Sahara masuk ruangan dengan pakaian utuh di tubuhnya. Walau tetap sangat minim, setidaknya wanita muda itu tak lagi telanjang bulat seperti di panggung tadi.
Rok pendek berkilap dengan butiran manik yang ukurannya hanya sejengkal menutupi bagian bawah tubuhnya. Sedangkan bagian atas, dadanya juga tertutup semacam bra bercorak senada. Gemerlap dan memiliki asesoris mengkilap di bawah minimnya cahaya ruangan.
Dan sepertinya, itu adalah seragam yang diberikan club. Karena Inke masuk dengan pakaian yang nyaris serupa. Hanya berbeda model sedikit.
Inke masuk ke ruangan dengan tatapan antusias dan tak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Tapi, ketika melihat Roy memandang Sahara terus menerus, Inke mengurangi senyum di wajahnya.
“Seperti biasa, Miss?” tanya Sahara pada Nancy.
“Tunggu instruksi, Ra.” Nancy merapatkan giginya. Kesal kenapa dari sekian banyak gadis penari, tamu di sebelahnya malah memilih gadis keras kepala seperti Sahara.
“Oh, oke.” Sahara menjawab pelan sekali. Dia berdiri dengan kedua tangannya menyatu di depan.
Roy mengalihkan tatapannya pada Inke. Rambut lurus hitam legam dengan kulit kuning langsat dan tingginya hanya sebatas telinga Sahara. Pinggul dan pahanya menarik perhatian Roy selama penampilan gadis itu di pentas. Terutama keberaniannya.
“Yang ini namanya Inke. Cukup berpengalaman,” tukas Nancy, mengangkat gelas dan menyesap cocktail-nya.
Roy mencoba menatap mata Inke lebih lama. Dan seperti wanita lain yang pernah dia temui, Inke memberinya isyarat khusus. Gadis penari itu mengigit bibir bawahnya dengan gesture menggoda. Tak ada bedanya, pikir Roy.
Lalu, Roy memindahkan tatapannya pada wanita berambut sebahu. Wanita muda yang dicarinya.
“Nama kamu siapa?” tanya Roy dengan suaranya yang dalam. Suara yang belasan tahun ini jarang ia gunakan untuk berbasa-basi dengan wanita.
“Sahara,” ucap wanita itu, menatap tajam ke arah Roy.
Roy memakukan pandangannya pada Sahara. Menatap wanita muda itu dari atas ke bawah tanpa menggerakkan kepalanya sedikit pun. Sahara terlihat gelisah. Memindahkan tumpuan kakinya berkali-kali, dan menunduk untuk mengecek pakaiannya yang minim. Wanita itu mengartikan bahwa Roy melihat hal yang salah dengan tampilannya.
“Maaf, ada yang salah?” tanya Sahara akhirnya. Wajahnya terlihat kesal karena Roy terus memandanginya.
“Rara,” tegur Nancy, merapatkan mulutnya memandang tajam pada Sahara.
Roy menarik senyum tipis di bibirnya. Ternyata gadis kecil pemberani itu tak berubah. Roy menoleh pada Nancy yang duduk berjarak semeter darinya. Dia tahu benar saat ini Sahara mati-matian mengumpulkan uang untuk membayar biaya pengobatan pengasuh yang merawatnya bagai anak sendiri sejak kecil. Roy tak menyangka ada sifat belas kasih yang mengalir dalam keturunan keluarga Spencer. Karena Sahara bisa saja meninggalkan wanita itu dan hidup bebas memikirkan dirinya sendiri. Gadis penari di depannya itu, tak perlu balas budi.
“Anda bisa meninggalkan saya sendirian,” ucap Roy setengah memerintah pada Nancy.
Nancy sedikit terkejut mendengar perkataan Roy. Biasanya tamu akan memintanya berada di ruangan lebih lama untuk ditemani minum sambil menonton pertunjukan yang lebih privat. Dia kembali mengangkat gelas cocktail dan meneguknya sedikit lebih banyak.
“Baiklah, aku permisi. Selamat menikmati pertunjukan. Gadis-gadisku pasti apa yang harus mereka lakukan.” Nancy bangkit dan memutari meja kecil di depannya. Dia mengedipkan mata saat sekilas memandang Inke, lalu meninggalkan ruangan.
“Maaf, Anda mau kami langsung memulai?” tanya Inke.
Roy mengangguk.
Inke melirik Sahara yang berdiri di sebelah dinding dengan telepon ekstensi. Mengerti dengan hal yang dimaksudkan rekannya, Sahara mengangkat telepon dan menghubungi operator. Satu menit setelah Sahara meletakkan telepon, lagu Boy Toy yang dinyanyikan Marisa Maino mengalun di ruangan temaram.
Musik itu tak menghentak seperti di ruang pertunjukan utama tadi. Penyanyi wanita yang mendesah dan lirik lagu yang penuh arti, cukup merepresentasikan akan sesensual apa tarian dua gadis itu.
Kesan tak menyukai apa yang dilakukannya, terlihat di kilatan mata Sahara saat gadis itu menatap Roy. Meski begitu, Sahara tetap profesional. Gadis itu sudah bergerak ke tengah, mencengkeram tiang besi yang dilakukan tiap penari jika mengadakan pertunjukan utama. Sahara sudah meliuk mengikuti musik.
Lantunan musik baru satu menit, Inke sudah mulai meraba pengait penutup dadanya. Saat berhasil melepaskan atasannya, Inke mencampakkan potongan pakaian itu ke pangkuan Roy. Inke mendekap tiang besi dan menggesekkan dadanya di sana.
Sahara melirik Inke yang lebih agresif dari biasanya. Sepertinya seniornya itu menyukai pria yang duduk menyilangkan kaki di depan mereka. Sahara mengenali pria yang saat pertunjukan di ruang utama tadi duduk di barisan terdepan bersama seorang pria lain.
Pria yang tampan dan penuh kharisma. Tapi, Sahara tak menyukai caranya memandang. Terlalu dingin dan penuh ancaman. Sorot mata pria yang tak bisa dipercaya. Lagi-lagi, pria kaya yang membiarkan anak-istrinya di rumah demi bisa menikmati hiburan melihat wanita telanjang. Walau kaya dan tampan, sikap seorang gentleman tetap amat penting baginya.
“Kamu,” ucap Roy, menunjuk Inke. “Ke sini! Saya mau kamu melayani dari dekat. Dan bilang ke rekanmu, jangan mengulur waktu untuk melepaskan pakaiannya. Saya sudah membayar sangat mahal untuk ini,” ketus Roy.
To Be Continued
Lagu itu baru mengalun semenit. Harusnya mereka masih bisa menari sebentar lagi dengan pakaian lengkap. Tapi Inke membuat pertunjukan itu amburadul. Sahara baru bekerja di sana lebih dari enam bulan. Dan dia tak pernah diundang ke sebuah ruangan VIP bersama rekan seniornya yang satu itu. Bisa dibilang, Inke adalah penari senior yang mahal. Para pria kaya harus merogoh kocek mereka sedikit lebih banyak untuk menikmati tubuh bugil perempuan itu. “Kalau nggak mau nge-dance, tinggalkan aku berdua dengan laki-laki ini.” Bisikan Inke terdengar sangat samar di dekat Sahara. “Aku akan profesional,” sahut Sahara dengan mulut nyaris tak terbuka. Inke beringsut dari tiang dan memandang sengit pada Sahara. Tiga puluh detik kemudian, Sahara telah melepaskan atasan dan membelitkan kakinya di tiang. “Ya, begitu. Kamu harus cerdas,” gumam Roy, lalu menatap tajam pada tubuh Sah
Sahara terlihat gelisah saat Roy memintanya duduk di sebelah laki-laki itu. Dia melihat Roy seperti menginginkan sesuatu darinya. Mengingat apa yang selalu dikatakan oleh pengunjung pria club itu padanya, Sahara menebak bahwa keinginan Roy pasti sama saja. Sahara duduk melengkungkan punggungnya elegan mungkin. Dengan dagu yang sedikit terangkat, ia membalas tatapan Roy. Dia tak ingin kalah oleh laki-laki itu. Roy Anindra Smith? Nama yang aneh, pikirnya. Nama pria asing dengan sentuhan lokal. Sahara tak pernah mendengar desas-desus tentang pria ini sebelumnya. Orang kaya baru? Atau bukan penduduk negara ini? Warna cokelat rambut Roy lebih muda dari rambutnya. Dengan minyak rambut yang berkilap, rambut pria itu ditata rapi ke belakang. Lembaran rambut keperakan terlihat berkilau . Cukup tua. Dengan beberapa guratan di sudut matanya, pria di sebelahnya mirip seorang bintang pesebakbola Inggris yang tenar dan sudah pensiun. “Sudah selesai mengagumi saya?”
Roy ingin menggoda gadis perawan di sebelahnya yang mungkin sering menelanjangi diri, namun tak pernah melihat pria telanjang di depannya. Tangan kiri Roy merentang ke sandaran sofa. Tangan kanannya merenggut rambut Inke dan membawa mulut wanita itu agar masuk dan menelan kejantanannya lebih dalam. Dia mendengar suara Inke yang tercekik dan terbatuk kecil. Tangan Inke bergantian memberi pijatan mengelilingi kejantanannya. Roy menggeram. Layanan ini pasti akan membuatnya lama mencapai puncak. “Kamu, nggak mau bergabung?” tanya Roy, melirik Sahara dengan mata sendunya. Tak mungkin dia salah menafsirkan tatapan Sahara. Gadis penari itu baru saja menelan ludah dan menggigit bibir bawahnya. “S-saya? Apa boleh menunggu di luar?” tanya Sahara. Nada suaranya sudah tak terlalu percaya diri seperti saat menolak lembaran cek. “No ...,” bisik Roy. “Kamu harus melihat saya mencapai kepuasan. Karena itu kepuasan untuk saya.” Perkataan Roy seperti gumaman tak jelas.
Roy melirik cengkeraman tangan Sahara di lengannya. Memandang wajah cantik gadis penari itu berlama-lama, membuat perutnya mual. “Kenapa? Mulai penasaran?” tanya Roy. “Waktu bermain-main saya hari ini, sudah habis. Lain waktu, saya datang lagi.”—Roy mengusap pipi Sahara—“Kamu juga pasti sibuk mengurusi wanita di rumah sakit itu,” sambung Roy. “Om—” “Jangan panggil aku, Om!” teriak Roy, menarik napas dalam-dalam dan menggigit bibir bawahnya. Lalu, matanya beralih pada pintu toilet. Inke keluar dengan raut wajah sangat lelah. Wanita itu baru saja memuaskan dirinya sendiri di dalam sana, pikir Roy. Roy membuka pintu ruang karaoke dan bergegas keluar. Sahara menjajari langkahnya di lorong. “Maaf, saya panggil apa? Tuan Roy? Dari mana Anda tau soal Bu Mis? Kenapa bisa tau? Ada apa?” Sahara mencengkeram lengan Roy. “Kamu keliatannya sudah terbiasa berpe
Roy berdiri di padang rumput yang sangat luas. Dia bisa merasakan tiupan angin sejuk menerpa pipinya. Dari kejauhan, seorang wanita berlari sambil tertawa-tawa. Melambaikan sebuah selendang panjang berwarna putih ke arahnya. “Roy! Ayo, ikut aku. Kamu sudah janji akan selalu ada di dekatku. Ayo, Roy, aku sendirian di sini. Aku kangen kamu,” teriak wanita itu sambil berlari mengitari Roy. “Shel! Shelly! Ayo, pulang denganku. Aku sudah membelikan cincin yang cantik untuk kamu. Kamu bahkan belum melihatnya. Shelly ...! Tunggu!” Roy melihat Shelly terus berlari menjauhinya. Dia ingin mengejar wanita itu. Tapi kakinya terasa kaku, berat, tidak bisa melangkah. Setiap kali memimpikan wanita itu, Shelly, Roy tetap tidak bisa mengejarnya. Mimpi yang sama selalu diakhiri oleh hal yang sama. Roy membuka matanya dengan dahi berkeringat. Dia meraba-raba nakas mencari lampu untuk menerangkan kamarnya. Suhu
“Sejak kapan perempuan sekarang harus diberi bunga seperti ini?” Roy mengangkat sebuket besar bunga baby breath ke arah Novan. “Dan … aku minta cincin! Bukan cokelat berbentuk hati.” Roy melihat jijik ke arah paper bag yang baru diletakkan Novan di atas meja kecil bagian tengah mobil. “Pak, Anda minta saran terbaik. Sahara gadis 19 tahun yang keras kepala. Anda nggak bisa melemparkan cincin dan meminta gadis itu memakainya sendiri. Walau dia setengah Brasil, dia lahir dan tumbuh besar di Indonesia, Pak. Anda terlalu lama tinggal di luar negeri—" “Sudah! Diam. Kalau dia mencampakkan bunga dan cokelat ini. Semuanya akan kupungut dan kujejalkan ke mulutmu,” ancam Roy. Novan diam tak menjawab. Perkataan Roy bukan sekedar ancaman. Tapi, dia sudah cukup sebal dengan kekeraskepalaan atasannya yang kadang sangat sulit ditolerir. Hari pertama bertemu dengan Sahara, dia telah mengingatkan untuk berlaku lebi
Sahara masih berdiri di depan ruang berdinding kaca. Menatap ke dalam ruang ICU dengan wajah mengeras. Hampir saja, pikirnya. Hampir saja dia tak bisa memberikan pengobatan layak pada pengasuhnya sejak usia lima tahun. Bu Mis. Wanita yang berteman dengan ibu kandung dan mengetahui soal ayahnya. Pengasuhnya selalu mengatakan, bahwa dia tidak boleh kembali ke kampung ibunya. Sebuah desa kecil di Jawa Barat. Dengan alasan yang bahkan dia sendiri tidak boleh tahu. Sahara merasa tidak bisa membiarkan Bu Mis pergi begitu saja. Sebelum dia bisa mengetahui soal sosok ayah yang katanya seorang imigran asing dan pergi begitu saja meninggalkan sang istri. Siapa ayahnya? Apakah pria itu tahu kalau dia tertinggal sebatang kara sebagai seorang anak keturunan asing yang sering terkucil karena berbeda? Dasar laki-laki tidak bertanggung jawab. Masih hidup? Atau sudah berteman tanah seperti ibunya? Apa dia punya saudara? Sejak kecil
Sahara berdiri menatap punggung Roy yang menjauh. Lalu menoleh ke arah pintu ruang ICU karena merasa seseorang sedang memandanginya. Ternyata perawat yang melihat saat Roy mengecup lehernya tadi. Sahara mengangguk kecil pada perawat. Kemudian berjalan menuju kursi besi yang biasa ditempatinya jika perlu bermalam di tempat itu. Setelah memastikan perawat tak lagi memandangnya dan Roy telah menghilang di belokan, Sahara perlahan mengangkat buket bunga. Matanya menelusuri tiap bunga baby breath yang dia tahu pasti mahal. Apalagi jika diberikan sebanyak itu. “Wangi,” bisik Sahara, saat mendekatkan hidungnya di atas bunga. “Ehem!” Dia berdeham. Merasa konyol karena mengkhianati perkataannya barusan pada Roy. “Enggak terlalu wangi. Biasa aja,” gumam Sahara, memperbaiki perkataannya. “Lalu ... ini apa?” Sahara bergumam sendirian, menarik sebuah kartu dari rumpun bunga. ‘Polos, put
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov