[Halo, Elina. Sepuluh menit lagi aku ke rumahmu.]
“Astaga … kok, mendadak begini sih, Mas? Aku kirain gak jadi makan siangnya.” Elina langsung protes begitu Ello tiba-tiba meneleponnya lagi menjelang pukul dua belas siang.[Sorry, soalnya aku baru selesai meeting sama orang, kebetulan baru selesai. Tunggu ya, aku OTW.]
“Nah … kan … pasti langsung dimatiin begitu aja, pria aneh.” Elina menatap layar ponselnya yang sudah tidak tersambung lagi dengan Ello. “Untung aja aku udah mandi pagi tadi.”
Elina segera berganti pakaian dan memakai riasan tipis. Wajahnya yang cantik alami, tidak perlu lagi untuk berdandan menor. Usai menyemprotkan sedikit parfum, wanita bertubuh langsing dan seksi itu keluar dari kamar. Ia mencari ibunya di ruangan tengah.
“Ma, aku mau keluar sama temanku,” pamit Elina pada sang ibu yang sedang asyik menonton televisi sendiri. Kedua adik laki-laki Elina belum pulang dari sekolah.
“Teman yang mana? Kamu jangan maca
Ya ampun, Elina ... gak ada kapoknya😁
Elina memeluk tubuh berotot yang baru saja rebah di sampingnya. Makan sate mereka akhirnya berakhir di sebuah kamar hotel yang hanya berjarak sekitar 100 meter dari tempat mereka makan siang satu jam yang lalu. Ello yang sudah tidak bisa menahan diri dari godaan wanita muda dan cantik itu, akhirnya membelokkan mobilnya ke sebuah hotel. Keduanya langsung bergulat begitu tiba dalam kamar hotel tersebut. “Mas Ello … kamu benar-benar pria impianku. ”Elina merebahkan kepala di dada yang penuh otot itu. Ello benar-benar membuatnya kewalahan, pria itu tak kalah perkasa dari Denny dan Ivan yang juga pernah menikmati tubuh indahnya. “Sudah kuduga, kamu benar-benar nakal, pantesan orang tuamu mengurungmu di rumah. Lihat aja, udah tahu aku sudah punya istri, masih aja menggoda aku untuk tidur denganmu. “Ello mengelus punggung putih berkeringat yang menempel di tubuhnya itu. “Mas … seandainya kamu menikah lagi, istrimu mengizinkan gak? Kan dia tidak bisa memberimu
“Maaf, Pa, Ma. Kalau ini mengagetkan Papa dan Mama.” Elina menatap orang tuanya yang masih terperangah. “Tapi ini tak seperti yang Papa dan Mama pikirkan.”“Astaga … El?! Mama pikir kamu itu benar-benar sudah berubah, ini apa bedanya saat kamu merebut Ivan dari istrinya! Mama gak akan izinin kamu jadi pelakor lagi!” Rohana sampai berdiri dari duduknya dengan telunjuk mengacung marah pada sang putri.“Papa juga tidak setuju! Kamu kok gak kapok-kapoknya, sih?!” Rusdi juga ikut bereaksi dengan penuh emosi.“Dengar dulu! Aku belum jelaskan semuanya!” Elina tanpa sadar berteriak pada orang tuanya. Ia kemudian bersimpuh di lantai dengan air mata yang tak bisa lagi ditahannya. “Tolong … dengar aku dulu, Pa … Ma ….”Orang tua Elina langsung terdiam melihat Elina seperti itu. Sambil mengusap matanya, Elina menenangkan dirinya kembali. “Mas Ello beda dengan Mas
“Mbak Malika?” Elina menutup mulutnya dengan mata membulat kaget.“Assalamualaikum, Elina. Maaf, kalau kedatangan saya mengagetkan kamu.” Malika tersenyum menatap calon madunya yang cantik jelita.“Wa-waalaikumsalam, Mbak, hm … silakan masuk.” Elina menjawab dengan gugup, ia melirik Ello yang menahan senyum melihatnya.“Tamunya sudah datang, El?” Rusdi dan Rohana menyusul ke ruang tamu.Ello langsung berdiri lagi begitu melihat orang tua Elina datang menghampiri mereka. Ia menyodorkan tangannya pada Rusdi. “Kenalkan, saya, Ello, Pak.”“Oh iya, saya Rusdi,” jawab ayahnya Elina menerima uluran tangan dari Ello. Matanya menatap tajam pria bertubuh kekar yang berdiri di hadapannya itu. Ello hanya menganggukkan kepala saja pada Rohana yang sebelumnya sudah sering ditemuinya tiap kali mengajak Elina keluar makan siang.“Maaf, Pak, Bu. Saya datang ke sini dengan is
Ivan dan Diana akhirnya mengunjungi rumah orang tua Elina keesokan harinya, tapi mereka bertamu sekitar pukul tujuh malam. Rusdi menyambutnya dengan senang hati. Tidak ada rasa sakit hatinya untuk Ivan karena memang selama ini yang salah adalah putrinya. “Mas Ivan, Mbak Diana, aku minta maaf ya, atas segala kesalahanku di masa lalu.” Elina menyodorkan tangannya pada pasangan suami istri yang datang bertamu ke rumah orang tuanya itu. Ia sangat terharu atas kebaikan hati pasangan yang pernah ingin dirusak rumah tangganya. Terutama pada istri Ivan yang berlapang dada menerima semua perbuatannya. “Iya, Elina, mari kita lupakan semua yang sudah terjadi. Semoga kamu juga bahagia menjalani pernikahanmu nanti, ya,” jawab Diana sambil tersenyum tulus. Meskipun Elina pernah berbuat jahat padanya, tapi hati kecilnya juga sangat kasihan melihat wanita yang salah jalan karena cinta butanya pada Ivan suaminya. “Makasih, Mbak. Aku sangat kagum sama Mbak Diana yang begitu ba
Ivan dan Diana menoleh pada wanita yang ditunjuk oleh Ello. Keduanya langsung melongo begitu melihat istri kedua dari rekan usaha mereka. “Namanya Elina, kan?” tanya Diana memastikan pada Ello. “Lho? Mbak kenal sama Elina?” Ello yang kini bertanya kaget. Tak menyangka kalau pasangan suami istri tersebut kenal akan istri keduanya itu. “Saya sih baru kenal, kalau Mas Ivan tuh udah lama kenal sama Elina,” ujar Diana seraya menoleh pada suaminya yang masih diam tak komentar. “Hm … itu … aku temanan sama ayahnya udah lama.” Ivan pun akhirnya bersuara. Sama seperti Ivan dan Diana, Elina terlihat kaget dan wajahnya langsung memucat begitu tiba di hadapan ketiga orang yang menatapnya dengan ekspresi berbeda. “Mas Ivan? Mbak Diana? Ya, ampun .... Kok kita bisa bertemu di sini, ya?” Elina berusaha tertawa menutupi kegugupannya. “Kalian kenal ya, sama Mas Ello.” “Iya, kenal. Mas Ello salah satu vendor di tempat usaha kami.” Diana yang
Susana menghentikan langkahnya, tertegun sejenak mendengar ucapan suaminya. Ia tahu, suaminya itu pasti ingin bermanja-manja padanya. Meskipun sifatnya agak berubah acuh pada Denny, tapi setiap suaminya itu menginginkan dirinya, Susana tidak pernah menolak karena jauh di lubuk hatinya, ia sangat mencintai dan mendamba suaminya itu, hanya saja luka yang pernah ditorehkan oleh Denny masih belum bisa ia abaikan begitu saja. Wanita bermata lentik itu menghampiri suaminya, mengambil washlap, meneteskan sabun cair, lalu menatap wajah tampan yang tampak tersenyum senang, “sini aku gosokin punggungnya.” “Hm … kamu sekalian mandi aja, Sayang.” Denny melihat istrinya di pantulan cermin, ia juga terkadang memejamkan mata, menikmati gosokan di punggung kekarnya. Susana tak menjawab, ia terus saja menggosok punggung bayi raksasa itu. Denny membalikkan tubuhnya menghadap sang istri yang tak menjawab ucapannya. Ia meraih tangan Susana dan mengambil washlap yang penuh busa s
“Hari ini belajar berjalan ya, Bu,” ujar perawat yang baru saja selesai melepas jarum infus yang terpasang di tangan Susana. Di hari kedua ia dirawat usai melahirkan. “Duh … perut saya masih sakit banget, Sus. Buat gerak dikit aja nyerinya gak karuan,” keluh wanita yang baru dua hari menjadi seorang ibu itu. “Harus dipaksa, Bu. Biar bisa jalan ke kamar kecil,” ujar sang perawat ramah sembari menoleh pada Denny yang duduk memperhatikan dari sofa. “Nanti dibantu istrinya jalan ya, Pak.” “Oh, tentu saja, Sus,” jawab Denny tersenyum senang. Kesempatan baginya untuk mendekati istrinya yang masih jual mahal. “Ya, sudah kalau begitu, saya permisi dulu.” Sang perawat pun beranjak dari ruangan tersebut. Denny berjalan mendekati ranjang istrinya. Lalu duduk di kursi yang terdapat di sisi ranjang. Ia menatap Susana yang kini sedang asyik memainkan ponselnya. Wanita itu seolah-olah tidak tahu ada sang suami yang duduk diam memperhatikannya. Tiba-tiba mata
“Aku mencintaimu, Susan.” Susana terpaku mendengar ucapan dari pria yang telah menjadi suaminya selama setahun ini. Ucapan yang sangat ingin ia dengar dari mulut pria yang disukai sejak remaja dulu, tak tergantikan oleh pria mana pun hingga detik ini. “Jangan menyakitiku dengan ucapan itu, Mas. Aku tahu, cinta Mas hanya untuk Diana. Jadi, gak usah pura-pura mencintaiku seperti ini.” Susana memalingkan wajahnya. Bahkan, ia menjauhkan lehernya yang baru saja dikecup oleh bibir berkumis tipis itu. Susana masih ingat betapa bencinya Denny padanya di enam bulan pertama pernikahan mereka. Tanpa senyum dari sang suami, tanpa kata-kata manis, bahkan sekedar ucapan selamat pagi. Denny selalu mengabaikannya, seolah-olah ia tidak ada, tapi sejak awal itu memang salahnya. Menyetujui perjodohan mereka, padahal ia tahu, Denny sedang menjalin hubungan kembali dengan Diana, mantan pacar dan cinta pertama dari suaminya itu. “Tidak usah melibatkan Diana lagi dalam
“Istri saya hamil, Dok?” Willy bertanya kaget, ia tak menyangka kalau Vinda begitu cepat mengandung anaknya. Memang sih, sudah sebulan terakhir ini ia tak pernah lagi memakai pengamannya saat berhubungan dengan Vinda. Willy menoleh pada Vinda yang juga tampak terkejut mendengar ucapan sang dokter. Ia langsung memeluk tubuh istrinya, “Kamu hamil, Sayang.” “Iya, Mas. Aku senang sekali mendengarnya, Mas ….” Vinda balas memeluk suaminya dengan erat. Bahkan, tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Ia benar-benar sangat bersyukur bisa mengandung anak dari pria yang sangat dicintainya itu. “Untuk lebih jelasnya usia kehamilan Bu Vinda, saya buatkan surat rekomendasi ke dokter kandungan ya, Pak.” Suara dokter pria berusia sekitar empat puluhan itu terdengar bicara pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Jadi untuk obat-obatan serta vitamin, nanti akan dapat resep dari dokter kandungan.” “Baik, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu,” ujar Willy sembari memb
Willy mengandeng tangan Vinda menuju ruang makan. Kedua orang tuanya sudah menunggu di sana. “Akhirnya … mantu baru mama datang juga.” Eva langsung menyapa sang menantu dengan ceria, membuat Vinda yang begitu gugup sedikit tenang mendapatkan sambutan hangat dari ibu mertuanya. Vinda langsung menghampiri Eva, mencium tangan wanita paruh baya yang tadi malam juga sudah mengobrol dengannya via telepon genggam. “Iya, Bu. Maaf sudah menunggu.” “Gak apa-apa, Vin. Papa dan mama juga baru duduk di sini kok,” balas Eva sembari melirik suaminya yang tampak menatap tajam istri dari Willy itu. Eva tak peduli, ia kembali menatap pada sang menantu. “Vin, kamu harus biasakan panggil kami mama dan papa kayak Willy, ya?” Vinda menganggukkan kepalanya, ia kemudian melirik ayah mertuanya, berusaha menenangkan dirinya sebelum melangkah ke Hartono. Vinda mengulurkan tangan, ingin menyalami pria gagah berusia enam puluh lima tahun itu. Hartono melirik dingin tangan V
“Aku akan ikut kamu pulang ke Semarang akhir bulan ini.” Willy merapikan rambut Vinda yang berantakan, usai permainan panas mereka barusan. Keduanya masih tidur berdempetan di sofa ruang tamu. “Aku ingin berkenalan dengan orang tuamu.”“Serius mau ikut, Mas? Kantor gimana? Masa kita pergi bersamaan?” Vinda menatap wajah tampan berkeringat itu dengan senyum bahagia di bibirnya.“Emangnya, kamu mau ke Semarang berminggu-minggu?” protes Willy sembari bangkit dari atas tubuh Vinda. Tanpa memberi aba-aba, tubuh yang masih terkulai lemas di sofa itu diangkatnya dan dibawa ke dalam kamar. “Cukup semalam aja di sana, kita berangkat Sabtu pagi, pulang lagi Minggu sore, okey?”“Cepat banget?” Vinda membulatkan matanya sembari memeluk erat leher kokoh Willy yang sedang membawanya menuju kamar.“Masa kamu tega biarin aku pulang duluan ke sini, sih? Aku ma
Vinda refleks melihat jam tangannya mendengar ucapan Willy. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi lewat sepuluh menit. “Ehm … jam sembilan, Mas ada janji ketemu Pak Rocky di kantor, jadi sepertinya gak keburu mampir-mampir segala.”“Eh, iya, hampir aku lupa, gak mungkin juga kan? Kita hanya main setengah jam doang, masa celup sebentar langsung check out,” ucap Willy sembari memukul setir mobilnya sedikit kesal, padahal hasratnya sudah terasa sampai ke ubun-ubun membayangkan tubuh mulus Vinda yang tak pernah terasa bosan untuk dinikmatinya. “Kamu harus cepat-cepat jadi istriku, Vin. Biar tiap bangun tidur kita bisa olah raga dulu.”Vinda menyembunyikan senyum gelinya dengan rasa panas yang menjalar di wajahnya mendengar ucapan Willy yang gak ada remnya. Cewek itu memalingkan wajahnya ke jendela di sebelahnya, pura-pura memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar.Akhirnya sepuluh menit
“Mama kenal banget kok, sama dia.” Willy menjawab dengan senyum yang terbit di ujung bibirnya. Terbayang wajah cantik Vinda dalam kepalanya. “Benarkah? Ayo, kasih tahu mama, Wil!” Eva bertanya penuh semangat. Baginya yang penting Willy mau segera menikah. Agar pikirannya bisa tenang. Ia sudah capek selalu mengkhawatirkan putra ketiganya itu. “Sabar, Ma? Nanti deh, dia pasti akan aku kenalkan secara resmi pada papa dan Mama sebagai calon istri aku.” Willy mendekatkan duduknya ke dekat sang ibu, lalu meraih tangan ibu yang sudah melahirkannya tiga puluh tiga tahun yang lalu itu. “Mama janji akan merestui siapa pun yang aku pilih untuk pendamping hidupku kan?” “Tentu saja, Wil. Mama percaya, pasti kamu memilihnya karena mencintai dia kan? Jadi untuk apa mama akan menghalangi kebahagiaan putra mama sendiri.” Eva menatap putra tercintanya dengan senyum tulus. “Makasih, Ma.” Willy mencium tangan ibunya penuh haru. Wan
Diana mengelus tangan kekar suaminya yang memeluk tubuh polosnya dengan erat dari belakang. Bibirnya tersenyum mendengar dengkuran halus Ivan dengan napas hangatnya yang terasa menerpa leher jenjang Diana. Setengah jam yang lalu, mereka baru saja selesai bertempur dalam kenikmatan. Ivan pun langsung tertidur pulas setelah itu, tapi Diana masih terbangun.Berlahan, Diana mendorong tangan besar Ivan, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit susah karena perutnya yang sudah sangat membuncit. Di usia kehamilannya yang sudah sembilan bulan itu, aktivitas ranjangnya dengan sang suami tak pernah berkurang. Ivan malah semakin bergairah melihat sang istri dengan perut buncitnya. Mereka pun bermain aman dengan posisi yang juga sangat menyenangkan bagi Diana, posisi doggy style.Diana yang berhasil duduk di pinggir ranjang, lalu memasang piyama tidurnya yang tergeletak di atas ranjang, ia ingin membersihkan diri ke kamar mandi. Namun, saat ia ingin berdiri perutny
Willy membuka matanya pelan, ia mengumpulkan semua kesadarannya, mendapatkan dirinya yang terbaring di tempat yang ia sangat kenal. Dua atau tiga kali dalam seminggu ia selalu terbangun di sana setiap paginya.Willy menoleh pada seseorang yang tidur menempel di tubuhnya dalam selimut yang sama, bahkan kaki cewek itu terasa menimpa sebagian tubuhnya bagian bawah. Tangan itu pun memeluk perut polosnya dengan erat. Willy tersenyum, ia sudah hafal akan cara cewek itu tidur.“Ehm … Bapak udah bangun?” Vinda membuka matanya begitu merasakan sebuah ciuman hangat di keningnya. Senyum wanita cantik itu melebar begitu mendapatkan wajah tampan yang menatapnya penuh arti.“Bukan hanya aku yang udah bangun, kakimu juga membangunkan yang lain,” dengus Willy dengan suaranya yang berat dan seksi.“Oh, maafkan, kakiku yang selalu gak sopan ini.” Vinda baru menyadari bahwa kakinya masih nangkring di a
“Vin, kamu jemput aku ke Tunjungan bentar.” Willy menghubungi Vinda--sekretarisnya begitu kepalanya terasa semakin berat. Ia telah mencoba untuk menyetir sendiri, tapi sepertinya ia tak bakal sampai di rumah jika terus memaksa membawa mobilnya itu pulang. Vinda turun dari ojek online begitu melihat mobil bosnya yang terparkir di jalan seberang plaza terbesar nomor dua di Kota Surabaya itu. Wanita bertubuh langsing itu mengetuk jendela mobil beberapa kali, sampai mengintip di jendela kaca sembari menutup kedua sisi wajahnya, agar ia bisa melihat sang bos di dalam mobil. Tak hilang akal, Vinda menghubungi Willy dengan ponselnya dan berhasil membuat Willy yang ketiduran di belakang kemudi bergerak bangun. Lalu, menoleh ke jendela mobil yang kembali diketuk oleh Vinda. Willy membuka pintu mobil dan keluar dengan sedikit sempoyongan, ia beralih duduk ke kursi penumpang di belakang kemudi. Vinda yang berdiri di dekat pintu mobil, kemudian langsung masuk dan dud
“Kamu?” Susana mendelik melihat pasiennya yang masuk pertamakali setelah usai jam istirahat adalah wanita yang telah menganggu rumah tangganya lima bulan yang lalu. “Hai … Dokter cantik? Apa kabar?” Elina dengan santai mengulurkan tangannya mengajak sang dokter berjilbab coklat muda itu bersalaman. Susana dengan enggan menerima uluran tangan wanita yang tampak sok akrab padanya. Ia tertegun begitu melihat ke tubuh wanita cantik yang mendatanginya itu. “Ka-kamu hamil lagi?” “Iya, dong … makanya saya ke sini, soalnya dulu saat pertama hamil, kan Dokter yang periksa. Jadi saya rindu, Dokter memeriksa kehamilan saya lagi.” Elina semakin senang mengganggu istrinya Denny itu. Ia berusaha menahan senyumnya. “Kamu hamil bukan dengan suami saya, kan?” Susana bertanya pelan. Hatinya langsung berkecamuk karena mengingat suaminya ke Samarinda lima bulan yang lalu yang ia yakini untuk menemui wanita yang ada di depannya saat ini. “Menurut Dokter bagaimana?