"Aahh ... kenyang banget makannya tadi, Kak!" ujar Emmy sembari menepuk-nepuk perutnya. Dia berjalan bersebelahan dengan William di trotoar jalanan kota Rotterdam yang tidak seramai Amsterdam. "Kalau kamu masih lapar, aku yang kaget, Baby. Sekalipun badan kamu mungil, bak penampungan usus kamu kayaknya lebar deh!" sindir William sambil terkekeh menggoda pacar kecilnya yang mengerutkan hidung ke arahnya.Emmy mengendikkan bahunya seraya menjawab, "Habisnya eman-eman kalau ditinggalin gitu aja makanannya, Kak. Kan mahal juga bayarnya!" "Lain kali pesan jangan terlalu banyak menunya deh, aku kuatir kamu sakit perut kalau over makannya. Oya, gimana kalau kita berkunjung ke museum? Masih buka sampai jam sembilan tuh, sempat kalau cuma lihat-lihat masuk sebentar," ajak William sambil merangkul bahu Emmy menyeberangi jalan raya yang cukup ramai kendaraan.Gadis itu menurut saja dengan ajakan William, berkunjung ke museum adalah kegiatan santai yang berkesan. Museum Kota Boijmans Van Beunin
"Emmy, cuacanya masih buruk di Rotterdam. Lebih baik segera kita selesaikan saja cetak birunya dan RAB untuk proyek Mister Abram De Vries hari ini. Besok pagi kita serahkan lalu berangkat ke Berlin setelahnya dengan kereta Eurostar!" ujar William sambil berdiri di balik kaca jendela kamar Hotel Marriot Rotterdam. "Iya, Kak. Aku setuju, kita tidak bisa berjalan-jalan ke luar gedung juga sesuai himbauan Badan Meteorologi dan Geofisika." Emmy menjawab sembari berkutat dengan gambar di kertas striminnya. Kemudian William kembali duduk menghadap laptopnya di tempat tidur karena Emmy menempati satu-satunya meja dan kursi yang ada di kamar tersebut. Mereka berdua tak membuang waktu untuk mengerjakan desain pesanan klien asal Belanda tersebut.Sesuai rencana, keesokan harinya William dan Emmy menemui klien di lobi hotel untuk menyerahkan hasil pekerjaan mereka. "Silakan dilihat terlebih dahulu cetak biru floating cottage desain kami di laptop, Sir. Salinannya ada di CD ini. Kalau kontrakto
"Mmm ... yummy!" Emmy bergoyang lidah menikmati kelezatan daging steak Rib Eye lembut yang gurih di mulutnya.William pun sedang makan bersama gadis itu, tetapi dia lebih tertarik untuk memandangi wajah kekasihnya dibanding fokus ke makanan di piring. "Crackers ini restoran yang lumayan terkenal di Berlin lho. Bersulang, Emmy!" ujarnya.Mereka mengangkat cawan bertangkai tinggi berisi sparkling wine bergelembung-gelembung udara kecil dan mendentingkan kedua permukaan kaca itu hingga berbunyi pelan. Emmy meminum wine mahal itu lalu tersenyum. "Semuanya enak, Kak. Terima kasih sudah ditraktir makan malam!" pujinya."Aku nggak pernah deh membiarkan cewek buat membayar bill kalau kuajak kencan," sahut William sambil memotong daging steak Tenderloinnya dengan pisau dan garpu. "Tapi aku pernah traktir Kakak Sayang kopi dan donat di bandara waktu pertama kita ketemu dulu," balas Emmy terkikik karena teringat pertemuan tak disengaja dengan sugar daddynya itu.William pun tertawa pelan. "Iya,
"You ... you are my universe and I just want to put you first!" Teriakan para penonton yang ikut menyanyi bersama idola mereka, Chris Martin terdengar membahana di lapangan alun-alun Gendarmenmarkt, Berlin pagi jelang siang itu. Emmy menggoyangkan badannya bersama William yang memeluknya dari belakang dengan protektif. Mereka berdua menikmati serunya konser di tengah lautan manusia yang menonton performance boyband idola jutaan umat manusia itu.Vokalis Coldplay itu mengacungkan mikrofon yang dipegang tangan kanannya ke depan panggung dan membiarkan para fans beratnya menyanyikan refrain part lagu legendaris bandnya, My Universe. "Are you happy, Girl?" seru William di tepi telinga pacarnya lalu mengecup pipi kanan Emmy."Happy dong, Kakak Sayang. Konsernya keren banget, seumur-umur lagi sekali bisa nonton live performnya si Chris Martin bareng Coldplay!" jawab Emmy penuh semangat. William pun tak kalah bersemangatnya karena lagu berikutnya yang dimainkan adalah Viva La Vida, salah
"Excelent! Desain townhouse ini sesuai dengan yang saya inginkan. Terima kasih, Mister William MacRay," ujar Mister Abelardo Zweig usai melihat tampilan 3D desain rumah tiga lantai buatan William di laptop lengkap dengan cetak birunya. Kemudian William menutup layar laptopnya sembari menyerahkan CD ke tangan kliennya. "Salinan file sudah saya simpan di CD. Satu untuk Anda dan satu lagi untuk kontraktor pengembang yang akan membangun rumah Anda, Sir!" "Senang bekerja dengan Anda, Mister William MacRay. Hasil pekerjaan Anda sangat bagus dan prosesnya cepat. Apakah setelah ini kalian berdua akan pulang ke Jakarta?" balas pria Jerman itu dengan ramah."Masih belum, ada tiga tempat lagi yang harus kami datangi sebelum pulang ke Indonesia. Dari Berlin lalu ke Dublin, setelah itu ke Porto, dan terakhir di Praha. Kebetulan klien-klien saya bersedia menunggu kedatangan saya demi membangun proyek sesuai keinginan mereka dengan desain saya!" tutur William sebelum berjabat tangan perpisahan den
Malam itu sekitar pukul 19.00 waktu Dublin, William merangkul bahu Emmy memasuki Temple Bar Dublin. Tempat nongkrong legendaris yang sangat terkenal dan wajib dikunjungi bila sedang melancong ke Irlandia. Bangunan luar pub itu bercat merah terang yang sangat eye catching di pusat jantung kota Dublin. Di dalam bar tersebut ramai pengunjung yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki memenuhi meja-meja makan dan juga bertengger di kursi tinggi yang mengelilingi meja bartender yang panjang melingkari para pria yang sibuk menyajikan berbagai macam minuman pesanan tamu.Suara penyanyi laki-laki diiringi band musik country terdengar dari atas panggung yang menjadi hiburan malam itu. Namun, William tidak tertarik dengan penampilan live music show tersebut, dia mengedarkan pandangannya mencari klien yang memiliki janji temu di Temple Bar Dublin. "Will, di sini!" teriak seorang pria bercambang subur merah menyala yang sekilas berwajah mirip Ed Sheeran dengan mata biru yang cemerlang melambaika
"Uggh!" lenguh Emmy menggeliat usai tidur panjang yang nyaman. Dia sontak membuka matanya karena teringat tadi sedang berada di taksi pulang ke Hotel Hilton Dublin. Ketika melihat langit-langit kamar hotel berpencahayaan remang-remang dan merasakan lengan berat melingkari perutnya, Emmy menoleh ke sebelahnya. Dia lega karena sugar daddynya nampaknya yang telah menggendongnya turun dari taksi hingga ke kamar tempat mereka menginap selama di Irlandia.Wajah William saat terlelap begitu tampan, hidung mancungnya dan bulu matanya yang lentik membuat Emmy betah menatap pria itu berlama-lama. Rahang yang kokoh itu jarang tanpa cambang tipis karena hormon testosteronnya membuat bagian itu bersemak subur.Hujan salju masih turun deras di luar sana, Emmy pun merasa kedinginan sekalipun kamar hotel itu sudah dipasang pemanas ruangan oleh William sebelum tidur. Dia mulai menggigil karena kemungkinan suhu udara di Dublin telah turun hingga di bawah 0°. William terbangun karena gadis itu bergera
"Yummy! Mister Alan pintar memasak, kalkun barbekyu ini lezat dan empuk sekali," puji Emmy saat mereka bertiga menikmati makan malam bersama sobat sugar daddynya.William pun mengangguk setuju dengan mulut penuh makanan. Dia menelannya lalu menimpali, "Kurasa dia memang berbakat di bidang kuliner selain memimpin perusahaan IT.""Hanya hobi yang berasal dari kebiasaan saja, aku tidak fokus belajar cara memasak dengan benar. Akan tetapi, aku memang ingin memiliki sebuah restoran yang bisa dijadikan tempat berkumpul keluarga dan sahabat. Oya, katamu maket tiga dimensinya sudah selesai, Will? Setelah dinner aku ingin melihatnya dulu agar bisa memberi masukan seandainya ada yang kurang cocok," ujar Alan Whittaker sambil memotong daging kalkun berwarna cokelat keemasan di piringnya."Tentu saja, aku juga butuh masukan agar sesuai dengan keinginanmu, Alan," jawab William lalu melanjutkan makan malam yang menyenangkan itu.Seusai makan malam mereka bertiga pun bersantai di ruang keluarga di a
"Kids, apa kalian sudah siap?!" seru William dari dasar tangga rumahnya. Emmy bergelanyut manja di sisinya menunggu ketiga anak mereka menuruni tangga dari lantai dua diikuti baby sitter mereka yang membawakan koper pakaian masing-masing."Ayo berangkat sekarang, Daddy, Mommy!" seru ketiga bocah itu kompak sambil melonjak-lonjak bersemangat. Emmy merangkul Josephine, sedangkan kedua putranya digandeng oleh si daddy di kanan kiri pria bertubuh jangkung itu Mereka naik ke mobil MPV yang dikemudikan oleh Mang Ali menuju ke Bandara Soekarno-Hatta. Di kursi samping pengemudi, Haikal duduk tenang sambil bertanya kepada bosnya, "Pak Willy pergi ke California berapa lama rencananya?""Mungkin seminggu aja sih, kami cuma pengin jalan-jalan ke Disneyland buat ngisi liburan kenaikan kelas anak-anak. Jaga rumah baik-baik ya, Mo!" jawab William dari bangku tengah mobil bersebelahan dengan Emmy dan Josephine. Kedua anak laki-laki mereka duduk di bangku belakang bersama seorang baby sitter. Isaac
Rak pajang kayu Eboni dekoratif di ruang keluarga Willems telah dipenuhi berderet foto dari masa ke masa semenjak pasangan William dan Emmy menikah, beberapa foto prewedding yang menyimpan kenangan indah, foto bersama Isaac yang berusia beberapa hari hingga mulai bertumbuh menjadi bayi yang bisa merangkak, berjalan, hingga berlari-lari bersama mommy cantiknya di halaman belakang rumah yang tertata apik. Daddy Will nampak selalu tertawa riang di setiap moment yang berkesan itu.Disusul deretan kenangan indah adiknya Isaac yang bernama Jacob Samsons Willems dan si bungsu yang cantik Josephine Emily Willems. Keluarga kecil dengan tiga putra-putri mereka yang menggemaskan itu sangat kompak mengukir setiap bingkai memori yang terpajang di sana Jacob hadir di usia pernikahan orang tuanya yang ketiga dan Josephine agak cepat menyusul kakak keduanya ketika delapan bulan usia Jacob dan masih disusui oleh Emmy. Memang William sengaja melakukan kekhilafan itu agar usianya ketika memiliki anak p
"Kuliah kita siang ini cukup sekian dulu ya, Rekan-rekan Mahasiswa!" ucap Emmy menyudahi perkuliahan yang dia bawakan untuk kelas semester enam. Sedikit tak nyaman karena perutnya mengalami kontraksi hebat, tetapi dia berusaha menahan dan bersikap segalanya baik-baik saja hingga air hangat itu mengalir dari bagian paha dalamnya. "Ohh ... tidak, aku pecah ketuban di kampus!" cicit Emmy panik.Reynaldi yang lewat di depan meja dosen pun mendengar perkataan wanita yang pernah disukainya itu. Dia membatalkan niatnya ke kantin kampus untuk makan siang alih-alih memilih menolong Emmy. "Gimana, Bu Emmy? Apa butuh bantuan untuk dianterin ke rumah sakit?" tawarnya dengan perhatian.Dengan terpaksa Emmy mengangguk setuju. "Iya, sebaiknya begitu. Aku pecah ketuban, Rey. Tolong ya!" balasnya seraya bangkit dari kursi dosen."Valdo, Revan, bantuin sini dong! Lo pada bawain tasnya Bu Emmy deh. Gue papah dia ke depan, ntar jagain sampe gue dateng dari parkiran mobil!" pesan Reynaldi yang segera dim
"Okay, saya tunggu kedatangannya di kantor baru yang di Bandung, Pak Anton. Lokasinya saya kirim via shareloc. Terima kasih!" ujar William di telepon saat dia mengantar Emmy ke kampus.Aktivitas rutin paginya itu telah berjalan selama berbulan-bulan semenjak mereka pindah tinggal ke Bandung. Istrinya yang hamil semakin buncit saja perutnya. "Nanti sore kita jalan ke mall yuk buat beli keperluan baby Isaac, sudah dekat juga waktu melahirkan kamu. Biar semua kebutuhannya siap dan nggak ada yang terlewat, gimana?" ajak William sambil memeluk dan mengecup puncak kepala Emmy."Boleh, sepulang dari kampus aja kali ya biar nggak bolak-balik keluarin mobil, Kak?" usul Emmy yang disetujui oleh William.Mang Ali menghentikan mobil di pintu masuk lobi kampus tempat Emmy mengajar. Dia menunggu pasangan mesra itu saling berpamitan seperti biasanya. "Byebye, Kakak Sayang. Sampai nanti sore ya ... muuaaachh!" Emmy melambaikan tangan lalu meniupkan kissbye ke arah William yang melongokkan kepala di
Sore itu sepulang kerja, Emmy dibawa ke rumah baru yang dibeli William di Bandung. Kedua matanya ditutup dengan selembar kain hitam oleh sang suami. "Kita sudah sampai, Sayang. Yuk turun!" ajak William sembari menuntun istrinya melangkah keluar dari bangku penumpang mobil yang terparkir di depan teras rumah bergaya Bali tradisional itu.Emmy menurut saja dengan bimbingan tangan William lalu dia berhenti melangkah dan mulai dibuka kain penutup matanya. Dia mengedarkan pandangan yang sedikit berkunang-kunang akibat ditutup kain gelap ke sekeliling ruangan. "Wow ... keren banget deh, ini rumah kita, Kak?" desah kagum Emmy seraya melangkah berkeliling ruang tengah yang mulai terisi furniture dan tertata elegan."Kamu suka 'kan sama rumah ini, Baby?" tanya William dari samping Emmy."Iya. Siapa yang jadi penata artistik interior rumah ini, Hubby?" balas Emmy sambil senyum-senyum.William terkekeh, dia pun menyahut, "Kalau yang pilih furniture sih aku. Cuma yang ngatur posisinya si Momo. A
"Tiiinn tiiinn!" Suara klakson mobil sedan hitam itu membuat Emmy tersenyum lalu berlari-lari kecil menghampirinya. Dari dalam mobil, suaminya membukakan pintu dan Emmy pun duduk di samping William. Hari pertama dia mengajar kuliah kembali agak melelahkan karena ada tiga mata kuliah yang dibawakannya tadi. "Oya, Kak Willy mau ajakin aku ke mana nih? Bingung juga mau menginap di mana kita malam ini, apa mau di rumah kakek nenek saja dulu sementara belum ada tempat tinggal di Bandung?" tanya Emmy dengan pemikiran yang sederhana.William pun menjawab, "Malam ini kita tidur di rumah Kakek Hasan boleh juga. Besok ya baru pindahan!" "Hahh?! Pindah ke mana tuh, Kak?" Emmy terkejut sekaligus bingung. Bagaimana bisa suaminya mendapatkan rumah secepat itu?"Surprise pokoknya besok. Malam ini aku mau menginap di pondok indah mertua aja deh sekali-sekali!" ujar William mencandai istrinya."Nggakpapa kok, Kakek Hasan dan Nenek Dahlia pasti senang kalau cucu menantu mereka mau tidur di rumah kec
"Ohh ... jadi kamu berani mengancamku ya? Aku lupa kamu 'kan memang barbar karena berasal dari kelas sosial strata bawah!" Vanessa membalas teguran Emmy sambil masih mendekap erat William dari belakang erat-erat.Para tamu pesta berkerumun mengelilingi ketiga orang yang berseteru dengan rasa penasaran. Beberapa mengenali siapa Vanessa Tobias dan William Samsons MacRay yang sempat bertunangan. Namun, mereka baru melihat Emmy kali ini karena berbeda lingkup pergaulan. Wanita-wanita tua muda berbisik-bisik heboh menantikan pertengkaran bak drama sinetron atau opera sabun TV itu.William melepaskan kedua lengan Vanessa yang meliliti badannya seperti tali tambang. "Hey, miliki sedikit harga diri, Vanessa. Jangan jadi pelakor setelah pertunangan kita dulu kandas!" tegur pria itu bernada tajam. Dia tak ingin Emmy salah paham dan terluka perasaannya karena keagresifan Vanessa Tobias."Will, pertunangan kita kandas karena wanita penggoda itu!" tunjuk Vanessa memfitnah Emmy yang terkesiap mende
"Kakak Sayang, gaunnya mana yang paling cocok? Semua pilihan si Momo bagus kok, aku suka!" Emmy berdiri di hadapan rak gantung dress keluaran butik internasional dalam balutan handuk putih setengah basah sehabis mandi.William yang melihat istrinya nyaris polos itu sulit berkonsentrasi. Dia menelan air liurnya dengan tatapan mendamba. Sedangkan, Emmy yang tak mendapat sepatah kata jawaban dari suaminya segera menoleh. "Kok bengong sih, Hubby?" tegurnya mencebik karena merasa diabaikan. "Ehh ... a—aku nggak bengong kok!" kelit William, dia lalu kembali fokus memilihkan pakaian pesta untuk Emmy. Pilihannya jatuh kepada sebuah gaun maxi Givenchy warna hitam dari bahan beledru halus. "Ini coba kamu pakai, menurutku anggun sekaligus sexy berkelas!" ujar William mengambil sebuah gaun dari rak gantung.Emmy juga tadi memilih gaun yang sama, hanya saja karena warnanya hitam dia jadi ragu. "Okay, nanti bantuin pasang resleting punggungnya ya, Kak Willy!" ucapnya sebelum melangkah keluar dari
Pesawat Emirates Airlines yang ditumpangi Eilliam dan Emmy mengangkasa dengan mulus selama berjam-jam semenjak lepas landas dari Bandara Milan Malpensa, Italia. Akhir dari rangkaian perjalanan bulan madu mereka yang penuh romantisme dan kegairahan di Furore begitu mengesankan. Rasanya dua hari saja masih kurang bagi pasangan pengantin baru itu.Ketika di bandara tadi menunggu boarding, William membaca email dari ayahnya tentang pesta soft opening komplek industri sahabat Mr. Garreth MacRay yang desainnya dikerjakan William tahun lalu. Mereka diundang hadir ke acara tersebut sepulang dari Eropa."Emmy, kita harus hadir di sebuah pesta di Jakarta nanti malam. Kuharap kamu bisa mendampingiku!" pinta William seraya menatap wajah istrinya yang baru bangun tidur di kabin pesawat."Okay, aku akan menemani Kak Willy ke pesta. Aku harus pakai baju yang seperti apa?" sahut Emmy yang menangkap kesan bahwa ini adalah acara resmi dan penting bagi William.William menghela napas lega karena tak har