkan keningnya karena terkejut ketika mendengar suara benda terlempar di dekatnya. Marigold sedikit membuka matanya, tetapi langsung buru-buru menutupnya kembali. Marigold meringis melihat sosok tuan milyader yang menjulang tinggi di sebelahnya. Hanya dengan posisi berdiri yang kaku, Marigold bisa mendeteksi kemarahan suaminya."Kamu adalah milikku. Tubuhmu milikku. Pikiran dan hatimu juga milikku. Siapa pun yang ingin merebut dan memilikimu, akan berurusan denganku!"Deg.Perkataan Tuan Max yang terdengar posesif, sontak membuat jantung Marigold seolah berhenti berdetak. Di satu sisi, dirinya merasa bangga karena dirinya telah menjadi milik seorang milyader terkenal yang kaya dan tampan. Namun disisi lain, hati Marigold menjadi resah sebab perkataan itu tidak akan terucap jika tidak ada yang memicunya."Lalu.. apa yang memicunya? Apa yang membuatnya marah?" batin Marigold sambil mencari posisi yang nyaman untuk mengamati apa yang dilakukan tuan milyader. Sejurus kem
Seorang dokter sedang mengenakan jubah medis lengkap, tidak ketinggalan masker, menutupi hampir sebagian besar wajahnya. Melangkah masuk ke ruang ICU, pemandangan menyedihkan langsung terpampang di depan mata. Seorang pasien laki-laki terbaring lemah, dikelilingi beberapa alat yang tersambung pada tubuh ringkihnya. Dengung tanpa nada dari alat bantu penunjang kehidupan dari pasien itu terdengar menyesakkan jiwa.Pria dengan jubah putih khas dokter itu mendekati ranjang pesakitan, lalu mengambil papan laporan dan memperhatikan alat detak jantung yang bergerak lamban. Pasien itu koma, setelah mengalami kecelakaan tunggal menghantam pagar beton pembatas parkiran mall.Perlahan, ditariknya masker yang menutupi wajahnya, lalu.."Halo Gerry, aku datang menjengukmu," sapa dokter yang ternyata adalah Tuan Archie, atasan dari Gerry, si pasien ICU. "Kamu.. terlihat mengenaskan."Archie tersenyum tipis, melihat kedutan lemah pada kedua kelopak mata Gerry, seolah merespon kedatangannya. Archie se
RS. Sehat Selalu.Martin menemui istrinya yang sedang tertidur pulas. Perawat bilang, Nina baru saja diberi obat penenang karena tubuhnya yang syok akibat kehilangan banyak darah. Jadi istrinya membutuhkan banyak istirahat."Sayang.." Martin mencium kening Nina, lalu duduk di samping ranjang. Hatinya hancur melihat Nina yang begitu lemah. Martin segera menyadari, ternyata seperti ini perasaan Max yang terpuruk, setiap kali melihat Marigold, istrinya terbaring tak berdaya di ranjang pesakitan.Tak lama kemudian, seorang perawat datang mendekat untuk mengecek kondisi vital Nina."Bagaimana keadaannya?" Martin bertanya setelah perawat itu menyelesaikan tugasnya."Istri anda akan berangsur pulih. Kehilangan bayi bisa membuat perasaan ibu terluka dan depresi. Anda hanya perlu memanjakannya," ucap perawat itu sembari tersenyum menenangkan."Terima kasih." Martin menghembuskan napas lega. "Akan kuikuti saran anda. Memanjakan Nina adalah tujuan hidupku.""Mar-martin.."Mendengar suara lirih
Sementara Martin menjadi pahlawan menyelamatkan Marigold, Nina duduk gelisah di samping Oskar yang sedang menyetir sembari bersiul riang."Aku senang bertemu denganmu, Nina." Oskar menyeringai senang, tanpa mempedulikan ekspresi Nina yang menahan rasa sakit akibat darah yang merembes keluar, membasahi gaunnya.Nina membuang pandangannya, sama sekali tidak menjawab. Nina memandang ke arah jendela kaca mobil yang melaju kencang, terlihat dari pohon-pohon yang terlewati dengan cepat."Kamu terlihat semakin cantik, membuatku gemas dan ingin memelukmu," puji Oskar menyentuh pundak Nina dan mengelusnya."Jangan pegang-pegang, Oskar!" Nina menyembur jengkel. "Kita hanya mantan, tidak ada hubungan lagi, terlebih aku adalah wanita bersuami.""Aku sama sekali tidak keberatan dengan statusmu." Oskar menoleh, tersenyum lebar. "Walau sebenarnya sangat disayangkan karena aku tidak mendapatkan darah perawanmu, tapi tidak apalah. Saat ini, kamu pasti sudah berpengalaman untuk memuaskan aku."Nina men
Tidak jauh dari keduanya berdiri, sebuah mobil mendekat dengan kekuatan sedang, terus melaju semakin cepat dan.."AWAS!"BRAK.CKRIITT..Gerak refleks Marigold yang cepat, membuatnya bisa melompat ke samping sebelum mobil itu menyerempet. Namun, Nina tidak berhasil menghindar. Nina tertabrak dan terjatuh keras di pelataran. Darah mulai merembes, mengalir diantara kedua kakinya."Ma-marigold, da-darah.. bayiku..""Astaga Nina.." Marigold panik melihat Nina berlumuran darah. CKRIITT..Marigold membatalkan niatnya untuk membungkuk, mengecek kondisi Nina, ketika mendengar mobil gila yang menyerempetnya tadi, berputar sangat cepat hingga menimbulkan decitan kasar. Mata Marigold membelalak panik saat melihat mobil itu kembali, meluncur cepat ke arahnya.BRAK."Hosh-hosh-hosh.." Marigold berusaha secepat mungkin bersembunyi di belakang mobil yang terparkir di sebelahnya. "Aduh perutku..," rintihnya memegang perutnya yang mengencang, akibat tiba-tiba bergerak cepat dan terburu-buru.Keringat
Hari-hari yang dilewati Marigold sangat menyenangkan sekaligus menjemukan. Kondisi yang hamil besar di trimester ketiga, membuatnya kesulitan untuk bergerak bebas. Dirinya juga tidak diperbolehkan melakukan ini dan itu. Semuanya serba dilayani bagaikan ratu. Terlebih dirinya dikawal ketat oleh mama tercinta dan mama mertua. Keduanya selalu standby di dekat Marigold, takut terjadi sesuatu yang buruk pada calon cucu pertama mereka.Hal itu membuat Marigold sering cemberut dan bete."Kamu ini! Kenapa mukamu ditekuk jelek kayak unta?!" omel mama Marigold yang sedang menyuapkan sepotong buah melon untuk putrinya. "Asal kamu tahu, semua wanita menginginkan posisimu saat ini. Kamu sedang mengandung pewaris kerajaan bisnis, dicintai suami yang tampan dan kaya raya, dimanja habis-habisan, bahkan mertuamu terlalu ekstra perhatian sampai membuat mama muak.""Tapi aku ini bosan, ma. BOSAAAN," rengek Marigold mengacak-acak rambutnya, jengkel. "Tiap hari kerjaanku hanya makan minum tidur, makan min
"Aku ingin kamu menceraikan semua istrimu. Aku ingin menjadi satu-satunya istrimu," kata Orchid lantang.Max memandang nanar pada Orchid, istri pertamanya yang selalu terlihat cantik dan menawan. Permintaan Orchid mustahil untuk dilakukan. "Tidak. Jika aku harus menceraikan semua istriku, wanita yang akan mendampingiku adalah Marigold, bukan kamu."Mendengar jawaban suaminya, Orchid tergelas sinis. "Huh! Jangan bercanda, Max," sentaknya geram. Dengan menunjuk ke arah kamar utama, Orchid kembali meraung marah, "Wanita udik seperti dia, tidak akan pernah bisa menandingi pesonaku, kharismaku, bahkan aura glamorku untuk menjadi pendampingmu, seorang milyader kelas dunia. Wanita udik itu pantasnya berada di gua. Kamu dengar itu, GUA! "Kamu mau kemana?" Max menarik lengan Orchid yang menghentakkan kakinya, hendak menerobos masuk ke kamar tidur utama. "Lepas!" Orchid mengibaskan lengannya. "Jangan halangi aku. Aku akan mengusir wanita udik itu! JALANG KECIL ITU TIDAK PANTAS DISINI!" teriak
Marigold membuka matanya. Langit-langit yang dilihat Marigold bukanlah plafon putih kamar VIP yang beberapa hari ini menjadi tempatnya bernaung. Warna biru serta awan putih yang tergambar di langit-langit, perlahan membuat Marigold memahami kalau saat ini dirinya sedang berada di kamar apartemen Max, suaminya.Marigold menoleh ke samping, mendapati seseorang sedang berbaring di sebelahnya, memeluknya dengan posesif."Max..""Hmmm, sudah bangun?" Suara Max terdengar serak, khas orang baru bangun tidur. "Jam berapa sekarang? Setengah delapan," ucapnya sembari melihat jam digital di nakas samping ranjang."Max, aku haus.""Aku akan mengambilkan air," jawab Max sambil mengecup dahi Marigold, lalu mendekap tubuh mungil istrinya. "Tapi sebelumnya, aku ingin memelukmu sekali lagi. Aku harus menyakinkan diriku, bahwa dirimu aman dalam dekapanku. Akhir-akhir ini, kamu terlalu sering terluka. Jadi jika tidak melihatmu sedetik saja, aku takut akan kehilanganmu. Hmm, aku sudah menemukan posisi t
Gerry membuka pintu apartemen, terseok-seok masuk sembari memegangi dadanya yang berdenyut nyeri.Brak. Pintu apartemen terbanting tertutup dengan dorongan kakinya. Gerry juga membanting kunci, dompet, serta ponsel ke atas meja dekat pintu masuk."Akh, dasar wanita sialan!" rutuk Gerry kesal. "Uhuk-uhuk.. Aduh, dadaku sakit."Gerry melepas kaos hitamnya dan melemparkannya sembarangan. Diperiksanya dada bidang miliknya yang nyeri karena lebam, pada cermin besar. Gerry meraba memar-memar yang mulai membiru."Brengsek!" umpat Gerry mengusap hidungnya yang nyeri dan terus mengeluarkan darah. Siku wanita itu menghantam telak pada tulang hidungnya yang pernah patah saat remaja dulu.Gerry mengambil kotak obat di dapur, juga es batu di kulkas, lalu membanting pantatnya di sofa depan televisi layar datar miliknya."Sial! Dia merusak penampilanku. Auch, sakit."Ketika Gerry sedang mengobati lukanya, tiba-tiba pintu apartemen terbanting terbuka. Seseorang menerobos masuk dengan penuh amarah."
Tiba-tiba.. Seseorang muncul di pintu kamar. Gerakannya yang cepat, menyambar tangan Nina yang sedang dicengkram Gerry.Bugh-bugh-bugh..Gerry yang terkejut dengan serangan itu, tidak bisa berkutik, hanya bisa pasrah menerima dua bogem mentah yang mendarat keras di wajahnya."Jangan sentuh istriku," gertak Martin yang memberikan tinjunya sekali lagi hingga Gerry terhuyung-huyung ke belakang dan menabrak sofa."Martin." Nina langsung memeluk suaminya dengan erat, sekaligus mencegah Martin ditangkap gegara memukuli orang. "Untung kamu segera datang. Aku takut."Martin memeluk Nina erat, dengan mata memicing tajam membalas tatapan Gerry yang marah akibat pukulannya. Dan permusuhan pun terbit hanya dalam hitungan detik.Sedangkan Max menerobos masuk dan langsung menerjang Archie. Dicengkramnya kaos berkerah sepupunya, lalu mendesaknya ke dinding. "Dasar brengsek! Sudah berapa kali kuperingatkan, jauhkan tanganmu dari Marigold! Dan satu lagi, jangan umbar mulut berbisamu di telinga istri