Tak pernah terbayangkan oleh Chandrakanta sebelumnya, bahwa wanita yang dipanggil ibu oleh Moko, Prabawa, Walimah dan Malini itu amat sangat menyukai harta benda. Terutama barang-barang mewah, mahal dan berharga. Harusnya seorang ibu itu adalah menjadi Madrasah, pengayom, tempat belajar dan berlindung anak-anaknya dari jalan berkelok dan kesesatan. Chandrakanta hanya menyunggingkan senyum kecil ketika tau watak Suhita terkuat satu persatu di hadapannya."Kini aku menyaksikan di hadapanku sendiri bagaimana perangai anda sebenarnya, Bu!" ucapnya. mencoba untuk santun."Seperti yang anda tahu apapun itu yang kalian minta, sebesar apapun, semewah apapun, semahal apapun, aku tidak akan pernah merasa keberatan," ucapnya lalu mulai mengeluarkan selembar catatan yang terlihat sudah dipersiapkannya sedemikian rupa."Silakan anda catat, apa-apa saja yang anda inginkan. Aku akan menyelesaikannya dua atau tiga hari lagi. Jangan lupa surat perceraian Prabawa dan Malini, ku tunggu juga. Jangan ad
***"Beginilah kalau membuat janji dengan seseorang yang licik, tamak, yang tidak ingin mau kalah. Mengapa Jampang mengutusmu, wahai pria berkostum hitam?" tanyaChandrakanta.Jari jemarinya menjentik di atas kepala. Urat-urat ungu kebiruan yang menyembul dengan paksa seolah mereda dan kulit wajah si pria kembali seperti semula."Ampun juragan!" ucapnya lalu menundukkan kepalanya di atas lantai keramik dingin."Haruskah aku kirim Rapalan Mantra Pencabut Nyawa untuk junjunganmu itu?"Chandrakanta bertanya dalam."Hanya ingin memastikan juragan menepati janji atau tidak? Ampun juragan!" ucap pria itu masih belum bisa mengangkat wajahnya."Oh begitu kah? Kau boleh berkeliling kampung. Menanyakan kepada orang-orang, bagaimana diriku? Betapa diriku menepati janji. Apalagi jika merupakan hal-hal sebagai bentuk pertanggungjawaban dari seorang pria untuk wanitanya. Aku bukan Prabawa aku Chandrakanta. Ingat itu!"Yuvati menyerahkan telepon genggam Chandrakanta. Pria dengan wajah yang berang it
Walimah, Suhita, Prabawa tertunduk lemas karena sesuatu seolah terkirim dalam hitungan detik saja setelah Jampang memberitahukan keadaan Malini yang tersiksa dan sekarat karena ulah ketiga orang itu.Tentu saja Chandrakanta tidak akan pernah rela jika calon istri kelimanya, wanita yang amat ia sayangi dan ia gandrungi, terluka atau lecet sedikitpun.Berulang kali ia mewanti-wanti agar tidak boleh seorangpun menyakitinya. Tapi seolah ingin bermain-main dengan murka. Baik Prabawa, Suhita dan Walimah seolah tak mengindahkan larangan itu.Salah siapa jika ketiganya saat ini tergantung di dinding seperti laba-laba yang menempel erat dengan jari jemari yang terbalik, leher yang setengah tercekik dan bola mata yang hampir membelalak keluar. Wajah ketiganya pun sudah berubah menjadi keunguan. Bibir pucatnya hanya lamat-lamat meminta maaf memanggil-manggil nama Chandrakanta dan Malini.Jampang bergidik ngeri, seolah menyaksikan drama ulang adegan ketika dirinya sekarat beberapa jam lalu. "Beg
***Perawat bertubuh mungil itu mengganti baju seragamnya. Mengenakan celana bahan dan kaos berwarna terang. Tak lupa mengenakan jaket berbahan dasar jeans yang tebal, mengenakan helm lalu berpamitan kepada beberapa orang teman sejawatnya yang juga berada di parkiran belakang rumah sakit Istimewa itu.Tak lama setelah menstarter motor tua yang didapat dari peninggalan ayahnya, ia menyusuri jalan dengan sebuah perasaan yang gamang."Beruntung ... sekali wanita itu!" ucapnya lirih. Entah siapa yang dibicarakannya.Tiga puluh menit kemudian. Perempuan berambut panjang lurus itu, tiba di sebuah rumah sederhana yang disewanya bersama seorang kakak perempuannya.Mematikan motor, membuka helm lalu membawa motor tua itu pada sebuah ruangan yang lusuh. Selusuh wajahnya. Kemenakan perempuannya mengulurkan tangan, meminta oleh-oleh. Namun, wanita muda itu seolah lupa."Maaf sayang, bibi lupa membeli oleh-oleh buat kamu. Biarkan bibi istirahat, ya. Tasya main saja dulu sama teman-teman. Nanti sor
***Rapal mantra kematian yang dilafazkan oleh Chandrakanta masih terasa menusuk-nusuk. Seperti duri-duri tajam yang melekat erat dari kulit menembus hingga tulang. Membuat ketiganya hampir saja kehilangan nyawa.Masih amat terasa, walau sedikit demi sedikit mulai berkurang. Dan tentu saja ada sebuah tanda yang membekas seolah menjadi pengingat, bahwa segala sesuatu yang dilontarkan oleh juragan misterius itu harus diindahkan."Apa kalian baik-baik saja?" tanya Suhita masih dalam posisi tertelungkup dengan wajah menempel erat pada lantai yang dingin."Ibu ... ibu ... ibu ... tolong aku ibu ...." ucap pria bungsu keluarga Suhita yang amat sangat disayangnya."Oh ... anak kesayangan ibu. Apakah kau baik-baik saja, Nak? "Tentu aku tidak baik-baik saja, Bu. Aku rasanya ingin mati!" teriak Prabawo tak kalah tersiksanya dari Suhita dan Prabawa.Walimah pun mendapati sekujur tubuhnya masih terasa panas seolah terpanggang dalam kobaran api yang sangat hebat."Ah, beginilah kalau kita bermain
***Kalimat-kalimat yang dilontarkan Chandrakanta di rumah sakit tadi membuat Moko memikirkan banyak hal. Termenung-menung ia dibuatnya. Bayangan wajah Malini pun tak henti menari-nari. Ada banyak penyesalan dan juga rasa bersalah."Apakah aku dulu kurang memperjuangkannya sehingga Malini menderita hingga detik ini? Mengapa aku menyerahkannya kepada Prabawa. Memang ia adikku. Tapi seharusnya tak kuserahkan Malini karena akulah yang amat sangat tahu Prabawa itu pria yang seperti apa."Saat itu mungkin sudah hampir malam. Moko tak langsung pulang ke rumah. Ia memutar-mutarkan mobil putihnya di beberapa tempat yang menorehkan sebuah kenangan tersendiri baginya dan Malini."Malini terlalu baik. Terlalu malang dan rasanya tidak pantas untuk diperlakukan seperti itu. Namun, entah mengapa setiap Prabawa dan ibu memperlakukannya dengan tidak baik, aku hanya bisa membuang muka. Bodohnya diri ini!" geram Moko dihisapnya cerutu dalam-dalam lalu dihempaskan.Telepon genggamnya berdering. Terdenga
***Memang belum terlalu banyak memori yang Chandrakanta torehkan bersama Malini. Ia sebenarnya enggan untuk meninggalkan calon istri ke limanya itu. Namun, ketika istri pertamanya memberitahu bahwa Soraya sudah pulih dan menanyakan di mana keberadaan dirinya, ia harus segera pulang ke kediaman istri keempatnya."Pulanglah, Mas, nanti Malini biar saya dan Rania yang menjaganya."Chandrakanta tak menjawab. Diam untuk beberapa detik berpikir. Apakah ia harus tinggal bersama Malini atau datang berkunjung ke kediaman Soraya."Sudah lama Mas tak menjenguk Soraya. Kasihan dia," terang Yuvati lagi."Baiklah aku akan ke sana setelah kau tiba di sini. Tapi berjanjilah untuk menjaga Malini dengan baik!""Jangan khawatir Mas, saya akan menjaga dia dengan baik seperti saya menjaga Mas. Tiga puluh menit lagi akan sampai di sana. Saya harus mampir sejenak memeriksa perkebunan," ucap Yuvati seraya menutup sambungan telepon.Warna wajah Malini yang sudah mulai berubah. Tak pucat dan tak sayu lagi. Me
...Soraya duduk dengan anggun dengan rok lebar berwarna putih dan atasan dengan kra sabrina yang dihiasi bordiran bunga. Selalu mengembangkan senyum melihat kedatangan Chandrakanta. Beatrix membawakan Baki berisi dua buah teh chamomile. Teh yang sudah lama tak Chandrakanta minum ketika tengah berkunjung ke kediaman Soraya."Terima kasih, Beatrix," ucap Soraya tersenyum memandang Beatrix penuh arti."Mas pasti lelah sekali," ucap Soraya lalu menyongsong cangkir keramik berukir tinta emas di beberapa sisi.Menyeruput teh chamomile dengan penuh kenikmatan. Bulu mata lentik pirangnya terlihat membuka dan mengatup ketika mata birunya tak lepas memandangi Chandrakanta."Oh ayolah sayang, aku takkan pergi kemana-mana. Bisakah kau lepaskan pandangan matamu yang indah itu," ucap Chandrakanta. Soraya terkekeh sudah lama ia tidak merasakan kehangatan suaminya.Chandrakanta menghargai Soraya yang sudah berubah. Mungkin karena memang keinginan hatinya atau karena memang Rapal Mantra linglung ya
Bertahun-tahun setelahnya***Peluh mengucur deras. Pria berbadan tegap yang mengenakan kemeja rapi dengan parfum aroma maskulin mendadak masam wajahnya ketika petugas bandara menjelaskan kepadanya bahwa ia terlambat beberapa jam untuk tiba di bandara setelah pesawatnya transit."Jangan khawatir, Pak. Beberapa jam selanjutnya akan ada penerbangan ke kota bapak. Silakan meminta bantuan pada beberapa orang petugas yang ada di sana," ucap wanita muda itu tersenyum ramah Si pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah muda itu tersenyum. Tak mengapa pikirnya terlambat beberapa jam asal ia bisa pulang ke rumahnya hari itu juga.Beberapa orang petugas mengenakan seragam yang sama dengan wanita sebelumnya nampak memberikan penjelasan yang lebih terperinci. Pemuda itu mengucap hamdalah di dalam hati.Tepat ketika jam menunjukkan pukul 11.00 siang pria muda berkemeja itu bersiap ketika announcement mengenai keberangkatan ke sebuah kota mengudara.Sementara di bandara dari kota lainny
***Subuh itu adalah subuh yang paling sibuk saat suara kokok ayam belum membangunkan seisi penjuru rumah. Beberapa orang wanita dewasa tengah bersiap di dapur. Walaupun mereka terlihat lelah, tetapi wajah bahagia terpancar jelas. Di antara satu sama lain memberikan semangat penghiburan yang sesekali diiringi guyonan. "Ada berapa banyak tumpeng yang kita buat hari ini?" tanya Malini. Wanita itu mengikat selendang di pinggangnya yang ramping. "Mungkin hampir 100, Nyonya.""Wah, luar biasa. Kalau begini kita bisa membuka catering. Betul, 'kan, Nek Bayan?" tanya Malini pada Nek Bayan yang sibuk dengan kering tempe kesukaan beberapa anak-anak Malini dan Chandrakanta.Beberapa wadah besar sudah tertata di atas amben kayu. Sunyoto dan beberapa sopir Chandrakanta yang lain dengan sigap memasukkan tumpeng-tumpeng untuk dibagikan kepada warga."Apakah bisa selesai tepat waktu, Nyonya?" tanya Gendis dan yang lain. "Tentu saja. Anak-anak setelah selesai salat Subuh mungkin akan bersiap. Saya
***Di sebuah sekolah menengah atas terbaik di kota itu, Leon sibuk dengan buku-buku tebal di tangannya. Sepertinya ia sedang menunggu Kanaya keluar dari kelasnya. Sesekali Leon melambaikan tangan saat beberapa orang temannya memanggil."Belum dijemput, ya?" tanya salah seorang murid perempuan berkepang dua.Leon mengangguk santai. Lalu, gadis berkepang dua itu berdiri di sebelah Leon. "Kamu belum pulang?" "Belum, lagi nunggu jemputan.""Oh," jawab Leon singkat. Ia tak tertarik dengan gadis cantik yang konon katanya adalah gadis populer di sekolahnya. Mungkin karena tidak berminat atau mungkin hati Leon sudah ditempati oleh seseorang yang lainnya, hanya Leon dan Tuhan saja yang tahu.Leon tersenyum senang saat gemerincing gelang kaki mulai menyapa gendang telinganya. Ia tak sabar menanti sosok itu, lalu menoleh dengan wajah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata."Sudah selesai?" tanya Leon. Gadis berkulit sawo matang dengan rambut legam berkilau itu mengangguk. "Temanmu?" tan
***Malini terpekur di kamarnya, sementara Chandrakanta sepertinya masih menyiapkan paviliun kecil untuk Rohani dan Nek Bayan tinggal. Tepat pukul 01.00 malam, suara pintu kamar berderit. Malini pura-pura tidur. Membawa tubuhnya menghadap dinding, bahkan bernapas pun ia lakukan secara perlahan."Mas sudah menikahimu belasan tahun lebih, Sayang. Mas tahu kalau kau belum tidur. Jika ingin marah dan mengatakan sesuatu, katakan saja. Jangan menyimpannya di dalam hati. Mas rela jika kau ingin menampar atau memukul Mas," ucap Chandrakanta dengan lemah lembut.Bulir-bulir bening mulai menetes di kulit sawo matang Malini. Ia menghela napas. Sebenarnya tak ada yang ingin ia bicarakan bersama suaminya. Namun, kehadiran Nek Bayan dan Rohani yang tiba-tiba saja entah mengapa membuat hati Malini sedikit merasa kecewa."Saya ingin istirahat, Mas. Nanti saja saya bicara jika memang saya ingin bicara," ucap Malini pelan. Kini balik giliran juragan Candrakanta yang menghela napas. Ia paham betul mungk
***Nek bayan berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak keluar. Bagaimana tidak, Camelia berusaha menyembunyikan Mentari karena pamor dan rumor mengenai Chandrankanta. Ia tak ingin putrinya merasa tersiksa karena menikahi pria yang memiliki istri yang banyak.Namun, sosok Camelia yang berada di tengah hutan perbatasan tentu saja membuat Nek Bayan bertanya-tanya. Ada apa gerangan mengapa Camelia berusaha untuk terlihat."Ada apa, Mas? Apakah Mas baik-baik saja? Jika Mas memang tak enak badan, biarkan Sunyoto yang membawa jeepnya," ucap Malini merasa khawatir akan keadaan suaminya."Ah, tidak. Hanya saja Mas terkejut," sahut Chandarakanta berusaha kembali melajukan mobilnya perlahan."Nek, apakah Nenek lihat tadi? Sepertinya Ibu tadi yang sedang melintas," ucap Rohani. Buru-buru Nek Bayan membungkam mulut Rohani. Tentu saja pernyataan itu malah membuat Chandrakanta terkejut. "Apa apa yang kau katakan tadi? Ibu? Maksudmu wanita yang melintas tadi itu ibumu?""Ah, sudahlah, Juragan. T
***"Nek Bayan, kau mau ke mana?""Pulang. Aku mencemaskan Rohani.""Kenapa?""Aah, pokoknya aku mau pulang."Wanita tua yang dipanggil Nek Bayan itu berjalan cepat. Ia tak menghiraukan cuaca yang dingin. Ia tinggal di hutan di sekitar gunung yang memang selalu mendapatkan hawa sejuk. Bahkan, cuaca yang benar-benar dingin terkadang membuat tulang terasa ngilu dan gigi bergemeletuk. "Aku yakin sekali kalau Rohani keluar dari gubuk. Entah mengapa aku benar-benar tak tenang. Apakah ia menemui ayahnya? Tidak, tidak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika Juragan Chandrakanta dan Malini mengetahui bahwa Rohani adalah anak juragan. Ah, bodohnya aku. Mengapa aku tak membawanya pergi saja. Gadis muda dengan penglihatan- penglihatan itu pasti akan berusaha untuk menyelamatkan ayah dan ibu sambungnya. Padahal ...," ucap Nek Bayan tak menyelesaikan kalimatnya."Ah, aku harus meminjam salah satu kuda dari beberapa orang pengelana yang lewat," kata Nek Bayan lagi.Nek Bayan bercakap-cakap menaw
***Philips datang dengan setelan jas warna hitam. Keadaannya benar-benar sangat mengkhawatirkan. Pitaloka seolah melihat sosok hantu Philips dengan wajah pucat dan senyum menyeringai."Tidak, tidak! Philips sudah mati! Aku sudah membunuhnya," ucap Pitaloka tak sengaja.Astungkara tersenyum menyeringai."Lihatlah, betapa ajaibnya hati wanita ini. Dia benar-benar mengakui bahwa Philips sudah dibuat mati. Kau dengar itu, Philips? Aku tak habis pikir mengapa dulu kau kerap membantu wanita yang tak memiliki hati ini. Ah, sudahlah. Dari pada berlama-lama, lebih baik aku telepon polisi saja," ucap Astungkara geram.Philips menunggu di pojok ruangan sambil memandangi Pitaloka dengan tatapan mata tajam. Jika diizinkan oleh Astungkara, tentu Philips akan lebih menyukai untuk membunuh Pitaloka detik itu juga."Tidak, tidak. Jangan, jangan tangkap aku. Jangan, jangan serahkan aku. Aku mohon ... semua ini aku lakukan karena aku benar-benar ingin memilikimu." Pitaloka benar-benar ketakutan. "Memi
***"Aah .... Ahhh ... Aaah ...."Astungkara mengintip Pitaloka dari sebuah celah. Senyum seringai mewarnai wajahnya yang tegas. Bukannya marah, Astungkara malah tersenyum melihat istri keduanya itu dan apa yang dilakukannya di dalam kamar.Bukannya marah, Astungkara malah mengusap jambang tebalnya dan teringat akan sebuah hal."Hmmm ... Bagus, Pitaloka," gumamnya pelan."Uhhhhhhmmm ... Ahhh ... Ahhh."Erangan itu membawa sebuah senyum di wajah Astungkara. Ia memang sudah lama tak bercinta dengan Pitaloka. Akan tetapi, Astungkara seolah sedang menyiapkan sesuatu bagi istri keduanya. Astungkara berjalan pelan meninggalkan kamarnya. Ia ingin memberikan sebuah jeda bagi Pitaloka menuntaskan apa yang tengah dilakukan di kamar pribadinya dan Astungkara.Gayatri, ibu Astungkara sedang berada di ruang tamu megah dengan ornamen keemasan saat putranya turun. Kudapannya dilempar ke sembarang arah membuat Astungkara menghela napas."Istrimu ke mana, tidur lagi?" "Lagi ada kerjaan di kamar, Bu.
***Juragan menembakkan senapannya ke arah langit, cahaya itu berpendar sangat indah. Malini dan putrinya terkejut. Gadis kecil itu menangis dalam pelukan ibunya padahal ia baru saja akan memejamkan mata."Oh, ada apa itu?" tanya Malini menggendong putrinya yang menangis.Keduanya menuruni anak tangga kayu. Pintu ruang tamu terbuka, angin malam yang dingin dan serpihan hujan nampak masuk."Mas membuat keributan di tengah malam. Tidak tahukah kalau keponakanmu baru saja akan tertidur.""Maaf sayang tapi ada sesuatu di sana," tunjuk Juragan."Sesuatu? Maksudmu apa Mas? Serigala, beruang, atau Yeti? Dia tidak akan mengganggu selama kau menutup pintunya. Sudahlah, Mas!""Tapi aku pikir itu manusia." "Ayolah, Mas ! Manusia mana yang rela mengendap-ngendap ke villa tengah hutan, tengah malam seperti ini!""Tapi, aku benar-benar melihat jubahnya yang berwarna merah.""Sudahlah, Mas? Kita sedang berlibur. Jadi jangan bertingkah yang aneh-aneh. Lusa kita pulang ke kota dan Mas bisa kembali be