Langkah Clara terhenti pada sebuah tembok yang berada di belakangnya. Dia tidak bisa bergerak lagi, dia semakin ketakutan ketika Dariel semakin mendekatinya. Tubuhnya gemetar tak karuan karena ketakutan yang melanda. Dariel kini menekan tubuhnya, "Ayo kita bersenang-senang."Clara dengan suara gemetar dan penuh keputusasaan berkata, "Tidak... tolong... jangan lakukan ini. Aku tidak bisa... aku tidak mau..." Namun Dariel hanya tertawa sinis sambil semakin mendekatkan dirinya ke arah Clara. Matanya penuh dengan nafsu dan keinginan yang gelap. Dengan nada menggoda dan kejam dia mengendus leher jenjang Clara dan berkata, "Apa yang kau takutkan, Clara? Kita berdua tahu bahwa kau tidak lebih baik dari seorang wanita penghibur. Kau telah menyerahkan dirimu kepada seorang pria hingga kau hamil. Mengapa menolak ketika aku menawarkan diriku, yang pasti akan membuatmu puas."Clara mencoba untuk memberontak. Namun, Dia merasa lemah dan tak berdaya di hadapan sosok Dariel yang begitu bengis. Mata
"Sepertinya dia belum bercerita kepadamu." Dariel menyeringai licik. Alexander hanya diam menatap Dariel penuh amarah. Wajah Alexander mulai menegang, Clara mulai khawatir dengan perubahan wajah Alexander."Tuan, ayo kita pergi dari sini. Akan aku jelaskan kepadamu nanti," ajak Clara sambil mencoba menenangkan situasi yang semakin tegang di antara suaminya dan Dariel.Alexander tetap terdiam namun matanya masih tajam saat menatap ke arah Dariel yang tampaknya sangat yakin dengan dirinya sendiri.Dariel tertawa bengis, "Mau kemana Clara? Apakah kau takut jika suami milyader kamu ini tau siapa kamu sebenarnya?" ucapnya dengan nada merendahkan yang membuat Clara semakin gelisah.Clara terdiam dan melepaskan perlahan lengan Alexander, ekspresi wajahnya mencerminkan ketidakpastian akan situasi yang sedang terjadi di hadapannya.Alexander semakin merapatkan langkahnya ke arah Dariel, matanya menyala penuh kemarahan. "Apa yang akan kau katakan?" desisnya tajam.Dariel tersenyum sinis, seolah
Setelah memecat Dariel dari posisinya sebagai direktur, Alexander tidak hanya puas dengan itu. Dia menyadari bahwa tindakan Dariel harus diikuti dengan konsekuensi yang lebih mendalam. Maka, Alexander merencanakan aksi lanjutan yang akan memberikan pelajaran tanpa ampun kepada Dariel.Alexander memastikan bahwa bukti-bukti tentang tindakan tidak etis Dariel dikumpulkan dengan hati-hati. Ini tidak hanya mencakup insiden terkait Clara, tetapi juga mengungkapkan pelanggaran etika dan hukum lainnya yang dilakukan Dariel.Setelah memastikan keabsahan bukti-bukti tersebut, Alexander menghubungi penasihat hukumnya untuk memastikan langkah-langkah yang akan diambil sesuai dengan hukum. Dengan dukungan tim hukumnya, Alexander menyiapkan kasus yang kuat untuk menyeret Dariel ke jalur hukum."Tuan Alexander, ada apa Anda datang ke apartemen saya?" tanya Dariel terkejut dengan kedatangan Alexander bersama dengan awak media.&
"Kenapa Mama datang ke sini?" tanya Alexander. Matanya melotot ke arah tangan Mamanya yang mencengkram kuat lengan Clara. Selma melepaskan tangannya, dia mendekati Alexander.Alexander menatap Selma dengan tatapan dingin, seolah tidak terpengaruh oleh pertanyaan yang dilontarkan. "Bertha telah melakukan sesuatu yang membuatnya pantas menerima konsekuensinya," jawabnya singkat.Selma merasa semakin penasaran dan gelisah dengan jawaban singkat dari Alexander. Ia kemudian memandang Clara yang berdiri di depannya dengan wajah tegang dan ketakutan."Apa yang sebenarnya terjadi, Alex? Kenapa kau begitu yakin bahwa Bertha pantas mendapatkannya?" desak Selma lagi, kali ini suaranya sedikit meninggi.Alexander tersenyum sinis lagi, sepertinya ia menikmati ketegangan yang tercipta di antara mereka bertiga. "Kau akan tahu juga nanti," ujarnya."Jelaskan semuanya Alexander!" desak Selma dengan ekspresi wajah yang penuh kekhawatiran."Ma, Bertha sendirilah yang memulainya. Dia berusaha menabrak m
"Nona Bertha," sapa Clara. Bertha dan Selma yang saat itu sedang berbincang terkejut dan menoleh ke arah Clara. Bertha sangat emosi ketika melihat wajah Clara."Kenapa kau datang ke sini? Apakah kau berniat untuk menertawakan nasibku?" tanya Berta sinis.Clara berjalan pelan mendekati Bertha dengan senyumannya yang tulus. Wajahnya penuh dengan ekspresi simpati dan kepedulian."Maafkan aku, Nona Bertha," ucap Clara dengan suara lembut. "Aku datang bukan untuk menertawakan nasibmu. Aku datang karena aku peduli padamu."Bertha masih menatap Clara dengan sinis. "Peduli? Setelah semua yang telah terjadi, kau masih berani mengatakan bahwa kau peduli padaku?"Clara mengangguk. "Ya, aku peduli. Aku tahu kita punya perbedaan, tapi itu tidak mengubah fakta bahwa aku menghargai kamu sebagai manusia. Aku bisa merasakan apa yang Anda rasakan saat ini Nona Bertha.""Bohong! Bagiamana kau bisa merasakan apa yang aku rasakan! Lihatlah ini." Bertha membuka. Selimut yang menutupi kakinya."Kau lihat i
"Jika kau pergi ke Kai Group, kenapa kau tidak membawanya, Hah!" teriak Alexander sambil melemparkan map tersebut ke arah Clara yang menunduk. Wajahnya penuh dengan ekspresi kemarahan."Aku sudah bilang kepadamu, aku tidak suka dengan kebohongan, Clara," desis Alexander dengan nada tajam."Tuan, aku minta maaf. Sebenarnya tadi..." ucap Clara mencoba menjelaskan alasan di balik kepergiannya.Namun sebelum Clara bisa melanjutkan penjelasannya, Alexander mengangkat tangannya agar membuatnya diam. Ekspresi wajahnya masih memancarkan kemarahan yang sulit untuk ditutupi.Tanpa berkata apa-apa lagi, Alexander segera meninggalkan ruangan tempat Clara berada. Langkah kakinya terdengar keras saat ia menutup pintu ruangan itu dengan keras sekali hingga membuat Clara sedikit ketakutan dan gemetaran.Clara merasa ketakutan karena situasi yang baru saja dialaminya bersama sang majikan. Ia merenung sejenak tentang apa yang harus dilakukan selanjutnya setelah insiden tersebut terjadi. Sudah menjadi r
"Clara, maafkan aku." Alexander berdiri di depan pintu kamar mandi.Clara menatap Alexander dengan tatapan heran. Bagaimana mungkin pria yang selalu tegas dan dingin seperti Alexander ini tiba-tiba meminta maaf padanya? Dia merasa bingung dan tidak tahu harus merespons apa."Maafkan aku, Clara," ulang Alexander, kali ini suaranya terdengar sedikit gemetar.Clara akhirnya memberanikan diri untuk berbicara, "Apa yang terjadi, Tuan? Apakah benar ini dirimu?"Alexander menghela nafas panjang sebelum menjawab, "Aku menyadari bahwa aku telah salah memaksamu semalam. Aku ingin memperbaiki semuanya."Clara masih belum bisa percaya dengan apa yang dia dengar. Pria dingin di hadapannya ini benar-benar berubah menjadi lebih lembut."Tuan, ini bukan masalah memaafkan atau tidak. Namun, sebuah kepercayaan yang sudah hilang," ucap Clara pelan.Alexander mendekatinya dan tanpa pikir panjang ia memegang bahu Clara. "Clara, apakah kau sebenci itu kepadaku? Sehingga kau tidak mau aku sentuh?" tanyanya
Clara terus berlari dengan cepat di lorong rumah sakit, air mata masih mengalir di pipinya. Hatinya berdebar kencang ketika akhirnya dia tiba di depan pintu kamar tempat sang ayah dirawat. Dia berhenti sejenak untuk menenangkan nafasnya yang tersengal akibat larinya yang tergesa-gesa."Papa," panggil Clara pelan sambil mengetuk pintu.Tuan William, yang terbaring lemah di atas ranjang dengan infus dan oksigen yang melekat pada tubuhnya, perlahan menoleh ke arah putri kandungnya. Wajahnya yang pucat sedikit meringis namun senyum hangat tetap terpancar dari matanya saat melihat Clara masuk ke dalam ruangan itu."Clara," balas Tuan William dengan suara parau karena kondisinya yang lemah. Sorot matanya penuh kasih sayang saat memandang putrinya itu.Clara merasa hatinya hancur melihat keadaan ayahnya yang lemah. Dia segera berlari mendekap tubuh sang ayah, mencoba memberikan sedikit kehangatan dan dukungan dalam kondisi yang sulit ini."Papa, kenapa kau seperti ini? Dimana istri serta ana
Clara merasa risih ketika lelaki tua itu terus memandang ke arahnya. "Kakek, apakah ada yang salah dengan saya?" tanya Clara segera menutupi bagian dadanya dengan sweater yang dia pakai.Kakek Mia memaksakan senyum, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang melanda hatinya. "Tidak. Boleh Kakek melihat kalungmu lebih dekat?"Clara mengangguk sambil mencopot kalungnya dan menyodorkan kalungnya. "Ini, Kek. Ini adalah kalung peninggalan ibu. Ibu selalu bilang ini sangat berharga."Kakek Mia memegang liontin itu dengan tangan gemetar, matanya berkaca-kaca. "Di mana ibumu mendapatkannya?"Clara mengerutkan kening, merasa aneh dengan reaksi Kakek Mia. "Katanya ini pemberian dari nenekku. Aku tidak pernah bertemu nenek, dia meninggal sebelum aku lahir. Ibu juga sudah meninggal beberapa tahun yang lalu."Kakek Mia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang berdebar. "Clara,
"Tentu saja, Clara. Kau merasa keberatan ketika ada wanita lain yang melihat tubuhku," jawab Alexander dengan wajahnya yang tenang."Tapi jangan lakukan hal sekejam itu, Tuan. Kasihan dengan Mia," jawab Clara terlihat sedih."Clara, dia sangat kejam. Dia bahkan akan mencelakai dirimu dan anak kita dengan memberimu racun yang langka. Dia juga menjebakku dan membuatmu bersedih. Kau masih bisa mengasihinya?" protes Alexander heran melihat reaksi istrinya."Aku tidak akan membiarkan Mia menghancurkan hidupku dan membuatmu bersedih, jika aku tidak memberinya hukuman," lanjut Alexander dengan tegas.Clara hanya bisa diam, dia tidak bisa lagi mencegah suaminya. Beberapa hari kemudian, Alexander berdiri di luar gedung tempat Mia disekap. Dia memasuki gedung tersebut dan memastikan jika Markus melakukan tugasnya dengan baik. Benar saja, di sana dia melihat Mia sudah kehilangan penglihatannya."Mia. Ini cukup untuk membuatmu menyesal sudah bermain api denganku, Mia," ujar Alexander dengan nada
"Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar.Clara masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Alexander, pria yang selama ini dianggapnya sebagai sosok baik dan setia, kini terlihat tidur dengan Mia, wanita yang selama ini membuat Clara gelisah. Dia mencoba menolak kenyataan yang ada di hadapannya.Selma, merasa harus segera mengambil tindakan untuk menyelesaikan masalah ini. "Ini tidak mungkin! Alexander?!" desis Clara dengan suara bergetar, mencoba untuk menampik apa yang dia lihat.Selma terdiam sejenak, lalu dengan tegas berkata, "Clara, tetap tenang. Aku akan mengurus ini."Selma bergegas meninggalkan Clara seornagbdiri di rumah sakit, dan segera pergi menuju Penthouse putranya.Ketika Selma tiba di penthouse tersebut dengan wajah tegang dan langkah cepatnya, ia segera masuk tanpa permisi. Dan disanalah dia melihat pemandangan yang membuat hatinya hampir copot dari tempatnya: Alexander tertidur hanya dengan memakai bocer pendek dan Mia baru saja selesa
Clara duduk di meja makan, memegang perutnya yang terasa kram hebat. Wajahnya pucat dan keringat dingin mulai membasahi dahinya. "Aku merasa sangat tidak enak badan," katanya lemah kepada Selma, ibu mertuanya, yang duduk di seberang meja.Selma memandang Clara dengan khawatir. "Kamu kenapa, Clara? Kamu terlihat sangat pucat," ujarnya sambil bangkit dan mendekati Clara. "Sepertinya kamu harus dibawa ke dokter."Saat itu, Mia memberikan segelas air kepada Clara. "Clara, minumlah ini. Mungkin kamu akan merasa lebih baik," katanya dengan senyum simpul.Namun Alexander menampik tangan Mia dan segera menggendong tubuh Clara ke luar untuk diperiksakan oleh dokter. "Aku akan membawanya ke rumah sakit sekarang juga," katanya dengan suara tegas. Mia berusaha membantu mengangkat Clara, namun Selma menolak bantuannya. "Jangan sentuh dia, Mia. Aku sudah mencurigaimu sejak awal." Mia terkejut. "Apa maksud Tante Selma? Kenapa Tante mencurigai aku?" Sepeninggal Clara dan Alexander, Selma menatap Mia
Siang itu, Selma, melangkah keluar dari lift menuju penthouse mewah Alexander. Pintu terbuka, memperlihatkan pemandangan indah kota dari jendela besar di ruang tamu. Namun, yang menarik perhatian Selma adalah suara tawa dari dapur. Dia berjalan mendekat, dan alangkah terkejutnya dia ketika melihat Mia, dengan apron terikat di pinggangnya, sedang memasak di dapur Alexander."Mia? Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Selma dengan nada tegas, matanya menyipit curiga.Mia menoleh dengan senyum ramah yang biasa ia tunjukkan. "Oh, Selamat sore, Tante Selma. Saya hanya memasak makan siang. Ada yang bisa saya bantu?"Selma melangkah masuk, menatap Mia dengan sorotan tajam. "Kenapa kamu tinggal di sini bersama Alexander? Di mana Clara?"Mia tersenyum lebih lebar, tetapi matanya tetap dingin. "Clara sedang di kamarnya, apakah Tante tidak tau, jika Clara itu pemalas? Selama satu Minggu Saya disini, Sayalah yang mengurus rumah sementara dia bermalas-malasan."Selma merasa ada yang tidak beres. D
Pada hari pertama Mia tinggal di rumah Alexander, suasana di rumah itu terasa sedikit berbeda. Clara menjadi lebih protektif terhadap Alexander. Dia merasa perlu melindungi saudara laki-lakinya dari segala hal yang mungkin bisa membuatnya tidak nyaman.Pagi itu, Mia bangun lebih awal dan memutuskan untuk membuat sarapan spesial untuk Alexander. Dia merasa senang bisa memberikan sesuatu yang istimewa untuk orang yang baru saja dia kenal ini. Dengan langkah ringan, Mia bergegas ke dapur dan mulai mencari-cari resep pancake favoritnya yang pernah dia lihat di internet.Sementara itu, Alexander turun dari lantai atas dengan langkah malas. Matanya masih setengah tertutup karena kantuk namun senyum tipis tetap menghiasi wajah tampannya ketika aroma harum pancake menyambut hidungnya begitu masuk ke dapur. Dia melihat Mia dengan tatapan penuh tanda tanya saat gadis itu sibuk mengaduk adonan pancake dengan penuh semangat."Selamat pagi!" sapu Mia riang sambil tersenyum lebar, adonan tepung sed
Clara sedang duduk di ruang tamu yang elegan, tangannya memegang secangkir teh hangat. Senyum lebar tergambar di wajahnya. Markus, asisten pribadi suaminya, Alexander, baru saja meninggalkan ruangan setelah memberi tahu Clara tentang keberhasilannya."Markus, terima kasih banyak. Kamu benar-benar hebat," kata Clara dengan penuh syukur."Senang bisa membantu, Bu Clara," jawab Markus sambil tersenyum sebelum menunduk hormat dan beranjak pergi.Tak lama kemudian, Alexander masuk ke ruang tamu. Dia melihat senyum lebar di wajah istrinya dan merasa ada sesuatu yang berbeda."Ada apa, Clara? Kamu terlihat sangat bahagia," tanya Alexander dengan nada penasaran.Clara menatap suaminya dan tersenyum lebih lebar lagi. "Aku baru saja mendengar kabar baik dari Markus. Dia berhasil menjauhkan Mia dari kamu."Alexander tersenyum tipis, menahan tawa yang ingin pecah. "Oh, jadi itu alasannya? Kamu begitu cemburu pada Mia, ya?"Clara meletakkan cangkir tehnya di atas meja dan menatap Alexander dengan
Clara duduk di ruang tamu, menggigit bibirnya sambil memandang kalender di dinding. Kandungannya sudah memasuki bulan ketujuh, dan dia merasakan gelombang kecemasan setiap kali memikirkan suaminya, Alexander, di kantor. Terutama sejak Mia, rekan kerja yang licik, semakin gencar menggoda Alexander. Sejak permintaannya menjadi sekretaris pribadi suaminya lima bulan yang lalu ditolak, Clara merasa semakin tertekan dengan situasi tersebut.“Tuan, aku harus bicara denganmu,” kata Clara saat Alexander masuk ke ruang tamu.Alexander menatap Clara dengan penuh perhatian, “Ada apa, Clara? Apa kamu baik-baik saja?”Clara menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, “Aku ingin kembali menjadi sekretarismu. Aku tahu kamu tidak setuju, tapi aku merasa ini penting.”Dalam benaknya terus terngiang pertemuan singkat antara Alexander dan Mia beberapa hari yang lalu di acara perusahaan. Mereka terlihat begitu akrab dan mesra sehingga membuat hati Clara berbunga-bunga melihatnya. Namun rasa bahagia itu l
Clara duduk di ruang tamu, mengamati suaminya, Alexander, yang sedang membaca laporan keuangan di sofa seberang. Perasaan tidak nyaman menggelayuti hatinya sejak beberapa minggu terakhir. Mia, rekan bisnis perusahaan Alexander, tampak terlalu bersemangat dalam mendekati suaminya.Clara merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan sikap Mia tersebut. Ia pun memutuskan untuk menanyakan langsung kepada suaminya tentang bagaimana hubungan kerja mereka dengan Mia."Tuan, bagaimana rekan bisnis barumu? Mia, kan namanya?" tanya Clara pelan.Alexander menatap Clara sejenak sebelum menjawab dengan tenang, "Ya, Mia. Dia cukup efisien dan profesional dalam bekerja."Namun Clara tetap merasakan ketidaknyamanan dalam dirinya. Ia mencoba untuk bertindak biasa saja meskipun hatinya tak bisa tenang."Tidak ada alasan khusus. Hanya penasaran saja," ucap Clara sambil mencoba tersenyum tipis."Kau jangan berpikir yang bukan-bukan, Clara. Kemarin aku dan dia hanya makan malam biasa untuk membahas proyek ke