“Kalau kamu masih mengantuk, tidur saja, Vi! Kita masih punya....” Quinn melirik arlojinya. “... hmmm... sekitar lima belas jam lagi. Sampai jam 10 malam waktuku, kan?”
“Iya. Aku tidak akan tidur karena memang tidak mengantuk,” respons Violet.
Violet tidak ingin tertidur meski hanya sedetik. Baginya, lima belas jam itu terlalu singkat. Lima belas jam itu akan segera berlalu tanpa terasa. Dan dia tak ingin melewatkannya dengan penyesalan. Karena entah kapan lagi kesempatan ini akan kembali. Bahkan, sangat mungkin dirinya dan Quinn tidak akan bersua lagi.
Wajah Jeff melintas mendadak. Violet diselubungi rasa bersalah, tapi dia segera mendepak perasaan itu. Andai apa yang dilakukannya hari ini adalah kejahatan dan mendapat hukuman berat, dia tidak keberatan untuk menjalaninya. Tanpa mengeluh.
“Kenapa ponselmu dimatikan?” Quinn keheranan melihat Violet tiba-tiba meraih telepon genggamnya.
Violet menyahut,
Violet menunggu Quinn dengan perasaan nyaman yang masih terus bertahan. Tak ada kecemasan bahwa dia sudah melakukan sesuatu yang berlebihan meski mungkin apa yang terjadi agak tak masuk akal. Namun dia tak mau memikirkan hal-hal lain yang bisa membuat perasaan Violet berubah tak tenang.Namun saat teringat teman-temannya di rumah indekos, gadis itu buru-buru menyalakan ponselnya. Dia tak mau Kelly dan yang lain panik jika dia seharian penuh tak bisa dihubungi dan malah pulang malam. Karena itu, Violet mengirimkan pesan pada Kelly.“Kel, setelah ini aku akan mematikan ponsel seharian penuh. Aku akan bersama Quinn sampai malam. Tolong jangan lapor polisi, ya.”Setelah pesannya terkirim, Violet kembali mematikan gawainya. Dia sengaja tidak menunggu balasan dari Kelly. Yang terpenting, Violet sudah memberi kabar supaya teman-temannya tidak bingung.Quinn luar biasa memesona meski hanya mengenakan pakaian standar. Tubuh jangkungnya t
Keduanya nyaris tak henti tersenyum atau bertukar tawa. Hawa panas Jakarta yang menyengat kulit sama sekali tidak dipedulikan. Keringat yang mengucur pun diabaikan. Mereka mirip dua anak kecil yang sedang bersenang-senang, seakan hidup akan berlangsung selamanya. Seolah hari-hari akan selalu sama. Penuh bahagia dan kegembiraan.“Kamu tidak mengantuk, Quinn?” Violet benar-benar khawatir. Bagaimanapun, Quinn sama sekali belum memejamkan mata sejak kemarin. Tentu saja Violet tak mau terjadi sesuatu pada lelaki ini. Apalagi, Quinn masih harus menyetir dan menolak untuk digantikan.“Tidak. Tenang Vi, aku baik-baik saja. Sama sekali tidak mengantuk,” akunya. “Kalau aku merasa tidak sanggup untuk terus menyetir, aku pasti akan berhenti di rest area atau memintamu menggantikanku. Aku tidak akan mencelakai kita berdua.”Mobil yang dikendarai Quinn itu masih berada di jalan tol, dalam perjalanan pulang menuju Bogor. Hari sudah mul
“Tidak usah! Aku tidak mungkin pergi dari sini begitu saja. Lagi pula, kamu tidak akan menetap di sana, kan?” Violet membutuhkan sebuah penegasan. Meski dia tak tahu untuk alasan apa. Dia lega saat melihat Quinn menggeleng.“Tidak. Cuma enam bulan. Maksimal delapan bulan,” sahut Quinn.“Nah, kalau kamu di sana cuma sementara, untuk apa aku ikut ke Yogyakarta? Makanya usulmu itu kusebut lucu,” respons Violet, menutupi kegugupannya. Quinn membuka mulut, hendak mengucapkan sesuatu tapi membatalkannya di saat-saat terakhir.Violet membeku karena sebuah kesadaran mengangkat layar berkabut di depan matanya. Dia seketika merasa malu karena merasa cemas hanya untuk rencana kepergian Quinn. Memangnya dia siapa sehingga harus merasa terganggu dengan keputusan Quinn itu?“Violet, aku ingin bertanya padamu. Tapi kuharap kali ini bebas marah. Kita bicara sebagai manusia dewasa dengan akal sehat. Karena menurutku yang ingin kub
Violet merasa air mata mulai berdesakan dan siap tumpah. Dia berusaha keras untuk menahannya. Gadis itu agak mendongak untuk mengerjap hingga beberapa kali.“Sebenarnya, aku ingin bicara tentang ini di malam kamu datang ke hotel. Itulah kenapa aku putus dari Eirene. Aku menyadari bahwa aku tak bisa lagi mencintainya seperti dulu. Hatiku bukan lagi miliknya karena perasaanku sudah berubah drastis. Hatiku sudah direbut olehmu. Dengan telak. Tapi kemudian kamu mengatakan hal-hal menyakitkan itu. Kamu ... ah sudahlah!” Tangan Quinn bergerak di udara.Rasa bersalah menghunjam dada Violet tanpa bisa dihadang. Dirinya memang punya andil besar untuk semua kepahitan yang mereka rasakan berdua. Saat itu, Violet sudah punya jawaban. Dia sebenarnya tak membutuhkan waktu untuk berpikir. Namun dia tak mampu melisankan apa pun. Violet tak berdaya mengambil keputusan drastis yang bisa membuat dirinya dan Quinn bahagia. Karena itu artinya dia hanya menjadi pengkhianat yang
Namun, apakah berarti dia harus memilih Quinn? Setelah melihat kesungguhan Jeffry beberapa bulan terakhir, mau tak mau Violet kian menghargai kekasihnya. Mungkin memang hal itu sedikit terlambat karena Tuhan sudah mempertemukannya dengan Quinn yang menawan. Di sisi lain, bukankah Jeffry juga pantas diberi kesempatan?“Kenapa aku menjadi gadis labil seperti ini? Sejak kapan aku mudah terombang-ambing begini?” tanya Violet pada diri sendiri. “Kenapa aku harus berada dalam situasi ini?”Violet bagai terperangkap badai. Berjam-jam dia mencoba menenangkan diri, tapi nihil. Hanya menghasilkan kekosongan yang menyiksa dan rasanya tak tertahankan.Violet membenci sisi dirinya yang terlalu banyak mempertimbangkan sesuatu. Sisi dirinya yang tak bisa mengabaikan begitu saja janji Jeffry. Padahal, andai dia memilih Quinn, siapa yang bisa menyalahkannya? Namun Violet tak pernah bisa menjadi seegois itu.Pertanyaannya, apakah dia harus terus men
Jeffry berusaha menyusul Violet ke tempat kos, tapi ternyata gadis itu tidak ada di sana. Teman-teman Violet tak bersedia membuka mulut tentang keberadaan kekasih Jeffry itu. Ponsel Violet tidak aktif sehingga mereka tak bisa bicara. Lelaki itu terpaksa menunggu berjam-jam tanpa hasil. Esoknya, Jeffry masih terus mencoba bicara dengan kekasihnya.Violet benar-benar tak tertarik untuk bertukar kata dengan pria yang masih menjadi kekasihnya itu. Gadis itu sudah berada di titik tertinggi kesabaran yang bisa dimilikinya jika terkait dengan Jeffry. Violet sudah mengalah selama ini, menerima pembelaan diri dari Jeffry bahwa lelaki itu selalu setia. Dia memang suka memandangi perempuan cantik tapi hanya sebatas itu. Meski tak sepenuhnya suka, Violet pada akhirnya berusaha menerima “cacat” itu.Akan tetapi, situasinya berbeda sekarang. Violet menyaksikan sendiri Jeffry merayu seorang pegawai magang yang cantik dan baru saja mulai bekerja selama beberapa hari. Viole
“Vi, jangan begitu! Aku betul-betul minta maaf. Tolong beri aku kesempatan sekali lagi, ya? Aku janji, ini terakhir kalinya aku membuat ulah.” Jeffry meremas rambutnya dengan tangan kanan. “Ini cuma kesalahpahaman, Vi. Tolong maafkan aku. Jangan terlalu mudah meminta untuk berpisah. Karena aku takkan melepaskanmu dengan mudah. Aku cinta padamu, Vi. Kamu adalah perempuan terpenting dalam hidupku.”“Aku sudah cukup lama bertahan, Jeff. Ini bukan keputusan impulsif. Tidak ada jalan kembali untuk kita. Yang terbaik, kamu dan aku berpisah.”Bagaimanapun Jeffry merayu, hati Violet tak lagi bergetar. Hanya rasa iba yang menggedor-gedor dadanya di saat tertentu. Miris melihat bagaimana Jeffry tak bisa menerima keputusannya dengan lapang hati. Geli menyaksikan bagaimana Jeffry berusaha keras meraih hatinya. Lagi.Jeffry lupa, bahwa dia sudah diberi kesempatan yang lebih dari cukup. Jeffry alpa mengingat entah sudah berapa banyak janji
Jeffry juga tampaknya cukup optimis bahwa mereka bisa kembali bersama. Mungkin lelaki itu mengira bahwa Violet hanya sedang marah dan akan segera luluh. Sia-sia semua upaya Violet untuk membuka mata Jeffry bahwa kali ini dia takkan berubah pikiran. Alhasil, Violet terpaksa mengambil langkah drastis yang dirasanya tepat.“Untuk apa kamu pindah kos dan mengganti nomor ponselmu hanya karena Jeffry? Gila!” Kelly shock mendengar keputusannya. “Abaikan saja dia. Bukan kamu yang harus pergi dari sini. Jeffry yang seharusnya tak lagi datang ke sini untuk mengganggumu.”“Aku benar-benar merasa tidak nyaman lagi. Aku tidak mau semua orang di sini malah makin kesal karena aku tak bisa meminta Jeffry menjauh,” Violet beralasan.“Kenapa harus kamu yang mengalah? Ini kehidupanmu, Vi! Tidak ada orang yang boleh mengacaukannya.” Kelly geleng-geleng kepala.Violet ingin bisa mempercayai sekaligus melakukan itu. Namu
Wynona memasuki masa berkabung karena patah hati tanpa air mata atau kesedihan yang berlarut-larut. Kendati berpisah dari David setelah hubungan selama sembilan tahun, tetap saja bukan hal yang mudah untuk dihadapi. Akhir hubungan mereka begitu tak menyenangkan karena sikap David dan keluarganya. Namun Wynona makin yakin dia sudah mengambil keputusan yang tepat.Ada beberapa sebab, tak cuma melulu “dosa” David saja, melainkan juga kesalahan Wynona. Sejak malam itu, David bahkan tak berusaha menghubungi Wynona lagi. Lelaki itu seolah menghilang begitu saja. Sembilan tahun yang mereka miliki bersama-sama, tak penting. Wynona pun tampaknya dianggap bukan lagi perempuan yang pantas untuk diperjuangkan.Sementara dari sisinya, Wynona kian yakin bahwa perasaannya pada David sudah benar-benar tawar. Hatinya sudah berubah. Gadis itu tak keberatan disalahkan karena seolah memberi peluang pada Leon untuk masuk dalam hidupnya.Dia tak akan menampik hal itu. Nam
Kata-kata yang dilontarkan orangtua Leon itu membuat Wynona benar-benar merasa dihargai. Dia tak bisa mencegah rasa haru menusuk-nusuk dadanya. Namun. Tentu saja dia tak boleh menangis lagi di sini. Sudah cukup air mata yang ditumpahkannya hari ini.“Wyn, mau main ludo atau halma?” Suara erangan terdengar dari berbagai arah sebagai respon untuk kata-kata Anton. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tak berdosa saat membela diri. “Papa kan belum pernah main ular tangga dengan Wynona.”“Tolong Pa, kreatiflah sedikit. Setiap tamu selalu diajak main halma atau ludo. Apa tidak ada yang lain?” gerutu Trisa. Lalu, perempuan itu bicara pada tamunya. “Wyn, kapan kamu bisa mengirim daftar belanjaan untuk minggu depan? Lebih cepat lebih baik, kan?”“Iya Kak, aku akan menyiapkan daftarnya secepatnya. Besok atau paling telat lusa,” janji Wynona.Trisa mengangguk senang. “Mungkin sehari sebelum acara, akan leb
“Tidak apa-apa. Walau sebenarnya aku ke sini cuma ingin bertemu Om, Tante, dan Kakak,” sahut Wynona. “Agak pesimis juga awalnya, karena menurut Leon, Kakak nggak tinggal di sini.”Trisa tersenyum lebar. “Begitulah kalau menjadi anak perempuan satu-satunya. Kalau aku nggak datang selama beberapa hari, pasti ada yang menelepon. Kalau tidak Mama, Papa, kadang asisten rumah tangga. Ada saja alasan yang diajukan. Yang terbanyak sih, Nadya. Padahal, mereka itu merindukanku,” kelakarnya.“Hahah, aku jadi sangat iri. Aku juga anak perempuan satu-satunya tapi tak ada yang merindukanku seperti itu.”Trisa menatap Wynona sungguh-sungguh. “Aku justru yang iri dengan kemampuan memasakmu, Wyn! Aku semur hidup cuma bisa memasak nasi goreng. Itu pun menggunakan bumbu instan. Kemampuan memasakku nol besar. Padahal Mama jago di dapur. Dan kami terbiasa dimanjakan dengan masakannya.”Setelah kembali ke ruang tamu,
Wynona hampir menabrak dada seseorang saat membalikkan tubuh. Sendok kayu yang dipegangnya, jatuh ke lantai. Tangan kanannya memegang dadaku, seakan dengan begitu rasa kaget gadis itu akan berkurang jauh.“Syukurlah kamu baik-baik saja,” gumamnya dengan ekspresi lega tergambar jelas. Leon pasti tidak pernah tahu kalau Wynona pun tak kalah lega melihatnya.“Kamu mengagetkanku,” bibir Wynona cemberut. Dia hendak berjongkok memungut sendok kayu, tapi Leon bergerak lebih cepat dan menaruh benda itu di wastafel.“Dapurnya indah. Aku suka,” puji Wynona. “Sebentar, aku harus memindahkan mi-nya dulu.”“Butuh mangkuk besar?” Leon membuka sebuah pintu kabinet di bagian atas dan mengeluarkan sebuah mangkuk kaca transparan. “Apakah ini cukup?”Wynona mengangguk. Dengan gerakan hati-hati, dia menyusun mi, kol, dan telur rebus yang sudah dipotong-potong. Saat hendak menua
David menatap Wynona tak percaya. Kemarahan tergambar di setiap gerak tubuhnya. “Putus? Kenapa kamu terlalu cepat mengambil keputusan?”Gadis itu menggeleng. “Ini bukan keputusan yang terburu-buru. Selama ini, aku hanya tidak berani mengakui kenyataan.”“Wynona!”Gadis itu menatap wajah David dengan perasaan campur aduk. Betapa lelaki ini pernah membuat hati Wynona berpesta karena cintanya. Betapa David pernah menjadi orang terpenting dalam hidup gadis itu. Betapa Wynona pernah sangat ingin mengubah dirinya agar menjadi sosok paling diinginkan dalam hidup lelaki ini. Itulah kuncinya, pernah. Artinya, itu sudah berlalu lama, sebelum gadis itu akhirnya diterpa kesadaran. Terlambat, tapi Wynona tidak menilainya sebagai sebuah kefatalan. Dia tidak menyesali semuanya. Gadis itu hanya menganggap semua ini sebagai proses panjang yang mendewasakan.“Wyn, jangan cuma karena masalah ini, hubungan kita m
“Wyn,” David menjajari langkah kekasihnya. Sementara Wynona berusaha berjalan lebih cepat. Dia hampir mencapai pintu gerbang ketika David berhasil meraih lenganku.“Apa kamu tidak mendengarku?” tanyanya marah. Ekspresinya berubah keras.“Aku cuma ingin pulang. Aku tidak mau dihina lagi.”David menggelengkan kepalanya. “Mama hanya ingin tahu tentang kamu.”Wynona menatap David dengan tajam. Andai bisa, dia ingin mengguncang tubuhnya David dan meniupkan kesadaran di benaknya agar lelaki ini melihat fakta yang sebenarnya.“Vid, mamamu tidak menyukaiku. Sampai kapan pun akan tetap seperti itu. Percayalah, tidak akan ada yang berubah. Dan aku tidak nyaman diperlakukan seperti tadi.”David masih memegang lengan Wynona. “Aku tidak mengizinkanmu pulang. Nanti aku akan mengantarmu, Wyn! Sekarang, ayo kita masuk ke dalam lagi,” ajaknya.Wynona menggeleng tegas seraya melepa
Wynona tersenyum kecil menanggapi gurauannya. David nyaris tidak pernah antusias menikmati masakanku. Gadis itu mengitari ruang tamu yang luas itu dengan tatapannya. Ada belasan perempuan paruh baya yang bergaya trendi. Juga ada beberapa gadis muda yang usianya tak jauh beda dengan Wynona. Aneka aroma parfum mahal menyengat hidung. Membuat campuran aneh yang memusingkan kepala Wynona. Semua orang sibuk berbincang seraya menikmati aneka makanan yang tampak lezat. Gadis itu tidak melihat kehadiran ayah dan saudara David lainnya.Irene mendekat ke arah Wynona, Sofia, dan David yang duduk di sebuah sofa panjang. Perempuan itu memilih sofa tunggal di depan mereka. Wynona baru ingat, dia sama sekali tidak diperkenalkan dengan tamu yang ada.“Ma, coba cicipi ini.” Sofia menyodorkan sepotong kecil pie yang dibawa Wynona. Irene menggigit ujungnya sedikit. Entah mengapa, Wynona menjadi tegang karenanya.“Enak,” ujarnya. Namun dia menolak m
Wynona mendesah. “Kukira kamu akan memberiku usul yang masuk akal. Kamu kan tahu apa yang terjadi padaku saat resepsi? Kenapa kamu masih bisa mengusulkan ini?”“Wyn, aku tidak ingin melihatmu sedih atau terluka. Akan tetapi, ada kalanya kita harus berhadapan dengan kepahitan untuk mengetahui apa sebenarnya kebenaran di baliknya. Kalau kamu tidak mau bertemu mamanya David, apa masalah kalian akan selesai? Bukannya malah membuat semuanya menjadi makin rumit?”Wynona mengerutkan alis. “Aku tidak mengerti maksudmu.”Gadis itu mendengar suara tawa ringan di seberang.“Menghindar pasti lebih mudah. Tapi, apa kamu tidak penasaran ingin tahu bagaimana sebenarnya sikap keluarga David? Maksudku, mamanya. Kamu butuh kesempatan untuk bisa menilai dengan objektif. Dan menurutku, ini saat yang tepat.”Wynona tercenung mendengarnya. Keheningan menyergap selama sesaat.Leon bicara lagi. “Sebenarnya
Wynona masih berada di dalam kepungan kabut membingungkan sebagai efek dari kata dan tindakan Leon. Dia masih belum bisa berpikir dengan jernih untuk tahu apa yang sebenarnya diinginkan. Semuanya serba membingungkan. Seakan Wynona berada di sebuah labirin paling rumit di dunia.Lalu, David menghubunginya setelah berhari-hari menghilang tanpa kabar. “Wyn, apa kamu baik-baik saja?” tanyanya penuh perhatian.“Ya,” dusta Wynona sembari menggigit bibir.“Aku minta maaf untuk berbagai masalah di antara kita. Tapi aku ingin menyelesaikannya satu per satu.” Jeda beberapa detik. “Mama ingin bertemu denganmu. Nanti malam bisa?”Wynona benar-benar tak siap dengan permintaan itu. “Nanti malam?”“Iya. Apa kamu tidak bisa? Ada pekerjaan?”“Aku....”Jawaban Wynona belum tuntas tapi sudah menukas dan mendesak. “Tolong luangkan waktu, ya? Aku tidak enak kalau har