Bara memojokkan Nadia ke dinding rumah sakit yang berada di pojok terowongan. Nadia merinding karena merasa sepi dan sunyi. Kenapa juga, Bara mengajaknya ke tempat sepi ini?
"Jujur sama aku, Nadia! Kamu suka sama dokter itu?"
"Gak! Aku bukan kamu, yang gampang simpati sama orang lain."
Bara tersenyum miring dan semakin menghimpit, Nadia. Membuat Nadia ketakutan setengah mati.
"Sesak, Bar! Kamu mau bunuh aku, ya?" sarkas Nadia.
"Jangan deket sama dia. Aku gak suka."
"Kamu juga. Jangan dekat dengan dia. Aku gak suka."
Bara mengecup pucuk kepala Nadia, setelah sampai di depan fakultas gadis itu. Dua sahabat Nadia, ikut senang melihatnya.Akhirnya hubungan mereka kembali utuh seperti sedia kala. Semoga saja Bara, tidak lagi tertipu dengan akal muslihat si dua ular betina.“Semangat kuliahnya, Sayang. Nanti aku jemput.”“Kamu kan kerja, Bar. Nanti aku pulang sama Lala, ajha,” ujar Nadia. Bara kasihan harus bolak-balik dari kantor ke kampusnya. Nadia tahu, tunangannya ini sangat sibuk, jadi ia harus pengertian ke Bara.Kalau soal yang lain, Nadia tidak mau. Hanya mengalah dengan pekerjaan Bara. Nadia masih memakluminya.“Makasih ya, Sayang. Ingat! Jangan dekat-dekat sama manusia
Celina tersenyum melihat layar ponselnya. Setelah seminggu, Bara kembali menelponnya. Ingin bertemu dengannya. Membuatnya kembali ada semangat dalam hidupnya.“Bara?” tanya Marisa. Celina mengangguk. Marisa ikut bahagia melihat Celina tersenyum seperti sekarang ini. Tidak menangis seperti beberapa hari yang lalu.Marisa mengusap bahu Celina, “Gue yakin, Bara rindu sama lo dan ingin minta maaf. Pasti Bara nyesel udah bilang seperti itu ke lo, Cel.”Dengan menghembuskan nafas berat. Celina menatap Marisa dengan intens. Terbesit di dalam benaknya tidak ingin semua ini berakhir secepatnya. Sebelum Bara menjadi miliknya.“Bagaimana kalau semuanya telah usai, Ris? Gue takut. Gue jadi ragu buat ngelanjutin semuanya.”
“Kalian dengar sesuatu, gak?” tanya Nadia, hendak melangkah masuk ke dalam toilet. Namun langkahnya terhenti ketika namanya disebut, dalam percakapan itu.“Kita labrak, ajha!” ujar Lala. Maya langsung membekap mulutnya. Membuat Lala bungkam.“Kita dengar dulu.”“Gue mau, lo tuker map kosong ini, dengan punya Nadia. Gue gak mau tahu. Nadia anak ekonomi, tunangannya Bara. Lo tahu, kan?”“Tapi semua ini akan sulit, kalau bayaran gue gak di tambah.”“Gue akan tambah, setelah rencana lo berhasil. Gimana?”“Gue setuju. Gue juga lagi butuh duit sekarang.”
Bara menutup mata Nadia dengan kain berwarna merah. Memapah gadis itu untuk ke suatu tempat. Nadia sebenarnya takut seperti ini. Seakan dirinya hilang dari muka bumi. Nadia sangat takut akan kegelapan. Apalagi ini, tutup matanya sangat tebal.“Bar! Takut. Kita mau kemana, sih? Kamu gak akan macam-macam, kan?” Nadia merengek.“Gak, Sayang. Mana berani aku macam-macam. Kamu galaknya minta ampun.”Nadia menghela nafas. Ketika Bara menyuruhnya duduk. Sebenarnya ia ragu. Namun Bara mengelus tangannya, sehingga Nadia memantapkan hatinya. Dan mengikuti perintah Bara.Mereka duduk berhadapan di sebuah meja. Di restoran mewah milik keluarga Bara. Telah tersedia meja di rooftop. dengan sajian makanan k
Dengan tatapan nanar, Nadia dan Bara masuk ke dalam butik tersebut. Nadia berjongkok memegang alat yang membantu semua kerusuhan ini terjadi. Sebuah tongkat baseball dan beberapa kayu berukuran besar berserakan di mana-mana. Dengan semua karyawan yang menunduk, berkumpul di satu tempat. Siap untuk mendengar introgasi darinya.“Apa yang terjadi? Via! Jawab pertanyaan saya?!” tanya Nadia menatap salah satu karyawannya itu.“Maaf, Bu Nadia. Kami sudah menghalangi mereka. Namun mereka tidak bisa dihentikan. Jumlah mereka sangat banyak. Bahkan dua satpam butik, sekarang dilarikan ke rumah sakit dengan kondisi yang memprihatinkan.”Nadia melangkah mendekati desain sebuah gaun untuk nyonya Vivi, seharga kisaran puluhan juta telah hancur dengan sobekan di mana-mana. Pandangan Nadia mengabur, tiba-tib
“Hei, Sayang!” teriak Bara, seketika menangkap tubuh Nadia yang lemas dan pingsan di dekapannya.Tidak ada sahutan dari Nadia. Dengan perasaan khawatir dan amarah yang memuncak. Bara langsung menggendong Nadia menuju ke dalam mobilnya.“Bertahan, Sayang. Aku janji, akan membalas mereka sampai ke akar-akarnya!” tegas Bara mengepalkan tangannya.Mobil Bara melaju dengan kecepatan penuh. Menuju rumah sakit terdekat. Wajah Nadia terlihat sangat pucat dengan deru nafas yang lemah. Bara tidak bisa melihat Nadia seperti ini. Ia seperti orang gila, mengusap wajahnya dengan kasar.Sedangkan dua wanita yang melihat hal tersebut dari atas rumahnya tersenyum miring dengan sorakan bahagia.“Rencana kita berha
Bara mengepalkan tangannya dengan menahan emosi menatap Ryan yang hendak masuk ke sana. Ia menghalangi dokter tersebut untuk ikut masuk bersama dengan suster ke dalam ruang inap Nadia.“Saya tidak menerima dokter laki-laki untuk memeperiksa tunangan, saya!” peringkat Bara posesif.“Anda tidak bisa seperti ini, Pak Barata. Nadia pasien saya, dan membutuhkan pertolongan segera. Jangan egois!”“Egois? Saya tahu, anda menyukai tunangan saya. Jangan menolaknya. Saya mengetahuinya dari gerak gerik, Anda. Yang sangat mengagumi tunangan saya.”“Dokter! Pasien butuh untuk segera diperiksa.”Ryan tidak memperdulikan Bar
Ryan masuk ke dalam ruang cctv. Ia segera menyuruh petugas di sana untuk mengeceknya. Samar-samar Ryan dapat melihatnya. Orang yang ia kejar beberapa jam yang lalu, hampir merenggut nyawa Nadia.Ryan semakin yakin. Nadia tidak dalam keadaan baik sekarang. Namun kenapa tunangan Nadia, sangat menyepelekan hal tersebut. Jelas-jelas, ada yang mengincar Nadia."Dokter akan melaporkan nya ke polisi?" tanya petugas itu."Iya, Pak. Ini harus ditindak lanjuti. Karena mempertaruhkan nyawa pasien. Saya tidak ingin, hal ini terulang kembali.""Iya, Pak. Saya setuju. Sekarang banyak manusia yang nekad dan jahat."Ryan tersenyum dan mengangguk.
Dua bulan telah berlalu. Kedua sahabat Nadia sudah resmi menikah dan sekarang fokus dengan rumah tangga mereka masing-masing.Nadia menghela nafas pelan ketika dirinya akhirnya bisa berjalan kembali, setelah terapi setiap minggu dan memiliki keinginan yang kuat untuk berjalan. Namun jangan lupakan dibalik kesembuhan Nadia, terdapat seorang pria yang setia dan penyabar di sampingnya.Nadia masih tidak menyangka, ternyata Bara adalah jodohnya dan pernikahan mereka sudah berumur tiga bulan. Bara adalah segalanya untuk Nadia. Tuhan menghadirkan Bara sebagai penerang di kehidupan Nadia yang sunyi dan sepi.“Semoga Bara menyukai hadiahku.”Nadia segera bersiap setelah menyiapkan kejutan untuk Bara. Hari
Senyuman Lala luntur ketika melihat calon suaminya mengobrol dengan dokter muda yang terlihat sangat cantik dan dewasa.Lala mengeratkan pegangan tangannya di rantang yang ia bawa untuk dokter Ryan.Lala berdiri di ujung pintu. Sepertinya mereka tidak menyadari dirinya berada di sana. Karena terlalu asyik mengobrol. Lala mundur perlahan dan segera berbalik arah kembali menuruni anak tangga.Ryan menatap dokter Neza dengan pandangan sulit diartikan. Dokter Neza adalah dokter baru di rumah sakit ini dan sepertinya menyukainya. Karena sedari tadi mencoba mencairkan suasana untuk menggodanya.“Dokter Ryan juga berprofesi menjadi seorang dosen? Wah hebat ya. Dokter sanga
“Sebenarnya, aku ada niatan untuk menjenguk nenek di rumah sakit jiwa,” ujar Nadia pelan, membuat semua orang yang ada di meja makan berhenti sejenak dari aktivitasnya.“Tidak!” tegas Bara, membuat Nadia bukannya takut malah pantang menyerah.“Kenapa, Sayang? Sampai mau jenguk nenek kamu yang jahat dan tidak manusiawi itu?” tanya Rani menatap Nadia, membuat Nadia menghela nafas pelan.“Nadia, ingin berdamai dengan semuanya. Tenang, hanya nenek ajha, kok. Ngak sama dia-dia itu,” ujar Nadia lagi.“Dia siapa?” tanya Bara.“Mantan sahabat kamulah. Siapa lagi, yang kamu belain mati-matian sampai membuang cincin ak ....”
Bara meneliti wajah Nadia yang tengah tertidur. Cantik dan manis. Bibir mungil semanis madu itu selalu berhasil membuatnya tidak berhenti mengecupnya seperti sekarang ini.Mereka masih berada di kantor. Sebentar lagi jam pulang kerja tiba. Namun melihat istrinya masih memejamkan matanya. Bara jadi tidak tega membangunkan Nadia.Bara menghela nafas dan merogoh ponselnya. Ia menyalakan kamera dan mengambil gambar Nadia sebanyak-banyaknya."Sayang banget sama kamu." Bara mendusel hidungnya di leher Nadia, membuat Nadia terusik."Eugh …." Akhirnya Nadia terbangun dan bergumam kesal kepadanya. Karena menganggu tidur nyenyak wanita itu."Sayang, dah
Nadia meringis kala merasakan sakit yang menderai . Nadia menatap Bara yang pagi ini sudah rapi untuk berangkat bekerja.“Sayang, ayo mandi. Kita ke kantor.”Nadia terperangah mendengarnya, “Kamu sendirian pergi. Aku di rumah ajha.”“Nggak bisa, Sayang. Kamu harus ada di samping aku setiap waktu.”Tanpa izin, Bara menggendong Nadia dan masuk ke dalam kamar mandi. Dengan telaten, Bara membasuh dan membersihkan tubuh Nadia dengan sangat lembut dan hati-hati.Setelah menghabiskan waktu 5 menit. Bara menggendong Nadia dan mendudukkannya di pinggir ranjang.Bara beralih mencari dress untuk sang istri. Warna marun dan juga mantel tebal untuk sang istr
Seminggu telah berlalu. Sepasang pengantin baru tersebut, sekarang akhirnya pulang ke rumah orang tua Bara. Nadia mengambil nafas panjang ketika Bara dengan seenaknya, tidak ingin menurunkannya ke kursi roda. Bara mengendongnya sampai ke dalam rumah. Nadia hanya bisa pasrah dan mengeratkan pelukannya ke leher suaminya.Barang-barang, semuanya telah dibawa oleh sopir dan para pembantu ke dalam kamar mereka.“Wah, pengantin baru sudah pulang ternyata,” ujar Rani terlihat antusias. Nadia duduk bersama Bara di depan meja makan, bersama dengan kedua orang tua Bara.“Bagaimana bulan madunya, Sayang?” tanya Rani kepada Nadia.Nadia tersenyum kikuk dan menunduk, “Lancar, Ma.”Mereka berdua mengucap
“Bisa gak sih, kamu gak buat masalah sekali saja.” Nadia menyilang tangan di dadanya bersandar di punggung ranjang kamar hotel.Bara menghela nafas pelan, “Ini juga demi kamu, Sayang. Aku gak suka semua orang menghina kamu, Nadia. Tolong ngertiin aku!” Bara sedikit meninggikan suaranya, membuat Nadia menggelengkan kepalanya tidak percaya.“Kamu marah sama aku? Kamu bentak aku?” tandas Nadia.“Sayang, bukan seperti itu.”“Iya, kamu udah gak sayang sama aku. Kamu mengulangi kesalahan yang dulu. Kamu ... hiks.”Nadia merasakan sesak di dadanya. Wanita itu kembali terbayang kejadian yang dulu. Katakan dirinya berlebihan, namun trauma itu kembali muncul.
Hari ini pasangan pengantin baru tersebut memilih menghabiskan waktu di taman. Banyak anak-anak bermain di ujung sana dengan gembira, membuat Bara dan juga Nadia ikut tersenyum melihatnya.“Kamu mau makan apa, Sayang?” Bara mengelus bahu Nadia yang berada di dekapannya.Nadia yang merada di dekapan suaminya mendongak, sejenak memikirkan sesuatu yang akan ia beli. Nadia melonggarkan pelukannya dan mulai mengitari ke segala penjuru taman, dengan bola mata cantiknya, banyak berbagai macam makanan ringan penggugah selera.“Cilok, harga 5 ribuan.” Nadia menunjuk dagang cilok dengan dagunya, yang terlihat memakai sepeda motor tengah dikerumuni banyak orang.“5 ribuan?” Bara mengangkat sebelah alisnya.
“Katanya ... mau istirahat. Ini langsung unboxing kamar hotel.” Nadia mendengus sembari berbaring di atas bantal yang sangat empuk. Warna putih mendominasi, mencirikan mereka tengah berada di hotel bintang lima.Padahal tadi, sebelumnya. Bara sudah berkata bahwa mereka akan istirahat setelah acara pernikahan usai. Tapi apa? Hanya omong kosong saja.Bara membuka jasnya. Pria itu melangkah ke arah kamar mandi dan menutupnya dengan rapat. Ada apa dengannya? Nadia memutus pandangannya dan mulai memejamkan matanya.Beberapa menit telah berlalu. Bara keluar dengan memakai kaos oblong. Pria itu mengusap kepalanya yang perlahan mulai kering karena usapan handuk yang bersih.Bara menghela nafas ketika melihat Nadia memejamkan matanya karena kelelahan. Tapi, bagaimana