Wanita pucat itu menoleh ke arah pengawal Luciano, yang segera ditangkap oleh Anne.“Jika kau tidak mau menjelaskan padaku, sebaiknya kau tak ikut campur …” Pandangan Anne turun ke arah tag name yang terpasang di ujung kerah kemeja putih pengawal itu. Yang hanya bertuliskan inisialnya saja. Ya, semua pengawal Luciano memiliki hal semacam itu. “JG” Anne menekan panggilannya dengan mata mendelik dalam. “Aku adalah nyonya di rumah ini. Aku berhak memerintah kalian anak buah Luciano.”JG terdiam.Anne kembali pada wanita pucat tersebut. “Lanjutkan. Siapa saja? Berapa wanita yang ada di rumah ini?”Wanita pucat itu tampak mempertimbangkan apakah ia harus menjawab pertanyaan Anne.“Aku istri Luciano.” Beruntung Luciano tidak ada di rumah ini sehingga ia bisa meminjam sedikit kekuasan atas posisi itu pada anak buah Luciano. “Aku memerintahmu untuk memberitahuku apa yang kuinginkan.”“Tuan Enziolah yang telah menolong kami bertiga. Bahkan menyembunyikan kami di sini demi keamanan kami.”Anne
Luciano menarik dirinya mundur, menjauh dari tangan Esther yang menyentuh pundaknya. Wajahnya setenang air danau meski sesuatu di dadanya terasa membeku akan kalimat Esther. Menyadari ingatan wanita itu yang tak sepenuhnya lenyap. Dan ia yakin ini tidak akan berhenti sampai di sini. Perlahan, suatu saat. Ingata wanita itu akan kembali sepenuhnya dan ia tak pernah siap untuk kembali ke masa lalu mereka.Sekilas kecewa melintasi kedua mata Esther akan penolakan yang terlihat jelas di wajah Luciano. Ia tahu pernikahan Anne dan Luciano terjadi karena sebuah perjodohan. Dan ia bisa melihat ketidakbahagiaan di kedalamna mata Anne, pun dengan semua perhatian dan kemesraan yang selalu diberikan oleh Lucino pada wanita itu. Yang entah bagaimana membuat sesuatu menggeliat di kedalaman hatinya. Sesuatu yang sangat ia sadari tidak seharusnya ia rasakan. Sesuatu bernama cemburu.Sedikit di sudut hatinya yang paling dalam, meski ia tahu perasaan itu salah dan tidak boleh dirasakannya. Esther tak bis
“Apa kau mengenalnya?” Anne menatap penuh keheranan akan reaksi yang ditunjukkan oleh Reene. Wanita itu sama terkejutnya dengan dirinya. Bukankah Reene tidak ada saat mama Eshan memperkenalkan Esther sebagai tunangan Eshan?Reene segera menguiasai ekspresinya, menggeleng pelan dan menjawab, “Aku ingin bertanya padamu, siapa dia?”Masih dengan tatapan keheranannya, Anne menjawab, “Dia … ehm, bisa dibilang kenalan? Atau temanku?”“Kenalan? Teman?” Salah satu alis Reene terangkat. “Lalu kenapa dia mencari Luciano?”Itu adalah pertanyaan yang sama yang ingin Anne tanyakan.Reene mengerjap, masih dengan tanya besar yang menggantung di atas kepalanya. Wanita itu berkata, “Aku akan memanggil Luciano. Kau bisa menyambutnya masuk sebagai nyonya rumah, kan?”Anne tak mengatakan apa pun.“Dari namanya, sepertinya dia seorang wanita. Kau yakin wanita itu tidak akan mencuri Luciano darimu? Kau tahu, sangat mudah jatuh cinta pada Luciano. Dan kebanyakan dari kami, tidak peduli dengan apa yang akan
Semua sikap Esther hanya mengingatkan dirinya bahwa wanita itu tak pernah berubah. Tak akan berhenti sebelum mendapatkan jawabannya. “Kalau begitu Anda bisa melakukan apa pun yang Anda inginkan. Hanya saja, Anda perlu tahu batasanya. Pertama, kita mulai dengan cara Anda bersikap pada saya dan istri saya. Anne adalah istri saya, sudah seharusnya Anda memanggilnya dengan nyonya Enzio. Sepertinya Anda tidak terlalu akrab untuk memanggilnya hanya dengan namanya.”Ekspresi di wajah Esther membeku. Tak bisa menahan kekecewaan melintasi wajahnya.“Saya adalah pemilik rumah sakit tempat calon tunangan Anda bekerja. Bukankah seharusnya Anda memiliki sopan santun yang perlu dijaga.”Kali ini wajah Esther memias. “Baiklah, Tuan Enzio. Saya akan mencoba menghormati hubungan ini dengan sangat baik.”“Kuharap Anda tak perlu pemahaman yang lebih keras lagi. Sebaiknya Anda sedikit berbasa-basi dengan istri saya demi menenangkan pikirannya tentang kita berdua yang memang tidak ada apa-apanya.” Luciano
"Tahu apa kau, Anne?" Suara Luciano keluar dengan datar dan penuh ketenangan yang terkendali. Akan kata tahu Anne yang entah mengarah ke mana.Anne mengumpulkan keberaniannya, menatap wajah Luciano yang memias. "Sapu tangan itu. Aku tak sebodoh itu untuk tidak bisa membaca hubungan kalian berdua."Kerutan muncul di antara kening Luciano. Mencerna kalimat wanita itu dengan perlahan. Bukan karena ia tak memahami kecurigaan Anne, tapi lebih kepada alasan Anne mencurigainya. Tak ada tuduhan dalam suara tersebut. Wanita tak sedang memergoki atau menangkap basahnya. Wanita itu mengatakan sebuah pernyataan. Yang tak lebih dari sebuah bualan di telinganya."Kau diam-diam menemuinya di belakangku. Sapu tangan itu tak mungkin jatuh begitu saja Luciano.""Apa yang kau bicarakan, Anne?" Luciano masih berusaha menanggapi pernyataan tersebut dengan hati-hati. Ia tak pernah peduli pada pendapat orang lain tentang hubungannya dengan wanita-wanita mana pun yang mencoba mengemis perhatiannya. Sekedar
"Katakan," perintah Luciano begitu panggilan tersambung dan pintu lift tertutup secara bersamaan."Saya sudah mendapatkan apa yang Anda inginkan, Tuan.""Ya. Ke mana saja dia pergi?""Hanya rumah, rumah calon mertuanya, dan klinik.""Klinik?""Ya. Klinik konseling dan hipnoterapi. Beliau sedang menjalani pengobatan. Setiap dua minggu sekali selalu datang dengan rutin sejak pindah ke negara ini."Tubuh Luciano menegang. Hanya ada dua hal yang menunggu saat ingatan Esther kembali. Masalah dan bencana besar."Siapa dokternya?""Dr. Aldric Sentosa."Kening Luciano bertaut. "Gunakan koneksiku untuk membuat pertemuan kami.""Akan saya usahakan.""Secepatnya," tegas Luciano sebelum memutus panggilan. Pintu lift terbuka dan ia melangkah keluar. Menuju ruang kerjanya dan melihat Faraz yang menunggu di depan meja kerjanya. "Ada apa lagi?""Hanya sedikit pekerjaan. Kau terlihat kesal." Faraz diam sejenak. "Dan gugup.""Hmm, sesuatu mengusikku," jawab Luciano sembari membanting pantatnya di kursi
Lumatan di bibir dan telapak tangan yang menyelinap di balik pakaian tidur menyentakkan Anne dengan cara yang lembut. Kedua matanya perlahan terbuka dan menemukan kedua mata Luciano yang terpejam. Wajah Luciano membayang di atasnya dan tubuh pria itu setengah menindih tubuhnya.Ia baru saja terlelap, sengaja tidur demi menghindari keinginan Luciano. Tetapi rupanya Luciano tak peduli dan tetap ingin menyentuhnya.Satu lumatan yang lembut tersebut semakin dalam dan intens. Menyadari sang istri yang sudah terbangun, kedua mata Luciano perlahan terbuka. Lumatan berhenti tetapi kedua bibir mereka masih saling menempel. "Kau menungguku?"Anne mendelik kesal dan menggeliatkan tubuhnya. Tetapi tubuhnya semakin tertekan ke dalam ranjang yang empuk. Luciano terkekeh geli dan tangannya bergerak menarik tali di pundaknya dengan gerakan yang perlahan."Wajahmu memerah, kau benar-benar menggemaskan, Anne," bisik Luciano."Selesaikan lebih cepat, Luciano," ucap Anne setengah mendesis sambil membuang
Napas Luciano berhembus menerpa permukaan wajahnya, membuat Anne menahan napasnya. Ia terpaku untuk sejenak dan saat berikutnya segera menyadarkan diri untuk menmbuat jarak di antara keduanya. Dengan gugup dan kata-kata yang terbata, wanita itu mengucap, "A-a-aku ... sudah selesai."Luciano menegakkan punggungnya ketika Anne tiba-tiba bangkit berdiri dan ia menahan lengan wanita itu. "Duduklah. Sepertinya aku juga sangat merindukan istriku."Anne benar-benar nyaris tersedak ludahnya sendiri, sedangkan Reena yang menyaksikan kemesraan yang diberikan oleh Luciano terhadap Anne semakin membuatnya tak tahan lagi.Reene melompat berdiri sambil mendorong piring kotor wanita itu menjauh. Menciptakan suara yang sama sekali tak dipedulikan oleh Anne dan Luciano. Sebelum ia mencapai pintu penghubung, telinganya masih bisa menangkap kalimat Luciano yang sungguh-sungguh membakarnya hidup-hidup."Aku ingin makan sambil menatap wajah cantik istriku." Luciano berhenti, duduk di kursinya dan dengan t
"Jadi memang ya?" Anne mendorong dada Luciano menjauh. Kedongkolan tampak jelas memekati rautnya yang muram. Menyentakkan tangan Luciano yang masih melingkari pinggangnya."Aku tidak mengatakan tidak. Itu terdengar seperti sebuah kebohongan, Anne. Kau tak akan menyukainya.""Tidak. Kau salah besar, Luciano.""Lalu apa yang kau inginkan?" Suaranya mulai diselimuti kefrustrasian. "Aku lebih baik mendengar kebohongan. Aku akan mempercayaimu. Selama kau yang mengatakannya."Luciano membelalak. Mulutnya membuka nutup tak percaya. Belum pernah ia setercengang ini menghadapi kelabilan Anne. "Jadi kau lebih suka kebohonganku?""Sekarang, tidak keduanya. Kau memang tak pernah memahami wanita, Luciano. Tak pernah memahamiku sebagai seorang istri. Sebagai pasangan. Sebagai satu-satunya wanitamu. Kau yakin kau menganggapku sebagai istrimu? Bukan hanya sebagai wanita pemuas nafsumu seperti mereka?""Kau tahu itu tidak benar, Anne. Jangan mengada-ada sesuatu yang tak pernah benar."Anne mengibaska
Suasana pesta sudah ramai dan ballroom sudah dipenuhi kemeriahan serta canda tawa. Suara musik yang mengalun lembut sebagai latar belakang kemewahan pesta tersebut menyambut Anne dan Luciano yang bergandengan mesra memasuki ruangan yang luas dengan hiasan bunga dan kerlap-kerlip lampu di mana-mana.“Apakah Faraz dan Estelle akan datang?”“Mereka sudah putus, Anne. Kenapa mereka datang bersama?”“Siapa bilang mereka sudah putus. Tadi pagi aku menelpon Estelle dan yang menjawab Faraz. Mereka jelas masih sering tidur bersama. Faraz benar-benar memanfaatkan Estelle. Kenapa meniduri wanita jika tidak berniat menikahinya.”“Hmm, itu urusan mereka.”Anne mendadak terdiam dengan reaksi penuh ketenangan Luciano. Kedua alis wanita itu saling bertaut ketika menoleh ke samping dengan. “Apakah gaya berkencan kalian memang seperti itu?”“Siapa kalian?”“Kau dan Faraz.”“Hanya Faraz, Anne. Kenapa kau membawa-bawa namaku?”“Meski sekarang aku satu-satunya wanita yang tidur denganmu, kau pikir aku per
“Laki-laki lagi?” Luciano mengangkat salah satu alisnya. Suara rengekan baby Zha mulai tenang dalam gendongan Anne.“Ya. Kau tak suka?”Luciano menggeleng. “Laki-laki atau perempuan, aku tak pernah mempermasalahkannya, Anne. dia anakku.”“Mamaku bilang, saat kau melahirkan anak perempuan. Itu artinya kau menciptakan musuh bebuyutanmu.”Mata Luciano membulat tak percaya, lalu terbahak dengan keras hingga gigi geraham pria itu terlihat.“Kenapa kau tertawa? Kau pikir itu lucu?”Luciano menggeleng. Mencoba menghentikan tawanya karena baby Zha yang mulai bergerak tak nyaman. “Apa maksudmu dengan menciptakan musuh bebuyutan?” tanyanya, berusaha menahan tawanya kembali terlepas.“Dia bahkan bisa menjadi lebih licik dari wanita-wanita yang mencoba memisahkan kita, Luciano.”“Dia putrimu.”“Itulah sebabnya aku ingin seorang putra. Aku tak mau memusuhi putriku sendiri.”“Apakah kau memusuhi ibumu?”Anne terdiam, tampak mengingat-ingat lalu mengangguk. “Setiap kali mama dan papa saling berdekat
Anne terbangun karena dorongan dari dalam perut yang membuatnya gegas turun dari ranjang. Memuntahkan semua makan malamnya yang bahkan tak seberapa. Semakin hari gejala kehamilan datang semakin intens. Bahkan pusing yang semakin sering datang jika ia kurang tidur atau terlalu banyak tidur.Setelah beberapa saat, akhirnya napasnya kembali normal dan tenaganya memulih. Ia bangkit berdiri, menyeka wajahnya di wastafel. Menatap wajah pucatnya yang rasanya sedikit gemuk.Rasanya selera makannya menurun akhir-akhir ini. Meski tak pernah melewatkan jadwal makannya dan memaksa makanan masuk ke mulutnya. Setidaknya untuk memenuhi gizinya dan janin dalam kandungannya. Yang sepertinya lebih banyak dibantu oleh susu ibu hamil dan vitamin.Tubuhnya berputar, hendak keluar ketika tersentak dengan keras dan nyaris berteriak saking kagetnya dengan sosok yang bersandar di pinggiran pintu.“L-luciano?” Suara Anne tercekat. Berusaha meredakan jantungnya yang berdegup kencang. Matanya berkedip beberapa k
Anne tak tahu ke mana Luciano membawa baby Zha pergi. Ia hanya menunggu di rumah selama berhari-hari. Berharap pria itu akan datang untuk pulang. Tetapi hingga satu minggu berlalu, Anne masih sendirian. Tak berhenti merasa sendirian dan kesepian meski beberapa kali Ibra menghubunginya dan menanyakan keadaannya.Anne berusaha menghubungi Farz untuk mencari tahu di mana pria itu dan putranya. Tapi lagi-lagi jawaban Faraz tak pernah memuaskannya.“Aku tahu kau tahu di mana mereka berada, Faraz. Siapa pun tak ada yang tahu, kecuali kau.”Faraz mendesah pelan. Menurunkan kedua tangannya di meja. “Kalau begitu kuralat jawabanku. Aku tak bisa memberitahumu.”“Setidaknya minta Luciano bicara denganku. Apakah dengan pergi akan menyelesaikan masalah?”“Lalu apakah dengan meminta cerai juga akan menyelesaikan permasalahanmu?”Anne menutup mulutnya. Jatuh terduduk di kursinya. “Aku tak bermaksud mengatakannya,” sesalnya dalam gerutuan yang lirih. Wajahnya tertunduk lunglai.Faraz menatap Anne se
“Ibra?” Anne terkejut dengan kemunculan Ibra yang berjalan memasuki ruangan.“Hai.” Ibra melangkah masuk, lekas mendekati ranjang dan menyentuhkan telapak tangannya di kening baby Zha. “Panasnya sudah turun.”“Kau di sini?” Anne menatap jam di dinding yang baru saja melewati tengah malam.“Esther mengirimiku pesan. Luciano tiba-tiba membatalkan pertemuan untuk besok karena baby Zha masuk rumah sakit. Butuh beberapa jam untuk sampai, jadi aku datang.”“Kau tak perlu datang.”“Aku sudah datang, jadi jangan menyuruhku pulang.” Ibra kembali menatap baby Zha. “Apa kata dokter?”“Hanya demam. Tapi masih menunggu hasil tes untuk kepastiannya. Mungkin besok pagi. Kuharap semuanya baik-baik saja.”“Ya, mungkin hanya kelelahan karena seharian main bersama mama dan papaku.”“Ya, kuharap. Terima kasih sudah datang.”Ibra menarik kursi mendekat ke ranjang pasien. “Sepertinya kau belum tidur sama sekali.”“Tadi sempat tertidur, tetapi terbangun karena rengekannya dan langsung ke rumah sakit.”“Tidu
Melihat kedua orang tua Ibra, rasanya seperti meluapkan kerinduannya terhadap kedua orang tuanya. Anne memeluk dalam-dalam mama Ibra, berharap pelukan itu adalah pelukan mamanya sendiri. Begitu pun dengan papa Ibra yang mengusap ujung kepalanya dengan penuh kasih.“Sudah lama tak melihatmu, Anne. Dan putramu sudah semakin besar sejak terakhir kali om lihat.”Anne tertawa. Melihat papa Ibra yang menggendong baby Zha, dalam benaknya seolah adalah papanya sendiri yang menggendong putranya. Keinginan dan harapan terbesar papanya yang belum sempat ia tunjukkan pada sang papa.Ibra menyodorkan sapu tangannya ke arah Anne.“Terima kasih.” Anne mengusap ujung matanya yang basah. Kembali menatap kedua orang tua Ibra yang kini tertawa gemas dengan celotehan baby Zha.Ibra merangkul Anne, menjatuhkan kepala wanita itu ke pundaknya. Sedikit meredakan kerinduan Anne pada kedua orang tua wanita itu di tengah keluarganya. “Kau tahu kau tak pernah sendirian di dunia ini, Anne. Kami keluargamu.”Anne
Anne sengaja memejamkan matanya begitu mendengar suara langkah kaki dari arah belakang punggungnya. Berusaha memancing rasa kantuk yang sejak tadi sulit datang meski jam sudah melewati tengah malam karena Luciano belum pulang. Tak biasanya pria itu pulang larut dan tanpa kabar seperti ini.Marah, sedih, dan kecewa. Pada dirinya sendiri dan pada pria itu. Ialah yang memulai perang dingin ini lebih dulu. Tetapi kenapa balasan dari Luciano juga terasa begitu menusuk dadanya. Mengiris hatinya dengan cara yang paling buruk. Apakah keraguannya layak dibalas dengan pengkhianatan pria itu?Suara pintu kamar mandi yang ditutup membuat mata Anne kembali terbuka. Menatap pintu tersebut dengan genangan yang mulai membentuk di kedua mata.Selama seminggu lebih, Anne dan Luciano masih tak saling bicara. Anne selalu bangun kesiangan dan Luciano sudah berangkat ke kantor, malamnya Anne selalu tidur lebih dulu karena Luciano pulang larut malam. Keduanya nyaris tak saling berkomunikasi. Satu-satunya ya
“Mungkin ini terlambat dan sedikit sengaja. Tapi … bagaimana pun selamat untuk kalian berdua.” Luciano memecah keheningan yang cukup lama membentang di tengah meja. Terutama dengan sang istri yang lebih banyak menatap isi piring yang sejak tadi hanya berkurang dua potong.“Ya, kuharap kalian bisa datang di acara pernikahan kami.”“Ya. Kami akan datang. Benar, kan sayang?” Luciano menoleh pada Anne, yang duduk di sampingnya.Anne mengangkat wajah lalu mengangguk singkat. Pelayan datang untuk membawakan pesanan Ibra dan Esther. Pesanan yang sama. Pandangan wanita itu tak lepas dari Ibra yang memotong kecil-kecil daging panggang di depannya sebelum menukarkan dengan piring milik Esther.“Terima kasih, Ibra,” senyum Esther dengan tatapan yang mesra, yang ditanggapi Ibra dengan senyum yang tak kalah lebarnya.Anne mencoba mengalihkan pandangan, sibuk pada isi piringnya sendiri yang entah kenapa rasanya menjadi hambar. Mulutnya terasa pahit. Ya, ia akui ada kecemburuan yang tersemat di cela