"Hei, aku bisa mendengar nada cemburu dari kalimatmu!" ujar Danish. Bianca melengos.
"Cemburu apanya? Aku justru merasa jijik!" sergah Bianca.
Danish meraih bahu gadis itu dan memutar agar menghadapnya.
"Hei, kau menangis?" tanyanya lirih. Jempol kanannya mengusap air yang tanpa sadar berjatuhan di sudut mata Bianca. Gadis berseragam pelayan itu menunduk dalam, merasa malu. Seperti seorang maling yang kepergok sekuriti.
Danish mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jarinya.
"Lihat aku!" pintanya. Perlahan dua pasang mata itu bertemu. Danish seolah ingin menyelam ke dalam palung hati gadis di depannya, melalui sorot mata itu.
Tangan Danish meraih tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Dia hirup puncak kepala Bianca dalam-dalam.
"Maaf, jika aku membuatmu terluka," bisik Danish lirih.
Entah mengapa, dekapan itu begitu menenangkan hati Bianca.
Beberapa saat Bianca mulai bisa menguasai diri. Dia dorong tubuh jangkung lelaki yang mendekapnya.
"Hei, kau jangan coba-coba mengambil kesempatan dariku, ya! Enak aja peluk-peluk!" umpat Bianca lalu berlari ke dalam rumah.
"Huh, dasar gadis tidak tau diuntung! Bukannya bersyukur, malah meninggalkanku begitu saja!" Danish ikut-ikutan mengumpat.
.
Saat masuk ke dalam rumah, sekilas Bianca bisa melihat wanita yang tadi ada di ranjang Danish itu sedang duduk menopang kaki di sofa ruang tengah. Wanita cantik dengan make up tebal. Pakaiannya begiti seksi menggoda iman lelaki.
Bianca juga bisa melihat jika wanita itu menyadari kehadirannya.
"Hai, kamu. Bisa bawakan aku segelas jus jeruk? Bercinta membuatku kehausan," ujarnya dengan nada mendesah manja.
Walaupun malas Bianca segera mengangguk.
"Cepatlah! Aku tunggu! Keburu Danish meminta ronde berikutnya" titahnya lagi seolah sengaja memancing amarah Bianca.
Bianca menghela napas kesal. Mulutnya menggerutu.
"Dasar pasangan mesum! Kalian begitu cocok. Tampan dan cantik. Dan yang paling cocok ... kalian sama-sama mesum!"
Bianca mengambil sebuah gelas tinggi dan menuangkan jus jeruk yang dia ambil dari kulkas.
"Rasanya aku ingin menambahkan setetes sianida ke gelas ini," gumamnya lagi.
"Kau kenapa menggerutu?" tanya sang juru masak yang sedang mengolah ikan. Bianca tergagap.
"Ah ... itu ... emh ... ada kucing garong jahat. Rasanya ingin kuberi dia sianida," jawab Bianca gugup. Ardy sang juru masak tampak keningnya berkerut.
"Kucing garong? Sejak kapan di sini ada kucing garong?" Ardy tampak kebingungan. Tak ingin ditelisik lebih jauh Bianca segera membawa gelas di atas nampan itu ke ruangan di mana Barbara sedang menunggu.
Sesampainya di sana, tidak ada siapa pun. Pundak Bianca mengendur.
"Untunglah kucing-kucing garong itu sudah pergi. Atau jangan-jangan ...?" Bianca kemudian membayangkan jika kedua orang itu kembali ke kamar dan melanjutkan pergumulan ronde selanjutnya. Seperti yang dikatakan wanita itu saat meminta jus, tadi.
"Bener-bener si Tuan Mesum!" Bianca menggerutu.
"Hai, Bianca? Kenapa kau mengumpati jus jeruk?" Sebuah suara mengagetkannya. Bianca menoleh.
"Eh, Rey. Ini tadi ada teman kakakmu yang minta dibuatkan jus, tapi orangnya menghilang gak tau ke mana,"
"Oh, apakah seorang wanita seksi?" tanya Rey. Bianca mengangguk cepat.
"Dia sudah diantar pulang sama Kak Danish. Wanita itu terlihat kesal sekali. Ya sudah, biar kamu tidak kesal, sini jusnya buat aku saja."
Rey meraih gelas itu lalu meneguknya hingga tandas.
"Hah, nikmat banget minuman buatanmu," puji Rey. Wajah Bianca masih terlihat sebal.
"Kenapa wajahmu masih ditekuk?" tanya Rey.
"Aku sebal melihat adegan kakakmu sedang bercinta. Hah huh hah huh! Menjijikan!" Bianca menggerutu.
"Owh, tadi kamu melihat Kak Danish bercinta? Bagaimana? Hebat 'kan, dia? Wanita itu pasti mendesaaah manjaaa ...."
"Apanya yang hebat? Mereka kayak kucing garong yang sedang kawin. Ribut banget!" tukas Bianca. Tawa Rey meledak mendengarnya.
"Bianca ... Bianca, kamu benar- benar unik. Kamu ingin membalas kelakuan Kak Danish gak?" tanya Rey. Bianca mendongak menatap lelaki di depannya.
"Caranya?" tanya Bianca polos.
"Sini!" panggil Rey. Bianca segera mendekatkan kupingnya ke wajah lelaki itu.
"Kita bikin adegan yang sama, dan buat Kak Danish melihatnya," bisik Rey.
"Aaww!" Rey berteriak, saat kakinya diinjak Bianca dengan keras.
"Lain kali akan aku jedotin kepala kamu agar otakmu tidak mesum!" umpat Bianca lalu pergi menuju dapur, meninggalkan Rey yang masih meringis mengelus kakinya yang sakit.
Danish menghampiri Bianca yang sedang asyik membersihkan kaca jendela kamarnya. Seragam putih dengan aksen renda di ujungnya begitu pas menempel di tubuh mungil gadis itu. Danish menutup pintu yang tadinya terbuka. Suaranya membuat Bianca kaget dan menoleh. Gadis berkuncir kuda itu kembali menghadap jendela dan menghela napas panjang, menyadari masalah apa yang akan segera dihadapinya. "Bianca." Terdengar suara berat agak serak dari lelaki yang selalu saja menghantuinya. Gadis itu bergeming. Dia menatap ke luar. Langkah kaki terdengar mendekatinya. Jantung gadis itu berdebar tak karuan. 'Ya Tuhan, tolong kuatkan imanku menghadapi mahlukmu yang satu ini,' batin Bianca. Sebuah sentuhan terasa di pundaknya. Bianca memejamkan matanya hingga kelopaknya tampak mengerut. Tangan itu berusaha memutar tubuhnya. Tak bisa menolak, Bianca hanya bisa menunduk untuk menghindari tatapan lelaki itu. "Kau marah?" tanyanya yang membuat gadis itu mengernyit bingung. Wajahnya perlahan terangkat. Ma
Bianca berusaha mencari tahu. Namun, Danish hanya menggeleng."Tidak apa-apa, aku hanya terluka sedikit," ucap Danish datar. "Coba aku lihat, Tuan." Bianca menarik paksa lengan Danish. Namun, yang dipaksa enggan memberikan tangannya. Danish mundur untuk menghindari Bianca. Akan tetapi gadis itu tetap memaksa ingin melihat luka tuannya. Karena gerakan mereka yang saling menarik, tanpa sengaja handuk yang dipakai Danish terlepas. Bianca yang sedang berusaha menarik tangan Danish, refleks menjerit dan menutup matanya saat melihat sesuatu yang tabu. "Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Kenapa kau malah memaksa." Danish menggerutu sambil meraih handuknya dan memakainya kembali. Sepintas Bianca bisa melihat luka di jari tangan Danish yang masih mengeluarkan darah. "Tanganmu berdarah, Tuan. Tunggu sebentar akan aku ambilkan plester dan obat merah," ujar Bianca. Dia berlari ke ruang tengah di mana terdapat peralatan P3K. Setelah didapat, dia segera kembali ke kamar Danish. Di sana Danish
"Memangnya siapa yang rambutnya acak-acakan?" tanya Danish dingin. Bianca terlihat salah tingkah. "Eh, itu ... ish aku lagi ngomongin Lee Min Ho. Dia kan penampilannya memang rapi," jawab Bianca kikuk. Danish menyunggingkan seulas senyum sinis kemudian berlalu ke kamarnya. "Rey, kakakmu seperti tersinggung," ujar Bianca dengan wajah menyesal. Rey hanya tertawa kecil. "Kak Danish emang selalu serius. Gak usah diambil pusing. Aku mandi dulu ya." Rey bangkit dan berlalu ke kamarnya. Bianca mengangguk sembari tersenyum. ****** Keesokan harinya, saat sore menjelang Bianca mengganti sprei di tiap kamar. Sengaja dilakukan sore, agar saat pemilik kamar tiba sprei-nya terlihat masih bersih. Lagu Pretty Boy dari M2M mengalun merdu dari ponsel gadis itu. I lie awake at night See things in black and white I've only got you inside my mind You know you have made me blind I lie awake and pray That you will look my way I have all this longing in my heart I knew it right from the start
"Astaga! Tuan, Anda baik-baik saja?" tanya Bianca makin mendekat. Dia sentuhkan punggung tangannya ke kening Danish."Panas sekali, Tuan," ujar Bianca seraya menarik tangannya, "Anda sakit. Tunggu sebentar saya ambilkan kompresan." Bianca segera berlari ke arah dapur dan mengambil air es. Kemudian, sebuah handuk kecil dia ambil dari ruang laundry. Tak lama, gadis itu kembali ke kamar Danish. Dia bahkan tidak menghiraukan pertanyaan dari Rey yang heran melihat Bianca bolak-balik.Bianca mengambil sebuah kursi dan menempatkannya tepat di samping tempat tidur. Dia segera memeras handuk dalam wadah air es dan menempelkannya di kening Danish. Lelaki itu tampak mengernyitkan dahinya. Sepertinya dia tidak nyaman dengan rasa dingin yang tiba-tiba terasa. Tubuhnya menggeliat. "Dingiin," rintihnya pelan. "Tapi Anda panas sekali, Tuan." Bianca menempelkan kembali handuk yang sempat terjatuh. "Minum obat dulu ya? Atau saya panggilkan dokter?" Danish menggeleng. "Aku hanya pusing setelah mem
"Makanya harus nurut kalau mau diurusin!" ujar Bianca ketus. Danish mengangguk pelan. "Iya, Tuan Putri," jawab Danish lirih. Wajahnya yang pucat tampak memelas. Bianca kembali ke tempat duduknya."Haa ...!"Bianca menyodorkan sesendok bubur yang mulai dingin. Walau rasa mual terasa menyiksa, lelaki bermata elang itu berusaha membuka mulutnya. Sesuap bubur berhasil dia telan dengan kekuatan super."Kamu sakit karena telat makan. Makanya jangan susah makan, Tuan. Apa susahnya, sih? Orang lain pada susah mau makan. Ini tinggal buka mulut, tapi susahnya minta ampun," cerocos Bianca tanpa jeda. Danish memperhatikan gadis itu sambil mengunyah bubur yang terasa pahit di lidah."Kamu cantik kalau lagi cerewet sepert itu," ucap Danish yang berhasil membuat wajah Bianca merah seketika. Gadis itu terlihat salah tingkah."Kalau kamu mau aku gak telat makan, mulai sekarang kamu harus suapin aku tiap hari," lanjut Danish."Kenapa kamu manja sekali, Tuan? Dan kenapa tidak kau nikahi saja salah satu
Gadis bertubuh mungil itu memindai seisi lemari pendingin yang ukurannya lebih besar dari lemari di kamarnya. Ada chesse cake juga brownies aneka rasa. Setelah mengambil beberapa potong dan menaruhnya di piring kecil, Bianca segera menyiapkan teh chrysant. Secepat kilat dia menaruh di meja di mana Rey sudah ada di sana."Silakan. Aku ke kamar dulu ya." Bianca menyunggingkan seulas senyum sebelum pergi. Baru satu langkah, terdengar lelaki itu memanggil namanya, "Bianca."Gadis itu menoleh."Iya?""Temani aku sebentar. Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan sama kamu."Gadis itu urung melanjutkan langkahnya. Dia kembali ke meja dan menarik sebuah kursi di depan Rey.Lelaki itu bangkit. Bianca menatapnya penuh tanya."Tunggu! Sekarang giliranku membuatkan teh untuk kamu. Diam di situ!" pinta lelaki berkaos putih itu. Kening Bianca mengerut.Tak perlu waktu lama, secangkir teh chrysant telah tersaji di depan Bianca. Wanginya menguar seantero ruangan."Kamu belum pernah mencobanya, 'kan? Ban
Sore itu Bian dengan telaten menyeka tubuh Danish menggunakan waslap, lalu menggantikan bajunya dengan yang baru."Tolong ambilkan juga pakaian dalamku, Bian. Aku sudah tidak nyaman."Mendengar itu mata Bian membulat sempurna."Siapa yang mau pakaikan, Tuan. Memangnya kau bisa memakainya sendiri?" Bian berkacak pinggang dengan wajah memberengut."Tentu saja kau yang pasangkan. Aku mana bisa. Kau lihat sendiri, 'kan, tanganku susah bergerak karena selang infus ini.""Anda jangan ngelantur, Tuan. Sementara kau pakai saja celana dalam itu sampai sembuh.""Biiiaaan, kau bisa membuka dan memakaikannya tanpa melihat. Kau bisa tutupi tubuhku dengan selimut. Ayo, tolonglah. Aku sudah tidak nyaman." Wajah Danish terlihat memelas. Bian menarik napas panjang."Ok, tapi kau tidak boleh berbuat mesum, ya. Kalau tidak, aku potong pakai pisau buah ini!" ancam Bian. Melihat itu, Danish meringis ngeri."Jahat banget kamu, Bian.""Bilang jahat, tapi maunya aku yang urusin. Kau itu aneh sekali, Tuan. Pa
Bian menyiapkan bubur yang sudah disiapkan juru masak. Semangkuk komplit dengan sayur sop juga telur rebus. Wanginya tercium menggugah selera.Danish sudah mulai membaik dan tidak diinfus lagi. Nafsu makannya sudah kembali."Bian, ada Pak Demian sama Bu Monic ke sini." Yuni tergopoh-gopoh mendekati Bian. Gadis yang hendak beranjak ke kamar tuannya itu seketika berhenti mengangkat baki."Kenapa, Bi? Ada yang harus aku sajikan untuk mereka?" tanya Bian sambil menatap Yuni."Eh, itu nanti saja aku yang siapkan. Kamu hati-hati, dia orangnya jutek sekali," jawab Yuni."Siapa? Tuan Demian menurutku sangat baik. Aku pernah bertemu waktu itu sebentar.""Bu Monic, dia jutek sekali. Dan biasanya suka sok ngatur kalau dia ke sini, terlebih kalau tidak ada Tuan Danish. Hiih juteknya minta ampun." Yuni bergidik ngeri. Bian tertawa kecil melihat kelakuan temannya itu."Ya sudah, aku coba lihat seberapa juteknya Nyonya Monic. Bi Yuni di dapur aja, biar nanti aku yang bawa cemilannya ke depan," ucap
Danish duduk termenung di pinggir ranjang. Tatapannya kosong. Bian mengelus punggungnya perlahan.Lelaki itu perlahan menoleh. “Apa kamu memang merencanakan ini semua sebelum berangkat ke sini?” tanya Danish. Bian mengangguk.“Jadi kamu sudah tahu kebobrokan mereka?”Bian kembali mengangguk.Danish memejamkan matanya dan melengos.“Dia lelaki yang paling aku benci. Tidak pernah berubah walaupun sudah tua. Dia tidak pernah puas dengan satu wanita,” ucapnya menyesalkan.“Apakah itu yang menjadi alasanmu berganti-ganti wanita?” tanya Bian polos.Danish menoleh dan menatap wanitanya lekat. “Aku jadikan itu sebagai pelampiasan. Selain ibuku, aku menganggap semua wanita adalah sama. Makhluk murah dan menjijikan. Mereka hanya bisa menjadi pemuas nafsu sesaat. Sebelum akhirnya aku bertemu kamu dan menyadari semuanya. Kau berbeda, Bian,” ungkap Danish.“Setiap wanita yang kutemui, mereka dengan mudah menyerahkan kehormatannya demi sejumlah uang. Ada juga yang tergila-gila padaku dan mau melaya
“Apa-apaan ini?” Irene berusaha mempertahankan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Namun, Monic pun tak mau kalah. Dia menarik tangan Irene yang tengah duduk dan menyilangkan tangan di dadanya.Monic tahu, semua itu demi menutupi tubuhnya yang tak memakai apapun.“Berengsek, ya, kalian! Nggak punya otak! Nggak punya hati!” teriak Monic.“Kau perempuan ular, Irene! Kau tega menikamku dari belakang. Akan aku bongkar semua kebobrokanmu sekarang juga.” Monic berteriak dengan napas yang naik turun. Matanya merah menahan sedih dan amarah.“Perlu kau tau, Danish. Kalau sebetulnya sekarang ini dia tidak hamil. Dia berpura-pura hamil supaya bisa menjebakmu dan memperoleh semua kekayaanmu.” Monic terengah.Danish terperangah. Namun, tidak dengan Bian. Dia sudah bisa menduganya.“Diam kau sialan!” Irene kini yang bangkit walaupun dengan gerakan tak bebas karena berusaha menutupi tubuhnya yang polos.“Aku tidak akan tinggal diam, Irene! Kau tega menggoda Demian di belakangku!” balas Monic.Bian
Bian masih menyembunyikan masalah itu dari Danish. Dia tidak ingin menambah beban suaminya yang tengah sibuk dengan pekerjaan dan bisnisnya. Bian berencana akan menangkap basah keduanya dengan disaksikan oleh Danish juga Monic.Dia yakin jika tak lama lagi Irene akan meminta izin pada Danish untuk pergi ke luar kota, entah dengan memberikan alasan apa.Benar saja, hanya berselang beberapa hari, Irene meminta izin pada Dnish jika dia akan ada acara reuni dengan teman-temannya di Bali. Tepat seperti yang pernah Bian dengar saat di kafe jika kedua pasangan selingkuh itu akan pergi ke Bali.“Boleh, kan, Danish?” pinta Irene dengan rengekan manjanya. Danish tak menanggapi. Dia malah asik melanjutkan makan malamnya.“Tuan, Mbak Irene lagi bertanya.” Bian berbisik. Namun, Danish tak menggubrisnya.“Aku nggak peduli. Mau dia pergi ke neraka sekalipun, aku nggak peduli,” jawab Danish. Bian tersenyum malas. Sedangkan Irene tampak biasa saja dengan sikap Danish yang tak peduli.“Jadi kamu kasih
“Hei, Bian.” Sebuah suara menyapa Bian yang sedang memilih pakaian di sebuah pusat perbelanjaan. Sekarang dia sudah berani ke mana-mana sendiri tanpa diantar oleh Danish yang super sibuk.“Hei, Lena!” Bian ikut terperangah saat melihat siapa yang menyapanya. Seorang teman lama semasa SMA.“Kamu keren, ya, sekarang. Makin cantik dan modis aja,” ujarnya sambil menilik Bian dari atas sampai bawah.Bian tertawa kecil.“Kamu lagi beli baju?” tanyanya dan Bian mengangguk.“Katanya, sekarang kamu punya suami yang kaya raya, ya? keren, deh, Bian.”Karena merasa tak enak diperhatikan oleh orang-orang, Bian mengajak Lena untuk mengobrol di kafe.“Kamu yang traktir, ya?” goda Lena mengedipkan mata. Bian tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.Mereka kembali mengobrol setelah memesan makanan dan minuman. Lena menanyakan kehidupan Bian yang konon bersuamikan seorang bule kaya. Bian hanya tertawa tanpa banyak mengungkapkan bagaimana Danish sebenarnya.“Sama ajalah sama yang lain. Bedanya suamiku e
Mata biru itu membelalak saat melihat siapa yang sedang duduk di ruang TV. Dengan santainya Rey memindahkan saluran sambil bersilang kaki.“Berani juga kau ke sini,” sindir Danish yang baru turun dari kamarnya. Rey tersenyum malas.“Aku ingin tahu keadaan Bian,” jawab Rey dengan entengnya.Danish terbahak.“Apa kau terlalu santai hingga mengurusi istri orang, hah? Dia itu tanggungjawabku, kau tidak perlu repot-repot memikirkannya. Hidupnya sudah sempurna dengan berada di sisiku.”Rey bangkit dan tersenyum kecut. “Oh, ya? Bagaimana dengan ini?” ucapnya menunjukan surat panggilan dari Pengadilan Agama.Danish membelalak. Dia tak menyangka jika Bian benar-benar mengajukan gugatan cerai.Dengan penuh amarah Danish menyambar surat itu dan menyobeknya hingga berkeping-keping.“Ini hanya lelucon. Bian akan segera mencabutnya,” ucap Danish jumawa.“Oh ya? Apa kau sudah yakin?” tanya Rey mengejek.Danish kembali terbahak. Dia kemudian meneriakan nama sang istri dengan lantang. Memangginya agar
Danish menatap secarik kertas berwarna hitam putih dengan gambar siluet bayi tak begitu jelas. Dahinya mengernyit. Dia tidak meyakini kebenaran tentang gambar hasil USG itu.Tanpa mengatakan apapun, Danish pergi dan melempar begitu saja hasil USG itu ke atas meja.“Gambar seperti ini bisa punya siapa saja. Aku tidak akan percaya sampai lihat hasil tes DNA,” ujarnya santai.Irene terlihat kesal dan meremas kertas hitam putih itu hingga tak berbentuk.“Dasar laki-laki nggak bertanggungjawab!” teriak Irene geram.Danish yang hampir menginjakan kakinya di undakan tangga terhenti seketika dan perlahan berbalik. Tersungging senyum sinis di wajahnya.“Kau bilang aku tidak bertanggungjawab?” Danish tersenyum kecut. “Lalu bagaimana kau bisa tinggal di sini dengan uang yang aku berikan padamu setiap kau minta?”Irene melengos.“Kau tidak pernah memperlakukan aku seperti kau perlakukan Bian. Kau tidak adil!” Irene kemudian berani berteriak.Danish melangkahkan kakinya mendekati wanita itu.“Apa
Bian yang sedang membereskan barang-barangnya merasa tak enak dengan sikap Danish di tempat kerjanya. Dia lalu menghentikan kegiatannya dan menghampiri Danish yang masih menatap nyalang pada maya.“Tuan, tolong tenanglah. Dia tidak tahu kalau kau ini sangat berkuasa. Ayo kita pergi saja.” Bian merengek, menghalangi tubuh jangkung yang tegap menantang. Bian memegangi kedua tangan Danish, menggoyangkannya sambil memelas.“Dengar! Ayo kita kembali ke hotel dan mengulang yang tadi. Lupakan saja keributan ini, ” bisiknya sambil berjinjit, menempelkan bibir ke telinga Danish. Tidak ada cara lain untuk menurunkan emosi lelakinya selain dengan merayu seperti itu.Danish yang sedari tadi menatap nyalang pada Maya, lalu mengalihkan tatapannya pada Bian dan tersenyum. Namun, sedetik kemudian Danish kembali menatap marah pada Maya.“Dengar! Kalau bukan karena istriku yang minta, sudah kutendang kau ke jalanan!” bentak Danish. “Minta maaf dan berterima kasihlah pada istriku sekarang juga!” titahny
Bian menggeliat. Tubuhnya benar-benar lelah jika sudah menghabiskan waktu dengan Danish. Perutnya keroncongan. Jam sudah menunjukan pukul 3 sore. Bian melirik ke sebelah kirinya, Danish terlelap lengkap dengan dengkuran halusnya. Dia pasti kecapean setelah pergumulan panjang.Bian merasa tak enak hati dengan staff yang lain, di saat jam kerja dia malah pergi meninggalkan tugasnya. Sudah pasti staff yang lain yang mengerjakan tugasnya.Beringsut turun dari tempat tidur dengan menutupi tubuhnya dengan selimut tipis berwarna putih, Bian memunguti pakaiannya yang terserak, lalu pergi ke kamar mandi. Dalam waktu 10 menit dia sudah beres mandi dan mengendap pergi.Beruntung di seberang hotel ada beberapa taksi yang mangkal, sehingga Bian tidak perlu repot-repot memesan taksi online. Pertemuan singkatnya dengan Danish, tidak menghasilkan sesuatu yang pasti. Apakah dia percaya dengan penjelasannya, atau hanya sekedar memanfaatkan pertemuan mereka demi untuk memuaskan hasrat.Langkahnya diperc
“Aime, tolong siapkan penerbanganku ke Surabaya sekarang juga!” ucapnya tegas. Dia tak meminta hal itu saat di ruang meeting tadi, karena masih menghargai para staff-nya.“Dengan pesawatmu?” tanya Aime meyakinkan.“Tentu saja. Aku tidak ingin membuang waktu,” jawab Danish berapi-api.Perjalanan Jakarta-Surabaya yang memakan waktu satu jam terasa begitu lama. Danish sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Bian.Danish pun merasa aneh, bagaimana Bian bisa sampai tinggal di Surabaya dan langsung bekerja dengan mudah.Tiba di Bandara Juanda, Danish sudah ditunggu oleh seseorang dan mereka bergegas menuju tempat Bian bekerja.Jarinya mengetuk-ngetuk punggung tangan tanda tak sabar. Sebuah gedung perkantoran berlantai empat sudah tak lagi jauh darinya. Dia meminta turun saat mobil di depan lobby.“Kau parkir saja. Aku telepon kalau semua sudah selesai,” ujar Danish. Sang sopir hanya mengangguk dari balik kemudi.“Aku mau bertemu dengan Bian,” ucap Danish tegas tanpa basa-basi di depan meja r