Denny duduk di pelaminan dengan wajah tanpa ekspresi, meski di sampingnya ada Susana—pengantin wanitanya yang tampak cantik dengan baju pengantin muslimahnya. Wajah dokter spesialis anak itu sangat berbeda dengan ekspresi sang suami. Rona kebahagiaan jelas terlihat di wajah cantiknya. Bersanding dengan cinta pertamanya itu adalah impian terbesar dalam hidupnya. Ia tak peduli dengan Denny yang belum bisa menerima cinta dan dirinya. Susana berkeyakinan suatu hari nanti Denny akan menjadi suami yang mencintainya sebagai istri.
Wajah Denny sedikit kaget kala melihat sepasang laki-laki dan perempuan berjalan ke arahnya sambil bergandengan tangan. Denny berdiri dari duduknya, begitu pasangan serasi itu tiba di hadapannya untuk memberi ucapan selamat.“Selamat ya, Den.” Diana mengulurkan tangannya ke hadapan Denny dengan senyum lembut di bibir ranumnya. Bibir yang sudah berkali-kali dinikmati Denny kala mereka berkencan dulu. Bahkan bulan lalu pun merMeski mendapatkan bidadari, tanpa cinta di hati apalah artinya.
Diana dan Ivan menghabiskan lagi waktu honeymoon mereka semalam di Balikpapan. Sore hari usai menghadiri pesta pernikahannya Denny, Ivan menuruti keinginan sang istri untuk bermain di pinggir pantai dekat hotel mereka menginap. Keduanya berlarian di pasir pantai bagaikan sepasang remaja yang sedang kasmaran. Saling bercanda dan tertawa bersama. Setelah sang mentari mulai condong ke barat, keduanya lalu kembali ke hotel. Membersihkan diri bersama di kamar mandi hotel yang berakhir dengan saling memberi kehangatan dalam bathtub yang bisa memuat dua orang dewasa yang terus saja menghabiskan waktu dengan bercinta, tak kenal lelah. Keesokan paginya sekitar pukul tujuh pagi, Ivan dan Diana meninggalkan hotel tersebut. Keduanya akan kembali ke Samarinda, langsung menuju ke kantor. “Mas, aku tinggal tidur lagi gak apa-apa, ya?” Diana menguap sembari menutup mulutnya. Matanya menatap sang suami dengan sorot kuyu.
Seharian ini Diana tiada lepas dari pandangan Willy. Ada saja hal-hal yang ia tanyakan ke mantan kakak iparnya itu. Diana tidak bisa mengabaikan karena yang ditanyakan Willy adalah hal yang berkaitan dengan perusahaan, maka mau tak mau Diana harus menjelaskan sebaik mungkin. Kesibukannya itu membuat Diana tiada sempat untuk menghubungi suaminya yang juga tak kalah sibuknya mengerjakan tugas yang diberikan oleh Willy. “Hm … sudah jam lima sore, ayo kita pulang, Diana. Rencananya selama di sini, aku akan menginap di rumahmu.” Ucapan Willy mengagetkan Diana yang memang sudah berapa kali melirik jam di ruangan itu. Ia sudah tak tahan lagi ingin segera bertemu dengan Ivan. Mereka harus segera membicarakan kelangsungan pekerjaan mereka di perusahaan keluarga Willy tersebut. “Apa? Menginap di rumahku?” tanya Diana tak percaya. “Iya, kenapa emang? Gak apa-apa ‘kan? Toh, rumah itu juga milik almarhum kakakku. Aku juga
Willy hampir saja berhasil menyeret Diana ke kamar tamu, tapi tiba-tiba suara ketukan di pintu ruang tamu yang cukup dekat ke pintu kamar tamu, menghentikan aksi pria yang sudah kehilangan akal sehatnya itu. Diana yang melihat Willy lengah, langsung cepat-cepat melepaskan tangannya dari cekalan Willy. Ia kemudian berlari menuju pintu depan dan membuka kuncinya dengan cepat. “Diana? Kok kamu gak jadi datang? Udah gitu Hp-mu gak diangkat-angkat,” tegur Ivan begitu melihat Diana membuka pintu. “Mas Ivan, syukurlah kamu datang, Mas. Ayo kita cepat pergi dari sini,” jawab Diana sambil menarik tangan Ivan agar segera beranjak pergi dari rumahnya. Ia tak peduli lagi dengan suara Willy yang memanggil-manggilnya. “Ada apa? Kamu kok buru-buru begitu? Willy ganggu kamu?” tanya Ivan heran, meski begitu ia tetap berjalan mengikuti Diana yang menyeret tangannya. “Nanti aja ceritanya, Mas.” Diana langsung masuk ke dalam mobil Ivan yang
Keesokan harinya sekitar pukul enam pagi, Ivan mengantarkan Diana pulang ke rumahnya. Sang istri ingin tiba di rumah sebelum anak-anaknya bangun. Apalagi Tian dan Kevin pasti akan mencarinya saat mereka akan bersiap-siap ke sekolah. Ketika tiba di rumahnya, Diana sempat melihat pintu kamar tamu yang masih tertutup rapat. Mungkin tamu yang sedang menginap di sana belum bangun. Diana meneruskan langkahnya menuju kamarnya untuk berganti pakaian rumah. Tidak lama kemudian ia sudah keluar lagi dari kamar dan menuju kamar anak pertama dan anak keduanya. Diana sedang menemani Tian dan Kevin sarapan, ketika Willy kemudian keluar dari kamar tamu. Pria yang sangat brutal memperlakukan mantan kakak iparnya tadi malam itu dengan wajah tak berdosa ikut duduk di meja makan. Terlihat wajah tampan itu baru saja bangun dari tidurnya. “Tian dan Kevin udah mau berangkat sekolah ya?” sapa Willy ramah kepada kedua keponakannya. Mata elangnya kemudi
“Maaf sebelumnya, tawaran bekerja di Berau tidak bisa saya terima karena dengan pertimbangan keluarga. Jadi saya mengajukan pengunduran diri dari perusahaan.” Ivan menyerahkan surat pengunduran dirinya ke hadapan Willy yang duduk di depannya. Pagi itu usai briefing dengan para bawahannya, pria yang sudah mantap untuk tetap tinggal bersama istri barunya serta anak-anak mereka di Kota Samarinda, mendatangi Willy ke ruangan direktur. Ivan sudah tahu, Diana tidak ada di ruangan itu karena istrinya sudah memilih berhenti bekerja demi kelangsungan rumah tangga mereka, tanpa ada lagi campur tangan dari keluarga mantan suaminya dulu. “Demi istri baru dan empat anak sambung, yakin bisa membahagiakan mereka dengan menjadi pengangguran?” tanya Willy sinis dengan ujung mata melirik amplop kecil yang diletakkan Ivan di hadapannya. “Sepertinya urusan rumah tangga saya bukan hal yang perlu dibahas antara kita berdua. Saya sudah menyampaikan surat
“Mas? Kok tidur di sini?” Susana mengusap lembut lengan sang suami yang meringkuk kedinginan di atas sofa dalam kamar mereka. Susana baru saja terbangun pukul dua dinihari itu, ia tidak menemukan sosok Denny di sampingnya. Malah terlihat sang suami memilih tidur di sofa dibanding tidur di sebelah dirinya. Denny bergeming. Usapan lembut sang istri tidak membuat pria itu bangun. Matanya terus saja terpejam. Sejak malam pertama mereka seminggu yang lalu, Denny belum pernah lagi menyentuh tubuh istrinya. Pria yang masih saja tidak mau melepaskan diri dari pesona wanita cinta pertamanya, meski dirinya dan Diana kini sudah memiliki pasangan hidup masing-masing. Susana menghela napas dan membuangnya kasar. Percuma membujuk sang suami yang melihatnya saja tidak tertarik, apalagi tidur bersama di ranjang mereka. Perempuan itu lalu berjalan ke ranjang dan mengambil selimut yang tadi dipakainya. Kemudian penuh kasih sayang selimut itu ditutupkan di
“Pak Ivan, mohon maaf, dikarenakan kondisi perusahaan yang sedang mengalami penurunan pendapatan, pesangon dan uang jasa yang Bapak tanyakan tidak bisa dikeluarkan dari perusahan. Hanya gaji Bapak sebulan terakhir saja yang akan ditransfer minggu depan, bersamaan dengan gaji karyawan lainnya.” “Setahu saya perusahaan cukup stabil selama setahun terakhir ini, kalian jangan mengada-ada, hak saya tolong penuhi dong.” Ivan mulai terpancing emosinya mendengar ucapan Pak Johan--manager HRD kantor pusat Surabaya yang diteleponnya setelah tiga minggu ia keluar dari perusahaan itu. Ivan sangat tahu sekali, meskipun mengundurkan diri dari perusahaan, sesuai dengan peraturan pemerintah, setidaknya ia masih menerima berapa kali jumlah gaji yang diterimanya setiap bulan. Nominal lebih kurang 150 juta masih sangat lumayan bisa ia terima untuk menutupi biaya renovasi rumahnya. Ivan tidak akan diam begitu saja. “Saya hanya mengikuti perintah
Denny menatap tubuh Susana yang meringkuk di atas sajadah. Istrinya itu masih memakai mukenanya. Meski heran dengan tingkah sang istri, Denny tak peduli. Ia meneruskan langkahnya ke kamar mandi. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Ia harus bersiap-siap berangkat ke kantor.Susana mencoba untuk bangun dari tidurnya, rasa pusing dan mual yang terus menderanya sejak subuh tadi membuat ia merebahkan diri sejenak usai melaksanakan salat, tapi malah hampir satu jam ia terbaring di sana.“Duh, kepalaku berat sekali, kenapa ini?” Susana memijit pelan pangkal hidungnya sembari memejamkan mata. Tidak lama kemudian ia berdiri, membuka mukenanya dan berjalan pelan keluar kamar. Ia ingin menyiapkan sarapan pagi buat Denny sebelum berangkat bekerja. Walaupun suaminya itu jarang menyentuh sarapannya.Mi goreng instan dengan ceplok telur baru saja selesai dibuat Susana ketika Denny keluar dari ka
“Istri saya hamil, Dok?” Willy bertanya kaget, ia tak menyangka kalau Vinda begitu cepat mengandung anaknya. Memang sih, sudah sebulan terakhir ini ia tak pernah lagi memakai pengamannya saat berhubungan dengan Vinda. Willy menoleh pada Vinda yang juga tampak terkejut mendengar ucapan sang dokter. Ia langsung memeluk tubuh istrinya, “Kamu hamil, Sayang.” “Iya, Mas. Aku senang sekali mendengarnya, Mas ….” Vinda balas memeluk suaminya dengan erat. Bahkan, tak lama kemudian terdengar isak tangisnya. Ia benar-benar sangat bersyukur bisa mengandung anak dari pria yang sangat dicintainya itu. “Untuk lebih jelasnya usia kehamilan Bu Vinda, saya buatkan surat rekomendasi ke dokter kandungan ya, Pak.” Suara dokter pria berusia sekitar empat puluhan itu terdengar bicara pada pasangan yang sedang berbahagia itu. “Jadi untuk obat-obatan serta vitamin, nanti akan dapat resep dari dokter kandungan.” “Baik, Pak. Kalau begitu kami pamit dulu,” ujar Willy sembari memb
Willy mengandeng tangan Vinda menuju ruang makan. Kedua orang tuanya sudah menunggu di sana. “Akhirnya … mantu baru mama datang juga.” Eva langsung menyapa sang menantu dengan ceria, membuat Vinda yang begitu gugup sedikit tenang mendapatkan sambutan hangat dari ibu mertuanya. Vinda langsung menghampiri Eva, mencium tangan wanita paruh baya yang tadi malam juga sudah mengobrol dengannya via telepon genggam. “Iya, Bu. Maaf sudah menunggu.” “Gak apa-apa, Vin. Papa dan mama juga baru duduk di sini kok,” balas Eva sembari melirik suaminya yang tampak menatap tajam istri dari Willy itu. Eva tak peduli, ia kembali menatap pada sang menantu. “Vin, kamu harus biasakan panggil kami mama dan papa kayak Willy, ya?” Vinda menganggukkan kepalanya, ia kemudian melirik ayah mertuanya, berusaha menenangkan dirinya sebelum melangkah ke Hartono. Vinda mengulurkan tangan, ingin menyalami pria gagah berusia enam puluh lima tahun itu. Hartono melirik dingin tangan V
“Aku akan ikut kamu pulang ke Semarang akhir bulan ini.” Willy merapikan rambut Vinda yang berantakan, usai permainan panas mereka barusan. Keduanya masih tidur berdempetan di sofa ruang tamu. “Aku ingin berkenalan dengan orang tuamu.”“Serius mau ikut, Mas? Kantor gimana? Masa kita pergi bersamaan?” Vinda menatap wajah tampan berkeringat itu dengan senyum bahagia di bibirnya.“Emangnya, kamu mau ke Semarang berminggu-minggu?” protes Willy sembari bangkit dari atas tubuh Vinda. Tanpa memberi aba-aba, tubuh yang masih terkulai lemas di sofa itu diangkatnya dan dibawa ke dalam kamar. “Cukup semalam aja di sana, kita berangkat Sabtu pagi, pulang lagi Minggu sore, okey?”“Cepat banget?” Vinda membulatkan matanya sembari memeluk erat leher kokoh Willy yang sedang membawanya menuju kamar.“Masa kamu tega biarin aku pulang duluan ke sini, sih? Aku ma
Vinda refleks melihat jam tangannya mendengar ucapan Willy. Waktu sudah menunjukkan pukul delapan pagi lewat sepuluh menit. “Ehm … jam sembilan, Mas ada janji ketemu Pak Rocky di kantor, jadi sepertinya gak keburu mampir-mampir segala.”“Eh, iya, hampir aku lupa, gak mungkin juga kan? Kita hanya main setengah jam doang, masa celup sebentar langsung check out,” ucap Willy sembari memukul setir mobilnya sedikit kesal, padahal hasratnya sudah terasa sampai ke ubun-ubun membayangkan tubuh mulus Vinda yang tak pernah terasa bosan untuk dinikmatinya. “Kamu harus cepat-cepat jadi istriku, Vin. Biar tiap bangun tidur kita bisa olah raga dulu.”Vinda menyembunyikan senyum gelinya dengan rasa panas yang menjalar di wajahnya mendengar ucapan Willy yang gak ada remnya. Cewek itu memalingkan wajahnya ke jendela di sebelahnya, pura-pura memperhatikan orang-orang yang berjalan di trotoar.Akhirnya sepuluh menit
“Mama kenal banget kok, sama dia.” Willy menjawab dengan senyum yang terbit di ujung bibirnya. Terbayang wajah cantik Vinda dalam kepalanya. “Benarkah? Ayo, kasih tahu mama, Wil!” Eva bertanya penuh semangat. Baginya yang penting Willy mau segera menikah. Agar pikirannya bisa tenang. Ia sudah capek selalu mengkhawatirkan putra ketiganya itu. “Sabar, Ma? Nanti deh, dia pasti akan aku kenalkan secara resmi pada papa dan Mama sebagai calon istri aku.” Willy mendekatkan duduknya ke dekat sang ibu, lalu meraih tangan ibu yang sudah melahirkannya tiga puluh tiga tahun yang lalu itu. “Mama janji akan merestui siapa pun yang aku pilih untuk pendamping hidupku kan?” “Tentu saja, Wil. Mama percaya, pasti kamu memilihnya karena mencintai dia kan? Jadi untuk apa mama akan menghalangi kebahagiaan putra mama sendiri.” Eva menatap putra tercintanya dengan senyum tulus. “Makasih, Ma.” Willy mencium tangan ibunya penuh haru. Wan
Diana mengelus tangan kekar suaminya yang memeluk tubuh polosnya dengan erat dari belakang. Bibirnya tersenyum mendengar dengkuran halus Ivan dengan napas hangatnya yang terasa menerpa leher jenjang Diana. Setengah jam yang lalu, mereka baru saja selesai bertempur dalam kenikmatan. Ivan pun langsung tertidur pulas setelah itu, tapi Diana masih terbangun.Berlahan, Diana mendorong tangan besar Ivan, lalu berusaha melepaskan diri dengan sedikit susah karena perutnya yang sudah sangat membuncit. Di usia kehamilannya yang sudah sembilan bulan itu, aktivitas ranjangnya dengan sang suami tak pernah berkurang. Ivan malah semakin bergairah melihat sang istri dengan perut buncitnya. Mereka pun bermain aman dengan posisi yang juga sangat menyenangkan bagi Diana, posisi doggy style.Diana yang berhasil duduk di pinggir ranjang, lalu memasang piyama tidurnya yang tergeletak di atas ranjang, ia ingin membersihkan diri ke kamar mandi. Namun, saat ia ingin berdiri perutny
Willy membuka matanya pelan, ia mengumpulkan semua kesadarannya, mendapatkan dirinya yang terbaring di tempat yang ia sangat kenal. Dua atau tiga kali dalam seminggu ia selalu terbangun di sana setiap paginya.Willy menoleh pada seseorang yang tidur menempel di tubuhnya dalam selimut yang sama, bahkan kaki cewek itu terasa menimpa sebagian tubuhnya bagian bawah. Tangan itu pun memeluk perut polosnya dengan erat. Willy tersenyum, ia sudah hafal akan cara cewek itu tidur.“Ehm … Bapak udah bangun?” Vinda membuka matanya begitu merasakan sebuah ciuman hangat di keningnya. Senyum wanita cantik itu melebar begitu mendapatkan wajah tampan yang menatapnya penuh arti.“Bukan hanya aku yang udah bangun, kakimu juga membangunkan yang lain,” dengus Willy dengan suaranya yang berat dan seksi.“Oh, maafkan, kakiku yang selalu gak sopan ini.” Vinda baru menyadari bahwa kakinya masih nangkring di a
“Vin, kamu jemput aku ke Tunjungan bentar.” Willy menghubungi Vinda--sekretarisnya begitu kepalanya terasa semakin berat. Ia telah mencoba untuk menyetir sendiri, tapi sepertinya ia tak bakal sampai di rumah jika terus memaksa membawa mobilnya itu pulang. Vinda turun dari ojek online begitu melihat mobil bosnya yang terparkir di jalan seberang plaza terbesar nomor dua di Kota Surabaya itu. Wanita bertubuh langsing itu mengetuk jendela mobil beberapa kali, sampai mengintip di jendela kaca sembari menutup kedua sisi wajahnya, agar ia bisa melihat sang bos di dalam mobil. Tak hilang akal, Vinda menghubungi Willy dengan ponselnya dan berhasil membuat Willy yang ketiduran di belakang kemudi bergerak bangun. Lalu, menoleh ke jendela mobil yang kembali diketuk oleh Vinda. Willy membuka pintu mobil dan keluar dengan sedikit sempoyongan, ia beralih duduk ke kursi penumpang di belakang kemudi. Vinda yang berdiri di dekat pintu mobil, kemudian langsung masuk dan dud
“Kamu?” Susana mendelik melihat pasiennya yang masuk pertamakali setelah usai jam istirahat adalah wanita yang telah menganggu rumah tangganya lima bulan yang lalu. “Hai … Dokter cantik? Apa kabar?” Elina dengan santai mengulurkan tangannya mengajak sang dokter berjilbab coklat muda itu bersalaman. Susana dengan enggan menerima uluran tangan wanita yang tampak sok akrab padanya. Ia tertegun begitu melihat ke tubuh wanita cantik yang mendatanginya itu. “Ka-kamu hamil lagi?” “Iya, dong … makanya saya ke sini, soalnya dulu saat pertama hamil, kan Dokter yang periksa. Jadi saya rindu, Dokter memeriksa kehamilan saya lagi.” Elina semakin senang mengganggu istrinya Denny itu. Ia berusaha menahan senyumnya. “Kamu hamil bukan dengan suami saya, kan?” Susana bertanya pelan. Hatinya langsung berkecamuk karena mengingat suaminya ke Samarinda lima bulan yang lalu yang ia yakini untuk menemui wanita yang ada di depannya saat ini. “Menurut Dokter bagaimana?