Aku masih duduk termenung memandang langit malam. Indah memang, bulan itu nampak bersinar terang. Akan tetapi hati ini terasa galau, sama sekali tidak sumringah menyenangkan seperti biasa. Perasaan itu, ya perasaan menyesakkan itu hadir kembali. Dulu Helene sekarang Angel, semua tetap berputar pada Kenzo. Terkadang aku berpikir, kesalahan apa yang dulu pernah aku lakukan. Mengapa takdir begitu kejam membuat diriku seperti terombang-ambing di tengah laut lepas, tanpa dapat menepi, berlabuh. Selama ini aku menjaga diri dengan baik, aku bukan perokok, aku lelaki sehat jasmani dan rohani. Aku selalu berusaha berjalan di jalan yang msemestinya. Akan tetapi mengapa takdir begitu kejam. Apa aku pernah berbuat kesalahan di masa lalu. Apa maksud dari semua hal yang telah terjadi selama ini. Aku berusaha berhati-hati, berusaha sebaik mungkin meski aku bukanlah orang yang baik seutuhnya. Kaki terasa menapaki jalan berliku, jalanan yang aku lalu
Mereka semua terdiam tanpa kata, entah apa pun alasannya. Pernikahan adalah sebuah hal yang sangat sakral bagi Edzard. Meski hanya nikah siri, akan tetapi Edzard tetap tidak ingin melakukannya. Walau dalam hatinya terselip nama Rere, semua itu tidaklah benar. Rere adalah kekasih Kenzo dan juga teman dari sang adik. Secinta apa pun ia, tidaklah mungkin membiarkan mereka mengambil tindakan di luar nalar. Harusnya Kenzo memahami itu semua, bukan malah mendorong Edzard ke dalam pusaran masalah yang seharusnya ia pilih sendiri."Saya tidak setuju Pak, pernikahan bukanlah sesuatu yang dapat dipermainkan. Semua itu akan kita pertanggung jawabkan kelak, bukan," tukas Edzard menatap tegas mereka."Lalu harus bagaimana, coba Nak Edzard pikirkan bila mana yang berada di posisi ibu saya adalah ib
Sampai di rumah sakit Edzard memberikan bekal kepada kedua orang tua Rere. Senyuman mereka mengembang, seolah tidak terjadi sesuatu kemarin. Kenzo duduk di kursi tunggu menenangkan Rere yang menangis sesegukan. Edzard menatap dengan sayu, rasa kasihan menyergap hati nurani. Nayla berjalan ke arah mereka dan ikut duduk di kursi samping Rere yang kosong. Gadis itu langsung menghambur ke pelukan sahabatnya. Kenzo kemudian menengok ke arah kedua orang tua Rere. Mereka duduk di kursi seberang tengah berbincang. Wajah ayah Rere nampak serius, sedangkan wajah ibunya tidak jauh beda dengan Rere, wanita tersebut nampak kusut dan matanya bengkak.Pandangan Kenzo menjelajah kembali, kali ini ke arah Edzard. Sahabatnya itu tengah menyandarkan punggung di dinding. Kenzo bangkit dari duduk, berjalan ke arah Edzard. Kedua lelaki gagah tersebut kini saling
Nayla menutup mulutnya dengan kedua tangan, ia benar-benar tidak paham akan jalan pikiran Rere. Matanya melebar seketika, dia menatap ke arah sang kakak. Ekspresinya tidak jauh berbeda dari dirinya. Netra kakak beradik itu bertemu ketika Edzard menoleh ke arahnya. Pemuda gagah itu kebingungan.Bukan hal mudah untuk memutuskan sebuah pernikahan. Rere juga seharusnya demikian namun, entah mengapa gadis itu berpikir beda sekarang. Semua orang menunduk tidak dengan Nayla dan Rere."Nenek, biarkan kami pikirkan terlebih dahulu. Pernikahan adalah sesuatu yang sakral," ucap Edzard kemudian."Kau tidak mencintai cucuku?" tanya sang nenek parau, wajahnya tersemat kekecewaan.
Terluka sudah pasti, hati mana yang tidak akan luka mendengar kekasih tercintanya dinikahkan dengan yang lain. Sakit hati tidak memandang gender, baik wanita maupun perempuan. Kenzo menatap kedua orang tua Edzard yang. Nyonya Devan menangis dalam pelukan sang suami. Devan sendiri menepuk-nepuk punggung istrinya. Yah, kedua orang tua tersebut pastinya juga terluka. Melihat banyak foto tidak pantas putra tercinta yang mereka banggakan. Kenzo mendengkus, salah satu tangannya masih memegang ponsel. Benda pipih itu masih melekat di telinga. Ia kemudian berdiri, berjalan keluar rumah."Zard," ucap Kenzo terjeda, "kau nikahi Rere," tutur Kenzo, suaranya terdengar berat."Kau waras?" pekik Edzard dari seberang telepon.&nbs
Bau obat-obatan khas terasa pekat tercium hidung. Siklus udara bercampur ac yang menyala. Lalu lalang orang berjalan di lorong-lorong, hari sudah menjelang siang, suara hiruk pikuk terdengar menggema di setiap koridor. Bangsal rumah sakit juga terlihat orang berlalu lalang, keluar masuk. Cukup bising di luar ruangan, aku duduk lemas, sesekali menunduk, tertegun, setelah mengungkapkan segalanya kepada kedua orang tua lewat sambungan ponsel, mereka nampak terkejut pastinya. Masalah demi masalah hadir dalam waktu bersamaan. Mereka akhirnya di sini sekarang, memandangku penuh intimidasi. Depan kamar ruang rawat inap nenek Rere. Wajah ayah maupun ibu sama-sama nanar memperhatikanku. Namun, aku tidak gentar, aku pandang sendu keduanya sembari berulang kali mengatakan kata 'maaf'. Tampak gurat kekecewaan di hati kedua orang tuaku tersebut. Terutama ibu, wanita itu dalam diamnya menitihkan air mata. Berulang kali menyeka linangan air d
Apa yang kalian pikirkan tentang sebuah pernikahan? Pernikahan bukan hanya sesuatu untuk menghalalkan kita dari perbuatan zina, ada tanggung jawab yang besar terkandung di dalamnya. Aku menerima pernikahan ini karena keadaan. Sebagian hati kecil memberontak merasa bersalah, ingin menyudahi sebelum semua terlambat. Namun, di lain sisi, rasa cinta yang aku pendam tiba-tiba menghambur, keluar dari sarang yang telah aku kunci rapat. Cinta pada seseorang yang tidak seharusnya. Aku menggenggam pasti tangan berotot seorang lelaki di hadapanku. Setelah sebelumnya mereka menanyakan kesiapan kepada aku dan calon istriku. Tatapan pria itu mantap, kata yang keluar dari mulutnya tegas dan lugas. Aku mengambil napas panjang sebelum mengucap ijab dengan bahasa arab. Semua saksi mengucap kata 'sah' serentak. Kata 'alhamdulillah' juga terdengar setelahnya. Rere, gadis cantik yang aku kagumi itu kini telah sah menjadi istriku. Aku menguatkan hati mena
Sakit hati yang bertumpuk, luka masih menganga, begitulah yang Rere rasa. Gadis itu menyimpan kesedihannya sendiri. Rere pernah secara tidak sengaja berkunjung ke kantor Kenzo. Dia datang membawa bekal makan siang yang ia coba masak sendiri. Gadis tersebut dengan girang berjalan ke arah ruangan Kenzo. Ia beberapa kali sempat datang ke sana bersama Nayla. Sehingga asistennya membiarkan saja Rere masuk. Dengan senyum ramah mereka mempersilahkan Rere melanjutkan langkahnya. Rere membalas dengan senyum dan menganggukkan kepala. Betapa terkejutnya Rere ketika ia mendengar suara teriakan seorang wanita di dalam sana. Jantungnya berdegup kencang, Rere gemetar membuka sedikit pintu ruangan. Hati Rere hancur berkeping-keping, nampak di dalam sana Kenzo tengah bergumul dengan seorang wanita. Suara lenguhan keduanya memekik bersahutan. Wanita itu duduk di atas meja Kenzo, sedang Kenzo berdiri membelakangi pintu masuk sehingga ia tidak men
Angin berembus masuk ke dalam ruang kamar. Adzan subuh berkumandang membangunkan tidur lelap Edzard. Dia tidak pernah menyangka akan menghabiskan malam di kamar Rere. Gadis muda itu terus menangis dalam pelukannya sepanjang malam. Menumpahkan segala keluh kesahnya. Ketika hendak pergi Rere juga mencegahnya. Gadis itu berpendapat agar pergi setelah ia tertidur pulas. Akhir-akhir ini Rere berkata tidak dapat tidur dan selalu bermimpi buruk. Edzard terpaksa berbaring di samping Rere, dia sedikit menjauh, mepet ke arah pojok ranjang. Tangan berototnya di genggam erat kedua tangan Rere. Itu yang terjadi semalam, sebelum akhirnya Edzard ikut tertidur pulas. Pagi ini ia terbangun dengan keadaan memeluk guling hangat, lebih tepatnya guling bernyawa. Entah sejak kapan keduanya tidur dengan berpelukan. Jelas Edzard merasa syok, jantung berdegup kencang, meletup-letup hendak loncat dari
Elizabeth, Larisa beserta sang suami juga Delon baru selesai sarapan. Mereka keluar restoran menatap ke arah lautan lepas sembari membicarakan hal-hal yang hendak dilakukan untuk menghabiskan siang ini. Masih ada waktu dua hari berlibur ke tempat tersebut. Senyum sumringah Larisa dan Aarav membuat iri bagi para jomlo yang lihat. Termasuk Elizabeth dan Delon, pemuda tidak sengaja yang masuk sarang macan dengan menyatakan cinta pada Caroline Zeroun. "Kalian mau ikut kami ke pulau itu?" tanya Aarav menunjukkan sebuah pulau tidak jauh dari tempat mereka. "Kami tidak mau jadi obat nyamuk," keluh Elizabeth. Aarav terkekeh, "Baiklah, kalau begitu aku akan membawa istriku sekarang, selamat bersenang-senang kalian." Tanpa kasihan Aarav mengatakan. Lelaki itu mengangkat tubuh sang istri menggendong ala bridal. Delon dan Elizabeth menggeleng, terlihat menggelikan perbuatan monster kutub utara yang sok manis. Walau sebenarnya dia sedang berusaha manis demi sang istri, nampakn
"Rafael Kenzo!" teriak Maya hilang kesabaran. "Kau, apa yang kau lakukan. Ini tidak seperti yang kita sepakati, brengsek!" pekik Maya. "Bergantilah pakaian, orang tuaku akan kemari beberapa saat lagi." Pemuda itu mengabaikan umpatan Maya. Wanita tersebut frustrasi sendiri dibuatnya. Yeah, pemuda yang bersama Maya adalah Rafael, rasa cinta pada Larisa mungkin tidak mampu dia paksa, perbedaan keyakinan menjadi jurang pemisah sebelum rasa tersebut diungkapkan, miris memang, namun apa daya. Dalam suatu kesempatan Rafael mendapati Maya berada di antara Larisa dan Aarav, jika mengikuti ego, ingin sekali membiarkan. Namun, pemuda tersebut tidak akan pernah sanggup untuk melihat Larisa menderita. Rafael dan Kenzo sama-sama pernah terluka dengan perasaan cinta berbeda keyakinan. Satu hal pasti, ketika Kenzo mendapati putranya, berhubungan dengan wanita. Sang ayah tidak langsung menghakimi, dia lebih memilih untuk melihat apa yang sebenarnya. Saran dari Kenzo hanya satu, d
Larisa dan yang lain menoleh ke arah suara, gadis cantik mengenakan dress putih tanpa lengan setinggi lutut. Rambut panjang blonde tergerai, di mana topi pantai menghias kepala. Senyum merekah mendebarkan jantung kaum adam yang melihat, tubuh mungil berkulit seputih susu membuat dunia Delon serasa terhenti. Bak disuguhkan bidadari cantik turun dari langit. "Hai, Cariline," sapa Larisa. Yah, gadis itu Caroline Zeroun, putri tunggal Axelle Zeroun dari kota B. "Boleh aku bergabung, Kak?" tanyanya. "Boleh sekali, silakan cantik," ujar Elizabeth sumringah. "Perkenalkan dia Caroline," kata Larisa. "Aku Elizabeth," ujarnya. Derit kursi berbunyi, Caroline duduk di kursi dekat Delon. Pemuda itu masih melongo, Elizabeth yang melihat menutup mulut sahabatnya. "Lap tuh iler yang hampir menetas!" kelakar Elizabeth. "Hai, bidadari cantik aku Delon," kata pemuda itu berganti mengulurkan tangan. Caroline menyambut dengan bahagia. "Sepertinya aku j
Setelah melewati beberapa pencarian atas bantuan anak buah sang papa. Elizabeth berhasil menemukan kamar hotel yang ditempati Larisa sahabatnya. Dia sedang berjalan dengan terus mengomel lantaran Larisa tidak dapat dihubungi. Ponsel mati, padahal keduanya berjanji akan sarapan bersama. Delon menatap punggung sahabatnya itu, dia paham benar Elizabeth khawatir. Sampai di kamar yang dituju gadis itu berhenti. "Akhirnya sampai juga, Larisa kamu kenapa belum turun sarapan?" omel Elizabeth membuka pintu kamar. Mata gadis itu membola, dia menutup mulut dengan kedua tangan, Delon mengernyitkan kening lalu ikut melongok ke dalam. Dia pun sama ikut terkejut. Melihat bagian dalam berantakan, Elizabeth juga Delon melangkah ke dalam. Dia mendapati ranjang bak kapal pecah, pakaian serta dalaman berserakan di lantai. Keduanya saling menatap meringis, merasa salah datang ke tempat itu. Samar terdegar erangan bersahutan dari sebuah ruang yang tertutup, keduanya menduga itu kamar mandi. E
Tangan Larisa bergerak nakal meraba pundak Aarav, wanita itu berjalan memutar untuk berdiri di hadapan sang suami. Mempertontonkan tubuh telanjangnya. Aarav menatap tajam bak serigala yang melihat mangsa. Wajah gadis itu memanas, tangannya mengepal menahan gemetar. Kedua tangan Larisa meraba bagian kemeja, mencoba meloloskan kancing yang masih melekat. Aarav memperhatikan dengan badan panas dingin, kemeja itu terlepas berkat tarikan sang istri, mempertontonkan bagian dada maskulin. “Aku siap, mari lakukan. Jangan menahan lagi,” bisik Larisa mencengkeram bagian junior Aarav. Aarav melambung tinggi, seperti naik rollercoaster, sungguh perasaan luar biasa tidak terkira. Tanpa menunggu waktu lebih lama, Aarav mengangkat tubuh Larisa, merebahkan di ranjang. Memulai kembali belaian lidah dan juga bibir di area sensitif Larisa. Gadis itu berteriak, setumpuk rasa dengan jantung terpompa lebih cepat. Menantikan hal yang lebih menakjubkan dari pemanasan itu. “Aku, akan melakuka
Mata Larisa berbinar melihat pemandangan di bawah laut pada sore hari. Saat ini mereka tengah berada di sebuah kapal pesiar. Langkah kakinya nampak lincah dengan sepatu cats yang dikenakan. Dress warna putih setinggi lutut menari dengan indah seirama langkah. Aarav membiarkan gadis muda itu di hadapannya. Kemudian mantik pelan saat sang istri hampir menabrak seorang anak muda. "Kau tidak apa?" tanya pemuda tampan rupawan pada Larisa. Gadis tersebut tersenyum, "Aku baik," jawabnya. Pemuda tersebut mengerutkan kening lalu tersenyum. "Kau, Kak Larisa?" tanya pemuda itu. "Iya, bagaimana kau bisa mengenalku?" tanya Larisa. 'Astaga, siapa lalat pengganggu ini?' cebiknya. "Astaga, aku juniormu di kampus Kak, senang sekali bisa berjumpa dengan Kakak Cantik," kata pemuda itu lagi. Larisa mencoba berpikir keras, dia seperti mengingat sesuatu. "Hei, Ren, apa yang kau lakukan disini? Pasti mengganggu gadis-gadis?" Seorang gadis cantik dat
Maya merasa tidak ingin masuk ke dalam apartemen tersebut. Namun, tidak ada pilihan pemuda yang mengekang pasti mencari di manapun dia berada. Tidak ada tempat untuk dia kabur sama sekali. Kabur pun hendak ke mana, tiada tempat bagi dirinya. Wanita itu menghela napas berat lalu berjalan masuk, ruangan gelap, hanya seberkas cahaya sorot lampu yang masuk dari luar. Maya meraba dinding lalu menekan tombol saklar. Dia menundukkan kepala kemudian melangkah ke dalam. "Kau malam sekali pulang." Suara bariton lelaki terdengar. Maya tidak terkejut, sudah menduga pemuda itu akan datang. "Aku ikut bos ke luar kota," jawabanya sembari melepas sepatu. Maya mendongakkan kepala, baru dia melihat wajah lelaki tersebut. Dia mengulas senyum, berjalan gemulai ke arah sofa lalu duduk di pangkuan sang pemuda. "Kau cemburu?" tanya Maya. Pemuda itu menatap sarkas, "Jangan bercanda," sanggahnya. "Jangan khawatir, pak tua itu mampu menjaga diri dengan baik, kau t
Malam hari di kediaman Aarav. Larisa duduk di ruang tamu dengan perasaan gundah gulana, berulang kali bangkit dari sofa lalu kembali duduk, terkadang mondar-mandir mirip setrika. Apa yang dikatakan Elizabeth tadi siang begitu mengganggu, membuat berpikir keras. Bagaimana jika sang suami memang berselingkuh, sekretaris pribadinya bertubuh sintal, nan sexy, dada menggelembung, cantik nan elegan, ah wanita itu sesuai tipe ideal Aarav. Larisa melirik ke bawah, tubuhnya kerempeng, dada kecil. Sepersekian detik gadis itu membandingkan tubuh dia dan sekertaris, membuat kepala berdenyut nyeri. Dia menguatkan diri mengatakan tidak mencintai sang suami. Namun, berbanding terbalik dengan hati yang tidak karuan, cemas. “Mengapa aku jadi kepikiran, membandingkan hal tidka penting” keluh Larisa. Dia menyibakkan rambut panjang ke belakang. Kembali bangkit dari kursi untuk kesekian kali, kakinya melangkah ke arah jendela, menyibak tirai warna coklat bermotif bunga-bunga besar, mempe
Sore hari sekitar pukul empat, usai menempuh perjalanan kurang lebih satu jam Aarav sampai di kota B. mobil yang membawanya berhenti di parkiran sebuah hotel. Lelaki tersebut keluar dari mobil saat sang sopir membukakan pintu, dia duduk di bagian belakang, sedangkan Maya ada di depan bersama sopir. “Maaf Pak, pertemuan akan dilakukan pukul tujuh malam, boleh saya pergi sebentar. Saya janji akan kembali kesini sebelum pukul tujuh,” kata Maya mencegah Aarav melangkah. Tubuh maskulin itu berbalik, “Kau mau mengunjungi ibumu?” tanya Aarav mengingat permintaan Maya tadi. Maya tersenyum seraya menjawab, “Iya, Pak.” “Istirahat sebentar, aku juga mau mandi dahulu. Akan aku antar nanti,” kata Aarav yang langsung melenggang pergi tanpa menunggu jawaban Maya. Wanita tersebut mengurungkan niat, dia kembali mengatupkan bibir yang sempat terbuka hendak mengucap. Yah, apa yang dilakukan Aarav, jika sudah berkehendak, tidak ada yang bisa menolak. Maya mengekor A