[Aku kangen ...] tulis Daniel di chat w******p kami siang ini. Entah sudah berapa kali dia mengatakan hal yang sama berulang-ulang beberapa hari ini, padahal setiap hari kami bertemu. Tapi siapapun yang sudah dewasa dan berumah tangga, pastilah tahu apa maksud kalimatnya itu. [Sabarrr ...] Selalu itu yang kukatakan padanya. Termasuk balasanku dalam chat kami saat ini, sambil kuakhiri dengan emoticon senyum dan sedih. [Berapa hari lagi, Sayang?] tulisnya lagi. [Nggak lama kok, mungkin beberapa hari lagi.] Kutambahkan emoticon tertawa di akhir kalimat. [Kayaknya sudah seperti seabad lamanya.] [Lebay banget.] [Serius. Sampai dah lupa gimana rasanya.] [Kerja, Pak. Jangan chat-an terus kalau lagi di kantor.] sindirku. [Ini kerja, Bu. Siapa bilang lagi tidur?] [Hmmm ... nggak ada orang kerja malah ngobrol di chat sama istrinya.] [Kan sama juga. Kerja ibadah, nyenengin istri juga ibadah.] [Udah Danieeell chatnya. Bikin nggak kons
"Tangan kamu dingin banget," kugenggam jari-jemari adik iparku dengan erat. Wajahnya yang sudah berhiaskan make up pun tak bisa menyembunyikan perasaannya. "Aku gugup sekali, Kak. Aku takut pingsan nanti di tengah prosesi." Aku dan mamanya Diva yang saat itu sedang menemaninya di ruang make-up pun jadi tertawa terbahak. "Kamu ini ada-ada saja, Sayang," kata sang mama. "Nggak ada ceritanya pengantin yang pingsan karena terlalu bahagia, Diva." Mama Diva menowel bahu putrinya dengan gemas. Tampak sekali wajah campuran antara sedih dan bahagia seorang ibu yang akan melepaskan anaknya ke pelaminan disana. "Tanya sama Kak Hani. Apa waktu dia menikah dengan Kak Daniel pingsan?" kata sang mama lagi, membuat wajahku bersemu merah. Mengingat saat-saat bahagiaku bersanding di pelaminan bersama Daniel. Dan lalu kami pun tertawa lagi. "Kak Hani," panggil Diva. "Ya?" "Apa Adam akan datang?" Aku terperanjat mendengar pertanyaan Diva. Bagaimana mungkin dia b
Daniel memukul meja di depannya kuat kuat. Matanya memerah penuh amarah. Dia benar-benar tidak menyangka Adam melakukan hal itu pada adik sepupunya. Beginikah cara dia membalaskan sakit hati padanya karena telah merebut Hani darinya saat itu?Dalam kemarahannya, lelaki itu bangkit dengan segera."Kakak mau kemana?" tanya Diva panik melihat kakaknya yang telah bersiap meninggalkannya."Pulanglah, tunggu di rumah! Aku akan menemui suamimu di kantornya. Aku akan buat perhitungan dengannya.""Jangan Kak! Sudah, tidak perlu diperpanjang.""Maksud Kamu apa 'tidak perlu diperpanjang'?" Daniel menatap Diva dengan tatapan aneh, tak mengerti.
"Sayang, ...." Sapaan Hani seolah tak berarti saat tiba-tiba Daniel berteriak memerintah."Masuk! Ajak anak-anak masuk!"Belum sempat Hani melanjutkan kalimatnya, lelaki yang masih mengenakan seragam dinasnya dan berdiri dengan garang di teras itu berkata dengan keras, membuat Hani sangat kaget dengan wajah yang kian pucat."Ada apa, Daniel?" Wanita itu berusaha mengajak suaminya untuk bicara."Aku bilang, masuk! Jangan sampai aku menyeretmu.""Astaghfirullah, Daan." Hampir menangis, Hani segera menggandeng anak-anaknya untuk diajaknya ke dalam. Dia tak ingin ketiga anak itu mendengar kata-kata yang lebih kasar dari lelaki yang sangat dicintainy
Daniel perlahan bangkit, kemudian mendudukkan diri di sisi sang istri. Tiba tiba lidahnya begitu kaku saat mencoba ingin mengatakan apa yang terjadi pada Hani."Pagi tadi Diva datang menemuiku ...." Ucapannya menggantung. Hani menatapnya dengan pandangan penuh tanya."Dia bilang ... Adam tidak menginginkan anak darinya. Adam tidak menunaikan kewajibannya sebagai suami.""M-maksudnya?" Bukan hanya kaget, tapi mata Hani sampai membelalak mendengar penjelasan suaminya."Itulah kenapa aku marah. Aku tidak terima adikku diperlakukan seperti itu." Tangan Daniel mengepal. Teringat kembali bagaimana Diva terisak tadi pagi saat menceritakan semuanya padanya. Bahwa Adam tidak pernah menyentuhnya selama ini.
Adam tahu, cepat atau lambat hubungannya dengan Diva akan berakhir juga. Padahal selama ini, dia sudah berusaha untuk selalu memperbaiki setiap kesalahan.Adam sadar bahwa penyebab awal dari semua prahara rumah tangganya ini adalah dirinya. Tentang apa yang dia rasakan, tentang perasaannya pada Hani yang sebenarnya belum sepenuhnya hilang.Saat dulu dia akhirnya mendengar bahwa Hani memutuskan untuk menikah dengan Daniel, sahabatnya sendiri. Meskipun pada awalnya dia marah, namun akhirnya Adam berusaha untuk menerima. Tapi cara yang dia pilih untuk menerima takdirnya ternyata salah.Adam mengira, dengan dekatnya dia dengan keluarga Daniel dan Hani akan membuatnya bisa melupakan perasaannya sedikit demi sedikit. Walaupun itu tak mudah, namun Adam berusaha setengah
Daniel memarkirkan mobilnya sedikit tergesa di sebuah pelataran parkir perkantoran berlantai 20 di pusat kota. Dengan langkah tergesa juga, dia pun menuju lobby."Kantor PT. Diwangga Karya lantai berapa, Bu?" tanyanya pada seorang resepsionis yang menyambutnya."Mohon maaf, dengan Bapak siapa saya bicara?" kata sang resepsionis cantik itu dengan gaya sedikit menggoda."Daniel Devanno," katanya."Oh, Pak Daniel Devanno. Silahkan langsung menuju ke lantai 10 Pak. Sudah di tunggu ibu Maretha di ruangannya," kata si cantik berseragam setelan jas warna ungu itu.Tak berlama lama, Daniel segera melangkah menuju lift. Beberapa staf yang kebetulan
Dalam hidupnya, pantang bagi Hani untuk mengkhianati pasangannya. Reyfan, suami pertamanya, adalah masa lalu yang tak akan mungkin dia terima kembali apapun yang terjadi. Karena bagi Hani, tidak akan pernah ada ruang untuk kembali bagi orang yang sudah berkhianat.Meskipun pada kenyataaanya, hubungannya dengan Reyfan cukup baik pada akhirnya. Namun Hani menganggap itu hanya sebuah cara yang dilakukannya demi Keenan tetap mengenal siapa ayah kandungnya.Kehidupan rumah tangganya dengan lelaki luar biasa yang membawakannya kebahagiaan dua tahun terakhir diharapkannya akan menjadi akhir dari perjalanan cintanya. Namun bagaimana jika seandainya kenyataan berkata lain?"Siapa yang mengirimkannya ke sini tadi, Bik?" tanya Hani masih penasaran.
Satu bulan setelah pertemuannya kembali dengan Santi, hari ini keduanya nampak sedang duduk di sebuah ruang pertemuan di salah satu sudut kantor Adam.Di hadapan keduanya ada 4 orang karyawan inti di perusahaan Adam yang sedang menghadap ke arah mereka. Nampak di depan mereka tumpukan berkas yang baru saja selesai dibahas."Jadi rencanaku bisnis kosmetik ini nantinya akan seperti itu. Bagaimana menurut kalian?" tanya Adam pada keempat anak buahnya."Bagus, Pak. Saya rasa ide ini sangat cemerlang mengingat pasar kosmetik yang saya lihat saat ini sedang lesu-lesunya. Hampir tak ada brand baru yang muncul akhir-akhir ini," ujar salah satu karyawan itu."Iya itu maksudku. Ya sudah kalau gitu kita cukup
Malam itu entah kenapa ada sesuatu yang mengganggu pikiran Adam. Kedatangan mantan karyawannya dengan penampilan yang sedikit berbeda namun masih sama malu-malunya itu membuatnya justru susah untuk lupa.Dari sejak lelaki itu menginjakkan kaki di rumah orangtuanya, Adam hanya terlihat mondar mandir dari kamar menuju balkon. Secangkir kopi dibawanya ke sana kemari dengan perasaan kacau yang sulit dia mengerti sendiri."Lagi ngapain kamu, Dam? Mama perhatikan dari pintu tadi kayak orang lagi bingung gitu?"Ibunya yang sedari tadi mengamati tingkah aneh putranya menghentikan langkahnya di pintu balkon."Mama ngagetin aja." Muka Adam langsung memerah karenanya.
Beberapa minggu setelah pertemuannya dengan mantan bosnya, gadis itu melakukan treatment di sebuah klinik kecantikan. Hani juga telah membekalinya uang yang cukup untuk dia belanjakan beberapa potong baju yang akan lebih membuatnya percaya diri saat bertemu dengan Adam nanti.Dan siang itu adalah hari yang telah direncanakannya untuk menemui Adam. Santi melangkah dengan penuh kayakinan menuju ke kantor Adam usai turun dari taksi online yang ditumpanginya."Bisa saya bertemu dengan pak Adam?" tanyanya pada resepsionis."Maaf, apa ada sudah janji sebelumnya, Bu?" tanya balik sang gadis dengan seragam warna violet itu."Mmmm."Santi mulai men
Rapatnya Hani menyimpan rasa shock atas pertemuannya dengan Adam, bahkan membuat Daniel pun tak menyadari bahwa istrinya memang sedang sedikit tak enak badan hari itu. Sampai-sampai lelaki itu setengah memaksa mengajak sang istri untuk mau ikut bersamanya keluar larut malam.Hanya untuk membuat Daniel tak cemas dengan kondisi dirinya yang memang sedang kurang baik setelah kejadian yang menimpa siang harinya, Hani pun terpaksa menuruti ajakan suaminya.Daniel membawa istrinya ke sebuah Kafe bernuansa outdoor di daerah pinggiran kota malam itu. Mereka tiba di tujuan saat hari telah lewat. Meski begitu, suasana masih terlihat lumayan ramai. Tempatnya yang didesain sangat romantis ternyata sedikit membawa suasana hati Hani menjadi lebih membaik."Kamu suka temp
Tubuh Hani masih gemetar, bahkan ketika mobilnya sudah memasuki halaman rumah. Usai Adam membiarkannya pergi dari parkiran mall, wanita itu mengendarai dengan sangat pelan sembari berusaha menenangkan kembali gejolak di dalam dadanya. Kalimat demi kalimat Adam terngiang-ngiang di kepalanya seolah tak mau pergi."Lho, Bu Hani kenapa?" Bik Marni yang saat itu sedang bermain bersama dengan Tasya dan Keenan di serambi rumah sedikit kaget melihat Hani nampak seperti orang linglung saat keluar dari mobilnya di garasi.Sesaat Hani baru menyadari ada yang memperhatikannya. Buru-buru wanita itu menggeleng."Enggak kok, Bi'. Cuma agak pusing sedikit," jawabnya.Lalu dengan sigap, Bi' Marni pun segera m
"Sudah dibayar sama mas yang di sana, Bu."Hani dan 3 orang teman wanitanya saling pandang. Lalu bersamaan menoleh ke arah yang di tunjuk oleh kasir restoran."Yang mana? Yang di dalam ruangan itu?" tanya salah seorang teman Hani."Iya, yang sedang memimpin rapat itu, Bu."Hani tak mungkin tak mengenalnya. Di dalam ruang meeting dengan dinding kaca itu memang ada Adam dan beberapa orang yang mengenakan seragam yang dia kenali sebagai karyawan kantor Adam."Kamu kenal, Han?" tanya salah seorang temannya lagi, melihat Hani seolah sedang menunggu orang itu membalikkan badan untuk melihat ke arah mereka.
"Setelah sidang putusan minggu depan, datanglah ke kantor. Aku sudah menyiapkan semuanya untuk kamu," ucap Adam siang itu saat bangkit dari tempat duduknya di sebuah restoran mewah di kota itu.Diva mendongak, memandangnya dengan senyuman remeh."Menyiapkan apa?" tanyanya. Sebenarnya Diva sudah tahu apa maksud dari kata-kata lelaki yang sebentar lagi akan menjadi mantan suaminya itu. Namun Diva tak mudah begitu saja untuk merendahkan dirinya. Apalagi di hadapan Adam, yang menurutnya telah menghancurkan impian dan masa depannya."Bagianmu. Itu sudah kewajibanku sebagai mantan suami," jawab Adam singkat. Diva pun melengos mendengar itu. Baginya, ucapan Adam itu adalah sebuah penghinaan."Ambil saja u
"Kalau boleh aku sarankan, pertimbangkan lagi rencanamu untuk menaikkan kasus direktur PT Diwangga Karya itu, Daniel. Itu tidak akan baik untuk karirmu."Kapten Gunardi, lelaki yang masih nampak gagah di usianya yang sudah hampir menginjak masa pensiun itu menatap lekat bawahannya dari kursi kebesarannya.Daniel baru saja menceritakan semua kejadian yang telah menimpanya dan keluarganya pada atasannya itu dan semua hal yang berkaitan dengan kasus PT. Diwangga Karya."Tapi saya sudah merasa dirugikan dengan kelakuan direktur itu, Pak. Saya hanya ingin minta keadilan. Lagipula, dia telah melakukan pelanggaran hukum dengan membuat laporan palsunya. Merekayasa kejadian demi untuk mencapai tujuannya.""Aku ta
"Pak, ada perkembangan terbaru kasus Diwangga," kata seorang ajudan yang baru saja masuk ke ruangan Daniel siang itu.Setelah memerintahkan anak buahnya itu untuk duduk, Daniel pun memeriksa berkas yang baru saja diserahkan."Jadi gudang yang terbakar itu sebenarnya sudah tidak dipakai?" tanya Daniel kemudian. Dahinya nampak berkerut."Betul, Pak. Tim sudah menyelidiki semuanya. Bahkan menurut warga setempat, semuanya juga bilang seperti itu. Jadi, ada kemungkinan ini bukan sabotase, melainkan memang sengaja dibakar."Dahi Daniel makin berkerut."Lalu apa kira kira motifnya?""Itu yang