...Ruangan itu benar-benar dingin. Bukan karena pendingin udara. Tapi karena tetap tatapan mata sinis beberapa orang yang nampak mengawasi seorang laki-laki mengenakan kemeja putih.Pria yang mengenakan kemeja putih itu membuat istri, adik dan iparnya merasa jijik ketika berdekatan dengannya."Semua ini gara-gara kamu Mas! Mengapa kamu benar-benar terobsesi dan berhasrat terhadap Malini? Aku tak menyangka kau rela mebuang wajah lamamu dan menggantikannya dengan wajah juragan hanya karena ingin menipu Malini, Ya Tuhan ... Rasanya aku benar-benar tidak percaya.""Aku benar-benar membencimu, Mas!""Maafkan, Aku walimah!"Hanya perkataan itulah yang bisa keluar dari bibir pria itu puluhan kali. Ia tidak mampu meredam emosi, kekecewaan, rasa marah dan kesal Prabawo Wina dan istrinya sendiri, walimah."Sudahlah, Mbak, Ibu sedang sakit. Lebih baik pembicaraan mengenai hal itu kita bicarakan di rumah saja atau menunggu ibu sembuh.""Aku rasanya tidak ingin pulang ke rumah itu lagi. Rasanya
...Paramita sedang sendirian di rumah. Biasanya saat ini ia akan menemani mertuanya, Mak pikat, memasak di dapur sederhana. Tapi pagi itu, baik Mak Pikat ataupun Prayogi tidak ada di rumah. Mereka tidak mengatakan apa-apa sehingga membuat Paramita mencari-cari keberadaannya.Jadilah setelah beres membuat sarapan, membersihkan rumah, Paramita termenung-menung di depan kaca jendela.Hujan turun dengan tipis-tipis disertai angin yang membuat orang-orang enggan untuk beranjak keluar rumah."Di mana, Mas Prayogi dan Mak berada?" gumam Paramita.Telepon genggam jadul milik Prayogi pun tertinggal di rumah. Suaminya itu tidak pernah berbuat seaneh itu. Apalagi belakangan memang hubungan keduanya baik-baik saja. Walau satu persatu hal yang menjadi rahasia mulai diungkapkan karena Prayogi tidak menginginkan adanya rahasia di antara hubungan mereka, termasuk pendekatan yang dilakukan oleh Prayogi dan Mak Pikat terhadap Paramita."Mereka tidak meninggalkan pesan, aku sudah kelimpungan seperti
...Setelah menjalani pemeriksaan lebih lanjut,Rania bisa mengatakan bahwa Malini bisa keluar dari ruang khusus itu. Wanita itu hanya akan rawat inap karena masa kritisnya sudah lewat."Untung, semua sudah bisa terlewati," ucap dokter cantik yang mengenakan kacamata itu."Terima kasih banyak, Rania," ucap Chandrakanta mencium kening Rania.Mbok Giyem dan Hartoyo mengusap dadanya berulang kali. Dilihatnya Malini yang masih tergolek lemas dengan wajah pucat. Kedua orang itu sebenarnya tidak tega melihat wanita itu.Allah memang Maha baik. Setelah menjalani kehidupan rumah tangga bersama Prabawa yang tidak pernah baik-baik saja. Malini kini jatuh di tangan pria yang tepat dan dikelilingi oleh orang-orang yang baik.Ranjang besi yang di dorong di atas koridor menimbulkan suara yang khas. Malini menatap langit-langit rumah sakit. Sebenarnya ia tidak suka berada di sini walau memang belum pernah di rawat dan sampai menginap. Hatinya merasa tidak enak dan jantungnya selalu saja berdeta
...Malam itu Malini berbaring di ranjang besi rumah sakit dalam keadaan terjaga dan tidak tenang. Ia selalu mengamati setiap jarum jam dinding yang bergerak."Masih lama ya, pagi datang?" tanyanya pada seorang pria yang duduk di kursi di sebelah ranjangnya."Tidurlah. Jangan takut. Ada Mas di sini.""Apa Mas tahu? Ada banyak hantu di sini," ucapnya berbisik sambil menyelimuti separuh wajahnya."Ya, Mas tahu. Dan kalau kamu tidak segera beristirahat, maka hantu kepala botak itu tadi akan mengajakmu bermain.""Tidurlah jangan lupa baca doa dan surah pendek dalam hati," sambungnya lagi.Wanita yang sudah merasa kelelahan itu mencoba memejamkan mata. Ia langsung tertidur ketika Chandrakanta mulai membaca sesuatu. Suaranya sangat merdu sehingga membuat hati gadis itu terasa tenang dan damai.Kamar rawat inap ini sangat sepi. Jauh dari pos perawat. Letaknya paling ujung dan belakang.Kalau Malini sampai tahu bahwa dirinya dirawat di sebelah kamar jenazah, ia bakal melepas infusnya dan
***Prabawa mengintip dari celah-celah pintu. Darahnya mendidih hingga sampai ke ubun-ubun. Ia berusaha melebarkan celah pintu itu sebanyak beberapa jengkal dan melihat pemandangan yang ada di depannya.Istrinya sedang duduk di pangkuan seorang pria yang tak dikenalnya dan tak sepantasnya kedua orang itu melakukan sesuatu melebihi hubungan suami istri."Tangan kekar pria itu harusnya tak melingkar di pinggang tak menjamah payudara tak bermain-main pada lekukan-lekukan tubuh Wina. Keduanya pengarang melenguh seolah sedang berhasrat dan menginginkan satu sama lain," gumam Prabawa.Prabawa tentu saja pernah merasakan kehangatan dan gairah Wina terhadap dirinya. Namun, kali ini Wina beraksi dengan luar biasa menurut Prabawa.Harusnya pria yang menjadi suaminya itu bisa menghentikan perbuatan istrinya. Tapi Prabawa tak bisa berbuat apa-apa. Dia diam dan kembali menutup rapat pintu. Hal itu adalah satu-satunya hal yang bisa Prabawa lakukan.Semenjak Moko di penjara, Suhita meninggal dunia,
***"Hei, Moko, terima ini!"Bug!Bug!Gedebugg!Seorang pria besar tinggi dengan luka jahitan di beberapa sisi wajahnya nampak berdiri di belakang Moko dan menghujamkan beberapa pukulan membuat pria berwajah manis itu jatuh tersungkur."Aku ingin berduel denganmu di lapangan lapas "Mengapa aku harus melakukannya?" jawab Moko dingin. "Karena kau b******* dan sudah membuat banyak orang kesusahan. Apa kau tahu kalau ibumu suhita sudah meninggal dunia dan aku tahu keluargamu sekarang bangkrut dan jatuh miskin. Entah ke mana istrimu. Dan adikmu si Prabawa yang tak pernah dididik dengan benar selalu saja berbuat onar. Ia bahkan meminta istrinya untuk bekerja. Benar-benar Keluarga yang luar biasa. Tapi aku tak akan menyalahkan ibumu. Biar bagaimanapun aku pernah makan dari jari jemari tua wanita yang sebenarnya masih memiliki hati yang baik itu."Moko bergeming di tempatnya. Ia mendengarkan dengan seksama perkataan Jaka, jawara lapas yang amat disegani dan ditakuti."Tak apa Jaka, jika me
Ruang kerja Chandrakanta di kediaman istri pertamanya nampak gelap.Mungkin pria itu sengaja mematikannya karena ingin berdiam diri dan mengenang kebersamaannya terhadap Yuvati, istri pertamanya.Kedua anak Chandrakanta bersama Yuvati juga berdiam diri di ruangan sebelah. Anak laki-laki itu tak bisa tidur dengan nyenyak.Mereka sudah mengetahui bahwa ibunya meninggalkan sebuah wasiat agar rumah kediaman itu dijual dan uangnya dipergunakan untuk membangun sebuah panti asuhan.Zubair dan Zain merasa dilema, di satu sisi tak rela jika rumah ini dijual karena ada begitu banyak kenangan di dalamnya. Namun, di satu sisi wasiat ibu bagaikan sebuah titah yang mutlak."Ayo, kita temui Baba, Kak," ucap Zubair kepada kakaknya yang saat itu sedang sibuk menekuri langit-langit kamar."Apa yang ingin kamu katakan kepada Baba. Kakak bukan tidak ingin bertemu dan menemanimu. Tapi sepertinya Baba sedang banyak pikiran semenjak kepergian ibu.""Justru itu, semoga saja dengan pandangan kita membuat Baba
***Bulan berlalu Praya yang tengah menempuh pendidikan dan mengelola bisnisnya di Maroko akhirnya pulang.Wanita berkulit eksotis dengan hidung mancung dan mata bulat besar itu sempat bertengkar karena sesuatu yang tidak diketahui oleh Malini dan yang lain.Mungkinkah itu gara-gara rumah pertama mereka yang dijual? Rumah yang sudah ditempati puluhan tahun oleh Yuvati dan Chandrakanta.Pria itu adalah pria yang baik. Makin tahun, makin ke sini pria itu menjadi pria yang baik untuk anak dan istrinya. Dan ketika mengetahui Praya merajuk tanpa ia ketahui sebabnya, sebisa mungkin Chandrakanta menghibur istrinya agar tak lagi merajuk. Apalagi istrinya sudah merelakan banyak hal untuk pulang kembali ke Indonesia dan meninggalkan dunianya di sana."Mas kan sudah memberitahukan rencana untuk menjual rumah itu. Kamu udah bilang, okay, kan kemarin? Mas, Taka akan lupa, walaupun kamu jauh, Mas selalu saja memberitahu segala sesuatu yang ingin Mas putuskan. Tapi kenapa Ketika pulang ke Indonesi
Bertahun-tahun setelahnya***Peluh mengucur deras. Pria berbadan tegap yang mengenakan kemeja rapi dengan parfum aroma maskulin mendadak masam wajahnya ketika petugas bandara menjelaskan kepadanya bahwa ia terlambat beberapa jam untuk tiba di bandara setelah pesawatnya transit."Jangan khawatir, Pak. Beberapa jam selanjutnya akan ada penerbangan ke kota bapak. Silakan meminta bantuan pada beberapa orang petugas yang ada di sana," ucap wanita muda itu tersenyum ramah Si pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah muda itu tersenyum. Tak mengapa pikirnya terlambat beberapa jam asal ia bisa pulang ke rumahnya hari itu juga.Beberapa orang petugas mengenakan seragam yang sama dengan wanita sebelumnya nampak memberikan penjelasan yang lebih terperinci. Pemuda itu mengucap hamdalah di dalam hati.Tepat ketika jam menunjukkan pukul 11.00 siang pria muda berkemeja itu bersiap ketika announcement mengenai keberangkatan ke sebuah kota mengudara.Sementara di bandara dari kota lainny
***Subuh itu adalah subuh yang paling sibuk saat suara kokok ayam belum membangunkan seisi penjuru rumah. Beberapa orang wanita dewasa tengah bersiap di dapur. Walaupun mereka terlihat lelah, tetapi wajah bahagia terpancar jelas. Di antara satu sama lain memberikan semangat penghiburan yang sesekali diiringi guyonan. "Ada berapa banyak tumpeng yang kita buat hari ini?" tanya Malini. Wanita itu mengikat selendang di pinggangnya yang ramping. "Mungkin hampir 100, Nyonya.""Wah, luar biasa. Kalau begini kita bisa membuka catering. Betul, 'kan, Nek Bayan?" tanya Malini pada Nek Bayan yang sibuk dengan kering tempe kesukaan beberapa anak-anak Malini dan Chandrakanta.Beberapa wadah besar sudah tertata di atas amben kayu. Sunyoto dan beberapa sopir Chandrakanta yang lain dengan sigap memasukkan tumpeng-tumpeng untuk dibagikan kepada warga."Apakah bisa selesai tepat waktu, Nyonya?" tanya Gendis dan yang lain. "Tentu saja. Anak-anak setelah selesai salat Subuh mungkin akan bersiap. Saya
***Di sebuah sekolah menengah atas terbaik di kota itu, Leon sibuk dengan buku-buku tebal di tangannya. Sepertinya ia sedang menunggu Kanaya keluar dari kelasnya. Sesekali Leon melambaikan tangan saat beberapa orang temannya memanggil."Belum dijemput, ya?" tanya salah seorang murid perempuan berkepang dua.Leon mengangguk santai. Lalu, gadis berkepang dua itu berdiri di sebelah Leon. "Kamu belum pulang?" "Belum, lagi nunggu jemputan.""Oh," jawab Leon singkat. Ia tak tertarik dengan gadis cantik yang konon katanya adalah gadis populer di sekolahnya. Mungkin karena tidak berminat atau mungkin hati Leon sudah ditempati oleh seseorang yang lainnya, hanya Leon dan Tuhan saja yang tahu.Leon tersenyum senang saat gemerincing gelang kaki mulai menyapa gendang telinganya. Ia tak sabar menanti sosok itu, lalu menoleh dengan wajah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata."Sudah selesai?" tanya Leon. Gadis berkulit sawo matang dengan rambut legam berkilau itu mengangguk. "Temanmu?" tan
***Malini terpekur di kamarnya, sementara Chandrakanta sepertinya masih menyiapkan paviliun kecil untuk Rohani dan Nek Bayan tinggal. Tepat pukul 01.00 malam, suara pintu kamar berderit. Malini pura-pura tidur. Membawa tubuhnya menghadap dinding, bahkan bernapas pun ia lakukan secara perlahan."Mas sudah menikahimu belasan tahun lebih, Sayang. Mas tahu kalau kau belum tidur. Jika ingin marah dan mengatakan sesuatu, katakan saja. Jangan menyimpannya di dalam hati. Mas rela jika kau ingin menampar atau memukul Mas," ucap Chandrakanta dengan lemah lembut.Bulir-bulir bening mulai menetes di kulit sawo matang Malini. Ia menghela napas. Sebenarnya tak ada yang ingin ia bicarakan bersama suaminya. Namun, kehadiran Nek Bayan dan Rohani yang tiba-tiba saja entah mengapa membuat hati Malini sedikit merasa kecewa."Saya ingin istirahat, Mas. Nanti saja saya bicara jika memang saya ingin bicara," ucap Malini pelan. Kini balik giliran juragan Candrakanta yang menghela napas. Ia paham betul mungk
***Nek bayan berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak keluar. Bagaimana tidak, Camelia berusaha menyembunyikan Mentari karena pamor dan rumor mengenai Chandrankanta. Ia tak ingin putrinya merasa tersiksa karena menikahi pria yang memiliki istri yang banyak.Namun, sosok Camelia yang berada di tengah hutan perbatasan tentu saja membuat Nek Bayan bertanya-tanya. Ada apa gerangan mengapa Camelia berusaha untuk terlihat."Ada apa, Mas? Apakah Mas baik-baik saja? Jika Mas memang tak enak badan, biarkan Sunyoto yang membawa jeepnya," ucap Malini merasa khawatir akan keadaan suaminya."Ah, tidak. Hanya saja Mas terkejut," sahut Chandarakanta berusaha kembali melajukan mobilnya perlahan."Nek, apakah Nenek lihat tadi? Sepertinya Ibu tadi yang sedang melintas," ucap Rohani. Buru-buru Nek Bayan membungkam mulut Rohani. Tentu saja pernyataan itu malah membuat Chandrakanta terkejut. "Apa apa yang kau katakan tadi? Ibu? Maksudmu wanita yang melintas tadi itu ibumu?""Ah, sudahlah, Juragan. T
***"Nek Bayan, kau mau ke mana?""Pulang. Aku mencemaskan Rohani.""Kenapa?""Aah, pokoknya aku mau pulang."Wanita tua yang dipanggil Nek Bayan itu berjalan cepat. Ia tak menghiraukan cuaca yang dingin. Ia tinggal di hutan di sekitar gunung yang memang selalu mendapatkan hawa sejuk. Bahkan, cuaca yang benar-benar dingin terkadang membuat tulang terasa ngilu dan gigi bergemeletuk. "Aku yakin sekali kalau Rohani keluar dari gubuk. Entah mengapa aku benar-benar tak tenang. Apakah ia menemui ayahnya? Tidak, tidak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika Juragan Chandrakanta dan Malini mengetahui bahwa Rohani adalah anak juragan. Ah, bodohnya aku. Mengapa aku tak membawanya pergi saja. Gadis muda dengan penglihatan- penglihatan itu pasti akan berusaha untuk menyelamatkan ayah dan ibu sambungnya. Padahal ...," ucap Nek Bayan tak menyelesaikan kalimatnya."Ah, aku harus meminjam salah satu kuda dari beberapa orang pengelana yang lewat," kata Nek Bayan lagi.Nek Bayan bercakap-cakap menaw
***Philips datang dengan setelan jas warna hitam. Keadaannya benar-benar sangat mengkhawatirkan. Pitaloka seolah melihat sosok hantu Philips dengan wajah pucat dan senyum menyeringai."Tidak, tidak! Philips sudah mati! Aku sudah membunuhnya," ucap Pitaloka tak sengaja.Astungkara tersenyum menyeringai."Lihatlah, betapa ajaibnya hati wanita ini. Dia benar-benar mengakui bahwa Philips sudah dibuat mati. Kau dengar itu, Philips? Aku tak habis pikir mengapa dulu kau kerap membantu wanita yang tak memiliki hati ini. Ah, sudahlah. Dari pada berlama-lama, lebih baik aku telepon polisi saja," ucap Astungkara geram.Philips menunggu di pojok ruangan sambil memandangi Pitaloka dengan tatapan mata tajam. Jika diizinkan oleh Astungkara, tentu Philips akan lebih menyukai untuk membunuh Pitaloka detik itu juga."Tidak, tidak. Jangan, jangan tangkap aku. Jangan, jangan serahkan aku. Aku mohon ... semua ini aku lakukan karena aku benar-benar ingin memilikimu." Pitaloka benar-benar ketakutan. "Memi
***"Aah .... Ahhh ... Aaah ...."Astungkara mengintip Pitaloka dari sebuah celah. Senyum seringai mewarnai wajahnya yang tegas. Bukannya marah, Astungkara malah tersenyum melihat istri keduanya itu dan apa yang dilakukannya di dalam kamar.Bukannya marah, Astungkara malah mengusap jambang tebalnya dan teringat akan sebuah hal."Hmmm ... Bagus, Pitaloka," gumamnya pelan."Uhhhhhhmmm ... Ahhh ... Ahhh."Erangan itu membawa sebuah senyum di wajah Astungkara. Ia memang sudah lama tak bercinta dengan Pitaloka. Akan tetapi, Astungkara seolah sedang menyiapkan sesuatu bagi istri keduanya. Astungkara berjalan pelan meninggalkan kamarnya. Ia ingin memberikan sebuah jeda bagi Pitaloka menuntaskan apa yang tengah dilakukan di kamar pribadinya dan Astungkara.Gayatri, ibu Astungkara sedang berada di ruang tamu megah dengan ornamen keemasan saat putranya turun. Kudapannya dilempar ke sembarang arah membuat Astungkara menghela napas."Istrimu ke mana, tidur lagi?" "Lagi ada kerjaan di kamar, Bu.
***Juragan menembakkan senapannya ke arah langit, cahaya itu berpendar sangat indah. Malini dan putrinya terkejut. Gadis kecil itu menangis dalam pelukan ibunya padahal ia baru saja akan memejamkan mata."Oh, ada apa itu?" tanya Malini menggendong putrinya yang menangis.Keduanya menuruni anak tangga kayu. Pintu ruang tamu terbuka, angin malam yang dingin dan serpihan hujan nampak masuk."Mas membuat keributan di tengah malam. Tidak tahukah kalau keponakanmu baru saja akan tertidur.""Maaf sayang tapi ada sesuatu di sana," tunjuk Juragan."Sesuatu? Maksudmu apa Mas? Serigala, beruang, atau Yeti? Dia tidak akan mengganggu selama kau menutup pintunya. Sudahlah, Mas!""Tapi aku pikir itu manusia." "Ayolah, Mas ! Manusia mana yang rela mengendap-ngendap ke villa tengah hutan, tengah malam seperti ini!""Tapi, aku benar-benar melihat jubahnya yang berwarna merah.""Sudahlah, Mas? Kita sedang berlibur. Jadi jangan bertingkah yang aneh-aneh. Lusa kita pulang ke kota dan Mas bisa kembali be