"Ya, Papa." Clara mengangkat panggilan di ponselnya. Alexander memperhatikan Clara dengan serius. Wajahnya tampak tegang dan khawatir."Apa? Baiklah. Saya akan segera ke rumah sakit sekarang," sahut Clara terlihat cemas dan menutup ponselnya. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan kekhawatiran yang mendalam."Tuan, saya ijin keluar sebentar hari ini." Clara terlihat terburu-buru, tangannya gemetar saat memegang beberapa berkas penting di tangannya.Alexander ikut cemas dengan keadaan Clara. Ia merasa gelisah melihat ekspresi wajah istrinya yang begitu khawatir."Kenapa apakah ada masalah?" tanya Alexander sambil mengulurkan tangan untuk menenangkan Clara."Papa kritis Tuan," jawab Clara lirih, suaranya hampir tertekan oleh beban pikiran yang ia rasakan. Dia tak sanggup membayangkan jika sesuatu buruk terjadi pada ayahnya tanpa dirinya disana untuk memberikan dukungan dan kasih sayang seperti biasanya."Baiklah, ayo aku antarkan kau ke rumah sakit," ajak Alexander."Tidak Tuan. Meeting ha
"Apakah Anda saudara Tuan William?" tanya perawat yang baru saja keluar dari ruangan Tuan William."Saya Putrinya, Suster," jawab Clara dengan suara gemetar namun tetap berusaha menenangkan diri."Dokter ingin bicara dengan Anda di ruangannya Nona," ujar sang Perawat sambil memberikan senyuman kecil untuk memberikan sedikit dukungan pada Clara.Clara menganggukkan kepalanya, merasa tegang namun tetap mencoba untuk tetap tenang. Ia kemudian mengikuti perawat tersebut ke ruangan Dokter yang tampak begitu serius dan penuh perhatian dalam menangani Ayahnya.Saat masuk ke dalam ruangan dokter, Clara duduk di kursi yang disediakan sambil menunggu dokter memulai pembicaraan. Sang perawat dengan lembut memberitahu kepada sang Dokter bahwa Clara adalah putri dari Tuan William. "Dokter, bagaimana kabar ayah saya? Saya sangat khawatir dengan kondisinya," tanya Clara langsung tanpa basa-basi ketika dokter mulai membuka percakapan mereka. Matanya penuh dengan rasa cemas dan harap-harap cemas akan
"Clara, apakah kau baik-baik saja?" tanya Alexander ketika baru datang ke rumah sakit. Clara menunduk sedih di kursi tunggu menoleh ke arah Alexander."Tuan, Papa..." Clara tak kuasa menahan air matanya, Alexander segera mendekati Clara dan duduk di sampingnya memandangnya penuh dengan perhatian. Alexander mengusap rambut istrinya tersebut, "Clara, aku tahu ini sangat sulit bagimu. Tetapi kamu harus tetap tenang, Tuan William dalam perawatan terbaik di ICU. Dokter dan perawat sedang bekerja keras untuk memastikan dia mendapatkan perawatan yang dibutuhkan.""Tapi aku begitu takut, Tuan. Papa sekarang terbaring di sana, begitu lemah," desis Clara.Clara merasakan dadanya sesak saat melihat ayahnya yang biasanya penuh energi dan semangat kini terbaring lemah tanpa daya di ranjang rumah sakit. Dia merasa seperti dunianya runtuh saat melihat kondisi sang ayah yang dia sayangi.Alexander mencoba memberikan dukungan pada Clara dengan senyuman hangatnya meskipun hatinya juga dipenuhi kekhawa
Abigail menangis histeris di depan ruang ICU dan mengundang perhatian banyak mata. Banyak di antara mereka memandang sinis ke arah Clara, membuat suasana semakin tegang. Abigail terus menyalahkan Clara dengan keras, mencoba membuatnya merasa bersalah atas situasi yang sedang terjadi."Clara, kenapa kau menghalangi seorang istri bertemu dengan suaminya?" teriak Abigail sambil menahan tangisnya yang semakin menjadi-jadi.Clara merasa tertekan dengan semua pandangan sinis yang ditujukan padanya. Dia berusaha tetap tenang meskipun hatinya mulai dipenuhi oleh emosi akibat perlakuan Abigail."Sudahlah, jangan lagi kau main drama," ucap Clara dengan suara lembut namun penuh ketegasan.Namun, kata-kata Clara hanya membuat Abigail semakin marah dan emosional. Dia tidak bisa menerima bahwa Clara menghalangi rencananya."Clara, kenapa kau tega sekali kepadaku? Apa salahku kepadamu? Walaupun kau anak tiriku, aku sangat menyayangimu," ujar Abigail sambil terus meluapkan emosinya.Clara hanya bisa
Nyonya Clara, Tuan William sudah sadar," terang Perawat saat keluar dari ruang ICU. Clara yang sempat ketiduran di pundak Alexander terbangun dan tersenyum lebar mendengarkan kabar baik tersebut."Syukurlah, apakah saya boleh masuk melihat Papa saya?" tanya Clara."Boleh, tapi hanya sebentar saja dan hanya satu orang yang boleh masuk. Saat ini Tuan William harus banyak istirahat dan tidak boleh kelelahan," saran sang perawat.Clara mengangguk pelan mengerti. Dia merasa lega karena ayahnya akhirnya sadar setelah beberapa hari dalam kondisi kritis. Langkahnya ringan menuju pintu ruangan ICU, hatinya penuh harap akan bertemu dengan ayah tercinta.Saat memasuki ruangan ICU, aroma obat-obatan menyergap hidungnya. Dia melihat Tuan William berbaring lemah di tempat tidur putih bersih dengan Banyak peralatan medis menempel pada tubuhnya, sehingga sulit bagi Tuan William untuk bergerak ataupun berbicara. Matanya berkaca-kaca saat menoleh ke arah Clara, membuat hati gadis itu makin pilu.Clara
"Baiklah Tuan, jika kau tidak setuju Papa tinggal bersama dengan kita." Clara terlihat sedih dia bingung harus bilang apa terhadap Papanya.Saat ini Clara di antara perasaan sedih dan kebingungan. Dia tidak tahu harus berkata apa kepada Papanya setelah Alexander menolak permintaan tersebut. Wajahnya yang penuh cemas membuat Clara semakin merasa tertekan."Tuan, saya tidak mengerti kenapa kau begitu keras kepala," gumam Clara dalam hati.Tuan William mencoba memberikan senyuman paksa untuk menenangkan Clara. "Jangan khawatir, Sayang. Mungkin Alexander hanya ingin privasi untuk hubungan kalian berdua."Namun, kata-kata Tuan William tidak mampu menghilangkan rasa kecewa yang tengah melanda hati Clara. Dia tak sanggup membayangkan Papanya tinggal sendirian di luar sana.Saat itulah ponsel Clara bergetar, sebuah pesan dari suaminya masuk dengan isi yang cukup membingungkan."Kenapa dia menyuruhku menunggu? Bukankah tadi dia menolak ayahku?" batin Clara sembari memandangi layar ponselnya d
Dokter menjelaskan bahwa kondisi Tuan William sudah jauh lebih baik daripada sebelumnya. Jantungnya telah stabil dan itu berarti Tuan William sudah bisa pulang pada sore hari itu juga. Clara merasa lega mendengar kabar baik tersebut, namun di sisi lain dia merasa bingung harus pulang ke mana setelah ini. Bagaimana mungkin baginya untuk kembali ke apartemen yang dibelikan oleh Pedro? Clara telah bersumpah untuk tidak lagi menggunakan semua fasilitas yang diberikan oleh Pedro, membuat situasinya semakin rumit.Dengan langkah gontai, Clara memutuskan untuk menuju ruangan Tuan William. Alexander melihat ekspresi cemas di wajah Clara dan hal itu membuatnya ikut khawatir dengan kondisi Tuan William. Dia takut bahwa kondisi kesehatan ayah dari Clara akan kembali menurun."Clara, apa kata dokter tadi? Apakah ayahmu mengalami penurunan kondisi atau ada masalah lain yang terjadi?" tanya Alexander sambil berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Clara yang sedang berjalan mendekati arahnya.C
"Tuan apakah kau berubah pikiran?" tanya Clara mengikuti langkah Alexander menuju Penthouse mewah milik Alexander."Kau bisa tidak jangan cerewet! Ikuti saja jangan banyak bicara," jawab Alexander.Clara mendengus kesal dengan wajahnya yang di tekuk. Tuan William hanya tersenyum melihat tingkah putri dan menantunya tersebut.Hingga akhirnya mereka sampai di sebuah apartemen yang mewah berada di tepat satu lantai di bawah Penthouse milik Alexander. "Tuan William, inilah tempat tinggal Anda sekarang. Tepat satu lantai di atasmu adalah Penthouse milikku. Clara kau bisa kapanpun menemani ayahmu. Saya juga sudah menyediakan perawat khusus yang akan merawat Anda dan seorang Art untuk membantu pekerjaan rumah. Mari masuk." Alexander membuka pintu apartemen.Clara dan Tuan William terkejut dengan pemberian Alexander. Hunian mewah ini sepertinya terlalu berlebihan untuk seorang Tuan William yang hanya seorang diri."Tuan, Anda..." Tiba-tiba suara gemerisik langkah kaki dari arah tangga membu
Clara merasa risih ketika lelaki tua itu terus memandang ke arahnya. "Kakek, apakah ada yang salah dengan saya?" tanya Clara segera menutupi bagian dadanya dengan sweater yang dia pakai.Kakek Mia memaksakan senyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda hatinya. "Tidak. Boleh Kakek melihat kalungmu lebih dekat?"Clara mengangguk sambil mencopot kalungnya dan menyodorkan kalungnya. "Ini, Kek. Ini adalah kalung peninggalan ibu. Ibu selalu bilang ini sangat berharga."Kakek Mia memegang liontin itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Di mana ibumu mendapatkannya?"Clara mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi Kakek Mia. "Katanya ini pemberian dari nenekku. Aku tidak pernah bertemu nenek, dia meninggal sebelum aku lahir. Ibu juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Kakek Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Clara,
"Tentu saja, Clara. Kau merasa keberatan ketika ada wanita lain yang melihat tubuhku," jawab Alexander dengan wajahnya yang tenang."Tapi jangan lakukan hal sekejam itu, Tuan. Kasihan dengan Mia," jawab Clara terlihat sedih."Clara, dia sangat kejam. Dia bahkan akan mencelakai dirimu dan anak kita dengan memberimu racun yang langka. Dia juga menjebakku dan membuatmu bersedih. Kau masih bisa mengasihinya?" protes Alexander heran melihat reaksi istrinya."Aku tidak akan membiarkan Mia menghancurkan hidupku dan membuatmu bersedih, jika aku tidak memberinya hukuman," lanjut Alexander dengan tegas.Clara hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mencegah suaminya. Beberapa hari kemudian, Alexander berdiri di luar gedung tempat Mia disekap. Dia memasuki gedung tersebut dan memastikan jika Markus melakukan tugasnya dengan baik. Benar saja, di sana dia melihat Mia sudah kehilangan penglihatannya."Mia. Ini cukup untuk membuatmu menyesal sudah bermain api denganku, Mia," ujar Alexander dengan nada
"Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar.Clara masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Alexander, pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok baik dan setia, kini terlihat tidur dengan Mia, wanita yang selama ini membuat Clara gelisah. Dia mencoba menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Selma, merasa harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar, mencoba untuk menampik apa yang dia lihat.Selma terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, "Clara, tetap tenang. Aku akan mengurus ini."Selma bergegas meninggalkan Clara seornagbdiri di rumah sakit, dan segera pergi menuju Penthouse putranya.Ketika Selma tiba di penthouse tersebut dengan wajah tegang dan langkah cepatnya, ia segera masuk tanpa permisi. Dan disanalah dia melihat pemandangan yang membuat hatinya hampir copot dari tempatnya: Alexander tertidur hanya dengan memakai bocer pendek dan Mia baru saja selesa
Clara duduk di meja makan, memegang perutnya yang terasa kram hebat. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya lemah kepada Selma, ibu mertuanya, yang duduk di seberang meja.Selma memandang Clara dengan khawatir. "Kamu kenapa, Clara? Kamu terlihat sangat pucat," ujarnya sambil bangkit dan mendekati Clara. "Sepertinya kamu harus dibawa ke dokter."Saat itu, Mia memberikan segelas air kepada Clara. "Clara, minumlah ini. Mungkin kamu akan merasa lebih baik," katanya dengan senyum simpul.Namun Alexander menampik tangan Mia dan segera menggendong tubuh Clara ke luar untuk diperiksakan oleh dokter. "Aku akan membawanya ke rumah sakit sekarang juga," katanya dengan suara tegas. Mia berusaha membantu mengangkat Clara, namun Selma menolak bantuannya. "Jangan sentuh dia, Mia. Aku sudah mencurigaimu sejak awal." Mia terkejut. "Apa maksud Tante Selma? Kenapa Tante mencurigai aku?" Sepeninggal Clara dan Alexander, Selma menatap Mia
Siang itu, Selma, melangkah keluar dari lift menuju penthouse mewah Alexander. Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan indah kota dari jendela besar di ruang tamu. Namun, yang menarik perhatian Selma adalah suara tawa dari dapur. Dia berjalan mendekat, dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Mia, dengan apron terikat di pinggangnya, sedang memasak di dapur Alexander."Mia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Selma dengan nada tegas, matanya menyipit curiga.Mia menoleh dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. "Oh, Selamat sore, Tante Selma. Saya hanya memasak makan siang. Ada yang bisa saya bantu?"Selma melangkah masuk, menatap Mia dengan sorotan tajam. "Kenapa kamu tinggal di sini bersama Alexander? Di mana Clara?"Mia tersenyum lebih lebar, tetapi matanya tetap dingin. "Clara sedang di kamarnya, apakah Tante tidak tau, jika Clara itu pemalas? Selama satu Minggu Saya disini, Sayalah yang mengurus rumah sementara dia bermalas-malasan."Selma merasa ada yang tidak beres. D
Pada hari pertama Mia tinggal di rumah Alexander, suasana di rumah itu terasa sedikit berbeda. Clara menjadi lebih protektif terhadap Alexander. Dia merasa perlu melindungi saudara laki-lakinya dari segala hal yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Mia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan spesial untuk Alexander. Dia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang baru saja dia kenal ini. Dengan langkah ringan, Mia bergegas ke dapur dan mulai mencari-cari resep pancake favoritnya yang pernah dia lihat di internet.Sementara itu, Alexander turun dari lantai atas dengan langkah malas. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk namun senyum tipis tetap menghiasi wajah tampannya ketika aroma harum pancake menyambut hidungnya begitu masuk ke dapur. Dia melihat Mia dengan tatapan penuh tanda tanya saat gadis itu sibuk mengaduk adonan pancake dengan penuh semangat."Selamat pagi!" sapu Mia riang sambil tersenyum lebar, adonan tepung sed
Clara sedang duduk di ruang tamu yang elegan, tangannya memegang secangkir teh hangat. Senyum lebar tergambar di wajahnya. Markus, asisten pribadi suaminya, Alexander, baru saja meninggalkan ruangan setelah memberi tahu Clara tentang keberhasilannya."Markus, terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat," kata Clara dengan penuh syukur."Senang bisa membantu, Bu Clara," jawab Markus sambil tersenyum sebelum menunduk hormat dan beranjak pergi.Tak lama kemudian, Alexander masuk ke ruang tamu. Dia melihat senyum lebar di wajah istrinya dan merasa ada sesuatu yang berbeda."Ada apa, Clara? Kamu terlihat sangat bahagia," tanya Alexander dengan nada penasaran.Clara menatap suaminya dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku baru saja mendengar kabar baik dari Markus. Dia berhasil menjauhkan Mia dari kamu."Alexander tersenyum tipis, menahan tawa yang ingin pecah. "Oh, jadi itu alasannya? Kamu begitu cemburu pada Mia, ya?"Clara meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Alexander dengan
Clara duduk di ruang tamu, menggigit bibirnya sambil memandang kalender di dinding. Kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan dia merasakan gelombang kecemasan setiap kali memikirkan suaminya, Alexander, di kantor. Terutama sejak Mia, rekan kerja yang licik, semakin gencar menggoda Alexander. Sejak permintaannya menjadi sekretaris pribadi suaminya lima bulan yang lalu ditolak, Clara merasa semakin tertekan dengan situasi tersebut.“Tuan, aku harus bicara denganmu,” kata Clara saat Alexander masuk ke ruang tamu.Alexander menatap Clara dengan penuh perhatian, “Ada apa, Clara? Apa kamu baik-baik saja?”Clara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku ingin kembali menjadi sekretarismu. Aku tahu kamu tidak setuju, tapi aku merasa ini penting.”Dalam benaknya terus terngiang pertemuan singkat antara Alexander dan Mia beberapa hari yang lalu di acara perusahaan. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra sehingga membuat hati Clara berbunga-bunga melihatnya. Namun rasa bahagia itu l
Clara duduk di ruang tamu, mengamati suaminya, Alexander, yang sedang membaca laporan keuangan di sofa seberang. Perasaan tidak nyaman menggelayuti hatinya sejak beberapa minggu terakhir. Mia, rekan bisnis perusahaan Alexander, tampak terlalu bersemangat dalam mendekati suaminya.Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Mia tersebut. Ia pun memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suaminya tentang bagaimana hubungan kerja mereka dengan Mia."Tuan, bagaimana rekan bisnis barumu? Mia, kan namanya?" tanya Clara pelan.Alexander menatap Clara sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Mia. Dia cukup efisien dan profesional dalam bekerja."Namun Clara tetap merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Ia mencoba untuk bertindak biasa saja meskipun hatinya tak bisa tenang."Tidak ada alasan khusus. Hanya penasaran saja," ucap Clara sambil mencoba tersenyum tipis."Kau jangan berpikir yang bukan-bukan, Clara. Kemarin aku dan dia hanya makan malam biasa untuk membahas proyek ke