...Mak Pikat terlihat berpikir tentang tawaran wanita berpakaian serba hitam. Namun, ketika seorang pemuda keluar dari kamar sambil tersenyum tipis, Mbak Pikat seolah memiliki sebuah ide yang cemerlang. "Bagaimana kalau aku meminta sesuatu yang lain dari dirimu? Bukan uang! Mungkin saja lebih berharga dari uang.""Apa itu, Mak? Sebutkan saja. Aku akan mengabulkannya. Yang penting Mak siapkan susuk yang paling paripurna.""Betulkah? Kau akan mengabulkannya. Bahkan ketika sesuatu yang kuminta ini amat berharga bagimu!""Tentu, Mak. Akan aku kabulkan.""Aku dengar kau memiliki seorang adik yang bernama Paramita. Aku berencana untuk menikahkannya dengan Prayogi? Apa kau setuju jika mahar susukmu di tukar dengan pernikahan Paramita dan Prayogi.""Hei ... Pitaloka, aku tengah bertanya padamu!" ucap Mak Pikat seraya melempar bunga kering ke arah kaki Pitaloka. Membuat ia harus berpikir dengan cepat karena tawaran itu mungkin saja akan berubah beberapa menit kemudian.Pitaloka duduk bersu
...Tokoh-tokoh masyarakat, tetua, warga desa, keluarga terdekat, teman-teman terlihat berkumpul di sebuah kediaman yang berada di ujung desa. Kediaman baru yang dipersembahkan oleh istri-istri Chandrakanta untuk Malini dan anak-anaknya.Rumah kayu dua lantai dengan desain yang tradisional namun masih terkesan manis. Di bagian depan rumah terlihat tenda-tenda yang di dominasi warna merah muda tengah berkibar indah. Di bawahnya dipasang kursi-kursi lipat dengan pembungkus warna senada. Sementara gazebo-gazebo dibelakang rumah, masih nampak kosong. Hari itu adalah hari yang membahagiakan bagi beberapa orang. Sementara beberapa orang lainnya tak terlihat lega dengan wajah yang dibuat murung dan tanpa senyum. Mungkin orang-orang itu adalah orang-orang yang tak rela dan menentang pernikahan Chandrakanta dan Malini.Beberapa orang menimang-nimang rasa tidak sukanya, rasa jijik dan muak, ketika Malini dengan kebaya merah muda indahnya masuk dalam sebuah ruangan ketika bagian paling sakr
"Nyonya ... Tenanglah!" pinta Beatrix, ketika melihat wanita cantik berambut pirang itu nampak bingung. Memukul wajahnya berulang kali lalu bolak-balik mengitari jasad di hadapannya."Nyonya ...Tenanglah! Tolong!" teriak Beatrix dengan suara yang agak serak."Biarkan, aku memikirkan sesuatu," ucap asisten rumah tangga nan setia itu."Nyonya, bisakah bantu aku?"Beatrix mulai melepaskan bagian-bagian gaun Soraya yang terkena percikan darah lalu memasukkannya ke dalam saku pakaian hangat yang dikenakan si gadis yang sudah mati itu."Ikat rambutmu dengan ini, Nyonya!" pinta Beatrix mengeluarkan sebuah pita merah muda. Soraya menurut. Mengikat rambutnya dengan tinggi."Tarik nafas. Apa kamu sudah sedikit tenang? Kalau sudah tenang bantu aku untuk menyingkirkan mayat ini!""Menyingkirkannya?""Ya ... Nyonya. Menyingkirkannya! Apakah Nyonya tidak paham juga? Memangnya Nyonya ingin mengakui perbuatan anda di depan juragan? Apakah Nyonya ingin dihukum kembali? Tidakkah Nyonya ingat betapa m
***Chandrakanta, menghabiskan waktu hingga tengah malam di ruang kerja yang sudah disiapkan Yuvati dan Rania. Ruang kerja yang terpisah dengan kamar tidur utamanya bersama Malini. Mencoba menenangkan dirinya, agar tak terlalu menempel dengan wanita yang baru saja dinikahinya beberapa jam lalu itu. Namun, tetap saja ada sebuah hasrat yang tak bisa ditanggalkan begitu saja.Fotonya berdua dengan Malini terpampang di depan meja kerja. Malini dengan kebaya merah muda dan Chandrakanta dengan baju kurung warna senada. Keduanya nampak serasi. Tampan dan cantik.Sebuah foto berisi gambar seluruh isteri dan anaknya membuatnya tertawa semringah. Apalagi sang fotografer tak menghitung mundur agar mereka bersiap. Jadilah sebuah foto yang kacau balau tak tertata, namun menghangatkan jiwanya."Kau sekarang berada di dalam genggamanku, Malini?" ucapnya pelan.Chandrakanta sudah membayangkan bagaimana ia bercumbu dan bersenggama di dalam kamar indahnya. Seolah semua rindu dan perasaan tak bisa dibe
Melihat Malini yang berulang kali tak sabar, Chandrakanta ingin ikut membantu, apalagi bagian tubuh Malini yang bergelayut ketika sedikit menunduk membuatnya semakin tergoda."Malini kau begitu menggoda" rutuknya lalu mulai menarik pinggang istri kelimanya itu."Maaas ...." panggil Malini dengan nafas yang terengah-engah."Ya sayang ....""Mas tidak boleh menolak semua yang saya inginkan. Ingat itu!""Baik!" jawab Chandrakanta tak mampu menahan gelak tawanya. Melihat Malini yang begitu gairah, Chandrakanta merasa geli namun juga menikmati setiap sentuhan yang ia lakukan.Chandrakanta awalnya hanya diam saja ketika Malini mulai meletakkan bibir sensualnya. Mungkin mencoba menggoda. Namun, ketika hawa hangat dan erangan kembali terdengar, pria itu tak mampu menahannya. Toh sejak tadi memang Chandrakanta menginginkannya.Keduanya menautkan lidah, bagai dua ular yang sedang dimabuk cinta. Jari jemari lain bermain di beberapa tubuh lain, membuat Malini semakin mendesah hebat."Shhh ... Uh
***Wajah cantik, mata besar dengan bulu mata lentik tersembunyi dalam sebuah selendang besar berwarna gelap. Ia tak mengenakan terompah. Mengenakan sepatu tipis datar yang diikat ke betisnya yang indah adalah pilihan terbaiknya malam itu.Agak terlihat kikuk memang. Mungkin karena si wanita tak terbiasa menguntit. Namun, benaknya berulang kali mengatakan bahwa ini akan baik-baik saja. Toh tidak akan ada yang mengenalinya dan ini adalah cara satu-satunya agar ia menemukan seorang pria yang tengah dicarinya saat.Beberapa wanita mengenakan kemben sutra tipis dengan rambut yang dicepol menampakan leher jenjang dan bahu yang indah, nampak berlalu lalang seraya membawa kendi dan bambu-bambu panjang berisi minuman-minuman yang memabukkan.Masih berusaha untuk mencari dan mencari. Mata indahnya memindai ke seluruh meja yang berisi orang-orang dengan berbagai macam karakter. Di sudut sana ada dua orang yang tengah bercakap-cakap dengan suara yang besar. Sementara di sudut lain ada empat oran
..."Tentu ... boleh. Mas akan usahakan agar selendang itu tak robek."Moko berdiri semakin dekat di hadapan Malini. Mungkin dalam pandangan beberapa orang, posisi yang seperti itu adalah posisi sepasang insan manusia yang tengah melakukan hal-hal dalam tanda kutip. Apalagi ketika hati dilanda perasaan licik dan penuh amarah. Mungkin mereka akan menduga-duga keduanya tengah melakukan sesuatu.Seperti itulah Walimah dan Suhita memandang keduanya. Mereka yang datang bersama Prabawa dan Chandrakanta langsung mencak-mencak ketika mendapati Malini dan Moko yang tengah berdekatan satu sama lain. Padahal tidak melakukan apapun."Oaalaa wanita sundel!" hardik Suhita memaki wanita yang sudah menolong untuk membawa pulang anaknya."Loh ... Ibu ... Dik Walimah ... Prabawa ... Saya hanya ....""Sudah Mas diam. Wanita ini memang penggoda. Buktinya saja juragan sampai tergila-gila. Ya karena memang dia penggoda ...."Walimah mencengkram rambut dan selendang Malini. Namun ditahan oleh Moko."Janga
...Sebentar-sebentar Soraya terjaga. Walaupun ia sudah membaca Rapal Mantra Perlindungan, tetap saja perasaan cemas, takut dan mungkin juga perasaan bersalah menghantuinya.Merasa terancam, kadang kala ia ingin menyampaikan kebenaran itu kepada Chandrakanta, namun Beatrix acap kali melarangnya."Jangan Nyonya, jika Nyonya Soraya mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada juragan Chandrakanta dan Nyonya Yuvati, saya tidak yakin bahwa juragan dan Nyonya Yuvati akan memaafkan Nyonya Soraya. Bagaimana jika juragan akan memutuskan hubungan? Bukankah yang akan naik kedudukannya nanti adalah Nyonya Malini?"Tentu saja ancaman kedudukannya digantikan dengan Malini adalah hal yang lebih menakutkan daripada ancaman sesuatu yang kerap mengusiknya.Sesuatu dalam tanda kutip yang kerap datang menyambangi kamarnya selama beberapa bulan belakangan."Apakah sesuatu yang kerap menghantuiku itu adalah hantu suster yang bekerja di rumah sakit ?Suster yang membubuhkan obat beracun ke dalam infus Ma
Bertahun-tahun setelahnya***Peluh mengucur deras. Pria berbadan tegap yang mengenakan kemeja rapi dengan parfum aroma maskulin mendadak masam wajahnya ketika petugas bandara menjelaskan kepadanya bahwa ia terlambat beberapa jam untuk tiba di bandara setelah pesawatnya transit."Jangan khawatir, Pak. Beberapa jam selanjutnya akan ada penerbangan ke kota bapak. Silakan meminta bantuan pada beberapa orang petugas yang ada di sana," ucap wanita muda itu tersenyum ramah Si pria yang mengenakan kemeja kotak-kotak berwarna merah muda itu tersenyum. Tak mengapa pikirnya terlambat beberapa jam asal ia bisa pulang ke rumahnya hari itu juga.Beberapa orang petugas mengenakan seragam yang sama dengan wanita sebelumnya nampak memberikan penjelasan yang lebih terperinci. Pemuda itu mengucap hamdalah di dalam hati.Tepat ketika jam menunjukkan pukul 11.00 siang pria muda berkemeja itu bersiap ketika announcement mengenai keberangkatan ke sebuah kota mengudara.Sementara di bandara dari kota lainny
***Subuh itu adalah subuh yang paling sibuk saat suara kokok ayam belum membangunkan seisi penjuru rumah. Beberapa orang wanita dewasa tengah bersiap di dapur. Walaupun mereka terlihat lelah, tetapi wajah bahagia terpancar jelas. Di antara satu sama lain memberikan semangat penghiburan yang sesekali diiringi guyonan. "Ada berapa banyak tumpeng yang kita buat hari ini?" tanya Malini. Wanita itu mengikat selendang di pinggangnya yang ramping. "Mungkin hampir 100, Nyonya.""Wah, luar biasa. Kalau begini kita bisa membuka catering. Betul, 'kan, Nek Bayan?" tanya Malini pada Nek Bayan yang sibuk dengan kering tempe kesukaan beberapa anak-anak Malini dan Chandrakanta.Beberapa wadah besar sudah tertata di atas amben kayu. Sunyoto dan beberapa sopir Chandrakanta yang lain dengan sigap memasukkan tumpeng-tumpeng untuk dibagikan kepada warga."Apakah bisa selesai tepat waktu, Nyonya?" tanya Gendis dan yang lain. "Tentu saja. Anak-anak setelah selesai salat Subuh mungkin akan bersiap. Saya
***Di sebuah sekolah menengah atas terbaik di kota itu, Leon sibuk dengan buku-buku tebal di tangannya. Sepertinya ia sedang menunggu Kanaya keluar dari kelasnya. Sesekali Leon melambaikan tangan saat beberapa orang temannya memanggil."Belum dijemput, ya?" tanya salah seorang murid perempuan berkepang dua.Leon mengangguk santai. Lalu, gadis berkepang dua itu berdiri di sebelah Leon. "Kamu belum pulang?" "Belum, lagi nunggu jemputan.""Oh," jawab Leon singkat. Ia tak tertarik dengan gadis cantik yang konon katanya adalah gadis populer di sekolahnya. Mungkin karena tidak berminat atau mungkin hati Leon sudah ditempati oleh seseorang yang lainnya, hanya Leon dan Tuhan saja yang tahu.Leon tersenyum senang saat gemerincing gelang kaki mulai menyapa gendang telinganya. Ia tak sabar menanti sosok itu, lalu menoleh dengan wajah yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata."Sudah selesai?" tanya Leon. Gadis berkulit sawo matang dengan rambut legam berkilau itu mengangguk. "Temanmu?" tan
***Malini terpekur di kamarnya, sementara Chandrakanta sepertinya masih menyiapkan paviliun kecil untuk Rohani dan Nek Bayan tinggal. Tepat pukul 01.00 malam, suara pintu kamar berderit. Malini pura-pura tidur. Membawa tubuhnya menghadap dinding, bahkan bernapas pun ia lakukan secara perlahan."Mas sudah menikahimu belasan tahun lebih, Sayang. Mas tahu kalau kau belum tidur. Jika ingin marah dan mengatakan sesuatu, katakan saja. Jangan menyimpannya di dalam hati. Mas rela jika kau ingin menampar atau memukul Mas," ucap Chandrakanta dengan lemah lembut.Bulir-bulir bening mulai menetes di kulit sawo matang Malini. Ia menghela napas. Sebenarnya tak ada yang ingin ia bicarakan bersama suaminya. Namun, kehadiran Nek Bayan dan Rohani yang tiba-tiba saja entah mengapa membuat hati Malini sedikit merasa kecewa."Saya ingin istirahat, Mas. Nanti saja saya bicara jika memang saya ingin bicara," ucap Malini pelan. Kini balik giliran juragan Candrakanta yang menghela napas. Ia paham betul mungk
***Nek bayan berusaha sekuat tenaga agar air matanya tak keluar. Bagaimana tidak, Camelia berusaha menyembunyikan Mentari karena pamor dan rumor mengenai Chandrankanta. Ia tak ingin putrinya merasa tersiksa karena menikahi pria yang memiliki istri yang banyak.Namun, sosok Camelia yang berada di tengah hutan perbatasan tentu saja membuat Nek Bayan bertanya-tanya. Ada apa gerangan mengapa Camelia berusaha untuk terlihat."Ada apa, Mas? Apakah Mas baik-baik saja? Jika Mas memang tak enak badan, biarkan Sunyoto yang membawa jeepnya," ucap Malini merasa khawatir akan keadaan suaminya."Ah, tidak. Hanya saja Mas terkejut," sahut Chandarakanta berusaha kembali melajukan mobilnya perlahan."Nek, apakah Nenek lihat tadi? Sepertinya Ibu tadi yang sedang melintas," ucap Rohani. Buru-buru Nek Bayan membungkam mulut Rohani. Tentu saja pernyataan itu malah membuat Chandrakanta terkejut. "Apa apa yang kau katakan tadi? Ibu? Maksudmu wanita yang melintas tadi itu ibumu?""Ah, sudahlah, Juragan. T
***"Nek Bayan, kau mau ke mana?""Pulang. Aku mencemaskan Rohani.""Kenapa?""Aah, pokoknya aku mau pulang."Wanita tua yang dipanggil Nek Bayan itu berjalan cepat. Ia tak menghiraukan cuaca yang dingin. Ia tinggal di hutan di sekitar gunung yang memang selalu mendapatkan hawa sejuk. Bahkan, cuaca yang benar-benar dingin terkadang membuat tulang terasa ngilu dan gigi bergemeletuk. "Aku yakin sekali kalau Rohani keluar dari gubuk. Entah mengapa aku benar-benar tak tenang. Apakah ia menemui ayahnya? Tidak, tidak. Aku tak bisa membayangkan bagaimana jika Juragan Chandrakanta dan Malini mengetahui bahwa Rohani adalah anak juragan. Ah, bodohnya aku. Mengapa aku tak membawanya pergi saja. Gadis muda dengan penglihatan- penglihatan itu pasti akan berusaha untuk menyelamatkan ayah dan ibu sambungnya. Padahal ...," ucap Nek Bayan tak menyelesaikan kalimatnya."Ah, aku harus meminjam salah satu kuda dari beberapa orang pengelana yang lewat," kata Nek Bayan lagi.Nek Bayan bercakap-cakap menaw
***Philips datang dengan setelan jas warna hitam. Keadaannya benar-benar sangat mengkhawatirkan. Pitaloka seolah melihat sosok hantu Philips dengan wajah pucat dan senyum menyeringai."Tidak, tidak! Philips sudah mati! Aku sudah membunuhnya," ucap Pitaloka tak sengaja.Astungkara tersenyum menyeringai."Lihatlah, betapa ajaibnya hati wanita ini. Dia benar-benar mengakui bahwa Philips sudah dibuat mati. Kau dengar itu, Philips? Aku tak habis pikir mengapa dulu kau kerap membantu wanita yang tak memiliki hati ini. Ah, sudahlah. Dari pada berlama-lama, lebih baik aku telepon polisi saja," ucap Astungkara geram.Philips menunggu di pojok ruangan sambil memandangi Pitaloka dengan tatapan mata tajam. Jika diizinkan oleh Astungkara, tentu Philips akan lebih menyukai untuk membunuh Pitaloka detik itu juga."Tidak, tidak. Jangan, jangan tangkap aku. Jangan, jangan serahkan aku. Aku mohon ... semua ini aku lakukan karena aku benar-benar ingin memilikimu." Pitaloka benar-benar ketakutan. "Memi
***"Aah .... Ahhh ... Aaah ...."Astungkara mengintip Pitaloka dari sebuah celah. Senyum seringai mewarnai wajahnya yang tegas. Bukannya marah, Astungkara malah tersenyum melihat istri keduanya itu dan apa yang dilakukannya di dalam kamar.Bukannya marah, Astungkara malah mengusap jambang tebalnya dan teringat akan sebuah hal."Hmmm ... Bagus, Pitaloka," gumamnya pelan."Uhhhhhhmmm ... Ahhh ... Ahhh."Erangan itu membawa sebuah senyum di wajah Astungkara. Ia memang sudah lama tak bercinta dengan Pitaloka. Akan tetapi, Astungkara seolah sedang menyiapkan sesuatu bagi istri keduanya. Astungkara berjalan pelan meninggalkan kamarnya. Ia ingin memberikan sebuah jeda bagi Pitaloka menuntaskan apa yang tengah dilakukan di kamar pribadinya dan Astungkara.Gayatri, ibu Astungkara sedang berada di ruang tamu megah dengan ornamen keemasan saat putranya turun. Kudapannya dilempar ke sembarang arah membuat Astungkara menghela napas."Istrimu ke mana, tidur lagi?" "Lagi ada kerjaan di kamar, Bu.
***Juragan menembakkan senapannya ke arah langit, cahaya itu berpendar sangat indah. Malini dan putrinya terkejut. Gadis kecil itu menangis dalam pelukan ibunya padahal ia baru saja akan memejamkan mata."Oh, ada apa itu?" tanya Malini menggendong putrinya yang menangis.Keduanya menuruni anak tangga kayu. Pintu ruang tamu terbuka, angin malam yang dingin dan serpihan hujan nampak masuk."Mas membuat keributan di tengah malam. Tidak tahukah kalau keponakanmu baru saja akan tertidur.""Maaf sayang tapi ada sesuatu di sana," tunjuk Juragan."Sesuatu? Maksudmu apa Mas? Serigala, beruang, atau Yeti? Dia tidak akan mengganggu selama kau menutup pintunya. Sudahlah, Mas!""Tapi aku pikir itu manusia." "Ayolah, Mas ! Manusia mana yang rela mengendap-ngendap ke villa tengah hutan, tengah malam seperti ini!""Tapi, aku benar-benar melihat jubahnya yang berwarna merah.""Sudahlah, Mas? Kita sedang berlibur. Jadi jangan bertingkah yang aneh-aneh. Lusa kita pulang ke kota dan Mas bisa kembali be