Keputusan Duncan untuk memajukan tanggal keberangkatannya dan menghabiskan lebih banyak waktu di Auckland, tak sepenuhnya mendapat sambutan hangat. Jerome, sudah pasti merasa senang karena putranya akan menghadiri acara pernikahannya. Lelaki itu menyambut berita yang disampaikan Duncan lewat telepon dengan girang.
“Kamu datang lebih tiga hari dibanding jadwal sebelumnya dan tetap pulang sesuai rencana? Serius, kan?” tanya Jerome, untuk mencari penegasan.
“Serius, Dad,” sahut Duncan sembari mengulum senyum. “Asalkan Dad berjanji tidak akan bosan melihat wajahku,” selorohnya.
“Tidak ada yang akan merasa bosan. Bahkan kalau kamu ingin tinggal di sini, Dad malah lebih senang lagi,” komentar Jerome.
Tawa geli Duncan akhirnya pecah. “Untuk yang satu itu, aku tak akan bisa melakukannya meski ingin, Dad. Aku harus menjaga Mama,” responsnya.
Situasi berbeda harus dihadapi Duncan dari para perempuan
Nina tidak pernah merestui hubungan kakaknya dengan Nuke. Dia bersikeras bahwa Duncan takkan bahagia karena mau terikat dengan gadis yang tak dicintainya. Di sisi lain, Nina menyalahkan Lanni karena seakan tidak memedulikan perasaan Duncan. Entah berapa kali keduanya harus beradu kata karena masalah ini.Namun, di atas semua itu, kegeraman terbesar si bungsu keluarga Caldwell itu ditujukan pada Nuke. Baginya, Nuke memanfaatkan kepatuhan baru Duncan kepada ibunya. Menggunakan kesempatan untuk memiliki pria yang dicintainya.“Kalau di mataku, Nuke itu manipulator. Dia tahu sekali memanfaatkan situasi untuk mendapatkan apa yang dia mau. Padahal dia jelas-jelas tahu kalau kamu nggak mencintainya. Kamu cuma menuruti keinginan Mama. Tapi terlihat jelas kalau Nuke tak merasa keberatan dengan semua itu,” ujar Nina pada kakaknya. “Makanya aku tidak bisa respek pada Nuke.”“Sudahlah, Nin! Kamu membuat semuanya makin sulit,” respons Dunc
“Berarti kita langsung pulang saja, ya?” balas Jerome dengan senyum tipis. Lelaki itu memeluk bahu anaknya. Duncan dan Jerome sama tinggi, memiliki kemiripan wajah yang luar biasa, dengan beda usia dua puluh lima tahun. Jerome terlihat lebih muda dari umur yang sesungguhnya. Dengan gaya pakaian yang tak berbeda dengan Duncan, mengenakan celana jeans dan kaus di balik jaketnya.Seperti ayahnya, Duncan juga mengenakan jaket tebal. Saat ini musim dingin sudah dimulai. New Zealand adalah negeri dengan cuaca yang suka berubah-ubah. Saat musim panas sekalipun, penduduk setempat tetap menyiapkan payung, jas hujan, atau jaket ketika hendak keluar rumah. Karena cuaca bisa berganti dalam sekedip mata.“Seharusnya Dad tidak perlu menjemputku. Aku bisa naik taksi. Mana ada calon pengantin yang masih keluyuran,” kelakar Duncan.“Aku bukan pengantin Indonesia, Nak,” balas Jerome. “Saat mau menikahi mamamu, aku tidak boleh ber
“Tidak ada yang salah,” Jerome menenangkan sambil tertawa kecil. “Kamu kira aku tidak ingin menikahi Isolde? Tapi dia tidak siap berkomitmen. Sementara aku tidak mau hubungan kami cuma jalan di tempat. Apa boleh buat, keputusan terbaik adalah berpisah. Tapi Isolde sekarang sudah menikah.”Duncan melongo. Dia selalu menyukai Isolde, pelukis berusia awal empat puluhan yang ramah dan lembut. “Menikah? Tapi, barusan Papa bilang kalau dia tidak siap berkomitmen?” tanyanya ingin tahu.“Rahasia Tuhan, Nak. Dia bersamaku selama dua tahun, tapi tidak yakin kalau kami cocok menjadi suami istri. Setelahnya, dia pacaran hanya beberapa bulan dan setuju untuk menikah,” bahu Jerome terkedik. “Aku bisa bilang apa?”Rahasia Tuhan. Ya, itu memang benar. Ada begitu banyak hal-hal aneh yang terjadi dan sulit untuk dimengerti. Seperti Duncan yang pernah mengira kalau Agatha adalah jodohnya. Nyatanya, cinta gadis itu padanya
Duncan terharu sekaligus lega saat melihat ayahnya bertukar sumpah dengan Imogen. Dia pernah berharap semoga ayah dan ibunya kembali bersama. Hingga mereka menjadi keluarga yang utuh lagi. Namun Duncan sendiri menyaksikan bagaimana keduanya jauh lebih bahagia setelah berpisah. Jadi, dia terpaksa membunuh keinginan itu. Kini, melihat Jerome memantapkan hati memilih pengantinnya, Duncan cuma bisa berdoa semoga hanya bahagia yang akan direngkuh ayahnya dan Imogen selama sisa usia keduanya.“Selamat, Dad. Aku benar-benar ikut bahagia untuk kalian,” bisik Duncan di telinga ayahnya sembari memeluk Jerome. Dia menggumamkan kalimat senada saat menyelamati ibu tirinya yang cantik itu.Hal pertama yang dilakukannya setelah Jerome dan Imogen dinyatakan sah sebagai suami istri adalah mengirim beberapa foto hasil jepretan kamera ponselnya pada Nina. Meski Nina tidak bisa melihat langsung apa yang terjadi, Duncan ingin berbagi momen itu.Dad ganteng, y
Seumur hidup, inilah penerbangan terpanjang yang harus dilalui Kelly dalam hidupnya. Sebelum tiba di Auckland, Kelly dan Cilla harus melakukan transit di Singapura. Parahnya lagi, penerbangan ke kota terbesar di New Zealand itu sempat mengalami penundaan. Hingga Kelly dan Cilla harus menunggu dua jam lebih lama di Changi.“Kamu kan cukup sering bepergian yang mengharuskan transit berjam-jam seperti ini. Apa nggak bosan, Cil? Ini pengalaman pertamaku tapi rasanya sudah pengin pulang saja,” kata Kelly. Dia memandangi seantero boarding room salah satu bandara tersibuk di dunia itu dengan perasaan lelah yang hampir tak tertahankan.“Menunggu itu memang bikin bosan, Kel. Itu pasti. Tapi, karena imbalannya adalah mengunjungi tempat lain yang jauh dari Indonesia dan sudah pasti menarik, aku nggak terlalu keberatan. Yah, walaupun bokong agak menipis karena harus duduk berjam-jam,” respons Cilla sambil tergelak.Perempuan itu menyod
“Tapi aku tetap akan melakukan itu. Sampai kamu bosan dan mengingat semua yang kukatakan ini,” balas Cilla dengan senyum mengembang.Auckland adalah sebuah kota yang dibangun di atas lima puluh tiga gunung berapi yang sudah tidak aktif. Populasi bangsa Polinesia adalah yang terbesar di dunia. Di masa lalu, Auckland pernah mencicipi kehormatan sebagai ibu kota New Zealand, sebelum posisi itu dialihkan pada kota Wellington.“Seharusnya, kita sekalian pergi ke tempat yang ada saljunya, Cil,” komentar Kelly begitu berada di dalam mobil. Cilla malah mencebik.“Di tempat yang suhunya masih di atas nol saja sudah dingin setengah mati kayak begini. Apalagi yang disertai dengan turunnya salju.” Cilla memeluk dirinya sendiri. Mereka berada di luar hanya beberapa menit tapi sudah nyaris membeku.“Supaya kita bisa mendapatkan pengalaman maksimal di sini. Mumpung ada di dekat Kutub Selatan,” argumen Kelly. “Tapi ba
Ketika Kelly mendapati Sherwin meninggalkan pekerjaannya dan datang ke Kirana Mahardika untuk menjemputnya, dia tahu bahwa lelaki itu sedang marah besar. Sherwin yang perfeksionis itu tak akan sudi meninggalkan kantornya jika tak ada keperluan mendesak atau pekerjaannya memang sudah selesai.Sebenarnya, ini bukan reaksi yang aneh. Karena Kelly sengaja mengabaikan lelaki itu selama berhari-hari. Bukan apa-apa, Kelly sungguh capek bertengkar dengan kekasihnya. Karenanya, dia merasa lebih baik menjaga jarak. Kelly tak ingin melontarkan kata-kata yang akan menyakiti mereka berdua dan kelak disesalinya. Dia juga tak mau mendengar kalimat menyilet dari Sherwin yang bisa membuatnya membenci lelaki itu.“Kita punya masalah serius dan kamu malah sengaja berpura-pura tak ada yang terjadi,” gumam Sherwin dengan suara rendah, begitu melihat Kelly. “Aku sengaja meluangkan waktu untuk menjemputmu. Hari ini, aku akan mengantarmu pulang ke tempat indekos,” tand
Kali ini, Kelly tak bisa mengelak, karena Sherwin mendatanginya ke toko. Gadis itu pun akhirnya naik ke mobil Sherwin meski enggan. Dia tahu risiko yang menunggunya, pertengkaran serius. Benar saja! Sherwin bicara panjang dengan nada kesal yang sejernih kristal. Semuanya bernada kritik. Di saat yang sama, Kelly mendadak merasa bahwa dirinya mirip terdakwa yang hak membela dirinya sudah dicabut tanpa alasan. Karenanya, gadis itu memilih untuk tidak mau tenggelam dalam kesedihan karena kata-kata kekasihnya. Dia mengubah taktik, tidak benar-benar mendengar kalimat yang dilontarkan Sherwin.“Kel, kamu dengar semua kata-kataku tadi, kan? Aku nggak mau hal seperti ini terulang lagi. Kamu sama sekali nggak menghargaiku. Kamu tetap pergi dengan Cilla ke New Zealand meski aku sudah bilang kalau merasa keberatan. Tadi aku sempat mengobrol dengan Cilla soal itu.”“Maaf ya Win, aku nggak bisa membatalkan rencana kepergianku. Ini peluang bagus untuk pekerjaanku. L
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har