Sebuah proyek tower perkantoran merangkap apartemen sedang dalam proses pengerukan pondasi di Sao Paulo, Brasil. Itu adalah proyek solo pertama Roy di negara itu. Sebelumnya dia bekerja sama dengan salah satu orang terkaya di Brasil. Jorge Saverin. Pria tua yang mengumpulkan kekayaan dari rumah judi dan pabrik minuman beralkoholnya yang merajai pasar Brasil.
Saat Roy pertama kali menginjakkan kakinya di negara itu untuk mencari Thomas, dia mendatangi sahabat lama ayahnya. Pria yang pernah makan-tidur di rumah neneknya saat masih sama-sama melajang bersama Tuan Smith. Jorge Saverin menampung Roy selama di Brasil. Dan itu semua tidak gratis.
“Semua orang bekerja keras. Aku tak mungkin memberimu tempat tinggal dan makan cuma-cuma walau kau adalah putra sahabatku. Lakukan sesuatu dan aku akan menghargainya dengan pantas.”
Dan Roy menjadi ajudan merangkap kacung pria itu.
Rumah judi Jorge adalah s
“Udah. Aku turun di sini,” kata Sahara, menepuk lengan Roy saat mereka tiba di ruang makan. Roy menghentikan langkahnya dan Sahara langsung melompat turun. “Jangan ada yang datang ke sini.” Sahara menarik salah satu kursi dan mendekatkan piringnya. Roy melirik Sahara yang bagian bawah gaunnya basah dan melongok ke tiap piring berisi lauk pauk seperti orang kelaparan. Gadis itu menggerai rambutnya. Roy ikut menarik kursi tunggal utama di meja makan. Matanya tak lepas memandang leher dan dada Sahara yang memang sedikit terekspose karena model gaunnya. Dari mana Rini mendapatkan ide untuk memberi Sahara gaun yang banyak terbuka di bagian dada. Padahal dia hanya mengatakan soal ‘membeli gaun’ saja. Apa Rini menganggap bahwa dia begitu menyukai bagian dada Sahara? Mata Roy menyipit saat memikirkan hal itu. “Harusnya kamu bisa minta Rini mengantarkan makanan ke kamar,” ucap Roy dengan nada datar.
“Tidak dikunci ternyata,” gumam Roy, melangkah masuk ke dalam kamar Sahara. Tak ada yang menyahuti perkataannya itu.“Aku kasian kalau pegawai harus membongkar kunci lagi,” sahut Sahara.Sahara sedang memasukkan pakaiannya ke dalam tas dengan terburu-buru. Dia mencampakkan segala sesuatu miliknya yang berada di dalam lemari.Roy mendekati Sahara dan berdiri di dekat tas pakaiannya. “Mau ke mana?” tanya Roy.“Aku mau pulang ke kamarku. Setidaknya dari sana aku bisa menjenguk Bu Mis setiap hari. Om memang cuma mau membeli keperawanan dengan cara terhormat. Harusnya kalau memang mau meniduriku, Om nggak perlu menjadikanku istri. Cinta omong kosong,” ucap Sahara, melipat pakaian dan menjejalkannya ke dalam tas.Roy menarik celana bahannya sedikit ke atas agar memudahkannya berjongkok di depan Sahara. Gadis itu cemberut. Roy melirik dadanya yang setengah menyembul karena tekanan lututnya saat berjongkok. B
“Aku sebenarnya cuma mengikuti apa maumu, Sahara. Kamu yang pernah mengatakan akan memaksakan diri untuk tidur denganku. Aku tak pernah memaksa siapa pun. Aku juga berjanji akan pelan-pelan. Aku tak keberatan kalau kamu mau tidur di kamarku kapan pun,” tukas Roy. Sahara mengatupkan bibirnya. Benar, pikirnya. Dia yang mengatakan pada Roy soal belum memiliki perasaan apa pun. Memang benar. Dia tak ada perasaan apa pun. Tapi mengingat kalau Roy sudah mengatakan cinta dan menikahinya, dia merasa tak suka jika diabaikan pria itu. Dia beranggapan kalau Roy harus bertanggung jawab dengan semua hal yang dikatakannya. Bukankah laki-laki itu yang dipegang ucapannya? Napas Sahara masih sedikit terengah dan tubuhnya masih terbaring menatap Roy. Semakin dilihat, Roy ternyata semakin tampan. Satu set jas berwarna abu-abu terlihat begitu pas di tubuhnya. Pandangan Sahara turun ke bagian lengan Roy yang kemarin dilihatnya terluka.
Sebelum tiba di parkir basement, awalnya Roy hanya duduk diam di sebelah Sahara. Dia berharap perjalanan itu berlangsung singkat. Tapi ketika melihat Sahara meremas tangannya di pangkuan dan berkali-kali mengecek gaunnya, Roy mulai tertarik dengan yang dipikirkan Sahara saat itu.Saat menemukan Sahara tujuh tahun yang lalu, Roy membiarkan gadis itu hidup tenang sembari memperhatikan ke mana pengasuhnya berpindah tempat. Sahara melalui masa SMA-nya di sebuah sekolah swasta bermodal beasiswa palsu yang berhasil diberikan Roy melalui SMP-nya terdahulu.Roy mengamati Sahara tumbuh menjadi seorang gadis miskin yang pemberani. Menginjak usia tujuh belas tahun, pengasuhnya pingsan saat bekerja di rumah salah satu tetangganya. Wanita tua itu kelelahan. Wanita yang belum pernah menikah itu adalah seorang asisten rumah tangga yang dibawa ibu Sahara dari kampung halamannya. Sebuah alasan yang masih belum diketahui oleh Sahara, kenapa almarhuma
“Om, memangnya kita udah reservasi? Yang duduk di depan biasanya bukan orang sembarangan. Miss Nancy bilang mereka rata-rata pengusaha. Pejabat juga kadang-kadang. Bulan lalu malah ada artis senior yang datang.” Sahara berbicara sambil melihat wajah Roy yang masih menggenggam tangannya. “Kamu tadi memanggilku ‘Sayang’,” ucap Roy. “Biar kita keliatan kaya—maksudku agar kita terlihat seperti pasangan suami-istri sungguhan,” tukas Sahara memperbaiki ucapannya. “Kita memang suami-istri sungguhan. Tapi kamu tadi masih terlihat terintimidasi oleh Inke. Harusnya kamu lebih percaya diri. Jangan lupa … kamu adalah istri Presdir the Smith’s Project.” Roy menggenggam tangan Sahara kembali menyusuri lorong ke arah luar. Menuju bagian depan yang di sisi kanannya terletak pintu utama yang mengarah ke sebuah hall. “Tapi tadi aku senang Om masuk dan bawain tas itu,” tukas Sahara. Roy m
Roy menghabiskan sisa cognac di gelas, lalu kembali menuangkan setengah gelas dan memasukkan tiga butir es batu ke dalamnya. Sahara masih berdiri memeluk lengannya yang melingkar di perut gadis itu. Saat meneguk minuman, Roy melihat Inke melontarkan tatapan sinis sebelum bergantian dengan seorang penari lain untuk melakukan pole dance. Tatapan Inke barusan pasti ditujukan untuk Sahara. Sejak tadi, Roy tak henti menciumi bahu dan lengan Sahara.“Minum,” pinta Roy, mengangkat gelasnya ke hadapan Sahara yang masih menonton tarian yang semakin lama semakin panas.“Perutku mual kalau minum alkohol,” sahut Sahara. “Air putih aja,” ucapnya lagi, menoleh meja mereka. Roy meletakkan gelasnya dan mengambil sebotol air mineral dan membukanya untuk Sahara.Gadis itu meneguk setengah botol kecil air putih dan mengerling Roy. “Ternyata benar menikmati,” ucap Sahara saat melihat
Roy menatap sepasang mata lebar yang sesaat lalu menciumnya dengan penuh nafsu. Mata yang secara mengejutkan menunjukkan keberaniannya. “Kamu memang penuh kejutan,” bisik Roy dengan suara parau. Tangan kirinya memeluk pinggang Sahara yang berada di atas pangkuan dan tangan kanannya sudah menurunkan tali gaun gadis itu ke lengannya. Napas Sahara terengah pelan, matanya masih menelusuri wajah Roy. Sadar dan menikmati kalau tangan kanan Roy, sedang menurunkan cup bra tanpa tali yang menutup dadanya dengan pas. Roy meremas sebelah dadanya, lalu memilin putingnya dengan lembut. Mereka menautkan pandangan, dan Sahara tak sadar membuka sedikit mulutnya saat menikmati ibu jari Roy mengusap keras putingnya. Saat Roy mengitari lingkaran kecil itu berulang kali, Sahara mendesah pelan. Kemudian dia bersandar meletakkan bibir di leher Roy yang kembali dipeluknya. “Aku sebenarnya mau mencoba di sini. Tapi kamu baru melakukannya sekali. Aku khawatir ka
Untungnya kamar itu terletak di lantai dua yang terpisah. Sebuah ruangan tunggal tanpa ada ruangan lain yang bisa dilintasi oleh para pegawai Roy di rumah itu. Kalau tidak, mungkin erangan Roy bakal terdengar sampai ke luar ruangan. Matanya memejam dengan dua tangan mengumpulkan rambut Sahara di belakang kepalanya. “Kamu sangat cepat belajar,” bisik Roy, memandang Sahara yang mendongak menatap matanya. Tangan kiri Sahara berada dalam genggaman Roy, dan tangan kanan gadis itu menggenggam benda yang membuat celah di antara kedua pahanya nyeri. Sesuatu yang menurutnya menyakitkan, tapi juga membuatnya lupa akan penderitaan hidupnya selama ini. Roy tak pernah memaksanya. Dia dengan sadar mengikuti permainan Roy dan menikmati sebuah hubungan dewasa. Sahara menyusurkan lidahnya untuk menggoda Roy. Dan Roy yang gemas akan tingkah gadis itu mengangkat tangan Sahara dan menyesap jemari itu satu persatu. Saat erangan ketidak
Suatu tempat di Pulau Bali. Roy baru saja menginjak usia empat puluh tujuh tahun saat itu. Matahari baru saja melorot dari puncak kepala saat Roy baru saja tiba dari Jakarta setelah hari terakhir rapat evaluasi tahunan. Pagi tadi dia mengunjungi kantor hanya untuk menutup agenda tahunan itu dengan sebuah pidato singkat, lalu kembali terburu-buru menuju airport untuk pulang ke rumah. Siang itu Novan melepasnya di airport dengan senyum simpul berkata, “Senang bisa melihat Anda dalam balutan jas setelah sekian lama. Saya benar-benar merindukan pemandangan ini.” Roy ikut memandang tubuhnya dari atas ke bawah. Memang benar. Dia sendiri terkadang merindukan saat-saat menyimpul dasinya dengan simetris dan meletakkan penjepit emas di bagian tengah. “Aku juga merindukan saat-saat harus berdandan rapi dan mentereng hanya untuk ke rapat harian. Tapi setelah lima hari di kota ini, aku lebih merindukan anak istriku,” sahut Roy tersenyum tipis. “Anda lebih santai dan terlihat lebih bahagia,” u
Roy mendorong paha Sahara agar membuka untuk dirinya. Lalu jemarinya tiba lebih dulu di bawah sana.Sahara memejamkan mata. Jemari Roy menuntunnya untuk terus membuka diri. Dia menikmati bagaimana jari Roy mengusapnya, menekannya dan membuatnya seakan terbang sejenak. Sahara menggeliat. Lalu tubuhnya menegang sejenak saat merasakan puncak kemaskulinan Roy mengusapnya. Mulut Sahara setengah ternganga menantikan dan tak lama lenguhan halus meluncur keluar dari bibirnya. Roy masuk perlahan, mendorong dan mengisi tubuhnya perlahan-lahan. “Mmmm,” lirih Sahara, menarik napas dan semakin melengkungkan tubuh untuk menerima Roy sepenuhnya.Telinga Sahara bisa mendengar napas Roy yang keras dan kasar. Seakan Roy merasakan kenikmatan yang sangat kuat hingga pria itu terlihat seperti kesakitan.Sahara memekik tertahan ketika jemari Roy kembali terjulur dan memijat di mana tempat mereka bersatu. Dia memang ingin disentuh di bagian itu. Sahara merintih. Tak lama serbuan kenikmatan itu berkumpul da
Dari ruang kerjanya di lantai satu, Roy tak lagi mendengar suara-suara dari luar. Ia baru saja membongkar lemari besinya dan mengambil beberapa lembar foto yang disukainya.“Akhirnya aku bisa meletakkan ini dalam pigura. Sungguh, aku baru sadar kalau aku sudah jatuh cinta padamu saat itu.” Roy memandang pigura foto berukuran jumbo yang baru saja disisipkannya foto Sahara. Foto ketika Sahara berulang tahun ketujuh belas sedang memeluk sebuket baby breath mengenakan blouse berwarna kuning. Dua hal yang paling disukai Roy sampai sekarang. Sahara mengenakan pakaian berwarna kuning dan tersenyum memeluk buket bunganya.Roy kembali memasukkan semua isi lemari besinya, lalu keluar ruangan itu dengan empat buah foto di tangannya. Tujuannya selanjutnya adalah kamar tidur. Sahara mungkin sudah terlelap kembali dan akan bangun tengah malam nanti. Dia akan memeluk istrinya seraya menunggu kantuk.“Lagi banyak pekerjaan, ya?” Sahara langsung menoleh saat pintu kamar terbuka.“Aku sengaja meningga
“Aku kira sudah tidur,” ucap Roy, membungkuk di atas pipi Sahara dan menenggelamkan hidungnya. “Jangan basa-basi. Kamu pasti tahu kalau aku sedang menunggu. Aku ngantuk, tapi mau tidur nanggung,” ucap Sahara, meletakkan telapak tangan kirinya ke pipi Roy. “Baiklah, aku mandi sekarang. Minggu depan aku sudah bersiap menyambut tangis bayi yang ingin menyusu di tengah malam.” Roy meninggalkan Sahara di ranjang dan pergi ke ruang ganti. Saat melintasi kamar dengan balutan bath robe, dia sengaja mengerling Sahara yang mengerjapkan matanya terkantuk-kantuk. Saat keran air menyala, Sahara mengeratkan pelukannya pada guling. Pandangannya cermat memperhatikan siluet tubuh Roy di balik dinding kaca yang beruap. Bahu yang lebar, lengan yang berisi dan pinggul yang kecil. Roy memang sangat seksi, pikirnya. Di tambah dengan lembaran rambut keperakan yang muncul di antara sisiran rambut Roy yang rapi. Rambut perak itu seakan disusun untuk memberi warna kedewasaan baru pada diri Roy. “Sudah tidu
“Kenapa dia jadi berubah begitu? Biasanya dia ramah denganku. Ramah dan santai. Sering cerita macam-macam soal pengalamannya kuliah di luar negeri. Tapi … tapi tadi terlalu kaku,” Sahara menoleh ke belakang tempat di mana seorang pria muda yang baru menyapanya dengan sebutan ‘Nyonya Smith’ menghilang. “Karena dia sudah memahami di mana posisinya sekarang. Bisa jadi ayahnya sudah menceritakan padanya bahwa mereka butuh untuk tetap bekerja sama dengan perusahaanku. Ini kelasmu, kan?” Roy menghentikan langkahnya di depan kelas yang bahkan Sahara juga lupa.Sahara menghentikan langkahnya di depan ruangan yang memang kelasnya. Di ruangan itu tak ada dua gadis yang dicarinya. Hanya ada teman yang tak bisa dikatakan benar-benar teman.“Mencari teman-temanmu? Mereka ada di kafetaria,” seru seorang gadis dari kursinya. Sahara tidak terlalu sering bicara dengan gadis itu. Dan gadis itu pun jarang bicara dengan siapa pun. “Hamil anak pertama? Kamu makin cantik, Ra.” Sahara sedikit terkesima. B
“Apa aku harus mengantarmu?" Roy meraih jas di tiang besi dan memakainya. “Kamu tidak boleh berangkat sendirian,” sambungnya.Sahara tak langsung menjawab pertanyaan suaminya karena masih sibuk mematut tubuh pada cermin besar di sudut kamar. Tangannya mengusap perut berkali-kali. Hal yang membuat bentuk kehamilannya terlihat jelas.“Perutku besar banget. Ya, Tuhan … kapan lagi aku bisa langsing,” gumam Sahara. Kali ini tangannya berada di bawah perut seakan menopang kehamilannya yang dalam waktu dua minggu lagi akan segera berakhir.“Oke, kalau begitu aku akan mengantarmu. Ayo, kita turun sekarang. Jangan bicarakan lagi soal kapan akan kembali langsing.” Sahara memandang Roy dari pantulan cermin dengan mulut mencebik. Sahara sudah cukup lama tidak datang ke kampusnya. Rini mengurus soal pembelajaran jarak jauhnya dengan baik sekali. Namun, untuk pengambilan nilai di akhir semester Sahara mengatakan ingin datang ke kampus menemui dua temannya. Dan dengan usia kehamilan yang bisa membu
Resepsi pernikahan Herbert dan Letta dilaksanakan di taman sebuah resor pinggiran kota. Roy mendanai lebih dari setengah biaya yang dikeluarkan untuk resepsi itu. Walau dia dengan tegas mengatakan akan menanggung semua, tampaknya Herbert dan Letta berusaha keras untuk meyakinkannya bahwa mereka juga punya tabungan. Malam itu Roy meminta staf khususnya untuk menjadi supir dan ajudan pribadi sebagai pengganti Novan dan Herbert. Dua orang babysitter turut menyertai langkah mereka saat memasuki venue. Sabina dan Elara melangkah ceria dengan gaun berwarna sama dengan Sahara, dalam genggaman tangan masing-masing pengasuhnya.“Cantik sekali dekorasinya,” ucap Sahara.“Kamu sedang memuji wanita yang membuatmu cemburu,” kata Roy mengingatkan.“Aku tidak terlalu buta melihat kelebihan orang lain meskipun aku tak menyukainya. Aku hanya mencoba realistis,” bisik Sahara.“Realistis,” ulang Roy.“Kalau aku tidak realistis, mungkin aku akan berpindah kamar saat mengetahui kalau wanita itu pernah ti
Novan melambatkan laju mobil saat tiba di jalan yang kanan-kirinya dipenuhi pohon jati. Mereka hampir tiba di gerbang besi tinggi. Setidaknya dia harus memberi waktu kepada atasannya untuk berpakaian dengan benar sebelum turun dari mobil nanti.Tiba di depan teras samping, Novan bahkan tak perlu turun untuk membukakan pintu mobil. Roy langsung keluar dan berjalan tergesa sambil memeluk Sahara yang terkikik-kikik dengan buket bunga dalam dekapannya. Keduanya langsung menuju anak tangga terbawah.“Seperti sepasang remaja jatuh cinta,” gumam Novan, lanjut melajukan mobil ke bagian belakang rumah.Langkah kaki Roy dan Sahara melambat di anak tangga paling atas. Keduanya kembali berciuman cukup lama. Sahara yang sedang mendekap bunga, membuka satu-persatu sepatunya tanpa melepaskan bibir dari pagutan Roy. Tubuh Sahara membelakangi pintu kamar dengan langkah kakinya yang mundur merangsek mendekati kamar yang dituju Roy.Malam itu, Sahara bahkan lupa dengan mualnya. Lupa bahwa biasanya pukul
Tak salah lagi kalau malam itu menjadi perjalanan pulang dari suatu tempat ke rumah yang terasa paling singkat dirasa Roy dan Sahara. Novan ternyata tak sampai menjemput atasannya ke dalam. Roy dan Sahara berada di depan lift lantai mezanin. “Tidak menunggu sampai selesai, Sir?” tanya Novan saat beradu pandang dari pintu lift yang terbuka. “Acara selanjutnya kuserahkan pada Herbert. Aku menjamin kalau Letta tak akan berani menolak lamaran itu. Letta pasti cukup sadar bahwa Herbert dipinjamkan nyaris seisi gedung hanya untuk melamarnya,” Roy memeluk pinggang Sahara dan membawa wanita itu masuk ke dalam lift. Novan mengangkat bahu. Benar juga. Saat atasan calon pengantin meminjamkan gedung untuk prosesi kebahagiaan mereka, apa salah satunya akan bertingkah? Mustahil, pikir Novan. Dia yang tadi keluar sejenak untuk menahan tombol lift, masuk kembali untuk membawa Roy dan Sahara kembali ke basement. Mobil yang ditumpangi mereka baru meninggalkan basement gedung. Roy mengatakan pada Nov