Duncan merasa konyol karena merasa begitu senang hanya karena melihat Cilla dan Kelly mendatangi Perisa. Koreksi, melihat Kelly. Gadis itu masih seperti yang diingatnya hampir dua bulan silam. Tergolong jangkung untuk ukuran orang Indonesia, kulit terang, mata agak sipit dengan pupil sewarna obsidian, pipi tirus, serta bibir penuh. Duncan sampai menarik napas demi untuk menenangkan diri dan tak menunjukkan perasaan senangnya dengan transparan.
“Akhirnya aku bisa memastikan kalau kamu memang betul-betul chef,” canda Kelly sembari menatap Duncan dengan mata penuh binar.
“Berarti, sudah tidak ada keraguan lagi soal profesi Duncan?” respons Cilla. Perempuan itu tertawa geli.
“Sekarang sih, sudah yakin seratus persen,” balas Kelly.
“Astaga! Kamu tidak percaya kalau Duncan ini jago masak, ya?” Felix tampak kaget. Kelly cuma tersenyum lebar tanpa menjawab. Lelaki itu menoleh ke arah sahabatnya. &l
“Kenapa jadi serius begini, sih?” kritik Felix. “Aku kan cuma membawa mereka berdua makan malam di sini. Apanya yang salah?”“Kamu belum menjawab pertanyaanku,” Duncan mengingatkan. Dia menatap Felix dengan penuh konsentrasi.“Kamu masih tidak percaya kalau kubilang bahwa aku sudah melalui fase ‘bersenang-senang’ seperti yang selalu kamu ributkan dulu? Sudah, jangan cerewet lagi! Cepat siapkan makanan, aku mau menemani Cilla dan Kelly,” ujar Felix. Lelaki itu menepuk bahu Duncan sebelum meninggalkan dapur yang berisik dan dipenuhi aroma masakan itu.Sepeninggal sahabatnya, Duncan pun mencoba untuk menepati janjinya. Lelaki itu berusaha menyajikan makanan yang paling lezat menurutnya. Kali ini, Duncan sengaja tak meminta koki lain yang menyiapkan makanan. lelaki itu sengaja mencurahkan tenaga untuk memasak semua yang akan disajikan. Ayam panggang bumbu kari, avocado salad, sup jagung daun kemang
Kelly juga menunjukkan ketertarikan pada pekerjaan Duncan, melebihi apa yang pernah dihadapi oleh lelaki itu. Selain keluarga besarnya, Duncan tidak terlalu banyak mengenal lawan jenis yang benar-benar ingin tahu tentang profesinya. Dia terbiasa menghadapi kata-kata semacam, “Kamu seorang koki? Wow!”Namun hanya sebatas itu saja. Umumnya merasa heran karena penampilan Duncan dianggap tak terlalu cocok dengan profesi pilihannya. Nyaris mirip dengan Kelly yang masih agak kesulitan diyakinkan bahwa Duncan adalah seorang koki. Akan tetapi, Kelly menunjukkan ketertarikan pada profesi Duncan dengan lebih detail.“Kamu bisa cerita awal ketertarikan pada dunia memasak?” tanya Kelly kala itu. “Aku tetap merasa salut pada laki-laki yang memilih menjadi koki atau minimal memiliki kemampuan memasak. Karena aku sendiri tak betah di dapur.” Kelly tertawa kecil dengan wajah memerah. Mungkin karena rasa malu.“Tidak ada yang salah kalau
Tamu yang tak terduga lainnya ternyata Nina. Tanpa canggung, Nina memperkenalkan dirinya dengan Cilla dan Kelly. Dia menunjukkan ketertarikan pada keduanya. Nina memang cukup sering berkunjung ke Perisa. Kadang bersama teman atau pacarnya, tapi lebih sering datang sendiri. Adakalanya Duncan merasa bahwa Nina sedang memata-matai atau mengecek kondisinya. Namun dia tidak merasa keberatan. Di mata Duncan, itu salah satu cara Nina menunjukkan kasih sayangnya pada sang kakak.“Kamu sudah makan, Nin?” tanya Duncan. Dia menunjuk ke arah kursi kosong di dekat lelaki itu. Percuma saja menyuruh Nina menunggunya di dapur atau ruang kerja Duncan jika memang ada keperluan. Karena adiknya tak akan menurut. Nina sudah menunjukkan tanda-tanda bahwa dia tertarik untuk bergabung di meja itu.“Nanti saja. Aku belum lapar,” komentar gadis itu sembari menarik kursi yang ditunjuk kakaknya tadi. “Aku adiknya Duncan satu-satunya,” ucap Nina. “Memang k
Saat itu Duncan baru menyadari betapa mencemaskan tingkat ketidaksukaan adiknya pada Nuke. Padahal, Nina harus menerima kenyataan bahwa perempuan itu yang sudah dipilih Duncan sebagai tunangannya. Apa pun perasaan lelaki itu pada Nuke, pada akhirnya mereka akan menikah. Kesimpulan itu membuat mulut Duncan terasa pahit dengan tiba-tiba.“Aku setuju dengan Felix. Kamu memang selalu suka mengoceh sembarangan, nggak tahu situasi,” tukas Duncan. Dia tidak ingin Nina terus berceloteh dan membuat dirinya dan Kelly menjadi canggung. Duncan harus menghentikan adiknya.Untungnya, Cilla berhasil membicarakan tema lain yang membuat Duncan kembali menarik napas lega.“Aku dan Kelly ingin mencari aktivitas berbeda untuk mengisi waktu. Hitung-hitung mencari pengalaman baru dan juga menghindari kejenuhan. Kalian mungkin nggak pernah tahu, seorang calon pengantin kadang berubah menjadi begitu menjengkelkan dan banyak menuntut. Begitulah kalau faktor stresnya ng
Lelaki itu sama sekali tidak tahu, bagaimana bisa perasaan aneh yang dihadiahi hatinya kepada Kelly, bisa berkembang jauh. Padahal, gadis itu tidak melakukan apa pun yang bisa diisyaratkan sebagai segala bentuk undangan agar Duncan mendekat padanya. Sungguh, Duncan kebingungan mencari penyebabnya.“Apa pendapatmu tentang Cilla?” tanya Felix saat lelaki itu mengekori Duncan yang kembali ke dapur untuk mengecek kondisi di sana.“Orangnya supel dan menyenangkan. Soal fisik, kamu tentu sudah tahu jawabannya,” respons Duncan. Diam-diam dia berdoa semoga Felix tak bisa membaca isi hati Duncan terkait dengan Kelly.“Kira-kira, berapa peluang kami?” desak Felix lagi.“Cukup besar. Minimal tujuh puluh lima persen. Karena kelihatannya Cilla juga punya perhatian padamu. Asal kamu tidak sekadar iseng saja. Jangan sampai ada yang terluka lagi. Dosamu bisa bertambah berkali lipat,” kata Duncan, memperingatkan. “Kamu
Karena sang kakak tak memberi respons, Nina dengan senang hati mengulangi kalimat lugasnya yang mengejutkan itu.“Kamu pasti pura-pura nggak mendengar pertanyaanku tadi. Okelah, aku nggak keberatan untuk mengulanginya. Dengarkan baik-baik, ya?” gurau Nina. “Duncan, apakah kamu sudah sadar kalau hidup bersama orang yang tak dicintai itu akan sangat menyulitkan? Kapan mau berpisah dari Nuke?”Duncan melongo. “Apa sih yang kamu ocehkan?” kritik sang kakak dengan nada tak suka. “Nuke akan menjadi iparmu, entah kamu suka atau tidak. Jangan lupa, kami sudah bertunangan dan tak lama lagi akan segera menikah. Jadi, tak ada alasan untuk berpisah dari Nuke,” ocehnya.Kalimat yang diucapkannya itu membuat Duncan mengernyit. Dia baru saja menegaskan rencana masa depannya di depan Nina. Tidak ada orang lain, hanya ada dirinya dan Nuke. Ya, itulah yang akan terjadi. Duncan akan menghabiskan sisa hidupnya dengan perempuan yang ta
Merasa kalah telak, Duncan pun mundur dari arena adu argumen. Jika terus berdebat dengan Nina, lelaki itu cemas dia akan kehilangan kontrol dan malah membuka rahasia hatinya pada sang adik. Duncan tak mau jika itu sampai terjadi."Terserah kamu saja," pungkas Duncan seraya berdiri. Tak terduga, Nina yang cuma kalah tinggi lima sentimeter dari sang kakak, melompat dari tempat duduknya dan mengadang Duncan. Lelaki itu mengernyit tak suka."Aku serius. Kamu boleh saja membohongi orang lain. Tapi aku sangat mengenalmu. Kita bersaudara dan tumbuh bersama, Duncan. Kamu kakakku satu-satunya, aku peduli padamu." Tatapan Nina menusuk Duncan, dengan sorot cemas meliuk-liuk di matanya. "Aku benar-benar khawatir. Dan aku nggak akan capek mengulanginya lagi dan lagi sampai kamu bosan dan menurut. Jangan menikahi Nuke hanya karena kamu ingin membuat Mama bahagia. Kamu nggak perlu berkorban sejauh itu.""Aku baik-baik saja," sergah Duncan bernada final.“Aku a
"Jangan cemas, Duncan,” kata Lanni, seakan bisa membaca gemuruh perasaan yang sedang bergejolak di benak putranya. “Mama akan membantumu. Kalau ada sesuatu yang akan memudahkan jalan kalian, bilang saja. Selain itu, mulai sekarang kamu harus meluangkan banyak waktu untuk bersama Nuke. Dan meski tak mudah, lupakan masa lalu. Hiduplah untuk masa kini dan masa depan. Yang sudah berlalu tak ada gunanya diingat lagi. Sudah tak bisa diubah sama sekali."Selama lima degup jantung, Duncan tidak mengerti maksud Lanni. Hingga kemudian nama Agatha melintas. Ah, dia sudah berjuang cukup lama untuk memastikan Agatha tak lagi mengusik hidupnya. Kini, kerja kerasnya mulai berbuah cantik.“Jangan cemas, Ma. Aku sudah melupakan Agatha,” aku Duncan, jujur. “Aku tidak hidup di masa lalu. Agatha bukan lagi menjadi ancaman. Aku baik-baik saja.”“Baguslah kalau begitu. Mama benar-benar lega mendengarnya,” respons Lanni. "Kakimu ba
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har