Kali ini Karmila benar-benar mengarahkan pandangannya pada si Mbok. Wanita tua itu hanya mengangguk. Tanpa memberi penjelasan.
"Jadi, semua pakaian wanita yang ada di sini bekas para wnaita seperti aku ini, Mbok?"
"I-iya, Nduk."
"Aaaaahhh!"
Karmila memukul tembok kamar, berulang-ulang.
"Jadi aku bukan yang pertama kali?"
"Bukan, Nduk. Banyak wanita sebelum kamu. Makanya aku menyarankan padamu seperti tadi. Karena apa yang mereka lakukan, seperti yang ingin kamu lakukan sebelumnya."
Seketika Karmila menunduk dengan tangis yang tak bisa dia bendung lagi. Sedang di sudut kamar. Lazuarrdi hanya bisa terpaku tanpa bisa berkata-kata lagi. Ingin hatinya menarik lengan Karmila dan mengajak pergi dari tempat terkutuk ini. Namun, apa daya. Dia tak mampu berbuat sesuatu untuknya.
"Mas ... Mas Ardi!"
Dia merasa tubuhnya bergoyang.
"Mas Ardi!"
Samar Lazuarrdi seperti mendengar suara yang memanggil namanya. Hingga dia me
Satriyo mengeluarkan mobil dari halaman rumah. Tak lama kemudian. Mobil sudah melaju meninggalkan Marni yang masih menatap kepergian mobil itu. "Sat!" "Iya, Mas. Ada apa?" "Tadi aku masih bermimpi soal Karmila." "Karmila ...?" "Iya, Sat. Dan, semua itu sangat jelas sekali. Aku seperti ada di tahun itu." "Memangnya apa yang terjadi sama Karmila?" Lazuarrdi menghela napas panjang. Terlihat dia begitu kesal oleh mimpi semalam. Hingga berulang kali hembusan napasnya terdengar. Sampai membuat Satriyo menoleh ke arah Lazuarrdi. "Kenapa, Mas?" "Dia dipaksa melayani seorang kapten kalau enggak salah namanya Hayato Kenji." "Hayato Kenji?" ulang Satriyo. "Apa yang kamu pikirkan Sat?" "Mas Danang, Mas." Kalimat Satriyo membuat Lazuarrdi mengerutkan dahinya. Dia pun menoleh pada Satriyo. Tatap matanya fokus pada jalanan yang masih lengang. "Maksud kamu gimana?" "Coba Mas Ardi
Satriyo langsung menarik pergelangan tangan wanita itu. Lalu mengajaknya duduk di teras depan rumah. Dari pos keamanan, terlihat seorang lelaki yang mendekati mereka."Kalian pasti mau ceritain kejadian semalam ya?""Iya, Naryo. Biar Mas Satriyo bisa cerita sama Mas Ardi.""Memangnya ada apa?" tanya Satriyo heran melihat mereka yang masih membisu."Coba bilang ada apa Mbok sama Mas Satriyo?" lanjut Naryo. Tatap matanya masih mengarah pada Mbok Yani, yang masih bingung harus memulia cerita dari mana."Ayok, Mbok!" Desak Satriyo."Ehhh, semalam dari dalam kamar Mas Ardi kedengeran suara wanita nyanyi.""Wanita nyanyi?" ulang Satriyo terkejut.Mbok Yani dan Naryo mengangguk."Memang nyanyi apa?"Tanpa berkata-kata, mereka berdua menggeleng. Membuat Satriyo semakin penasaran. Hingga terus mendesak mereka untuk bercerita. Walau awalnya Mbok Yani masih terlihat ragu dan takut. Pada akhirnya dia mulai menceritakan apa ya
Seketika mereka merasa bulu kuduk berdiri dan merinding. Lalu saling berpandangan dengan raut wajah yang tegang."Kalian apa ya ngerasa toh?" tanya Mbok Yani."Padahal masih pagi loh ini," sahut Naryo."Memang aura rumah ini berbeda. Sejak pedang itu pernah dibawa ke sini.""Bener, Mas Satriyo. Apa enggak sebaiknya dicarikan orang pintar atau ustad?" lanjut Naryo."Memangnya Mas Ardi percaya yang begituan?" tanya Mbok Yani. Mengalihkan pandanganya pada Satriyo. Begitu juga Naryo."Kok kalian lihatnya ke aku?""Yah, kita berdua ingin tau. Apa Mas Ardi itu juga percaya sama hantu dan perklenikan. Apalagi dia udah lama tinggal di luar. Mamanya juga orang luar.""Tapi, Mas Ardi kehidupannya lebih lama tinggal di Jawa. Sama kakek neneknya 'kan?" sahut Satriyo."Bener juga," sahut Mbok Yani dan Naryo bersamaan.Di dalam kamar. Lazuarrdi masih tertidur pulas. Hingga dering ponsel membangunkannya. Masih dengan mata yang t
Satriyo pun mengangguk. Lazuarrdi hanya bisa mengembuskan napas panjang."Ternyata mereka tetap ada di sini. Biar pun pedang samurai sudah aku pindahkan ke rumah Eyang. Apa yang sebenarnya mereka kejar ini?"Pertanyaan Lazuarrdi memang benar. Satriyo pun berpikir hal yang sama dengan tuannya. Tak lama, aroma kopi latte kesukaannya tercium wangi. Mbok Yani membawa dua cangkir dan diletakkannya di meja makan."Mas Ardi mau sarapan apa?""Buatkan roti toaster aja, Mbok. Beri selai mocca!""Baik, Mas. Mas Satriyo apa mau juga?""Enggak, Mbok. Aku mending sarapan sego pecel aja Mbok. Kenyang!" tegasnya sembari tergelak.Lazuarrdi kembali meneruskan perbincangannya dengan Satriyo. Dia masih berpikir bahwa ada sesuatu sehingga membuat Karmila menampakkan dirinya. Yang pasti berhubungan dengan pedang samurai itu. Termasuk wanita berpakaian kimono. Akan tetapi siapakah mereka?"Kazumi ...?" Lazuarrdi berdesis."Kazumi, Mas?
Mobil melaju kencang menembus jalan tol. Tak banyak percakapan yang terjadi antara Lazuarrdi dan Satriyo. Hingga dua jam berlalu. Mereka mulai melewati pesisir pantai utara. "Apa rumahnya di sekitar pantai sini?" "Iya, Mas. Sedikit masuk gang kecil." "Apa mobil bisa masuk?" "Bisa Mas. Tenang aja." Mobil pun mulai melewati sebuah jalan kecil. Yang hanya cukup untuk satu mobil saja. Tak jauh dari mulut gang terdapat sebuah tanah lapang. Satriyo memarkir mbolnya di sana. "Kita turun di sini, Mas." "Rumahnya yang mana?" "Kita masih jalan masuk!" Lazuarrdi pun segera turun. "Emang enggak apa-apa?" "Tenang aja, Mas. Aman kok." Tampak Lazuarrdi manggut-manggut. Dia berjalan mengikuti Satriyo yang mendahuluinya. Jalanan tertutupi pasir putih khas pantai. Dengan tembok rumah warga yang memakai batu kapur putih. Sangat jarang yang memakai batu bata merah. Lazuarrdi terus mengamati rum
Waras tak melanjutkan kalimatnya. Tiba-tiba, dia merasakan tenggorokannya seperti tercekik. Hingga ponsel Lazuarrdi terlempar. "Cak ... Cak! Ada apa ini?" teriak Satriyo panik. "Dia kenapa Sat?" "Aku juga enggak tau, Mas." Lelaki itu terus mengerang kesakitan. Bahkan tubuhnya terus menggeliat seolah menggelepar bagai seekor ikan di daratan. Satriyo dan Lazuarrdi berusaha untuk menolongnya. Mereka melepaskan kancing baju lelaki itu. Serta melonggarkan celana yang dipakainya. "Kita harus minta tolong pada warga sekitar, Sat. Aku juga enggak tahu bagaimana cara untuk menolongnya." "I-iya, Mas." Akhirnya Satriyo berlari keluar. Dia menuju gerombolan ibu yang tadi menyapa mereka. "Tolong, Bu! Cak Waras kesakitan, Bu. Apa ada dokter dekat sini?" "Loh memangnya kenapa, Mas?" "Aku juga enggak tahu kenapa, Bu. Ayo tolong kami!" Para wanita itu berlarian mengikuti Satriyo yang berlari terlebih dahulu. Hing
"Di sini ada seorang wanita memakai Kimono. Dan, terlihat dari arah samping. Dia seperti tengah memandang pedang samurai itu.""Lalu, kenapa sampai membuat Cak Waras seperti itu?""Kalian bukan berhubungan dengan sosok hantu biasa saja. Ini--"Mustofa menghentikan kalimatnya. Lalu dia menggeleng, pelan. Membuat Lazuarrdi dan Satriyo bertanya-tanya. Tampak lelaki itu kembali melanjutkan melihat foto pedang itu."Di mana kah Kakeknya Mas dapatkan pedang samurai ini?" "Itu yang masih ingin saya cari tahu, Pak. Makanya sekarang saya ada di sini. Semuanya ini sangat tiba-tiba buat saya. Setelah Kakek meninggal, saya langsung diberi pedang samurai itu sama Nenek.""Pedang ini haus darah!" tegas Mustofa, tanpa berkedip melihat pada Lazuarrdi. Tatapnya tajam tanpa jeda. "Pedang ini haus darah, Mas!" ulangnya lagi.Lazuarrdi hanya menggelengkan kepalanya berulang-ulang."Sebenarnya saya baru saja mengembalikan pedang samurai itu ke rum
"Loh, Kang? Ke-kenapa tangan kamu kok ada darahnya?!" teriak Waras histeris. Sontak Lazuarrdi dan Satriyo terbelalak. Mereka segera menghampiri Mustofa yang meringis kesakitan. "I-ini, kenapa kok bisa begini tadi, Pak?" Tampak Lazuarrdi terlihat cemas dan panik. "Aku juga enggak tau. Kerasa perih aja, kayak ada yang nyilet gitu." "Ini bukan silet, Kang. Lukanya cukup dalam dan lebar. Macam di belah pakai pisau dapur!" seru Waras. "Bukan! Bukan silet atau pun pisau dapur!" Suara Lazuarrdi terdengar tegas dan cukup mengejutkan mereka. "Lalu menurut Mas Ardi apa?" "Pedang itu!" jawab Lazuarrdi kembali mengejutkan Satriyo, Waras dan Mustofa. Belum hilang ketegangan mereka. Waras sudah berteriak, seraya menunjuk ke arah layar ponsel Lazuarrdi. "Lihat!" Arah pandangan mereka tertuju ke gambar yanga semakin lama semakin memudar. Dan kemudian begitu saja menghilang. Bagai tersapu angin yang bertiup kencang
Tepat pukul dua belas siang. Mereka baru terbangun. Dan bergegas berkemas. Annisa yang sudah sedari tadi siapa sedang berjongkok di makam Kazumi atau Karmila.Dia membacakan Yasin dan doa untuknya. Dari ambang pintu Lazuarrdi melihat ke arahnya dengan wajah yang segar. Lalu berjalan mendekati Annisa."Maaf, enggak bisa seperti rencana semula Nis.""Enggak apa-apa kok Mas Ardi. Saya juga baru bangun kok. Buru-buru mandi terus ke sini sebentar.""Berarti belum makan?"Annisa menggeleng."Yuk, makan dulu. Kayaknya Marni sudah siapkan semuanya.""Baik, Mas."Langkah keduanya menuju ruang makan. Terlihat Marni yang sibuk menata piring."Kamu masak apa beli, Mbak?""Saya beli nasi padang Mas. Takut kalau di warung yang lain, Mas Ardi enggak suka. Soalnya agak manis masakannya."Apa yang dikatakan Marni dibenarkan Lazuarrdi. Segera dia duduk dan memanggil Satriyo yang sibuk memasukkan barang-barang."Kamu m
Hampir satu jam mereka merawat jasad yang sudah jadi tengkorak itu. Tepat pukul tiga pagi. Mereka kembali mengebumikan Kazumi atau Karmila."Innalillahi Wainna Ilaihi Rojiun!" ucap para warga serempak."Bahwa apa yang berasal dari-Nya. Pasti akan kembali kepada pemilik-NYa."Setelah prosesi pemakaman selesai. Beberapa warga beristirahat dengan suguhan yang dibikin oleh Marni."Annisa! Apa yang sebenarnya terjadi saat di dekat sungai tadi?""Maksud Mas Lazuarrdi?""Apa benar Kazumi meminta kamu mencari Kenanga?"Cukup lama Annisa terdiam."Kenapa kamu diam?""Ehhh ...."Wanita cantik menghela napas panjang. Lalu mengangguk."Tapi saya tak mau berjanji padanya. saya sudah tegaskan itu Mas. Akan semakin panjang kalau kita mencari Kenanga. Kita enggak tau harus bermulai dari mana juga 'kan?""Cuman yang aku takutkan, suatu saat nanti. Dia akan menganggu kita lagi, dengan meminta janji itu.""Mas,
"Mas Satriyo! Bisakah ambilkan dua lembar daun itu?""Bisa, Mbak. Sebentar!"Kedua kakinya berlari kecil meninggalkan Annisa dan Lazuarrdi yang masih terduduk di tanah."Kenapa perasaan aku sedih sekali, Nis? Seperti hancur, gelap, tak berdaya. Seolah hidup aku ini tak ada artinya lagi.""Mas Ardi banyak istigfar ya. Terus baca aya Qursi tiga kali, serta surat pendek tiga Qul. Mas Ardi bisa?"Lelaki tampan menggeleng dengan pandangan yang mengarah pada Annisa."Kalau begitu sholawat yang banyak saja Mas. Sama istigfar ya, biar perasaan Kazumi enggak terbawa Mas Lazuarrdi.""Baik, Nis."Tak lama. Satriyo sudah datang dengan memebawa dua lembvar daun keladi. Lantas memberikan pada Annisa.Sebelum mengambil kepala Kazumi, Annisa membaca doa terlebih dahulu. Setelah selesai. Dia memungut dengan kedua tangan beralaskan daun talas."Biar saya yang bawa!" tegas Annisa.Mereka pun berjalan pulang menuju rumah
"Kazumi sangat terluka. Aku kesakitan bukan saja raga aku. Tapi, jiwa aku. Apalagi saat aku mendengar kabar, Hayato membunuh semua keluargaku. Saat itu kehidupanku seperti runtuh. Aku ingin mati ... aku ingin mati! Apalagi Takashimo yang menyayangi aku penuh ketulusan. Dibunuh oleh bajingan laknat itu! Belum lagi Kenanga. Di manakah Kenanga berada? Sampai kematian aku pun tak mendapatkan lagi kabar tentang dia. Di mana diaaa ... Kenanga saat itu masih berumur muda sekali. Dan Hayato sudah menjadikannya Jugun Ianfu. Karena kemarahannya padaku," isak tangis Lazuarrdi dengan suara yang berbeda. "Apa aku salah membunuhnya dengan keji?!"Kali ini Lazuarrdi yang duduk bersimpuh menoleh perlahan ke arah Annisa yang berdiri di sampingnya. Sorot matanya tajam, menatap Annisa dengan berurai air mata."Jika memang kau ingin memakamkan aku dengan layak. Ada satu syarat yang aku pinta!"Annisa yang masih terperanjat tak langsung menjawab. Dia masih terpaku dengan mata yang m
"Ke-kenapa, Mas?"Dia terus menggeleng dengan raut wajah yang sangat tegang. Tarikan napasnya terdengar memburu. Lazuarrdi ikut merebahkan tubuhnya di sebelah Annisa yang terus menatap lelaki tampan itu."Mas Ardi kenapa sih?""A-aku lihat dia Nisa.""Terus?""Awalnya dia terlihat layaknya seorang wanita berkimono. Tapi ... tiba-tiba, kepalanya kayak terpenggal begitu saja. Dan jatuh ke tanah."Sontak mendengar penjelasan seperti itu. Annisa langsung berusaha bangkit dari tempat dia berbaring. Membuat Lazuarrdi menatap tajam ke arahnya, dengan pandangan heran."Mau ke mana kamu?""Ayo, Mas! Aku sudah tau di mana letak kepalanya.""Maksud kamu?""Ayo, Mas!"Dibantu Lazuarrdi, Annisa berjalan lembat menuju pohon gayam itu. Diikuti oleh Satriyo yang terus menyorot ke arah mereka."Tunjukkan di mana Kazumi berdiri Mas!""Di tempat aku berdiri sekarang.""Oke, tunggu bentar Mas!"Anni
Dia mengangkat botol yang diberikan Mbah Sukro. Lalu mulai memercikkan air di sekitaran pohon gayam yang terlihat kokoh beridri di hadapan mereka.Saat Annisa sibuk mengucurkan air. Dedaunan pohon gayam seperti bergerak-gerak. Sampai menjatuhkan dedaunan yang kering.Sontak ketiganya melihat ke atas. Mereka seperti melihat dua titik cahaya merah. Seperti bola mata yang terus menatap ke arah mereka."I-itu ... apa Mbak Annisa?" teriak Satriyo membuat mereka berlari sedikit menjauh. Diikuti Annisa.Saat Annisa mendongak, dua titik berwarna kemerahan tak lagi terlihat."Aku masih belum selesai Mas. Kurang sisi utara aja," bisik Annisa."Ayo, kita kembali ke pohon itu!" ajak Lazuarrdi.Suasana benar-benar mencekam. Angin semakin berembus kencang."Bismillah, ya Allah bantu kami," bisik Annisa.Saat mereka kembali mendekati pohon gayam itu. Annisa merasa ada seseorang yang tengah memandang mereka. Sontak dia
Rupa-rupanya sosok hitam pekat itu, kembali akan melayangkan hantaman untuk yang keempat kalinya. Namun, sekilas cahaya putih menangkis serangan itu. Cahaya berbentuk butiran-butiran kecil menyerupai tasbih, menghalangi tubuh Mbah Sukro dari kekuatan hitam.Dalam genggaman tangan Mbah Sukro, dia terus menggulirkan tasbih yang sedari tadi dipegangnya. Terdengar lelaki itu mulai bergumam lirih. Dia terus berdzikir menghadapi serangan makhluk iblis itu.Sontak membuat kedua bayangan hitam itu, menghentikan serangannya dan mundur. Mbah Sukro memejamkan kedua mata dengan rapat. Tak henti bibirnya berdzikir. Walau tubuh tua terasa sakit akibat serangan itu. Dia terus berusaha untk membantu Annisa. Yang jauh darinya."Semoga kamu segera menemukannya, Nduk! Mbah akan mengawal kamu dari sini dengan doa."***Terlihat Annisa masih duduk dengan tafakur. Tiba-tiba dalam bayangan yang samar. Dirinya seperti melihat cahaya kemerahan yang berkelebat melintas Seir
Hanya dalam hitungan sekian detik. Sosok wanita itu sudah berdiri di hadapan lelaki itu. Wajah mereka begitu dekat. Tanpa jeda. Sampai Mbah Sukro bisa mencium embusan napas makhluk yang berada di hadapannya.Manik mata mereka salling beradu. Hingga sorot mata yang tajam tak bisa membuat Mbah Sukro tunduk.Tiba-tiba, di alam yang nyata. Pintu rumah terbuka lebar dengan sendirinya. Bagai ada seseorang yang telah membuka dengan paksa. Namun, tak terlihat siapa pun juga."Mau apa kamu ke rumahku? Kedatanganmu, secara paksa seperti ini apa maksudnya?" Mbah Sukro dengan mata yang terpejam."Hentikan pencarianmu! Atau kau akan mati! Sama seperti mereka semua." Terlihat bayanganhitam yang tak tampak perwujudannya.Masih dengan mata yang terpejam, Mbah Sukro melempar kembang-kembang itu dengan pelan."Mrene ... mrene! Ini makanan kamu!" seru Mbah Sukro.(Mrene = ke sini)Tampak gumpalan asap yang menyerupai sosok seorang lak
Seketika Satriyo mengarahkan senter yang ada di tangannya. Saat cahaya mulai menerangi pohon itu. Sontak dia melemparkan senter jumbo ke tanah. Dengan tubuh yang hampir terjungkal. Untung Lazuarrdi menahan keseimbangan tubuhnya, dengan menarik lengan Satriyo."Aaaaarghhhh!"Tubuh Satriyo akhirnya terduduk di dekat kaki Lazuarrdi. Napasnya tersengal-sengal."A-ada apa kamu?""Ayo, Mas. Kita pergi dari sini. Ini lebih seram dari rumah kita, Mas!" tegas Satriyo."Memangnya apa yang kamu lihat?"Satriyo tak mau menjawab. Dia menggeleng kuat-kuat. Lazuarrdi mengambil senter jumbo yang terbalik dan mati. Sekali tekan dan sedikit mengguncang akhirnya, senter menyala lagi.Lazuarrdi kembali menyorotkan cahaya pada pohon kelapa yang tak jauh dari mereka. Tak terlihat apa pun. Lalu dia menundukkan kepala."Kamu kenapa Sat? Coba bilang!""Ta-tanyakan Mbak Annisa, Mas!" Dengan suara bergetar dan tubuh Satriyo seperti orang yang kedi