Berubah.Itu hal yang pertama kali aku rasakan saat menginjakkan kaki di halaman kantor pagi ini. Aku sudah bertekad dari rumah jika harus membiasakan diri dengan tatapan penasaran ataupun tajam, mencemooh dengan bisik-bisik tidak jelas, sebenarnya tidak bisik-bisik sih, aku masih dapat mendengar dengan jelas."Gila ya ga tau malu? Berani banget dateng ke kantor!""Body begitu jadi pelakor? Dunia udah terbalik emang.""Itu WILnya Pak Tian, ya ampuuuun , ga banget deh! Di santet kayaknya ….”Aku menarik napas panjang berusaha tidak memasukkan ke hati omongan ga penting itu.Ingat Greet, mereka tidak tahu apa-apa!Aku tidak mengenal mereka jadi aku pun tidak peduli, berusaha tidak peduli tepatnya. Aku lebih mengkhawatirkan rekan sekerja yang berada di dalam satu ruangan. Saat aku keluar lift, aku melangkah, ruangan seolah kedap suara. Semua orang menoleh satu persatu menatapku. Pandangan mereka terlihat penasaran, aku menarik napas dan tersenyum sambil menyapa."Selamat pagi."Tidak ada
Keesokan harinya Mba Luna masuk kantor, wanita itu terlihat biasa. Tidak peduli pada mata-mata penasaran. Aku sedang membeli kopi, hari ini Tristian tidak berangkat bersamaku. Aku melambai saat melihat Mba Luna menatap ke dalam coffe shop tapi dia kemudian membuang pandangan dan berlalu begitu saja naik ke atas. Apakah aku salah mengira? Entahlah ....Aku naik ke lantai ruangan setelah kopiku jadi, tapi setelah keluar lift aku merasa ingin ke kamar mandi. Tiba-tiba perutku mules. Aku mendengar suara pintu terbuka walau beberapa langkah orang masuk."Eh, tadi liat ga Bu Luna mulai kerja lagi ..."Aku mengenali suara Ineke."Gw bingung kudu bersikap gimana ke Greet, aneh ga sih? Kalo emang dia pelakor, biasanya si laki ga mau terang-terangan. Lah ini, Pak Tian cuek banget malah seolah kayak mengumumkan diri kalau gosip itu bener, dia jalan sama si Greet." Aya menyahut."Iya sih, logikanya y, pelakor itu songong, sok kecakepan! Tapi Greet tuh keliatan malah kayak pihak innocent di sini.
Aku menatap pintu kamar mandi, menanti Tristian selesai dengan urusan mandinya dan ingin segera mendapat penjelasan. Di kepalaku menari-nari berbagai dugaan aneh yang enggan aku pecayai, sisi jahatku bersorak menyuarakan kecurigaan. Sepuluh menit aku tidak mengalihkan pandangan sampai pria itu akhirnya keluar membuka pintu dengan handuk membelit pinggang, dan menggunakan handukku untuk mengeringkan rambutnya. Dia menyeringai melihatku tidak berhenti menatapnya, padahal bukan tatapan gairah yang aku tujukan, entah mengapa dia salah mengerti. Aku merasa sedikit kesal, aku mengambil ponselnya dan menyalakan layar. Mata Tristian menyipit sambil berjalan mendekat, dia mengambil ponselnya lalu membaca, kemudian menatapku sambil terkekeh. "Hehe.. kenapa? Pikiran kamu kemana hah?" Tristian duduk di samping ranjang, satu kakinya naik menyamping, satu tangannya menekan ranjang disamping pinggangku. Aku terdiam, mungkin bibirku sedikit cemberut, dia hendak mengecupnya tapi aku menghindar. Tri
"Gitu..." Tristian menyelipkan beberapa helaian rambut ke belakang telingaku. "Aku juga ga paham kenapa Mamanya Luna mempersulit keadaan ini, toh dengan jelas anaknya ga akan bahagia sama aku.."Aku menghela napas mengenyahkan kekhawatiran saat mendengar penjelasan Tristian. Aku mencoba berpikir jernih. "Kalau sikap bu Tiara sih wajar menurut aku, dia berpikir kamulah yang bisa bahagiain mba Luna, walau kalian menikah karena dijodohkan tapi dia menilai kamu pria yang pantas untuk anaknya. Mungkin sikon mba Luna yang sedang hamil sekarang ini bikin dia panik, ya bisa dibilang kan image keluarga pak Yose selama ini bagus. Dia mungkin ga bisa terima kenyataan kalau anaknya malah hamil bukan sama suaminya."Tristian manggut-manggut."Terus gimana kondisi kehamilan mba Luna?""Baik sih, Luna kelihatan bahagia banget pas tadi USG anaknya. Aku jadi pengen cepet punya anak juga..". Tristian menatap lurus ke dalam mataku. "Bikin bener-bener yuk Bee..""Hah?" Aku menjauhkan tubuhku saat Tristia
Dua minggu kemudian.. Aku berjalan ke arah mobilku saat jam istirahat makan siang, entah kenapa tiba-tiba ingin makan soto betawi di daerah Tanjung Duren. Sudah dua minggu ini aku makan siang sendirian keluar kantor, aku dan Tristian hampir tidak pernah bersinggungan selama di kantor. Mengikuti rencana mba Luna, kami mengurangi intensitas keterbukaan hubungan kami, semua orang masih bergosip, tapi mereka sekarang sibuk mengira-ngira, mengapa tiba-tiba Tristian menjadi lebih sering pulang bersama mba Luna, walau sesekali juga ada yang memergoki kami sedang makan malam berdua diluar. "Gile pak Tian, blak-blakan banget selingkuhnya!!" "Enak banget ya pak Tian, bu Luna disikat ampe hamil, si Greet juga di embat. Ck..ck..ck.." Kurang lebih seperti itulah gosip yang beredar. Tristian membiarkan hal itu, agar spekulasi orang tidak terlalu memberatkan aku atau mba Luna. Akupun benar-benar tidak pernah saling berhubungan dengan mba Luna melalui ponselnya. Jika Tristian sedang pergi denga
Pernah tidak kalian berwisata ke kebun binatang lalu tidak sengaja ditatap oleh singa kelaparan seolah ingin menyantapmu?Nah, inilah tatapan yang bu Tiara tujukan padaku saat melihat aku sedang berdua dengan Pierce saat ini. Bukan maksudnya menganggap dia seperti singa ya, walau rambutnya yang mengembang terlihat sedikit mirip. Wanita paruh baya itu seolah tersenyum menang hingga bulu kudukku berdiri.Tristian terlihat biasa saja karena dia sudah tahu aku akan bertemu Pierce, tapi Mba Luna yang sungguh-sungguh terlihat kaget menatap pria itu. Aku melirik sesaat ke arah Pierce yang juga terkejut tapi ada binar bahagia rupanya karena bertemu dengan mba Luna."Se-selamat malam Bu, Pak, Mba Luna," sapaku kikuk."Jadi, kamu sudah punya peliharaan baru ya? Bagus deh! Jauh-jauh sama mantu dan anak saya!"Baru aku hendak menjawab, Bu Tiara sudah melengos dan berjalan menjauh. Mulutku bahkan masih setengah terbuka saat ini, tapi ya sudahlah …."Luna ..."Pierce memanggilnya dan Mba Luna seola
Aya terbata, matanya naik turun ke wajah dan tanganku berkali-kali. Aku menghela napas, jelas sekali mereka semakin penasaran dan sangat ingin tahu tentang hubunganku dan Tristian."Pak Tian udah lamar lo?" Rena langsung mengangkat tangan kiriku. "Oh! My! God!! Ini berliooong!" Yang lain langsung mendekatkan wajahnya ke tanganku."Kapan Greet?" Aya terpukau."Wait, kayaknya lo belum lama deh pake cincin itu." Sahut Ineke."Emang lo tau?" Aya kembali menyahut."Stooop!" Rena berdiri membuat kami bertiga terkejut. "Nanti malem kita harus dinner bareng, dan lo Greet, harus cerita semuanya biar kita bertiga ga gelisah ampe susah tidur.""Hah?" Aku melongo. Lebay amat, ampe ga bisa tidur gegara aku?Aku terkekeh, aku tahu mereka pasti ingin tahu kehidupan seorang Tristian, pria itu cukup tertutup nengenai kehidupan pribadinya walau ramah pada siapa saja. Hanya akhir-akhir ini saja kisah asmaranya jadi konsumsi publik."Kita ke CP ya tar balik, dan lo ga boleh nolak Greet!" Putus Rena diser
"Bee ..."Kami bertempat menoleh, tapi hanya tiga orang rekanku yang tiba-tiba terpaku saat melihat Tristian berjalan mendekat dan meremas pundakku. Dimulailah situasi canggung dan gugup, aku berubah kikuk saat dia menyapa ketiga temanku dan duduk di sampingku."Udah makan?" tanyanya menatap meja yang berserakan piring kosong.Aku mengangguk, tapi ketiga temanku langsung gemetar dan terbata saat bicara."Ma-mau minum ap-apa pak?" tanya Ineke. Rena menyenggol lengan Aya yang merona menatap Tristian tanpa berkedip."Ga usah makasih, saya juga habis makan." Tristian tersenyum membuat ketiga wanita itu tersipu."Udah mau pulang? Yuk ...." Tristian menggenggam tanganku."Kemana?" tanya Aya polos.Ineke memukul bahunya menyadarkan wanita itu hingga akhirnya mengerjap dan menunduk malu."Suka-suka mereka kemana, Aya!" bisik Rena.Tristian tersenyum lebar. "Bee ... kenapa? Kamu kok lemes?" Tristian terheran melihatku. Aku juga tidak tahu, tadi aku merasa biasa saja tapi sekarang aku sedikit k
Greet POVAku mendorong pintu tanpa peduli, meringsek masuk kedalam. Respon terkejut Laura saja membuatku semakin berpikir macam-macam."Kak Greet!!!" Perempuan muda itu menahan lenganku tapi tenagaku lebih kuat, ditambah emosiku yang meledak membuat dia oleng saat aku menyentak tanganku. Aku melangkah dan terbelalak saat melihat Tristian sedang berdiri tidak kalah terkejutnya dengan Laura saat melihatku. Dia berdiri didepan sebuah meja bundar dengan....Jordan???Sedang apa Jordan ada di sini juga??KENAPA DIA ADA DISINI???Sontak aku menutup mulut, mataku membulat, ingatanku terlempar ke kejadian dulu saat......Astaga!!!! Astaga!!!!!Aku langsung berbalik."Bee!!!"Aku berlari tidak menghiraukan suara Tristian yang memanggil namaku, mengabaikan situasi menegangkan yang entah apakah nanti akan ku sesali tapi jelas aku yakin, aku kembali masuk kedalam situasi kesalahpahaman seperti dulu.Pandanganku kabur saat mencari nomor kamar yang tadi kupesan, hanya itu tempat yang kupikirkan ag
Tristian POV"Gimana La? Udah ada hasilnya?". Tanyaku penuh harap."Belum ada Tian, aku udah ngarep banget padahal, tapi belum jelas keliatannya." Keluh Laura.Aku menghela napas "Ya udah sabar La.."Aku tidak ingin Laura merasa terbeban dengan permasalahanku, dia sudah bersedia membantu saja aku sudah merasa berterima kasih.Laura, teman dan juga salah satu arsitek dikantorku, perempuan baik tapi super bawel nan kepo. Sedikit banyak dia tahu mengenai rencanaku dan menawarkan diri untuk membantu. Kebetulan juga aku merasa kalau dia orang yang tepat untuk mewujudkan rencanaku. Rencana yang sudah lama terus mengiang di mimpiku, berniat untuk kujadikan nyata."Jangan nyerah La, aku percaya kalau udah rejekinya pasti dimudahkan. Aku sabar kok, tapi kita ga boleh berhenti berusaha ya..." Aku terkekeh pelan berusaha mencairkan suasana hati perempuan itu."Ya kesel aja, aku ga mau ngecewain kamu. Udah ngarep banget dari kemarin-kemarin dapet kabar baiknya. Dia mendengus."Hehe.. gitu aja nga
Aku tengah memasak, sebenarnya hanya menghangatkan masakan saja sih, kedua orangtua kami datang hari ini, kami berencana makan malam di apartemen kami. Tadi Tristian memesan masakan dari restoran milik Pierce, pria itu khusus memesan aneka menu istimewa. Tristian ingin merayakan keberhasilan program IVF kami, dengan kedua Mama dan Papa.Aku sedikit kewalahan saat kedua Mama datang dan langsung berebut memelukku. Mereka menangis terharu, begitu juga dengan kedua Papa yang saling berpelukan. Kami semua larut dalam kebahagiaan."Aku ambilin buah dulu di kulkas." Tristian menepuk bahuku kemudian bangkit berdiri. Aku tersenyum mengambil puding coklat saat ponsel Tristian bergetar dan menyala diatas meja.Pop-up message terlihat.📩 LauraTian!!!! Astaga Tiaaaan!!! Aku punya berita baik!!! Segera telp aku, aku udah ga sabar pengen kasih tau kamu. Please cepet hubungi aku!!! Aku udah ga sabar mau kasih tau soal rencana kita!"Aku tertegun membaca isi pesan itu. Dadaku kembali berdebar tidak
"Kamu yakin?" Tristian menatapku, duduk di meja dengan kedua tubuhnya condong ke arahku, kedua tanganku digenggam olehnya. Aku mengangguk. "Aku mau coba. Kita ga pernah tau kalau ga coba." Sahutku lirih sambil menahan rasa cemas takut Tristian menolak usulanku. Pria itu menghela napas sambil menegakkan tubuhnya. "Bee, aku udah bilang kan? Aku ga masalah kalau memang Tuhan ga kasih anak buat kita. Buat aku yang penting ada kamu dihidup aku. Kamu segalanya buat aku." Tristian menarikku berdiri dan mendekapku. Aku menggigit bibir menahan isakan. Berkali Tristian mengatakan itu, tapi aku tahu dalam hatinya pasti ada keinginan itu. Tiga tahun, entah apakah bisa di anggap waktu yang cukup atau belum untuk usaha yang kami lakukan agar mendapat momongan. Aku tahu walau Tristian sama sekali tidak pernah menuntut untuk segera memiliki anak, tapi kerinduan itu tetap menghantuiku. Anak angkatku, Pieter yang terlihat semakin lucu dan menggemaskan, tidak sepenuhnya dapat mengisi kekosonganku ak
"Selamat pagi, Bapak dan Ibu Tristian Delmar. Silahkan." Seorang petugas maskapai penerbangan menyambut kami saat kami sampai di lobby Bandara Ngurah Rai. Rasanya aku harus terbiasa dengan panggilan baruku itu.Aku menatap ke arah pria itu yang terkekeh melihat wajah heranku. Dia sebenarnya mau mengajakku kemana sih?Kedua orangtua kami tidak mengatakan apapun. Mereka juga bilangnya tidak tahu apa-apa tentang kemana Tristian akan membawaku. Mama bahkan menangis haru saat aku hendak pergi dan bilang harus segera mengabari kalau sudah sampai di negara tujuan.Seorang rekan bisnis Papa Tjandra memberikan kartu debit dengan limit 100jt sebagai hadiah pernikahan kami. Lalu ada hadiah mobil, lalu voucher department store, lalu voucher belanja. Belum lagi 'amplop' yang langsung di transfer ke rekeningku dan Tristian, entah darimana mereka tahu, aku belum mengecek siapa saja yang mengirimkan angpao itu.Wanita itu mengantar kami ke VIP lounge, menyediakan minuman dan makanan kecil lalu menyur
Aku menarik napas dan memejamkan mata saat ci Kanika, MUA professional langganan Mama Ivon sedang me'retouch wajahku. Rasanya mataku mengantuk, saat kuas ringannya menyapu bagian mata, aku serasa di usap-usap nina bobo. Sudah 5 jam sejak aku berpenampilan bak putri kerajaan. Ternyata seperti ini rasanya menjadi ratu semalam. Jadi pusat perhatian, semua mata memandang dan terpukau, seolah hanya aku satu-satunya yang bisa mereka pandang. Haha. Berlebihan sekali aku menggambarkannya.Hari ini, tepat dua minggu setelah Tristian melamarku untuk yang kesekian kalinya, kami menikah. Satu jam lalu aku dan Tristian mengikat janji seumur hidup disaksikan Pendeta dan keluarga kami. Aku menangis haru, untung makeupnya waterproof semua, aman tidak merubah wajahku seperti zombie. Hihi.Dan sekarang kami bersiap untuk pestanya. Tadi saat pemberkatan rambutku di sanggul, sekarang aku minta untuk menggerainya agar terlihat lebih santai. Ci Kanika membuatnya gelombang acak terlihat elegan tapi natural.
Tristian memutar tubuhku ke segala arah. "Kamu tadi nungguin aku pake baju ini?!" Tanpa ragu dia meraba dadaku, matanya semakin terbuka lebar meneliti bagian lainnya."Astaga Bee!! Sadar ga sih kamu kalau Jordan bisa lihat..."Aku kembali menarik kerah kemejanya, melumat bibirnya, tidak membiarkan dia bicara lagi. Sumpah aku tidak sabar agar dia berhenti bicara dan melakukan apa yang sudah semenjak kemarin terbayang di otakku.Tristian seolah ingin menahan bahuku, tapi aku malah menarik tengkuknya dan memiringkan kepalaku agar lidahku bisa masuk lebih dalam. Pria itu sedikit tercengang dengan apa yang aku lakukan, tapi lima detik kemudian Tristian membalas ciumanku.Napas kami terengah seiring ciuman yang tidak berhenti. Aku menariknya ke kamar, dia terus menyentuh tubuhku dimanapun. Aku melepas jas dan kemejanya sedikit tergesa, dia tidak melakukan apapun selain menangkup kepalaku agar ciuman kami tidak terputus.Tanganku mengarah ke ban pinggangnya membuat Tristian menahan napasnya.
Greet POV"Bee!!""BEE!!"Aku menghapus airmataku, hancur perasaanku. Tristian selingkuh! Aku tidak percaya dia bisa melakukan itu."Bee, buka pintunya! Ini aku! Kamu salah paham Bee.. tadi bukan aku yang... arggh!! Buka Bee, dengerin penjelasanku!!"Apa katanya? Salah paham? Dia kira aku bodoh tidak mengenali siluet tubuh pria itu? Memangnya dua bulan tidak bertemu membuat dia berubah begitu saja jadi gendut misalnya?Apa dia berusaha mengelabuiku? Aku tahu aku pernah berpikiran konyol kalau Tristian lebih baik mencari wanita sempurna lain, tapi aku tidak menyangka dengan cara seperti ini.Tapi aku harus tahu yang sebenarnya, emosi dan amarahku sudah memuncak. Aku mengusap airmataku yang turun lagi kemudian melangkah membuka pintu.Terlihatlah wajah pria itu yang terkejut, setengah senang setengah tidak percaya. Tapi bukan saatnya sekarang aku beramah tamah dengannya. Tanpa ragu tanganku melayang ke arah pipinya.PLAKK!!!Dadaku naik turun menahan amarah, begitu juga dengan pria di d
Tristian POVLaura menghampiri dan mengecup pipiku. "Siap!" Lalu mata wanita itu naik turun mengamati pakaianku. "Resmi banget pake bajunya, Pak!" Sindirnya.Aku tersenyum simpul. "Kamu yang kelewat sexy, mau blind date emang?" Balasku sambil menutup pintunya.Dia tergelak saat aku duduk di kursi pengemudi. "Kali aja ada yang nyangkut." Sahutnya.Aku tertawa lalu melajukan kendaraanku ke arah hotel untuk jamuan makan malam yang pastinya membosankan."Untung aku berangkat sama kamu, jadi ga bakal bosan deh nanti.." Ucapnya membuatku tercenung sesaat. Kenapa pikirannya bisa sama?Hmmm, aku harap juga demikian deh kalau dia sepikiran denganku.***Baru dua gelas scotch yang aku nikmati, setelah makan malam, kami dipersilahkan untuk menikmati pesta yang di adakan pemilik hotel mewah itu. Benar saja, aku sudah merasa bosan padahal belum dua jam aku disini. Entah mengapa aku merasa lelah dan ingin beristirahat. Laura terlihat sedang membaur, gadis itu pintar bergaul dengan yang lebih tua da