“Kenapa kau masih saja tidak mempercayaiku? Privasi! Itukah alasan yang kau pakai, Ryan? Tolong jujurlah, aku akan berusaha untuk memahami dan menerimanya.” Karin menatap Ryan dengan tatapan kecewa. Ryan memejamkan mata. lalu membukanya dan berjalan mendekati Karin. Dipeluknya Karin dengan rasa sayang, diabaikannya penolakan Karin. “Aku minta maaf, ini keputusan bodoh yang kuambil, tetapi aku memutuskan untuk membatalkannya.” Ryan, kemudian melepaskan pelukannya. Ia berjalan menjauh dari Karin menuju jendela. Dipandanginya jalanan yang terlihat ramai, mungkin karena ini adalah akhir pekan, sehingga walaupun malam tetap saja ramai. Dengan suara datar Ryan mengatakan, kalau ia tidak sanggup mengatakannya kepada Karin, karena ia merasa bersalah. “Kau tidak perlu mengetahuinya lagi, yang pasti mulai besok akan ada seseorang yang selalu menemanimu, agar kau dan calon bayi kita tetap sehat. Juga aku memutuskan kau berhenti bekerja.
“Tuan Ryan, apakah Anda baik-baik saja?” Tanya sopir pribadi Ryan. Tadinya ia sedang berada di depan pintu apartemen tuannya itu, dengan koper di tangannya berisikan pakaian Karin, yang telah diminta tuannya itu untuk ia ambilkan di apartemennya. Suara berisik dan benda jatuh dengan keras membuatnya mengambil tindakan cepat, untuk membuka pintu apartemen tersebut. Ketika itulah ia melihat tuannya tergeletak di lantai, dengan kepalanya yang terluka dan berdarah. Melihat tuannya yang tidak sadarkan diri, ia menghubungi 911 agar segera mengirimkan bantuan. Selagi menunggu ambulance datang ia membersihkan pecehan vas bunga yang berceceran di lantai, lalu membuangnya ke tempat sampah. Setelahnya ia melihat ke arah Ryan yang masih juga belum sadar. Namun, ia tidak berani memindahkan tuannya itu, karena takut memperparah cideranya. Selang beberapa menit terdengar ketukan di pintu apartemen itu. Ia beranjak dari samping Ryan untuk me
“Kau pasti berbohong hanya untuk memisahkanku dengan Karin saja!” bentak Ryan naik pitam. Ia lalu melayangkan pukulan ke wajah Derek. Tentu saja Derek tidak tinggal diam ia pun membalas apa yang dilakukan Ryan kepadanya, sehingga keduanya terlibat dalam perkelahian. Keduanya baru berhenti, setelah mereka berdua sama-sama terluka dan lelah. Mereka berdua duduk di lantai bersebelahan dengan napas yang memburu. “Kau itu bodoh, Ryan! Bukannya melihat keadaan Karin di rumah sakit, tetapi kau tidak mempercayai apa yang kukatakan dan mengajakku untuk berkelahi” Ryan bangkit dari duduknya ia meminta kepada Derek untuk menyebutkan di rumah sakit mana Karin dirawat. Dengan senang hati Derek menyebutkan alamat rumah sakit tempat Karin dirawat, sambil mengejek Ryan, kalau Karin tidak akan menerima kedatangannya. Ia yakin, kalau Karin akan membenci Ryan. Ryan menatap dingin Derek, ia memerintahkan kepadanya untuk e
“Hah! Apa kata Anda, Bos? Di sini berisik sekali,” sahut orang suruhan Ryan, yang sedang berada di kelab malam. Di ujung sambungan telepon Ryan mengumpat. Kesabarannya yang hanya sedikit, karena ditimbun rasa bersalah membuat Ryan melempar ponselnya dengan marah. Ryan berjalan mondar-mandir gelisah di apartemennya. Tidak dihiraukannya rasa sakit di wajah dan badannya. Ia berjalan menuju kulkas mengambil beberapa kaleng minuman keras, sepertinya mabuk merupakan solusi yang terbaik baginya saat ini. Duduk di sofa depan televisi Ryan menenggak satu bir kaleng berlanjut ke minuman keras berikutnya. Sampai pada akhirnya kesadaran Ryan hilang dan ia jatuh telentang tidak sadarkan diri di atas sofa. **** Bel pintu apartemen Ryan berbunyi berulangkali, tetapi tidak ada juga sahutan dari dalam apartemen tersebut. Membuat Ibu Ryan yang sengaja datang ke apartemen Ryan, karena ia mendapatkan laporan bahwa putranya itu tidak
“Kalian tidak bisa menahan putraku! Kalian tidak memiliki bukti apapun juga!” Teriak Ibu Ryan. Ryan sendiri terlihat tenang tidak ada takut menghadapi polisi yang datang hendak menangkapnya. Ia mendekati mereka, sambil mengulurkan tangannya untuk dipasangkan borgol. Melihat Ryan yang tampak menerima begitu saja, bahkan ia dengan sukarela menyodorkan tangannya untuk dipasangkan borgol. Ibu Ryan menarik tangan putranya itu, sambil berteriak mengatai Ryan bodoh, kalau ia mau saja masuk ke dalam penjara. Ryan memandang Ibunya dengan raut wajah sedih. Ia tahu, kalau sudah mengecewakan Ibunya, tetapi ia menyadari dengan dirinya masuk penjara merupakan hal yang tepat untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. “Sudahlah, Bu! Aku memang bersalah dan harus menerima hukuman dari kesalahanku itu.” Ryan keluar dari apartemennya, bersama dengan dua orang polisi yang datang menjemputnya. Ryan hanya diam diabaikannya jeritan his
“Aku ingin bertemu dengan Karin! Aku harus bicara dengannya!” Teriak Ibu Ryan. Ia sebelumnya sudah datang ke rumah sakit, untuk menjenguk Karin. Namun, sesampainya di sana ia menemukan kamar Karin dalam keadaan kosong. Rupanya ia selisih beberapa menit saja dengan kepulangan Karin dari rumah sakit. Pada awalnya dengan diantarkan sopir Ryan ia mendatangi apartemen Karin, tetapi ia tidak ada di sana. Entah bagaimana caranya sopir pribadi Ryan membawanya ke rumah mewah, yang katanya merupakan rumah dari Ayah kandung Karin. Dan di sinilah sekarang dirinya berada. Ayah Karin yang baru saja hendak keluar rumah menjadi marah. Melihat kedatangan Ibu Ryan yang berteriakk-teriak. “Saya tidak mengijinkan Anda, untuk bertemu dengan Karin! Ia perlu istirahat dengan tenang!” ucap Ayah Ryan. Mata Ibu Ryan langsung melotot galak. Ia mengatakan, kalau Karin bisa tenang, sementara anaknya sempat merasakan berada dalam penjara, deng
“Karin, kau ke mana saja selama ini? Tidakkah kau ingin mengetahui, kalau Ryan juga menghilang?” Luke menarik pelan tangan wanita yang ia kira Karin. Alangkah kecewanya Luke, ketika wanita itu berbalik ternyata ia bukanlah Karin. Ia pun meminta maaf kepada wanita itu, karena sudah salah mengenali orang. Wanita itu mengangguk dan berlalu pergi dari hadapan Luke. Luke menggaruk kepalanya yang tidak gatal ia tak habis pikir dengan Ryan, yang sama sekali tidak peduli akan perusahaannya. Ia menghilang begitu saja melepaskan tanggung jawab sebagai seorang pemimpin. Sungguh professional sekali sahabatnya itu, karena rasa bersalah ia mengorbankan banyak orang yang bergantung kepada dirinya bisa kehilangan pekerjaan mereka. Luke kembali ke mobilnya, lalu melajukannya pulang ke apartemen. Ia memutuskan untuk mencari Karin dan Ryan di akhir pekan saja.*** Karin yang baru saja turun dari bis langsung menghentikan langkah ket
“Siapa kau? Aku tidak mengenalmu!” Karin memicingkan mata mengamati pria yang berdiri di depannya ini. Pria dengan rambut gondrong dan cambang, serta kumis yang tidak terurus. Tampak sekali, kalau pria yang berdiri di hadapannya ini tidak merawat dirinya sendiri. Pria itu menarik lengan Karin mengajaknya untuk kembali duduk di tempat yang tadi didudukinya. Bagaikan ada aliran listrik di tangan Karin, ia merasa mengenali sentuhan tangan itu. Karin mengamati kembali pria itu dengan lekat. Ia menyadari. kalau apa yang dilakukannya tidak sopan. Hanya saja ia ingin memastikan dugaannya. “Ryan! Apakah ini memang benar kau?” Tanya Karin lemah. Ryan tertawa dengan senyuman yang terlihat tidak sampai ke mata. “Betapa menyedihkannya kau dengan mudah melupakan diriku!” Dada Karin menjadi berdebar kencang. Ia tidak menduga sama sekali, kalau ini memang benar Ryan. Pria yang dicintainya, tetapi mengapa keadaannya
“Maaf, Tuan Ryan! Seperti yang Anda baca begitulah hasil pemeriksaan dari kesuburan Tuan! Ternyata benturan yang tuan alami berpengaruh terhadap kesuburan Tuan,” ucap dokter tersebut. Lebih lanjut lagi dokter itu mengatakan, kalau Ryan sangat kecil kemungkinannya bagi Patrick untuk bisa membuat pasangannya menjadi hamil. Karin yang duduk di samping Ryan menjadi terdiam. Ia urung membaca hasil tes miliknya. Pada saat tangannya hendak meraih tangan Ryan, pria itu menepisnya dengan pelan serayang mnyunggingkan senyum yang tampak sedih. “Kau langsung saja ke kantor aku ingin sendirian dahulu! Nanti kita bertemu di apartemen, setelah aku merasa lebih tenang.” Tidak menunggu jawaban dari Karin, Ryan berjalan keluar dari ruangan dokter tersebut. Karin meminta maaf, kepada dokter yang memeriksa mereka atas sikap kasar Patrick yang pergi begitu saja. Setelahnya ia keluar dari ruangan dokter tersebut dengan perasaan tidak
“Ibu, kau mengejutkan kami! Apakah kau tidak ingin menyapa kami dengan hangat?” Tanya Ryan. Ibu Ryan memberikan senyuman hangat untuk Ryan, tetapi ia menatap curiga kepada Karin. Melihat sorot mata Ibunya yang tampak tidak suka melihat Karin, Ryan meminta kepada Ibunya, agar mereka berbicara di dalam saja, sambil duduk santai. Dengan anggun Ibu Ryan memutar badan, lalu berjalan masuk ke rumah diikuti oleh Ryan dan Karin. Mereka semua pun duduk dengan nyaman di sofa ruang tamu rumah tersebut. Seorang pelayan datang menghampiri, dengan membawa sebuah baki yang berisikan minuman juga kue, kemudian pelayan itu pergi meninggalkan ruangan tersebut. “Katakan Ryan ada perlu apa kamu mengatakan datang mengunjungi Ibu?” Tanya Ibu Ryan. Ryan meraih jemari Karin yang tersemat cincin pertungan darinya. “Aku akan menikah dengan Karin!” Mata Ibu Ryan melotot ia merasa tidak yakin dengan apa yang didengarnya. “Katakan
“Mengapa kau menyandingkan dua potret ini berdampingan? Apakah kau ingin mengatakan kepadaku, kalau usia anakmu jauh lebih lama berada dalam kandungan tunanganmu, dibandingkan anakku?” Tanya Karin lirih. Hatinya merasa sakit melihat kedua potret tersebut. Tidakkah Ryan sadar dengan apa yang dilakukannya? Mengapa ia begitu tega. Ryan meraih jemari Karin bermaksud untuk menenangkan wanitanya tersebut. Namun, Karin menepis dengan kasar tangan Ryan. “Bukankah kita akan terbuka dan bersama memecahkan masalah! Baiklah, aku akan mengatakan kepadamu mengapa aku meletakkan potret itu secara bersamaan.” Ryan sedikit kecewa, karena Karin menolak dirinya. Walaupun demikian ia merasa ada harapan, karena Karin tampak mendengarkan apa yang dikatakannya. “Aku melakukannya, karena aku ingin kau mengetahui, bahwa pernah hadir dua buah hati yang sama-sama kucintai, meskipun mereka berasal dari Ibu yang berbeda.” Ditatap
“Kalau begitu, katakan kepadaku, apakah semua yang barusan kau katakan benar?” Tanya Karin dengan dada yang terasa sakit. Ryan tersenyum mengejek ke arah Karin dengan dingin ia berkata, “Terserah apa yang kau pikirkan saja, karena aku jujur pun tidak kau percaya!” Ia berjalan meninggalkan Karin, tetapi Karin dengan cepat menarik tangannya. Ia meminta kepada Ryan untuk tidak pergi dahulu, sebelum masalah mereka tuntas. Dijawab Ryan dengan perkataan, kalau dirinya memerlukan udara segar, biar bisa berfikir dengan jernih. Karin mengatakan, kalau ia akan ikut menemani Ryan. Dan, kalau Ryan menginginkannya untuk diam ia akan melakukannya. Jawaban yang diberikan Ryan hanya anggukan kepala saja. Ia terus berjalan, tetapi berhenti sebentar untuk mengambil jaketnya dan Karin dari gantungan baju. Ketika Karin berada dekat dengannya ia memasangkan jaket tersebut ke badan Karin, setelahnya ia meneruskan langkahnya
“Kau mengejutkanku! Aku hanya ingin menuntaskan apa yang menurutku menjadi ganjalan dalam hubungan kita!” sahut Karin lemah. Kepalanya menunduk ke bawah, karena merasa bersalah sudah mengkhianati kepercayaan dari Ryan, yang baru saja mereka bangun. Terdengar suara helaan napas Ryan berat, Karin pun memberanikan diri untuk mengangkat kepala dan ia menyesal sudah datang ke sini tanpa memberitahu Ryan. Ia bisa melihat dengan jelas kekecewaan di mata Ryan. Setelah selama beberapa saat tidak ada yang membuka suara Ryan memecah keheningan itu. “Kau sadar bukan, kalau yang kau lakukan itu membuat apa yang coba kita perbaiki menjadi rusak!” Dengan ragu-ragu Karin menyentuh tangan Ryan. Ia meminta maaf, sudah membuat pria itu merasa sedih dengan datang kembali ke pemakaman orang-orang yang pernah ia cintai dalam hidupnya. Dengan kasar Ryan melepas tangan Karin dari tangannya. Ia lalu berjalan memasuki areal pemakaman terse
“Untuk apa, kau mencari tahu tentang seseorang yang sudah lama terkubur?” Tanya Luke. Ia pun duduk di atas tempat tidurnya. Karin mengatakan, kalau ia hanya ingin mengunjunginya saja. Ia ingin meletakkan bunga di nisan tersebut, karena Ryan pernah mengatakan di sana juga anaknya dikuburkan. Terdengar suara tarikan napas di ujung sambungan telepon, juga selimut yang disibak. Setelah diam selama beberapa saat Luke, kemudian mengatakan di mana letak makam tersebut. Ucapan terima kasih langsung saja terlontar dari bibir Karin. Sekarang ia hanya mencari waktu yang tepat saja, untuk pergi ke sana tanpa sepengetahuan Ryan. Ia tidak tahu, apakah Ryan akan marah atau mengijinkan dirinya ke sana. Hanya saja, ia tidak mau mengambil resiko. Ia akan melakukannya secara diam-diam.**** Tiga hari kemudian, Ryan sudah diperbolehkan kembali ke rumah. Dan Ryan bersikeras untuk kembali ke kota asal mereka saja. Ia merasa sudah cukup
“Mengapa kau melakukan hal itu? Bukannya kau dan Ryan bersahabat dan kau sendiripun sudah berjanji untuk membantunya!” Karin menatap Luke tidak percaya. Luke memberikan senyum menenangkan kepada Karin. Ia mengatakan sengaja melakukannya, untuk memberikan waktu bisa beristirahat, karena kalau ia cepat-cepat mendatangi Ryan di rumah sakit yang ada ia akan kehilangan waktu untuk dirinya sendiri. Karin yang tadinya terkejut menjadi memahami dengan apa yang dikatakan Luke. Memang semenjak ia bersedia memberikan kesempatan kedua untuk Ryan. Ia berubah menjadi manja dan tidak mau ditinggal Karin. Luke mengajak Karin untuk meninggalkan pondok menuju rumah sakit, tanpa perlu mengabari Ryan terlebih dahulu, untuk memberikan kejutan kepadanya. Dalam perjalanan Luke mengatakan kepada Karin, kalau ia tidak ikut masuk menjenguk Ryan, karena ia akan langsung kembali ke kantor, Gosip tentang apa yang menimpa Ryan sudah banyak beredar, sehing
“Aku sedang dalam keadaan yang tidak ingin melakukan apapun pada saat itu,” ucap Ryan. Ia memandang Karin, dengan tatapan sedih. Melihatnya membuat Karin menjadi sadar betapa mereka berdua sudah melalui hal yang terburuk dalam hidup mereka. Semoga saja, hal itu merupakan badai yang terakhir. Karin mendekati Ryan, lalu menggenggam jemarinya dan meletakkan ke pipinya. Semua memang sudah ada waktunya, mungkin waktu sekarang ini masa mereka mendapatkan ujian. Namun, semua pasti akan ada akhirnya. Mereka berdua hanya harus percaya hal itu. “Kau tidak perlu takut kepada Ibuku, karena ia tidak mungkin membencimu selamanya,” ucap Ryan. Melihat Ryan yang sudah memejamkan mata Karin melepaskan genggamannya di jemari Ryan. Ia bermaksud keluar sebentar untuk mencari udara segar. Namun, didengarnya suara Ryan yang meminta kepadanya untuk tidak pergi. Karin langsung berbalik mengira, kalau Ryan membuka mata. Akan tetapi, kedua
“Akan pergi ke mana, kau? Apakah kau tidak ingin menemaniku di rumah sakit ini?” Tanya Ryan kecewa. Karin urung keluar dari kamar Ryan. Ia berbalik menghampiri pria itu dan berdiri tepat di sampingnya. “Katakan apa maumu, Ryan? Buat aku mengerti. karena jujur saja aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, selain menjauh darimu, karena aku tidak mau membuat kita berdua semakin terluka saja!” Satu tangan Ryan yang tidak dipasang selang infus meraih tangan Karin, lalu menggenggamnya. Dengan suara serak Ryan meminta kepada Karin untuk tinggal. Ia juga meminta kepada Karin, agar memberikan kesempatan kepada mereka berdua untuk memperbaiki apa yang sudah rusak. Mungkin, kerusakan yang mereka buat akan menimbulkan bekas. Akan tetapi, mereka berdua akan memperbaikinya. Karin terdiam, ia tampak memikirkan apa yang diucapkan oleh Ryan barusan. Bisakah ia memberikan kesempatan, untuk hubungannya dengan Ryan? Apaka