“Kau membakarnya, Anne.” Suara Eshan begitu lirih dan ada kepedihan yang teramat dalam. “Kau menghancurkan impian kita.” “Impianmu,” koreksi Anne dalam desisan. “Impian kita berdua.” Anne hanya menggeleng. Tak ada gunanya ia menanggapi kata-kata gila Eshan. Eshan benar-benar berubah. Ia tak lagi mengenal Eshan yang pernah dicintainya. Eshan melangkah mendekat, tetapi gerakannya segera terhenti ketika Anne tiba-tiba mengeluarkan sebuah pisau yang ternyata masih dipegang oleh wanita itu. “Jangan mendekat, Eshan!” peringat Anne menggenggam pisau tersebut kuat-kuat dengan ujung yang lancip menghadap Eshan. Langkah Eshan terhenti dan terbatuk. Matanya perih, begitu pun dengan tenggorokannya yang sakit karena terlalu sering batuk. Keduanya berdiri dengan penuh ketegangan. Anne dengan sikap siaga serta kemarahannya dan Eshan dengan raut yang dipenuhi derita. Sampai kemudian suara baling-baling terdengar dari kejauhan, bercampur dengan api yang berderak. Keduanya menoleh bersamaan, ke
Luciano belum pernah terkejut melihat darah, tetapi melihat tubuh Anne yang dilumuri darah, napasnya terasa tercekik bersama kelegaan yang menerjang dadanya akhirnya ia menemukan wanita itu. Dalam pelukannya, tiba-tiba kepala Anne jatuh terlunglai dan kedua matanya terpejam. Dengan kepanikan yang berusaha dikendalikannya, ia memeriksa tubuh Anne dengan teliti. Darah yang melumuri pakaian Anne bukan darah wanita itu, melainkan darah Lionel yang sudah terbaring pucat di tanah berumput. Faraz mengulurkan tangan dan memeriksa nadi di leher pria itu. Kemudian pandangannya bertemu dengan Luciano yang kemudian mengangguk singkat. Dengan bantuan salah satu anak buahnya, ia mengangkat tubuh Lionel ke helikopter dan pergi lebih dulu. Ibra datang dan dengan seorang perawat medis yang segera mengurus Anne. Selain terlalu banyak menghirup asap, tak ada yang serius. Detak jantung anak dalam kandungan Anne pun baik-baik saja meski lemah. Begitu pun dengan keadaan Anne. Setelah menyuruh seseorang
Setelah dokter pergi, Anne kembali berbaring. Pengaruh obat mulai membuatnya mengantuk dan di antara kantuknya yang mulai semakin memekat, dalam hati ia begitu merindukan Anne. Apakah pria itu tidak menjenguknya? Setidaknya untuk melihat keadaannya? Air mata menetes membasahi bantal, merasakan kerinduan yang teramat dalam pada Luciano, yang belum pernah ia rasakan pada siapa pun. Belum pernah ia menahan kerinduan yang begitu kuat sebelum ini. Matanya terpejam, memutar kenangan indahnya ketika hubungannya dan Luciano masih baik-baik saja. Mengingat bagaimana perhatiannya pria itu kepadanya.Kelembutan, kehangatan, dan kenyamanan pria itu. Apakah sekarang semua itu tidak akan ia dapatkan lagi? Apakah semua itu akan menjadi milik wanita lain? Anne menahan isak tangisnya, hingga tertidur karena terlalu lelah. Luciano tidak datang malam itu, esoknya juga tiga hari kemudian. Saat dokter mengatakan Anne sudah boleh melakukan rawat jalan. Anne terduduk di pinggiran tempat tidur, pandangan
Pikiran Luciano sedang tenggelam dalam tumpukan berkas di meja ketika tiba-tiba suara ribut dari arah pintu membuatnya menggeram kesal. Ini adalah lantai khusus untuk ruangannya. Bagaimana mungkin ada gangguan tak penting seperti ini. Dan ia juga sudah memperingatkan dengan tegas dan sangat jelas sedang tak ingin diganggu. Oleh siapa pun. Akhir-akhir ini perasaanya begitu sensitif. Memarahi dan memecat siapa pun hanya karena ingin. Seolah semua tidak ada yang benar di matanya. Apalagi di hatinya. Dan ia sudah memukulkan kepalan tangannya di meja ketika pintu ruangannya didorong terbuka. Membatin dalam hati siapa yang dengan lancang membuka pintu ruangannya. Bahkan tanpa mengetuk pintu. Wajahnya sudah menegang, siap menyemburkan amarah. Tetapi kemarahannya seolah membeku di ujung lidahnya. Ketika menemukan sosok yang berdiri di ambang pintu tersebut adalah Anne. Untuk sesaat yang singkat, pandangan keduanya saling bertemu dan mengunci. Bahkan napasnya tertahan melihat wajah yang ras
Kening Luciano mengernyit, seolah kembali ke dalam kenyataan. Mengingat pertengkaran terakhir mereka sebelum Anne diculik, wanita itu tak ingin melihat wajahnya. Dan pembicaraan yang akan mereka lakukan sudah jelas mengarah ke mana. Ya, ada banyak hal yang mereka perlu bicarakan. Yang ia sendiri tak tahu harus dimulai dari mana. "Kenapa kau tidak mengatakan padaku kalau bukan kau yang membunuh kedua orang tuaku?" "Aku sudah mengatakannya," koreksi Luciano. Wajah Anne memerah, teringat sikap keras kepala yang membuatnya begitu emosi hingga nyaris membuat Luciano kehilangan nyawa. Tangannya bergerak ke lengan Luciano, berhenti dan menyentuh dengan hati-hati di tempat tembakannya bersarang. "Maafkan aku." Kepala Luciano tertunduk, menatap lengannya dan mengangguk. "Bukan apa-apa." "Aku berhutang nyawa padamu tiga kali dan aku malah ingin membunuhmu." Anne merasakan suaranya tercekat dengan keras. Kening Luciano berkerut. Ya, ia ingat telah menyelamatkan nyawa Anne dalam kecelakaan
"Di mana suamiku?" Anne sengaja membuat suaranya setajam mungkin pada pengawak dengan inisial SC di kerah kemeja hitamnya itu. Sudah setengah jam lebih ia duduk menunggu kedatangan pria itu yang tak muncul batang hidungnya hingga detik ini juga, dan malah mengutus anak buah untuk menjemputnya pulang. "Beliau sedang …" "Kau pikir aku bertanya karena aku tak tahu kalau dia terjebak macet?" Suara Anne lebih keras dari sebelumnya. "Bersama wanita itu?" SC menelan ludah. Merasakan aura tak mengenakkan yang membuat mulutnya terkatup rapat. Anne mendesah dengan gusar. Air matanya mulai menggenang di kedua matanya dengan kedua tangan memegang perut yang sudah penuh dalam pelukannya. Terisak pelan. "Ini sudah hampir tengah malam, Nyonya. Anda harus segera kembali pulang dan beristirahat." "Kau pikir aku bisa tidur sementara suamiku terjebak dengan wanita lain?" "Matie hanyalah asisten pribadi tuan, Nyonya." Wajah Anne terangkat, tatapan tajamnya menusuk begitu dalam pada kedua mata SC.
"Nyonya?" Suara memanggil SC mengalihkan lamunan Anne dan kepalanya bergerak menoleh. Saat itu juga ia melihat Luciano yang melangkah memasuki restoran dan langsung berjalan ke arahnya. Bibirnya semakin bersungut-sungut dengan tatapan kesal yang tak lepas dari langkah pria itu. Hingga pria itu berhenti dan berdiri tepat di depannya. "Kenapa kau begitu keras kepala, Anne," desah Luciano yang diselimuti keputus asaan. "Kau menyalahkanku?" sengit Anne. "Kau yang membuat istrimu menunggu di sini. Lebih dari satu jam." 'Kau yang membuat dirimu sendiri menungguku,' jawaban itu sudah di ujung lidahnya. Tetapi hanya akan memperburuk suasana hati Anne. Sudah cukup wanita itu membuat janji makan malam yang mustahil ia tepati karena tengah berada di luar kota. Dan semakin memperburuk situasinya karena tiba-tiba ban mobilnya bocor. Membuatnya harus terjebak di tengah jalan. Satu-satunya hal yang ia butuhkan untuk sedikit memperbaiki situasi ini hanyalah … tangannya yang tadi berada di belakan
Cukup lama keduanya berada dalam keheningan, menikmati momen tersebut. Tangan Luciano bergerak mengelus perut Anne, yang kemudian disambut tendangan dari dalam. Lalu keduanya terkikik bersama. "Dia belum tidur," gumam Luciano dengan senyum lebarnya. "Kami memang tak bisa tidur jika tidak ada kau, Luciano." Luciano tersenyum. Mendaratkan kecupan yang dalam di kening Anne. "Maaf. Aku berjanji ini terakhir kalinya perjalanan keluar kota tanpamu." "Hmmm, maafkan aku juga membuatmu repot sepanjang malam ini." "Tidak, Anne. Kau sama sekali tak merepotkanmu. Aku memaklumi kegugupanmu." Anne terdiam. Ya, sepanjang hari ini hatinya memang tak berhenti merasa gelisah. Karena hari persalinan yang semakin dekat. "Empat hari lagi. Apakah semuanya akan baik-baik saja?" "Ya. Aku janji akan baik-baik saja. Ada aku di sisimu, kan?" Anne mengangguk. Ketenangan yang diberikan Luciano perlahan menyerap di dadanya dan perlahan kantuk mulai menenangkannya. *** Esok siang, Anne hendak makan siang
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela