“Ayah belum pulang?” tanya Arusha pada maid.
“Belum Mas, mau makan sekarang?”
“Nanti nunggu Ayah pulang aja,” Arusha masuk ke kamar dengan lunglai.
Sekarang rumah terasa berbeda, semakin dingin dan tak menyenangkan. Beberapa kali Arusha berusaha mendekat, namun Keenan merespon seadanya. Entah benar-benar karena penyakitnya atau memang Ayahnya itu terlalu lelah untuk membangun hubungan mereka dari awal.
“Pak, Mas Arusha sudah pulang. Tadi katanya mau makan bareng sama Bapak,”
“Iya,” Keenan berlalu, setelah ia berganti baju lalu melangkahkan kakinya menuju kamar Arusha.
“Sha, ayo makan,” Keenan mengetuk pintu kamar Arusha.
Tak ada jawaban. Keenan mengetuknya lagi, tak ada jawaban dari dalam. Tangannya bergerak perlahan dan membuka pintu kamar tersebut. Ternyata Arusha bergelung dibalik selimutnya.
“Sha, ayo katanya mau makan bareng,”
Arusha memilih diam.
Gimana? makin tegang, kan? seperti yang sudah diingatkan sebelumnya bahwa di bab-bab kedepan konflik akan semakin berat, self-harm/depression bakal sering dimention. Jadi mohon kebijaksanaan dari pembaca yaa. Apresiasi sekecil apapun saya hargai, ditunggu comment/review/bintang/diamondnya ^^ -Regards. Dinar-
Hari ini kelas Revian & Jiandra ternyata menjalani kelas olahraga gabungan, ini biasa dilakukan ketika dua kelas mendapatkan materi yang sama. Kini semua murid tengah mengitari lapangan yang ukurannya cukup luas tersebut. “Rev..,” panggil Jiandra, mereka berlari beriringan. “Kenapa, Ji?” “Nanti sore kamu les nggak?” “Iya, ada tugas gambar. Aku takutnya nggak bagus jadinya,” “Ya udah, abis les aku ke rumah kamu,” “Bener nih?” “Hahaha, kamu gimana sih. Kan tadi katanya pengen dibantuin,” “Hehehe, ya udah. Aku tunggu nanti,” Revian tersenyum. 3 bulan menjalin hubungan dengan Jiandra, jujur hari-harinya jadi lebih berwarna. Banyak hal baru yang biasanya tak dapat ia lakukan dengan dengan para sahabatnya. “Kamu masih jauh sama kak Naren?” “Hm?” “Masih jauh, ya?” Revian hanya tersenyum kecil. “Maaf ya, gara-gara
Sejak mamanya memutuskan untuk kembali dengan sang Papa—praktis kehidupan Narthana kini membaik, ia merasa hidupnya lebih sempurna dari sebelumnya. Apalagi sejak dua minggu lalu ia sudah berjumpa dengan kakeknya—Dimitri, jujur saja awalnya ia takut meski kedua orangtuanya terutama sang Mama meyakinkan bahwa sang Kakek sudah antusias ingin bertemu cucunya.“Kakek?” saat itu Narthana dipertemukan dengan Kakeknya di sebuah coffee shop selepas ia pulang sekolah. Pria paruh baya itu menoleh, di netra Narthana jelas sosok tersebut tampak gagah dengan setelan kemeja biru tua, celana bahan dan kacamata yang bertengger di hidung mancungnya. Kulitnya sudah mengeriput dan rambutnya pun memutih, namun tak mengurangi pesonanya. Narthana yakin, dulu di masa mudanya sang Kakek berwajah rupawan dan menjadi idaman banyak perempuan.“Duduk, Nak,” seulas senyum terulas di wajahnya.
“Bener nih nggak ngajak kita?” Elenio membantu Johnny untuk packing.“Kan kamu lagi sibuk skripsi terus adikmu juga udah kelas 12, bentar lagi masa ujian. Lagian Papa nggak lama, 3 hari disana terus pulang,” Johnny memasukkan lotion ke tas kecil.“Ah, bilang aja Papa mau berduaan aja sama Mama,” Revian masuk ke kamar Johnny, di tangannya terdapat rendang kaleng yang sudah dibungkus rapi dengan bubble wrap dan kantung plastik putih. Johnny memang sengaja membawa rendang kemasan untuk Jilaine, biasanya Jila selalu minta dikirim makanan Indonesia terutama rendang, abon dan sambal.“Haha, nah tahu. Udah ah, yang paling utama biar studi kalian nggak keganggu. Lagian ini cuma beneran sebentar, nanti kalau long holiday baru Papa ajak kalian. Jadi kita bisa kelilingin US,” jelas Johnny.“Bener ya, Pa. Janji lho,” Revian berniat menautkan kelingking
“Dev..,” diluar kebiasaan Sena menghubungi Devina di jam kerja.“Ya, kenapa Mas?” Devina mengapit ponselnya diantara pundak dan telinganya.“Bisa jemput Jivan nanti sore? Kebetulan supir yang biasa jemput dia lagi kusuruh buat keperluan kantor,”“Boleh, Mas. Hari ini juga saya nggak ada lembur,”“Makasih ya, Dev,” Devina menepati janjinya, ia membawa sedan abu metalik yang biasa digunakannya menuju sekolah Jivan. Saat ia sampai, anak-anak sekolah baru saja keluar dari gerbang utama, suasana begitu ramai dan Devina memilih menunggu di minimarket yang letaknya tak jauh dari sana.“Ya, Kak? Kenapa?” tanya Jivan saat teleponnya tersambung.“Hari ini Kakak yang jemput, pesan dari Papamu,” dari dalam mobil, Devina bisa melihat jelas sosok Jivan yang tengah berada di depan gerbang utama.“Mobil Kakak warna apa?” remaja itu mene
“Giat banget lo belajarnya, Sha,” diluar kebiasaan Arusha masih tetap belajar di jam istirahat, di sebelah kirinya terdapat cracker dan sebotol air putih. “Lo mah, gue rajin diheranin. Gue males diomongin juga,” tanggap Arusha. “Beneran nggak mau ke kantin?” ajak Jivan. “Males, ah. Pasti rame juga,” Arusha menggelengkan kepalanya. “Kalau mau sepi sih di kuburan, Sha,” sahut Jivan asal. “Mulut lo, Van. Udah sana, gue disini aja,” Arusha setengah mendorong Jivan menjauh dari mejanya. Sepeninggal Jivan—Arusha melanjutkan kembali belajarnya yang sempat tertunda, sebenarnya ia begini bukan tanpa alasan. Dirinya berusaha mengalihkan fokus dari kecemasan yang selalu melandanya belakangan ini. Pikirannya yang terlalu memikirkan banyak hal. Ia melirik jam tangannya, 15 menit lagi jam istirahat akan selesai. Arusha beranjak dari kelasnya dan menuju rooftop sekolah. Tak membutuhkan waktu lama, i
Elenio membawa tas berisi laptop dan buku yang hendak dikembalikan ke perpustakaan, agendanya hari ini untuk menyicil skripsinya yang sudah digarap 2 bulan belakangan ini.“Baru dateng lo?” Elenio berjumpa dengan Alastair di pintu perpustakaan.“Iya, udah ngebul gue kerjain dari tadi. Mau ngadem dulu,” Alastair menunjukkan raut wajah lelahnya.“Ngadem apa nyebat?” sindir Elenio.“Tau aja lo, udah kerjain yang rajin sana,” Alastair mendorong pundak Elenio. Mereka berpisah dan Elenio masuk ke perpustakaan. Ia titip barang di loker lalu membawa laptop dan ponselnya. Meja favoritnya ternyata kosong, meja yang terletak di pojokan dekat dengan ruang multimedia. Elenio terdiam sesaat ketika melihat laptop yang tak asing lagi untuknya dan tepat berada disamping mejanya.“Nio?” suara itu menyapa pendengaran Elenio. Ya, suara itu miliki Dhi
Bel rumah Keenan berbunyi nyaring, berkali-kali dan dalam jeda waktu yang dekat. Sukses membuat si pemilik rumah keluar dari persembunyiannya.“Siapa sih itu? Kok berisik banget,” gerutu Keenan.“Sepertinya teman-teman Bapak,” ujar salah satu maid. Dugaan si pembantu benar adanya, sosok Satya, Johnny dan Sena sudah berdiri dengan senyum jahil terulas jelas di wajah mereka.“Pakeeeet !!!” teriak Sena dengan suara nyaringnya. Keenan membuka pintu dan menunjukkan wajah tak suka.“Maaf, nggak terima sumbangan,” ujar Keenan.“Anjirlah, yang punya Sagara peliiitt !!!” Johnny memajukan bibirnya.“Ayo kita spill ke media, Keenan Sagara—ternyata sosok yang pelit dan sombong,” ucap Satya.“Nista lo pada, ini dateng kenapa nggak bilang dulu,” Keenan akhirnya membuka pintu lebar-lebar.
“Pak Johnny Kivandra?” suara seorang perempuan menyapa pendengaran Johnny.“Iya, mohon maaf ini dengan siapa?”“Saya Erika, Pak. Wali kelasnya Revian,” Perasaan Johnny mulai tak enak, sesuatu pasti terjadi pada anak bungsunya itu.“Ada apa, Bu?” Johnny masih berusaha terdengar tenang.“Revian terlibat perkelahian dengan temannya—Naren, Pak. Sekarang anak Bapak berada di ruang BK, dimohon kehadirannya sekarang di sekolah,” Johnny terkesiap sesaat—perasaan tak enaknya tadi ternyata benar adanya.“Baik, Bu. Saya akan segera kesana sekarang,” Johnny memutus sambungan teleponnya, ia raih jas dan kunci mobilnya. Saat ia keluar dari ruangannya, sang sekretaris menghadangnya.“Maaf, Pak. Ada berkas yang harus ditandatangani,”“Nanti saja, saya ada urusan mendadak,” Johnny berl
Sherianne baru menyelesaikan pemotretannya 15 menit yang lalu, ia masih terduduk di ruang ganti sambil menanti sang manajer menyelesaikan urusannya. Ia meraih ponselnya, tak ada kabar dari Satya ataupun Narthana. Sepertinya dua lelakinya itu cukup sibuk minggu ini. Hingga tiba-tiba ia merasakan seseorang hadir tepat di belakangnya dan mencium pipinya."Satya?" Sherianne mendongak kearah kaca yang memantulkan bayangannya dan Satya, lalu perempuan itu tersenyum manis."Kamu belum pulang?" Satya duduk disamping Sherianne."Belum, urusan manajerku belum selesai," tanggap perempuan tersebut. Satya meraih pouch yang biasanya berisi makeup yang dipakai oleh Sherianne."Micelar water kamu mana, deh? Kapas juga?""Buat apa? Kamu kan nggak pakai makeup, Sat," Sherianne mengerenyitkan alis."Bersihin makeupmu lah, Sher. Nggak bagus kalau wajahmu lama-lama pakaiheavy mak
"Nio !!!" suara khas Dhira terdengar di sepanjang lorong kampus, membuat siapapun yang ada disitu menoleh, termasuk sosok yang dipanggil oleh gadis tersebut--Elenio."Kamu kalau manggil pelan-pelan kenapa. Nggak malu diliatin anak-anak yang lain?" Elenio misuh-misuh. Dhira tertawa renyah."Nggak malu ah, lagian kamunya juga tetep noleh. Abis bimbingan?" tanya Dhira."Keliatannya gimana?" tanya Elenio balik."Galak amat deh, ya keliatannya tadi dari ruang dosen. Pasti abis bimbingan," tanggap Dhira."Udah tahu, kenapa masih nanya," Elenio melangkahkan kakinya, Dhira dengan susah payah menyamai langkah kaki Elenio yang panjang."Abis ini mau kemana?" Dhira sama sekali tak menyerah meski mendapatkan tanggapan tak enak dari Elenio."Mau makan sama Air & Rasen," sahut Elenio."Ikut dong," ujar Dhira."Di kantin belakang Teknik, Dhir. Kamu nggak apa-apa?" Dh
Kediaman Naratama suasananya selalu sama, rumah sebesar itu hanya ditinggali Jana, Deva dan putri mereka satu-satunya--Adara, ditambah beberapa maid dan satpam yang menjaga rumah. Jam baru menunjukkan pukul 21.30, namun suasana rumah sudah begitu sepi. Adara sudah terlelap di kamarnya, sementara Jana biasanya tengah menonton serial drama di ruangan yang memang khusus disediakan untuknya melepas penat. Sementara Deva berkutat dengan pekerjaannya.Ia memijat kepalanya yang terasa pening, sudah sejak dua jam lalu ia standbydi depan laptopnya."Istri saya dimana?" tanya Deva sekeluarnya ia dari ruang kerja."Nyonya masih di ruangannya, Tuan. Dari tadi belum keluar," ujarmaid. Deva mengangguk sekilas dan lalu menuju ruangan Jana yang terletak di lantai dua, ia membuka pintu berwarna putih tulang tersebut. Televisi yang menampilkan serial favorit istrinya tersebut ma
Jivan membuka buku Matematikanya, ia melirik ke sekelilingnya dan begitu kosong. Maklum ini jam istirahat dan semua memilih melepas penat entah untuk mengisi perut mereka yang kosong atau berolahraga ringan di lapangan. Biasanya ia akan menghabiskan waktu dengan Arusha, atau dengan Narthana dan Revian yang berada di kelas lain. Tapi kini semuanya berbeda, Narthana dan Revian kini sudah berstatus mahasiswa dan sibuk dengan perkuliahan, Arusha? Sejak masalahnya dengan sang Ayah, ia lebih memilih menjauh dari Jivan dan lingkungan lamanya. Terlebih saat Arusha mendapati bahwa Devina--lebih memilih dengan Papanya dibanding bertahan dengan situasi yang ada. Jivan melirik ponselnya, 15 menit lagi istirahat akan berakhir. Ia menutup bukunya dan melangkahkan kaki menuju kantin. Sesampainya disana, keadaan cukup ramai. Jivan memutuskan untuk membeli sekaleng soda dansnack."Gue duduk disini, boleh?
3 hari berlalu sejak Revian terakhir kali menghubungi Jiandra, ia sempat lupa karena kesibukannya di kampus. Tapi biasanya jika Revian tengah lupa menghubungi--maka Jiandralah yang akan menghubunginya terlebih dulu, entah viachatatauvideo call.Namun hingga kini, gadis itu sama sekali tak menghubunginya. Apakah jadwal sekolahnya sepadat itu?"Anak bujang Papa bengong aja, kenapa nih?" Johnny yang keluar dari kamarnya mendapati sang anak masih berjibaku dengan tugas, di meja ruang TV--Revian duduk bersila di lantai dengan laptop yang menyala--tak lupa ada segelas kopi disampingnya."Jangan ngopi mulu, nanti kamu makin susah tidurnya," peringat Johnny."Justru kalau aku nggak ngopi, yang ada aku ngantuk Pa," kilah Revian. Johnny menggelengkan kepalanya dan menuju dapur untuk mengambil segelas air. Ia mengenggam mug putihnya yang selalu ia pakai untuk meminum air putih dan duduk
Berita tentang runtuhnya bangunan Sagara menghiasi media beberapa hari belakangan ini, Keenan tak bisa sepenuhnya fokus pada pekerjaan karena ia masih harus mengurusi hal yang berkaitan dengan insiden tersebut. Mulai tuntutan hukum dari keluarga korban, kompensasi yang ia harus berikan hingga tekanan dari dewan perusahaan untuk segera menyelesaikan masalah ini. Mereka berkata bahwa masalah ini harus segera diselesaikan, karena semakin lama masalah ini berlarut maka akan berpengaruh terhadap kredibilitas Sagara sebagai salah satu perusahaantour & travel ternama di Indonesia."Ayah mau kemana?" diluar dugaan--Arusha sudah berdiri dihadapan ruang kerja Keenan."Kok kamu disini, Nak?" Keenan menunduk menatap tinggi Arusha yang kini sudah hampir mencapai pundaknya."Abis Ayah di ruang kerja terus. Ini hari Minggu, Yah. Nggak mauquality timesama aku gitu?" rajuk Arusha sambil
7 tahun yang lalu... Keenan baru saja mengantarkan Arusha ke sekolah, ini selalu menjadi rutinitasnya setiap pagi sebelum berangkat ke kantor--kecuali ia ada urusan mendesak di kantor barulah ia menyuruh supir untuk mengantar anaknya tersebut. Di perjalanan menuju kantor, ponselnya berdering.Sissy...calling."Ada apa, Sy?" tanya Keenan--Sissy merupakan sekretarisnya."Pak, saya baru dapat kabar kalau proyek cabang yang di Bogor mengalami kecelakaan, Pak. Konstruksi bangunan runtuh," ujar Sissy."Yang bener kamu, Sy?" tanya Keenan tak percaya."Iya, Pak. Bapak diminta untuk mendatangi lokasi,""Oke, saya kesana sekarang," Keenan memutus sambungan teleponnya, ia pacu mobilnya dengan kecepatan tinggi dan menuju tempat yang dituju.*** 2 jam kemudian, Keenan sudah sampai di lokasi. Sejak 2 tahun lalu ia memang berencana untuk membangun cabang
"Kayak ABG aja jalan-jalan kemallgini," ujar Jilaine saat ia dan Johnny memasuki lobby."Haha, sesekali. Mumpung kamu lagi disini juga, kalau udah pergi ke NY kan kamu susah pulangnya," Johnny mengamit tangan Jilaine."Iya juga sih, kalau sama kamu kan paling nggak jauh dari ngopi,hunting foto,sama jalan-jalan ke alam," mata Jilaine sibuk melihat toko-toko yang berjejer."Kalausummernanti kita liburan berempat gimana? Mau?" tawar Johnny. Jilaine tertawa."Kok ketawa sih?" Johnny mengerenyitkan alis."Kamu dari dulu juga suka serba dadakan kalau ajak pergi, nggak berubah,""Jadi nggak mau nih?" bibir Johnny mengerucut."Hahaha, mau. Tapi bicarain dulu sama anak-anak, apalagi Revian kan baru masuk kuliah,""Oke, nanti aku bicarain sama mereka," mereka masuk ke salah satu toko sepatu.*
"Kamu pindah sekolah aja, ya?" ujar Keenan saat mereka tengah sarapan bersama. Hari ini hari pertama Arusha sekolah setelah liburan kenaikan kelas kemarin, anak itu menaruh garpu dan pisau yang sedari tadi ia gunakan untuk menikmati rotinya."Yah, nanggung. Setahun lagi aku lulus," Arusha menatap Keenan lekat."Nanggung atau kamu nggak mau jauh dari gadis itu?" tanya Keenan. Arusha menghembuskan nafas panjang."Gadis itu punya nama, Yah. Rea,""Jadi kamu nggak mau pindah karena dia? Iya?" cecar Keenan."Yah, dia nggak seburuk itu," Arusha masih berusaha membela."Pengaruh dia baik setelah bikin kamu suka keluar malam dan balap liar?""Dia yang paling ngerti aku sekarang, Yah. Tolong jangan pojokin Rea terus," Keenan menaruh pisau dan garpunya, ia teguk sisa kopi di gelasnya dan beranjak dari kursinya."Kita berangkat sekarang, Ayah ante