“Apakah Ibra masih bekerja dengan Faraz?” tanya Anne ketika Luciano membaringkan tubuhnya di kasur, mendapatkan posisi yang nyaman meski ingin mendekati boks bayi tempat baby Zha terlelap.“Kau harus istirahat, Anne. Jangan mencemaskan Ibra lagi.”“Aku hanya ingin kau tak membuatnya berada terus di sekeliling Faraz, Luciano. Bagaimana dia akan mendapatkan istri dalam waktu dekat jika Faraz masih mengganggunya.”“Dengan tubuhmu yang masih belum sepenuhnya pulih, kau tak mungkin mengurus hidup bocah itu sendirian, Anne.”“Itulah sebabnya aku meminta bantuanmu.”“Aku sudah memberikan banyak bantuan yang bisa dia dapatkan di rumah ini. Dan aku hanya butuh kau sembuh.”“Dokter sudah mengatakan aku baik-baik saja, kan?”“Tidak dengan pandanganku. Kau masih butuh banyak istirahat,” tegas Luciano. Mendorong kepala Anne tetap menempel di bantal. Lalu menarik selimut hingga menutupi dada sang istri. “Lakukan itu untukku. Kau membuatku melakukan banyak hal untuk sahabatmu, apakah hal sereceh ini
“Ada sesuatu yang begitu menyenangkanmu?” Luciano menyelipkan kedua lengannya di pinggang Anne, menjatuhkan ujung dagunya di pundak sang istri. Anne berdiri di samping boks bayi baby Zha, tetapi sepertinya ada hal yang begitu menyenangkan hingga sang istri tak menyadari langkah kakinya yang mendekat.“Apakah semudah itu aku disingkirkan oleh baby Zha?”Anne tertawa kecil. Memberikan wajahnya untuk sang suami yang langsung menghadiahkan satu kecupan di bibir. “Ya. Baby Zha, kau dan Ibra.”“Ibra?” Kening Luciano berkerut tak suka. Baru kemarin Anne masih terlihat gelisah karena Ibra, dan sekarang wajah wanita itu sudah dipenuh senyum semringah. Yang ia tak suka karena salah satu alasannya adalah Ibra.“Ya, akhirnya kencan butanya berhasil. Dia tertarik dengan wanita yang ditemuinya tadi siang.”Salah satu alis Luciano terangkat. “Benarkah?”Anne mengangguk dengan penuh semangat, memutar tubuh ke arah Luciano dengan kedua lengan menyentuh dada sang suami. “Ya, mereka akan bertemu besok s
“Aku tak ingat punya janji temu denganmu hari ini.” Ujung matanya melirik ke arah sekretarisnya yang berdiri dengan kepala tertunduk dalam setelah mengucapkan maaf.“Kau masih saja sensitif terhadapku, Luciano,” senyum Esther dengan nada yang dibuat semembujuk mungkin. “Apakah seburuk itu pengaruhku bagimu?”“Aku tak tahu apa yang kau katakan, Esther. Seingatku, kita sudah tak lagi memiliki urusan satu sama lain.”Senyum Esther sempat membeku, meski begitu ia tetap menampilkan ketenangan yang terkendali. “Apakah kau sudah tahu tentangku dan Ibra?”“Lalu?”“Bagaimana dengan Anne?”Ujung bibir Luciano menegang. “Jika kau ingin menjalin hubungan yang serius dengan Ibra, atau tidak. Itu sama sekali bukan urusanku, Esther. Jika kau melakukan semua ini untuk menarik perhatianku, maka maaf. Aku mengecewakanmu. Aku sama sekali tak peduli dan tak perlu peduli apa pun itu tentangmu. Apakah yang kukatakan padamu terakhir kali masih belum membuatmu paham? Aku tak tahu ternyata kau sebebal ini.”E
Dengan kecemburuan yang mulai merambati dadanya, Anne lekas mendorong kereta baby Zha menuju pintu ruangan Luciano. Membantingnya terbuka tanpa mengetuk terlebih dahulu.Luciano yang baru saja mendaratkan pantatnya di kursi seketika terkejut dengan kemunculan sang istri di pintu ruangannya. Menatapnya marah dan penuh ketegangan di wajah. Sudah pasti Anne berpapasan dengan Esther yang baru saja keluar“Hai, sayang.” Luciano beranjak memutari meja dan menghampiri sang istri yang juga mendekat ke arahnya.“Apakah kalian masih berhubungan?” cecar Anne begitu Luciano berada dalam jarak yang cukup untuk mendengar suaranya dengan jelas.“Apa yang kau katakan, Anne,” tolak Luciano dengan tegas. “Kau tak pernah cerita kalau Esther masih …”“Tidak ada apa pun, Anne,” penggal Luciano, kali ini dengan suara yang lebih lembut. Menghadapi kecurigaan Anne tak bisa dengan cara yang sama keras kepalanya dengan pikiran wanita itu. Ia melangkah lebih dekat, menangkap pinggang sang istri dan membungkam
Anne masih merasa linglung, bahkan setelah berbaring lama di tempat tidur. Baby Zha sudah tidur di boks bayi beberapa saat setelah mereka sampai di rumah. Pikirannya benar-benar kacau setelah pembicaraannya dengan Ibra siang tadi. ‘Wanita yang sebenarnya kucintai adalah kau, Anne. Kau.’‘Aku tak tahu sejak kapan, semuanya mendadak menjadi begitu rumit dan aku membiarkannya begitu saja.’‘Aku tak pernah mengungkapkannya karena takut itu akan merusak persahabatan kita. Itu akan membuatmu semakin jauh denganmu dan aku tak ingin itu terjadi.’‘Dan kupikir dengan membiarkannya semua itu tak akan menghilang dengan sendirinya. Kupikir semua sudah berlalu ketika kau mengatakan jatuh cinta pada pria lain. Eshan. Kau menikah dengan Luciano dan bahkan ketika Luciano melepaskan dan memberimu sebuah kebebasan, kau akan kembali menjadi temanku. Hanya aku yang kau butuhkan. Tetapi kau mengatakan mencintainya dan aku melepaskanmu, dengan pikiran bahwa perlahan aku akan mulai merelakanmu.’‘Nyatanya
“Semua barang-barang tuan Ibra sudah dibawa oleh pelayan dari rumah beliau tadi pagi-pagi sekali,” jelas pelayan ketika Anne bertanya apakah Ibra masih berada di dalam kamar.“Apa?” Mata Anne membeliak terkejut. “Lalu dia?”“Sejak kemarin beliau tidak kembali.”Anne menelan ludahnya. Rasa kehilangan yang semalaman menghantuinya, kini menjadi kenyataan. Jadi Ibra benar-benar akan meninggalkannya?“Pastikan tidak ada barangnya yang tertinggal.” Luciano muncul dari balik lift.Anne menoleh. Tatapan dan suara Luciano begitu dingin, yang seketika membuat wajahnya membeku.Pelayan tersebut mengangguk. Sementara Luciano menangkap pinggang Anne dan membawa sang istri ke ruang makan. Tanpa sepatah kata pun keluar dari keduanya.Meja makan diselimuti keheningan. Masing-masing sibuk dengan makanan di piring, Luciano menyelesaikan makannya lebih dulu. Beranjak dari duduknya dan mencium bibir Anne sebelum benar-benar berdiri. Berjalan keluar ruang makan masih tanpa sepatah kata pun.Anne seolah ke
Anne nyaris menangis dengan keheningan yang terasa mencekik tersebut. Rasanya ia menyesal telah datang ke tempat ini, yang malam semakin memperburuk suasana hatinya. Tubuhnya sudah berputar, hendak berbalik pergi. Tapi lengannya ditangkap oleh Luciano dan ditarik hingga jatuh di pangkuan pria itu.“Jadi, apa yang membawamu ke sini tiba-tiba seperti ini?” Luciano akhirnya memecah kesunyian tersebut.Anne menggeleng pelan. Kepalanya tertunduk dalam, merasakan panas yang mulai muncul di ujung kedua matanya.Luciano mengangkat wajah Anne dengan ujung jarinya. Membawa kedua mata sang istri yang tampak berkaca. “Kau tak ingin bicara?”Anne masih terdiam. Menatap kedua mata Luciano yang menelitinya lebih dalam. Wajahnya bergerak ke depan, mencium bibir Luciano lebih dulu dan memejamkan mata dengan perlahan. Di tengah ciumannya, ia bisa merasakan lelehan air matanya yang jatuh ke pipinya. Bersamaan dengan emosi yang meluap-luap di dadanya, ciumannya semakin dalam.Luciano sempat terkejut den
Anne tak melewatkan kesempatan untuk bergelayut manja di lengan Luciano begitu keduanya memasuki pesta yang sudah dipenuhi banyak tamu. Keduanya disambut tatapan kagum para gadis. Luciano memang selalu menarik perhatian. Tak hanya wajah yang rupawan. Kekuasaan dan kebaikan yang semakin menyempurnakan sosok seorang Luciano Enzio membuatnya selalu cemas setiap kali pria itu pergi ke pesta.Siapa yang tahu kelicikan macam apa yang akan dilakukan para wanita dan gadis itu merayu dan menggoda semuanya. Dan tentu saja semua itu membuatnya kewalahan.Setiap kali Luciano pergi ke luar kota saja, ia sering tak bisa tidur. Dengan kecemasan dan kekhawatiran yang menyelimuti perasaannya. Semua itu tentu tak mungkin datang dengan tanpa alasan, kan? Luciano kelas santapan yang lezat untuk segerombolan rubah betina.Keduanya sesekali berhenti, menyambut sapaan beberapa kolega bisnis. Sampai kemudian mereka bertemu dengan Faraz dan Estelle."Kau terlihat cantik, Anne," puji Faraz dengan tatapan jahil
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela