Jun menggenggam erat tubuh kecil Elle dalam pelukannya. Napasnya masih terengah-engah setelah berlari sejauh itu, tapi jelas saja dia tidak bisa berhenti sekarang.
Dia harus membawa Elle sejauh mungkin dari tempat itu. Elle menyembunyikan wajahnya di dada Jun, tubuhnya gemetar ketakutan. Jun membelai kepala bocah itu pelan, mencoba menenangkannya. “Maaf, paman tidak bisa mencegah apa yang sudah terjadi tadi. Tenang, Nak. Paman tidak akan membiarkan mereka menyakitimu lagi,” bisiknya. Setelah memastikan dua orang tadi benar-benar pergi, Jun keluar dari dalam hutan. Untung saja dia tahu jalur yang tidak banyak dilewati binatang buas. Jika tidak, mereka bisa saja terjebak dalam bahaya yang jauh lebih besar. Malam semakin larut, dan Jun tahu dia tidak bisa kembali ke rumah. Jika Nira sudah tega menjual Elle, maka dia pasti tidak akan segan-segan untuk melaporkan Jun ke orang-orang itu. “Aku harus membawa anaJun menyeka keringat yang mengalir di wajahnya, napasnya tersengal-sengal setelah dua hari penuh berjalan kaki. Tubuhnya lelah, kakinya nyeri, tapi dia tidak berhenti. Jalanan utama menuju kota sudah di depan mata, sebentar lagi dia bisa menyelamatkan Elle. Elle yang masih dalam gendongannya beberapa kali menunjuk-nunjuk jalan, seolah ingin turun dan berjalan sendiri. Tapi Jun tidak membiarkannya. Gadis kecil itu terlalu lemah, dan dia tidak ingin mengambil risiko. Bukan hanya karena dia merasa bertanggung jawab atas Elle, tetapi juga karena dia sendiri sedang melarikan diri, dari Nira, dari hidupnya yang penuh penderitaan, dan dari orang-orang yang ingin mengambil gadis kecil itu dengan cara yang begitu kejam. Tiba-tiba, suara mesin mobil terdengar dari kejauhan. Jun segera melambaikan tangan, berharap kendaraan itu mau berhenti. Mobil berwarna hitam itu melambat, lalu berhenti di hadapan mereka. Seorang pria dengan j
William menatap kepalan tangannya yang berdarah setelah memukul dinding dengan keras. Napasnya memburu, dadanya sesak oleh kemarahan dan kepedihan yang tak tertahankan. Sudah berhari-hari Elle menghilang, dan meskipun dua penculik telah berhasil ditangkap, mereka tidak bisa memberikan jawaban yang diinginkan, memuaskan. “Brengsek!” William menggeram, menatap Robert dan James yang baru saja masuk ke ruangan kerja pribadinya. “Kami sudah mengorek informasi dari mereka,” kata James dengan ekspresi serius. “Mereka mengaku hanya menerima perintah dan tidak tahu keberadaan Nona Elle sekarang.” “Tapi mereka menyebut satu nama,” tambah Robert. “Jessica.” William mendongak, rahangnya mengeras. Tentu saja. Siapa lagi kalau bukan dia? Perempuan itu pasti dalang di balik semua kejadian ini. Namun, karena belum cukup bukti, William juga tidak bisa sembarangan bertindak. “Dimana dia sekarang?” tanya William dengan suara rendah, namun berbahaya. “Kami masih menelusuri jejaknya,”
“Sayang, aku mohon berhentilah seperti ini, ya...” bujuk William kepada Emily. Tidak ada jawaban, Emily hanya diam dan air matanya terus jatuh. Ia tengah menatap tempat tidurnya Elle, berharap bisa mengurangi perasaan dan rindunya. Nihil, yang ada dia semakin merasa rindu, sedih, dan lagi-lagi menyalahkan dirinya sendiri. Andai saja dia mengawasi Elle dengan lebih ketat. Padahal, dia tahu semua orang sudah berusaha untuk mencari keberadaan Elle. Akan tetapi, Emily justru merasa marah setiap kali mendapatkan laporan tentang Elle yang begitu sulit untuk ditemukan. Tuan Xavier juga sudah membantu mencoba mencari sampai ke luar negeri, tapi tidak ada hasil. Sementara Sean dan orang tuanya terus menyebarkan informasi tentang Elle yang menghilang. William hanya bisa menatap istrinya yang nampak begitu menderita. Sebenarnya, dia j
William dan juga Emily membawa Elle pulang ke rumah. Tidak lupa juga membawa Jun.Di rumah, sudah ada Robert, James, dan juga Azura yang menunggu. Mereka sangat khawatir dengan keadaan Elle, menunggu di sana juga tidak bisa merasakan tenang sedikitpun.Dokter keluarga juga sudah menunggu untuk memeriksa keadaan Elle. Begitu Emily dan William sampai di rumah, dokter keluarga langsung masuk ke dalam kamarnya Elle untuk memeriksa. Beberapa saat kemudian. Emily hampir pingsan mendengar penjelasan dokter keluarga yang memeriksa keadaan Elle. Tangannya gemetar saat dia mengelus kepala Elle yang masih duduk diam di pangkuannya. Gadis kecil itu tidak menunjukkan ekspresi apa pun, hanya menatap kosong ke lantai, dan sesekali terlihat takut. William mengepalkan tangannya, rahangnya mengeras. “Kami harus membawanya ke rumah sakit sekarang,” katanya tegas. “Dan setelah itu, ke psikolog terbaik di negara ini.”
Robert dan James berdiri di sudut ruangan, menyaksikan pemandangan di depan mereka tanpa ekspresi. Ruangan bawah tanah yang dingin itu hanya diterangi satu lampu redup, membuat bayangan William tampak semakin menyeramkan. William menekan tongkatnya ke lantai, menatap tajam dua pria yang tergeletak kesakitan. “Aku bisa saja menghabisi kalian sekarang juga,” katanya dengan suara rendah, “tapi itu terlalu mudah. Aku ingin kalian merasakan setidaknya separuh dari apa yang putriku alami. Kalian senang menyiksanya saat itu, kan?” Salah satu pria, yang wajahnya sudah penuh luka dan lebam, mencoba berbicara. “Kami… kami hanya mengikuti perintah…” suaranya hampir tak terdengar, tubuhnya gemetar karena lemah. William mengayunkan tongkatnya, menghantam lutut pria itu, membuatnya berteriak. “Siapa yang memberi perintah untuk kalian? Ini kesempatan terakhir yang aku berikan.” Pria kedua lang
Jessica segera mengambil ponselnya dan menghubungi agen perjalanan yang biasa dia gunakan. Dengan nada tergesa-gesa, dia meminta penerbangan tercepat ke Swiss, bukan lagi sore nanti apalagi besok, bukan lusa, tapi malam ini juga. “Aku butuh tiket first class, penerbangan tercepat. Berapa pun harganya, aku bayar,” katanya tegas. “Bila perlu 15 menit dari sekarang, asal aku terima beres saja.” Petugas di ujung telepon terdiam sejenak sebelum menjawab, “Ada satu penerbangan malam ini, tapi hanya tersisa kursi di kelas bisnis saja.” Jessica mendecakkan lidahnya kesal. Bukan masalah kelas penerbangan yang mengganggunya, tetapi fakta bahwa dia tidak bisa pergi dengan tenang seperti rencananya. “Pesan sekarang juga, bukan nanti malam,” katanya dingin. Setelah menutup telepon, dia segera mengepak barang-barangnya. Koper besar sudah siap, hanya perlu beberapa tambahan kecil. Di tengah persiapan, pikirannya te
William tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan dalam tawanya. Matanya tetap tajam, penuh kemarahan yang tertahan. Dia melangkah mendekat, menundukkan tubuhnya agar sejajar dengan wajah Jessica yang terikat di kursi. “Karma?” William mengulang kata itu dengan nada mengejek. “Jadi menurutmu, menculik anakku yang masih balita, membuangnya di hutan penuh binatang buas, itu adalah bentuk karma untukku?” Jessica mendengus, meskipun di dalam hatinya mulai muncul ketakutan. “Kau dan Emily menghancurkan hidupku, William! Aku hanya mengambil kembali sedikit dari apa yang kalian rampas dariku!” William menatapnya dalam diam sejenak, lalu tangannya terangkat, dan Plak! Tamparannya keras dan cepat, membuat wajah Jessica menoleh ke samping. Jessica pun terkesiap. “Jangan pernah samakan penderitaanmu dengan apa yang kau lakukan pada Elle,” suara William rendah, tapi penuh ancaman. “Dia bahkan belum mengerti apa pun. Dia
Jessica menjerit marah dan mengguncang-guncang jeruji besi yang mengurungnya. Napasnya memburu, kepanikan mulai menguasai dirinya. “Lepaskan aku! Dasar bajingan kalian semua! Kalian tidak tahu siapa aku, ya?!” Namun, teriakannya justru bergema di hutan yang sunyi, mengundang suara gemerisik di antara semak-semak belukar. Hah!Jessica menoleh cepat, matanya membelalak ketika melihat beberapa pasang mata bersinar di kegelapan. Menuju ke arahnya, semakin dekat. Seekor harimau muncul pertama kali, langkahnya perlahan, penuh kewaspadaan. Di belakangnya, beberapa ekor serigala juga mulai mendekat, mengendus-endus udara di sekitarnya.“A–apa itu?” bisik Jessica, berharap dia salah melihat sama. “Groarrr!!!” Jessica merasa lututnya lemas, tubuhnya mulai gemetar hebat. “Tidak... tidak...” bisiknya, air mata mulai jatuh di pipinya. Dia mencoba mundur, tapi tak ada tempat untuk bersembunyi dalam sangkar itu. “Tid
Sore itu, langit tampak mendung ketika Lavine melangkah keluar dari gedung apartemennya. Dengan jas hitam dan kemeja yang sedikit terbuka di bagian atas, ia tampak seperti biasa, sangat santai, tapi menyimpan ketegangan yang jelas tidak akan tampak di permukaan. Di dalam mobil, Jordi menyetir tanpa banyak bicara. Lavine duduk bersandar, menatap keluar jendela sambil mengetukkan jari ke paha dengan irama acak. “Kira-kira kali ini dia ingin membahas apa lagi ya? Bisnis? Atau mungkin ada hubungannya dengan Elle? Hah! Tidak sabaran juga, aku jadi ingin cepat sampai.” katanya setengah bercanda, setengah kesal. Jordi melirik dari kaca spion. “Mungkin Tuan Ramon mulai sadar siapa yang sebenarnya punya andil besar dalam banyak hal akhir-akhir ini, Tuan.” Lavine hanya tertawa kecil, nada suaranya penuh ironi. “Hah! Kalau dia sadar, mungkin itu karena dia kepepet. Bukan karena dia benar-benar melihat.
Rayn meninggalkan gedung perkantoran MJW dengan perasaan yang begitu menyesakkan. Pembicaraannya dengan Elle tidak berakhir seperti yang diinginkannya. Begitu sampai di dalam mobil, Rayn yang sangat kesal itu tidak lagi bisa menahan diri. Bukk!!! Dipukulnya kemudi mobilnya beberapa kali untuk melampiaskan amarah. “Badjingan!!!” teriaknya. “Kenapa... kenapa kau harus bisa melampaui ku, anak brengsek? Jelas-jelas yang mengalir di dalam tubuhmu adalah darah kotor dan rendahan, darah seorang pelacur yang menjijikan! Kau harusnya hidup dengan segala hinaan, berani sekali kau mengambil posisi yang harusnya menjadi milikku?!” Rayn merasa sudah benar-benar dikalahkan. Tatapan mata Elle saat bicara padanya tadi seolah telah menunjukkan bahwa Rayn bahkan tidak bisa lebih baik daripada Lavine. Grettt... Tangan Rayn terkepal erat. Matanya yang masih menyalak marah itu mulai bersia
Esok harinya, di gedung MJW. Elle menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi kerjanya, memandangi Rose dengan ekspresi datar. “Kau yakin itu dari Rayn? Kakak tirinya Lavine?” tanyanya pelan. Rose mengangguk. “Ya, dikirim langsung atas nama Tuan Rayn. Dikirim pagi-pagi sekali, bahkan sebelum staff lengkap datang, Nona.” Elle menarik napas dalam, sedikit tidak nyaman. Dia tahu Rayn bukan tipe pria yang melakukan sesuatu tanpa maksud tersembunyi. Elle kemudian berdiri dan melangkah ke luar ruangannya. “Ayo, aku ingin lihat sendiri seperti apa lukisan yang dia berikan padaku,” ucapnya dingin. Sesampainya di lobi, matanya langsung tertuju pada lukisan besar yang diletakkan rapi di atas meja resepsionis. Pigura mewah, warna-warna kuat, dan goresan yang jelas menunjukkan keahlian pelukisnya. Namun, tidak ada yang membuat Elle terpikat walaupun dia sampai memicingkan matanya. “Cantik, tapi sayangnya sama sekali tidak menyentuh,” gumamnya,
Elle menatap Lavine dengan tatapan tak sabaran, “Bagaimana hasilnya?” Lavine menyandarkan tubuhnya santai di kursi, senyumnya masih mengembang seperti biasa, penuh godaan dan sedikit terlihat malas. “Kau benar-benar terlalu kaku dan serius, Elle,” katanya sambil mendorong gelas es kopi ke hadapan Elle sekali lagi. “Cobalah untuk membuat hidupmu sedikit lebih manis… seperti es kopi ini.” Elle menatap Lavine tajam, ekspresinya tetap dingin, tapi ada sedikit ketertarikan di balik sorot matanya. “Kau ini minum kopi atau gula? Sejak kapan kopi jadi manis? Lagi pula, aku tidak datang ke sini untuk membahas kopi,” jawabnya, suaranya datar namun tegas. “Aku benar-benar ingin tahu tentang hasilnya, Lavine. Fokus ku hanya ke situ saja.” Lavine tertawa pelan, memainkan sendok kecil di tangannya. “Hah, kau ini terlalu serius. Tapi baiklah… soal hasilnya, Zero tidak mudah dilunakkan, kau tahu itu. Apalagi kalau kau sendiri begini? Minum es kopi saja tidak mau. As
Hari itu, Merin dan Ronald datang ke gedung MJW untuk menemui Elle. Resepsionis itu sempat ragu, namun setelah melihat foto yang ditunjukkan Ronald, di mana Elle tampak berdiri di antara mereka dalam pakaian sederhana dan suasana kafe, wajah resepsionis itu langsung berubah. Dia terdiam sejenak, lalu mengangguk sopan. Meskipun masih ada rasa tidak percaya, dia juga tahu kalau foto itu bukanlah foto editan. Dari pada nanti dia justru melakukan kesalahan, lebih baik diterima saja dulu tamunya. “Baik, tunggu sebentar. Saya akan menghubungi sekretarisnya Nona Elle terlebih dahulu,” ujarnya dengan nada lebih ramah. Ronald menarik napas lega, sementara Merin berdiri dengan tangan terlipat di dada, matanya sibuk memandangi interior kantor MJW yang begitu mewah dan jauh dari bayangan tempat kerja Elle sebelumnya. Tatapan matanya menajam, menyadari bahwa Elle benar-benar hidup dalam dun
Elle tersenyum lemah. “Begitu, ya? Lalu, kenapa kau masih tidak menghentikan ku?” Pertanyaan itu membuat Lavine tersenyum. “Karena meskipun kau memiliki maksud, aku masih bisa merasakan ketulusan darimu.” Elle melanjutkan kegiatannya, menikmati sarapan buatan Lavine tanpa bicara lagi. Tidak ada yang perlu dibahas saat ini. Mereka hanya perlu makan dengan baik, nanti bisa melanjutkan pembicaraannya lagi begitu selesai. Beberapa saat kemudian. Elle melihat jam tangannya, sejenak terdiam sambil berpikir. “Lavine, aku tidak bisa berlama-lama lagi di sini. Apa aku boleh bicara yang sebenarnya padamu sekarang?” Lavine yang baru selesai mencuci piring tersenyum. Setelah mengeringkan tangannya, ia pun berjalan mendekati Elle yang masih duduk di meja makan sambil menatapnya dengan ekspresi yang serius. “Baiklah... dari pada bertele-tele seperti katamu tadi, lebih baik bicara den
Malam merayap pelan di balik jendela apartemen milik Lavine. Lampu ruangan menyala redup, menciptakan suasana yang begitu tenang. Elle duduk bersandar di sofa, matanya mulai terasa berat. Di sampingnya, Lavine masih tertidur dengan kompres di dahinya, napasnya sedikit berat namun mulai terdengar stabil. Elle melirik ke arah pria itu, memperhatikan wajah Lavine yang biasanya penuh senyum nakal itu kini terlihat begitu tenang dan polos. Untuk sesaat, dia lupa bahwa pria ini sering membuatnya kesal. Yang ada hanya rasa iba dan... entah, sesuatu yang membuat dadanya terasa cukup hangat. “Apa sebenarnya yang kau sembunyikan dariku, Lavine...” gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan. “Atau, apa yang sedang kau sembunyikan dari dunia ini?” Elle menghela napas panjang, lalu menyandarkan kepalanya ke senderan sofa. Tubuhnya yang lelah akhirnya menyerah, matanya tertutup, dan napasnya mulai melambat. Suara detik
Elle duduk di ruang kerjanya sambil menatap layar laptop yang penuh dengan tab pencarian tentang pelukis bernama Zero. Setiap artikel, forum seni, dan catatan pameran sudah selesai ia baca. Namun semuanya hanya berisi spekulasi, gosip samar, atau informasi yang terlalu umum. Tidak satu pun yang bisa mengungkap siapa sebenarnya Zero, atau setidaknya memberi petunjuk yang cukup bisa menuju ke identitasnya. Orang-orang suruhannya juga sudah berusaha, namun hasilnya masih tetap sama. “Bagaimana bisa seseorang sepopuler itu tidak meninggalkan jejak digital sedikit pun?” gumam Elle kesal, lalu menyandarkan tubuhnya di kursi dengan frustasi. Ia menutup laptopnya dengan kasar, kemudian berdiri dan berjalan mondar-mandir. “Kenapa sulit sekali menemukan orang itu? Sekalinya bertemu, dia malah mengatakan sesuatu yang tidak aku pahami. Ah..., aku jadi pusing.” Rose masuk membawa dokumen, namun langsung berhenti saat m
Elle tersenyum. “Putra anda memang cukup gila. Ah, aku tidak jadi membelamu.” Mendengar itu, Lavine pun tersentak kaget. “Hah! Kau ini cepat sekali berubah pikiran? Baru juga sedetik aku merasa terharu oleh sikapmu, kau ini benar-benar menggemaskan. Aku jadi ingin segera menikahimu, deh.” “Bahkan keong juga akan berpikir lagi saat tahu kalau akan dinikahi mu,” balas Elle. Lavine terkekeh. “Keong? Kau benar-benar banyak keterlaluannya, ya? Ngomong-ngomong, pergi makan yuk! Aku lapar sekali, tapi tidak ada uang untuk membeli makan.” Ucapan Lavine barusan membuat Rayn dan Ramon mengerutkan kening. Jelas Lavine dan Elle cukup dekat sebelumnya. Rose hanya berdiri diam di belakang Elle. “Kalian... sejak kapan saling kenal?” tanya Ramon yang tidak bisa menahan rasa penasarannya. Elle menoleh, dia hampir saja lupa dengan keberadaan Ramon dan juga Rayn. “Sejak