Salsa saat ini sedang bersantai di belakang rumahnya bersama dengan seorang lelaki. Dering telepon genggam di dekatnya menarik perhatian lelaki itu. Seorang remaja mendekati mereka berdua dan menyadarkan Salsa bahwa ponsel miliknya berdering sedari tadi. Dahi Salsa terlipat saat melihat pemilik nama yang sedang meneleponnya.
Mami Nadia calling ...
Ada apa tante Astri menelepon? Atau Nadia ada perlu tapi pake ponsel maminya? Batinnya bertanya-tanya.
"Kenapa, Sa? Angkat tuh teleponnya siapa tahu penting."
"Iya nih kak Salsa, berisik tahu dari tadi bunyi terus."
"Iya, iya, ini mau diangkat."
Salsa menggeser layar ke arah kanan lalu menempelkan benda canggih itu ke telinganya.
"Halo, assalamualaikum Tante."
"Cieee, tumben kakak ucapin salam," ledek remaja itu yang mendapat pelototan Salsa.
"Waalaikums
Awan maju untuk menyalami Astri. Senyuman tulus ia ulas dari bibirnya. Tak lupa, dosen muda itu mencium punggung tangan Astri."Salam kenal, Bu." Suara yang meneduhkan keluar dari mulut Awan."Iya Nak, apakah kamu yang mengantar Nadia pulang tempo hari?""Iya Bu, maaf tidak sempat mampir. Waktu itu saya ada pekerjaan lain.""Tidak apa-apa. Terima kasih atas pertolonganmu saat itu.""Sama-sama Bu, mari Ibu ikut kami mencari Nadia.""Memangnya Nadia hilang?" tanya Dafa tiba-tiba. "Aku kira tasnya hanya jatuh saja di sini. Jangan-jangan dia diculik.""Abang jangan nakut-nakutin gitu dong. Kasihan tante Astri pasti sangat sedih.""Bukan abang mau nakut-nakutin Sa, tapi coba aja pikir pakai logika. Nadia nggak pulang ke rumah dan aku menemukan tas berisi ponsel ini di sini. Kalaupun ada yang jambret kayak kemarin, pasti is
Astri terpaku melihat perempuan itu. Sangat berbeda jauh dari beberapa tahun yang lalu. Wanita yang selalu berpenampilan glamour dan berpakaian modis kini hanya memakai daster lusuh. Bahkan, tak sadar Astri sampai ternganga."Dinara," ucapnya ragu karena merasa kalau wanita di hadapannya itu mirip dengan istri Alvin tapi ia juga ragu kalau wanita itu benar-benar Dinara. Dinara yang ada di hadapannya berubah seratus delapan puluh derajat dibanding beberapa tahun sebelumnya."Ada apa mbak Astri datang ke sini? Mau menertawakan nasibku yang buruk?" sinis wanita itu menatap tajam Astri.Astri mundur ke belakang selangkah merasa kaget dengan sambutan yang diberikan oleh istri Alvin. Sekarang, Astri yakin jika memang wanita itu adalah Dinara. Nada suara Dinara yang selalu ketus jika berbicara dengannya meyakinkan Astri."Ini juga ramai-ramai bawa pasukan apa maksudnya? Mbak Astri mau mengeroyok aku?"
Dinara mengetuk pintu bercat putih yang menjulang tinggi di depannya. Lama tak ada yang membukakan pintu."Mana sih ini orang-orangnya lama amat," gerutunya.Terdengar suara dari dalam rumah yang meminta mereka untuk menunggu sebentar. Tak lama pintu terbuka dan menampakkan wanita tua yang sepertinya asisten rumah tangga di sana."Ada apa ya, Bu?" tanya wanita itu tanpa mempersilahkan mereka masuk. Bahkan dia berdiri di depan pintu setelah menutupnya seolah menghalangi mereka untuk melihat apa saja di dalam."Aku mau ketemu sama majikan kamu," ketus Dinara."Mau ketemu bu Susanti apa bu Melisa?""Aku mau ketemu sama pak Budi. Ada perlu.""Maaf Bu, tapi pak Budi sedang ada urusan di luar.""Urusan apa? Katakan aku ke sini, penting.""Maaf Bu, tapi saya mengatakan yang sebenarnya kalau bapak tidak a
Nadia melenguh pelan merasakan sakit pada kepalanya. Diingatnya kembali apa yang baru saja menimpanya. Dia berjalan masuk gang hendak pulang dan tiba-tiba saja pandangannya tertutup oleh sebuah kain hitam. Gadis itu merasa dibawa ke dalam sebuah mobil yang entah membawanya ke mana.Nadia bangun dari posisinya saat ini dan mengecek pakaiannya. Gadis itu sangat bersyukur karena tak ada apapun yang berkurang. Nadia memandang sekeliling yang sangat asing di matanya. Sebuah kamar dengan tempat tidur kayu yang saat ini ditempatinya. Lemari di sudut ruangan dan kamar mandi dalam. Sebuah meja rias sederhana juga ada di sana.Nadia turun dari tempat tidur menuju kamar mandi untuk mencuci muka. Sempat diliriknya suasana di luar yang menunjukkan hari semakin sore. Nadia teringat akan Astri."Mami pasti khawatir banget sama aku. Apa maksud mereka menculikku?" gumamnya pelan.Nadia keluar dari kamar mandi dan ada
"Sempurna. Non Nadia benar-benar cantik," puji Leni."Makasih Mbak," ucap Nadia sambil tersenyum kecut.Nadia baru teringat kalau dia hapal di luar kepala nomor ponsel maminya. Dia menatap Leni penuh harap."Mbak," panggilnya."Ya Non, ada apa?" tanya Leni yang saat itu sedang membereskan peralatan make upnya."Mbak Leni bawa ponsel tidak?"Leni menggeleng lesu. "Maaf Non, saya nggak bawa hape. Saya buru-buru tadi dijemput sama orang suruhan itu. Badannya gede-gede, Non. Saya takut. Mereka membawa paksa saya setelah salah seorang di antaranya membawa kedua anak saya. Suami saya yang baru pulang kerja sempat menghalangi malah kena hajar. Para warga nggak ada yang mau membantu kami karena takut kena getahnya juga."Semangat yang tadinya menggebu langsung hancur begitu saja. Bahu Nadia merosot lunglai membuat Leni menatap iba padanya. Wanita
"Lepasin, Om." "Enggak. Om nggak akan lepasin kamu. Kamu satu-satunya orang yang bisa menolong om." Pak Budi maju menghadapi kedua lelaki muda yang dianggap menggagalkan rencananya itu. "Mau apa kalian?" tanyanya sambil berkacak pinggang. Matanya melotot garang ke arah Dafa dan Awan. "Kami mau membebaskan Nadia dari lelaki tua seperti Anda." "Oh, tidak bisa. Alvin sudah menyerahkan Nadia untuk menjadi istriku. Kalian tidak bisa seenaknya saja membebaskan Nadia." "Pak, Nadia itu anak saya. Dia nggak ada hubungannya sama sekali dengan utang-utang Alvin. Bapak tidak berhak memaksakan kehendak Bapak untuk menikahi Nadia sedangkan anak saya itu tidak mau. Tolong, Pak! Bebaskan anak saya." "Aku tidak mau rugi. Enak saja sudah menikmati uangku lantas tak mau membayar utang. Kalau mau Nadia bebas, kalian harus membayarkan utang-utang Alvin padaku." "Tapi Pak," ucapan Astri terpotong ketika terdengar teriakan dua wanita istri Budi. "Papaaaa." Kedua wanita yang mengikuti mobil Awan tadi
"Mi," lirih Nadia.Astri menoleh ke arah sang putri yang masih merangkul lengannya erat. Mereka tak punya pilihan lain. Keselamatan mereka lebih utama saat ini."Nad, mungkin ini sudah jalan dari Allah bahwa kamu akan menikah sekarang. Mami yakin kalau nak Awan adalah lelaki yang baik. Mami rela melepasmu untuk dia.""Mi ... aku belum pengen nikah. Aku ... masih pengen menikmati kebebasanku. Aku masih pengen manja-manjaan sama Mami.""Tapi kita nggak bisa keluar dari sini sebelum menuruti keinginan pak Budi itu, Nad. Menikah dengan nak Awan lebih baik daripada kamu harus menjadi istri ketiga pak Budi. Nak Awan sudah berbaik hati menolong kita, jadi jangan kamu sia-siakan pengorbanannya. Mami tahu, semua ini berat untuk kamu. Tapi, mami yakin kamu bisa menjalani semua ini. Ya, Sayang?"Nadia menatap sekeliling dan hatinya menciut melihat orang-orang suruhan Budi yang terlihat sang
Nadia duduk di bangku belakang diapit Salsa dan Astri. Salsa menggenggam erat tangan sahabatnya itu."Nad," panggilnya pelan.Perlahan Nadia menoleh ke arah Salsa dengan pandangan bertanya."Kamu pasti masih syok, ya. Maaf ya, kalau aja tadi aku maksa buat anter kamu pulang. Pasti kejadian ini nggak akan pernah terjadi."Nadia mengulas senyum hambar."Tak apa Sal, aku yang salah. Kalau aku nurut dianterin sama kamu pasti orang-orang itu tak akan bisa memperlakukan aku kayak gini. Terima kasih, kamu udah repot-repot bantuin mami buat nyari aku. Makasih juga pak Awan dan kak Dafa."Dafa mengangguk di balik kemudi."Santai aja Nad, kalo bisa sih aku yang gantiin posisi Awan tadi."Awan yang duduk di sampingnya langsung menoleh dengan tatapan tajam. Sedangkan Nadia menunduk dengan wajah memerah. Gadis itu masih bingung de
Awan mengulum senyum saat Nadia melirik sinis padanya. Tak ada angin tak ada hujan tiba-tiba saja sikap Nadia menjadi sentimentil."Nadia! Jangan suka menuduh sembarangan. Siapa tahu nak Awan merindukan masakan ibunya.""Ibu benar. Aku memang merasa rindu akan masakan ibuku."Awan mengerling jenaka ke arah Nadia setelah mengatakannya.Nadia hanya mencibirkan bibirnya karena tahu Awan menggodanya. Pasti karena tanggapan Nadia tadi."Tuh kan, apa mami bilang.""Iya, iya, maaf udah su'uzon. Lagian, rindu masakan pacarnya juga kita nggak tahu, Mi."Astri menggelengkan kepala karena Nadia yang masih kukuh dengan pendapatnya. Mereka meneruskan makan dalam diam."Semalem mami kayak denger ada yang bertamu, Nad? Siapa?""Mami emang belum tidur semalem?""Hhhh, kamu ini. Mami nanya malah balik nanya. Mami baru aja tidur, belum nyenyak banget jadi denger suara dari ruang tamu. Cuma, waktu mau bangun kepala mami pusing. Ya udah, akhirnya mami tidur lagi aja. Toh, nggak mungkin tamunya masuk kala
"Yang masak mami, Mas. Aku kan nggak bisa masak. Jangankan masak, nyalain kompor aja nggak pernah. Maaf ya, Mas Awan malah dapetin istri yang nggak bisa apa-apa."Awan hanya tersenyum kecil dan mengacak rambut Nadia yang sudah rapi. Bibir Nadia mengerucut seketika sehingga Awan yang merasa gemas malah mencubit hidungnya."Aaaa, sakit Mas ih.""Hehe, aku gemes sama kamu."Semburat merah tampak menghiasi kedua pipi Nadia."Kamu palai blush on, ya?"Tangan Nadia memukul pelan bahu Awan dan menghentakkan kaki meninggalkan Awan yang terkekeh dengan sikapnya. Sangat jauh berbeda dengan sikap Awan di kampus yang terkenal cool dan jarang tersenyum. Kali ini, Nadia seperti melihat sisi lain Awan yang malah membuatnya merasa tersanjung karena Awan tak menampakkan sisi dirinya yang ini pada sembarang orang. Entah kalau nanti mereka di kampus, apakah sikap Awan akan seperti semula atau tetap seperti ini."Nak Awan, silahkan duduk.""Terima kasih, Bu. Maaf nih kalau saya merepotkan.""Kenapa masih
Awan masih menggelengkan kepalanya sambil menahan tawa. Baru kali ini dia bisa tertawa lepas seperti ini. Walau sering bercanda dengan Salsa maupun teman-temannya, Awan hanya sekedar tersenyum kecil atau kalaupun bisa sampai tertawa juga tak bisa selepas ini.Senyum kecil masih tersungging di bibirnya saat lelaki itu beranjak dari kursinya. Awan melangkah ke arah pintu memastikan kalau benda persegi panjang itu sudah terkunci rapat. Selanjutnya Awan masuk ke dalam kamar Nadia yang tak terkunci. Aroma harum khas gadis dewasa langsung tercium begitu Awan merebahkan tubuhnya di kasur bersprei pink milik Nadia. Sprei bergambar hello kitty yang manis dan mengundang senyum Awan kembali."Nad, Nad, kenapa kamu jadi manis banget sih. Hahaha, aku pasti udah gila kalau sampai menyukai kamu. Ah, aku tak sabar menunggu malam Minggu nanti. Aku tahu, mungkin saat itu juga ibu dan kamu akan membenciku tapi aku juga tak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya ingin melindungi kalian sementara itu satu-satuny
Suasana masih saja hening di antara keenam orang yang ada di ruang tamu rumah Astri itu. Nadia bingung harus menjawab apa atas perkataan ketua RT. Denting suara ponsel terdengar dari salah satu dari mereka. Awan yang merasa kalau ponselnya yang berbunyi langsung mengambilnya dari saku depan celananya.Bro, ini aku kirimin video akad nikah kamu sama Nadia.Awan menghembuskan napas lega. Pesan dari Dafa benar-benar menyelamatkan dia dan juga Nadia. Kemudian Awan meletakkan ponselnya ke atas meja setelah membuka video yang dikirimkan Dafa."Saya suami Nadia, Pak, dan kami baru saja melangsungkan akad nikah tadi sore. Kalau Bapak-Bapak tidak percaya, silahkan lihat di video ini."Pak RT yang bernama Parman itu mengambil ponsel milik Awan dan melihat video yang menayangkan pernikahan mereka. Walau masih merasa curiga, tapi Parman mencoba percaya dengan kedua sejoli di depannya itu."Ya sudah kalau begitu, maaf Neng Nadia. Saya hanya ingin lingkungan di sini kondusif tanpa gosip berarti. Se
Nadia keluar dari kamar dengan rambut setengah basah. Gadis itu menghampiri Astri di kamarnya."Mi," panggilnya.Astri yang masih rebahan menolehkan kepalanya dan tersenyum pada Nadia."Kamu sudah mandi, Sayang?""Sudah Mi, Mami mau aku bantuin ke kamar mandi?""Boleh Sayang, rasanya lengket banget badan mami."Nadia memapah langkah Astri ke kamar mandi. Astri tak lagi selemas tadi tapi memang belum benar-benar merasa sehat. Bagaimanapun, hal-hal yang tadi mereka alami membuatnya syok. Dia tak tahu jika sampai terlambat datang ke tempat itu.Selesai membersihkan diri dan berganti pakaian dibantu Nadia, Astri mengajak putrinya itu ke meja makan."Tadi kamu yang angetin sayurnya, Nad?"Nadia nyengir malu."Mas Awan Mi, yang angetin.""Kamu panggil nak Awan, mas?""Iya, Mi," jawab Nadia malu-malu. "Dia yang minta, Mi. Sebenarnya aku malu ketahuan nggak bisa nyalain kompor, tapi Mami tahu sendiri kan apa penyebabnya.""Bukan nggak bisa, Sayang, tapi kamu masih takut ya, gara-gara waktu ke
"Kalau Nak Awan sendiri apakah sudah mempunyai kekasih hati? Maaf ya Nak, gara-gara kami, kamu harus berkorban. Kalau memang Nak Awan sudah memiliki pacar atau bahkan istri, lebih baik Nak Awan tinggalkan Nadia sekarang juga," ucap Astri tegas. Ia tak mau Nadia akan tersakiti nantinya jika terikat dengan Awan lebih lama.Lagipula, keluarga mereka belum saling mengenal. Yang Astri tahu, Awan adalah saudara tiri Salsa.Awan balas menggenggam tangan Astri dan setia tersenyum pada wanita itu."Saya masih sendiri, Bu. Saya belum memilik istri eh sekarang kan sudah. Sebenarnya ada yang ingin saya lakukan terlebih dahulu sebelum mempunyai pasangan.""Oh ya, apa ibu boleh tahu? Kalau Nak Awan tak bisa juga tak apa-apa. Ah ya, bukankah kamu lebih baik memanggil mami juga seperti Nadia?"Awan tersenyum canggung."Maaf Bu, tapi bolehkah saya tetap memanggil ibu? Saya merasa lebih nyaman.""Oh iya, silahkan. Kalian istirahatlah, pasti sama-sama capek.""Mami kan belum makan. Kita makan dulu ya, b
"Tante, aku nggak tahu ini waktunya tepat atau enggak tapi aku mau ngundang Tante Astri sama Nadia ke ulang tahun pernikahan mama. Tante bisa dateng, kan?""Kapan, Sal?" tanya Astri."Insyaallah malam Minggu nanti, Tan. Tolong usahain dateng ya, Tan. Mama pasti seneng kalau bisa ketemu Tante. Selama ini kan cuma denger cerita dari aku aja. Ayah juga pengen kenalan sama Tante."Deg. Ah, apakah sekarang waktunya aku bertemu lagi dengan mas Ismail. Setelah sekian lamanya, bagaimana andai kami bertemu lagi? Apa mas Is masih mengenaliku atau sudah melupakanku?"Tante usahakan ya, Sal.""Makasih, Tante." Salsa kemudian menatap kedua abangnya di kursi depan. "Abang berdua juga jangan lupa dateng. Ntar ayah sama mama marah kalau kalian nggak dateng.""Sip, lah. Abang juga udah lama nggak ketemu ayah. Kemarin abang nggak jadi ke sana.""Lho, kenap
Nadia duduk di bangku belakang diapit Salsa dan Astri. Salsa menggenggam erat tangan sahabatnya itu."Nad," panggilnya pelan.Perlahan Nadia menoleh ke arah Salsa dengan pandangan bertanya."Kamu pasti masih syok, ya. Maaf ya, kalau aja tadi aku maksa buat anter kamu pulang. Pasti kejadian ini nggak akan pernah terjadi."Nadia mengulas senyum hambar."Tak apa Sal, aku yang salah. Kalau aku nurut dianterin sama kamu pasti orang-orang itu tak akan bisa memperlakukan aku kayak gini. Terima kasih, kamu udah repot-repot bantuin mami buat nyari aku. Makasih juga pak Awan dan kak Dafa."Dafa mengangguk di balik kemudi."Santai aja Nad, kalo bisa sih aku yang gantiin posisi Awan tadi."Awan yang duduk di sampingnya langsung menoleh dengan tatapan tajam. Sedangkan Nadia menunduk dengan wajah memerah. Gadis itu masih bingung de
"Mi," lirih Nadia.Astri menoleh ke arah sang putri yang masih merangkul lengannya erat. Mereka tak punya pilihan lain. Keselamatan mereka lebih utama saat ini."Nad, mungkin ini sudah jalan dari Allah bahwa kamu akan menikah sekarang. Mami yakin kalau nak Awan adalah lelaki yang baik. Mami rela melepasmu untuk dia.""Mi ... aku belum pengen nikah. Aku ... masih pengen menikmati kebebasanku. Aku masih pengen manja-manjaan sama Mami.""Tapi kita nggak bisa keluar dari sini sebelum menuruti keinginan pak Budi itu, Nad. Menikah dengan nak Awan lebih baik daripada kamu harus menjadi istri ketiga pak Budi. Nak Awan sudah berbaik hati menolong kita, jadi jangan kamu sia-siakan pengorbanannya. Mami tahu, semua ini berat untuk kamu. Tapi, mami yakin kamu bisa menjalani semua ini. Ya, Sayang?"Nadia menatap sekeliling dan hatinya menciut melihat orang-orang suruhan Budi yang terlihat sang