Janda Terhormat (25)
[Bu, adek kecelakaan. Saat ini kami ada di rumah sakit]
Satu pesan dari pengasuh Shima membuatku tertegun. Tak hanya satu pesan, ada beberapa pesan dan tiga panggilan tak terjawab masuk ke dalam ponselku.
Aku memang baru bisa memegang ponsel usai disibukkan oleh pekerjaanku yang belum selesai. Namun, tak kusangka jika panggilan yang sejak tadi masuk adalah dari pengasuh Shima.
Triinngg
Satu pesan lagi masuk ke dalam ponsel. Kali ini pun masih dari orang yang sama.
[Tolong, Bu. Kemari lah. Bapak sangat terpukul, terlebih begitu suster rumah sakit memintanya untuk segera mencari donor darah.]
Kedua mataku membeliak. Donor darah katanya?
Gegas kubereskan semua peralatan kerjaku, lalu menekan tombol hijau dan mendekatkan benda pipih itu ke telinga. Dadaku seketika berdetak dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Antara khawatir, dan janjiku yang tak ingin menemui Adit atau pun Shima lagi jika bukan karena urusan
Janda Terhormat (26)..Dadaku kembang kempis ketika Adit berkata sedikit kasar padaku. Sebenarnya, Adit berkata seperti itu bukan karena marah, tapi mungkin aa rasa sakit dalam adanya ketika dia mengetahui sesuatu yang mungkin akan lebih menyakitkan untuknya.“Baik. Aku paham dengan perasaanmu, tapi bukankah alangkah baiknya kamu tetap menghubunginya? Karena bagaimanapun Shima adalah anak Reina.”Dia masih terdiam ketika aku mengajaknya berbicara. Bukan perkara mudah menjalani posisiku saat ini karena semuanya sangat di luar batas kesabaran orang biasa.Dengan santainya dia justru duduk tanpa menjawab pertanyaanku. Sepertinya dia tengah memikirkan apa yang baru saja kukatakan. Dia memang tak seharusnya sekeras kepala itu.Sekitar sepuluh menit aku membiarkannya duduk termenung, sedang aku duduk di samping pengasuh Shima yang juga mulai terlihat tenang. Shima harus sembuh, d
Janda Terhormat (27).."Temuin kamu, lah. Masa ngapain," jawab Deva dengan kekehan kecil.Aku masih terpaku sampai dia duduk di sampingku. Tak kusangka, dia masih sama seperti dulu. Sangat sama."Em ... Paling bentar lagi aku juga mau pulang," kataku kemudian."Emang kamu ngapain di sini?"Aku menghela nafas panjang, Deva memang belum tahu mengenai Shima dan semua kehidupannya."Shima, anak Adit kecelakaan. Aku kesini karena mereka nggak bisa dapat darah AB+.""Kamu donorin?"Kuanggukkan kepalaku. Meski saat ini suasana sedikit genting, tapi aku memang sedang tak ingin menceritakan banyak hal padanya. Nanti saja kujelaskan padanya jika suasana sudah mendukung."Nur, nanti malam temenin aku, yuk?" ucapnya seakan mengalihkan pembicaraan."Kemana?""Udah, ikut aja. Nanti kamu pasti bakal seneng," katanya lagi dengan senyuman lebar.Dasar Deva, dia memang paling bisa membuat kejutan untukku
Janda Terhormat (28)..“Aku masih ingat dengan keinginanmu beberapa tahun yang lalu. Mengenai keinginan untuk langsung dilamar tanpa acara pacarana dulu,” terang Deva atas keterkejutanku.Aku masih membeku, karena dia kembali di hidupku baru beberapa hari. Dan kini, dia menyatakan ingin langsung melamarku. Apa yang harus kulakukan? Senang, atau justru sedih?Rasanya, aku seperti diombang-ambingkan oleh perasaanku sendiri. Dulu, saat rasaku pada Deva telah sampai di dasar hati, ternyata dia membohongiku dengan telah memiliki Yesa di hidupnya. Dan kini, saat rasaku mulai nyaman dengan Adit, ada saja beribu cobaan yang seakan tak memperbolehkanku untuk bersamanya.Huufftt haahhhSepertinya Tuhan masih ingin membuatku lebih kuat dari sebelumnya, maka dari itu Dia selalu menghadirkan berbagai rasa di hatiku. Bukan perihal mudah juga dalam menjalani semua ini. Aku, yang usiaku
Janda Terhormat (29)Pov Reina..Hatiku seakan hancur tak berbentuk ketika mendapat kabar bahwa Shima baru saja kecelakaan dan kini berada di rumah sakit. Pengasuh Shima memberi kabar dengan sangat panik, membuatku pun menjadi sangat panik pula.Tanpa persiapan, aku lantas bergegas menuju ke rumah sakit tempat Shima di rawat. Harapanku hanya satu, semoga saja anakku baik-baik saja dan bisa segera pulih.Shima merupakan satu-satunya alasan yang bisa menyatukanku dan Adit. Tanpa anak itu, maka hubunganku dengan Adit sudahlah berakhir sejak dulu.Panik? Tentu saja. Dia darah dagingku, yang mana lahir dari rahimku. Sayangku begitu besar padanya meski dia tak tinggal bersamaku.Ada beberapa alasan yang membuatku tidak bisa menjaga Shima sendiri, salah satunya karena Adit melarangku untuk membawa Shima saat aku keluar dari rumahnya. Kejadian demi kejadian membuat hubunganku dengan Adit renggang, terlebih setelah hadirnya sosok
Janda Terhormat (30)Siang ini aku sudah duduk di Cafe Zen, tempat dimana Adit mengajakku bertemu setelah semalam kami membuat janji ingin membicarakan sesuatu. Ya, Adit bersikeras ingin mengajakku bertemu daripada menjelaskan lewat telepon."Bagaimana?" tuturnya memecah konsentrasiku.Aku masih terdiam, tubuhku seakan membeku saat kudengar penjelasan yang baru saja dia utarakan kepadaku. Bukan perihal tutur katanya, tapi waktu dan situasi yang sangat tidak tepat."Aku serius denganmu, Nurma. Mungkin kemarin aku begitu bodoh dengan tidak menyadari arti kehadiranmu. Aku terlalu sibuk dengan duniaku hingga sedikit mengabaikan rasaku padamu. Sebenarnya, bukan aku tidak memiliki rasa padamu sejak kemarin, tapi aku hanya bimbang untuk mengungkapkan semua ini padamu. Terlebih, semenjak kehadiran Reina yang semakin membuat fokusku terpecah. Di satu sisi, aku memikirkan psikis Shima yang menginginkan kedua orang tua biologisnya bersatu. Di sisi lain, aku juga ing
Janda Terhormat (31)..Dear Nurma ....Hai, semoga kamu selalu dalam keadaan baik-baik saja. Maaf jika aku terkesan seperti pecundang yang tak berani menghampirimu secara langsung, atau mengatakan hal ini secara langsung padamu.Nurma, maaf jika kehadiranku selama ini selalu mengganggu harimu, membuat hidupmu seakan penuh dengan tekanan. Kini aku sadar, bahwa aku tidak bisa memaksakan apa yang kuinginkan. Aku salah ... Dan sangat berdosa.Tidak sepantasnya, aku memaksa cintaku pada Adit. Atau menginginkan agar Adit kembali lagi padaku. Sejujurnya, aku melakukan semua itu semata-mata bukan karena aku terlalu tergila-gila atau terobsesi pada Adit, melainkan semua itu hanya kujadikan pelarian atas kisah cintaku dengan Bang Dewa.Sekarang kamu tahu, bagaimana rusaknya hidupku, kan? Mengenai skandalku dengan Bang Dewa hingga akhirnya aku keguguran. Rasanya hidupku sangat hina, ketika aku telah menyia-nyiakan pria sebaik Adit. Bahkan kini kamu pu
Janda Terhormat (32)..Hari ini mungkin bisa kukatakan adalah hari yang sangat bahagia untukku. Dimana hari ini, Adit menyatakan perasaannya langsung di depan kedua orang tuaku.Ya, setelah kemarin siang aku juga mengutarakan perasaanku bahwa aku pun juga memiliki rasa padanya. Malam ini dia datang dengan di temani Shima, anak perempuannya yang sebentar lagi akan menjadi anakku juga."Nak Adit. Terimakasih kamu sudah mau menerima kekurangan dan keburukan Nurma. Bapak dan Ibu tidak bisa berbuat banyak untuk kalian. Semua hal kami serahkan pada kalian," tutur ayahku menasehati.Aku dan Adit saling berpandangan, tapi kini aku sudah mulai membiasakan diri untuk tidak terlihat gugup di depannya. Padahal sebelum ini, aku sama sekali tidak canggung ataupun gugup jika sedang berada di dekatnya. Namun entah kenapa, sekarang justru seperti ini."Baik, Pak. Terimakasih juga, Bapak dan Ibu mau menerima saya. Semoga kedepannya kita bisa menjadi keluarga
Janda Terhormat (33)..Aku masih berdiri dengan seluruh tubuhku bergetar. Ya, sejujurnya saja aku juga takut kalau Bagas beralih menyerangku. Hanya saja aku tak punya pilihan lain ketika Della pun sedang ada di posisi sulit.Kuhembuskan nafasku panjang, berusaha menenangkan diriku untuk berusaha mendekati Bagas. Sebenarnya dia tidak jahat, hanya saja saat ini pikirannya sedang terguncang. Jadi wajar jika dia bersikap demikian."Bagas, tolong lepaskan pecahan vas itu dari tanganmu," kataku lembut.Entah kenapa Bagas bisa kambuh seperti ini. Aku belum sempat mencari tahu penyebabnya, yang penting sekarang adalah aku menyelamatkan Della terlebih dahulu.Bagas masih terdiam, memandangku tanpa menurunkan vas bunga dari hadapan Della. Aku maju selangkah demi selangkah mendekatinya.Meskipun Della memberi isyarat agar aku tak mendekat, tapi rasa kemanusiaanku tetap berjalan di depan. Terlebih, aku tahu bahwa sebe