Begitu selesai membersihkan badan, ketika keluar kamar mandi arah pandangnya menyapu ke nakas yang berada di sebelah kiri kasurnya. Tepatnya, kotak kecil yang ada di samping nakas itu hampir tidak terlihat kalau tidak benar-benar dia perhatikan.
Perlahan Clara mendekat dan mengambil kotak itu.
Mungkin ketika beberapa minggu yang lalu ketika dirinya sedang pada mode 'Clara yang galau dan lebay' menangisi perihal perasaannya yang tak berbalas oleh lelaki yang dia cintai, membuatnya lupa akan kotak itu. Pasalnya setelah memangis, dia melempar asal karena saat itu pikiran untuk membuang kotak dan isinya sudah hampir terlaksana tapi apa daya, Clara yang sentimentil tidak akan semudah itu membuang barang berharganya.
Deringan pada ponselnya membuat Clara dengan cepat menggeser gambar telepon ke kanan—tanda mengangkat panggilan tersebut.
"Hi."
Clara tersenyum. "Hi."
Hening sejenak. Clara bisa merasakan degup jantungnya perlahan semakin mening
“Maaf.”Clara yang semenjak masuk ke dalam mobil kekasihnya hanya terdiam. Bahkan beberapa kali pria itu berusaha mengajaknya bicara yang berakhir dengan dengan keheningan karena sepertinya tidak ada usaha gadis itu untuk melanjutkan percakapan.“Maaf kenapa?”Clara memalingkan muka ketika Joy melihatnya sekilas, karena Joy masih mengemudi.
Nggak apa-apa, Ra. Lo harus bersyukur.Nggak boleh sedih. Harus bersyukur.Jangan marah sama Joy. Harus bersyukur.Sudah ribuan kali kalimat-kalimat itu Clara ucapkan demi meredam banyaknya suara kekecewaan di hati dan benaknya. Sore tadi, setelah Clara menjawab dan gadis itu langsung mengajak pulang yang di iyakan oleh Joy.Setengah jam yang lalu lelaki itu pun baru selesai menelfonnya, seperti malam sebelumnya. Jam yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam tidak membuat Clara mengantuk.Badannya bergerak gelisah ke kanan dan ke kiri, akhirnya tangan kanannya memanjang ke nakas dan mengambil ponselnya.Begitu ponselnya berada di genggaman tangannya, po
Clara menyantap makanannya dalam diam. Radit dan Joy asik mengobrol membahas game yang saat ini sedang menjadi trending topic karena level yang diciptakan oleh game developer-nya yang terus berkembang dan mengikuti keinginan para pemainnya. Dia tidak mengerti jadi memilih diam saja. Ketika Radit selesai makan, dia pun pamit pergi ke rumah temannya untuk mabar—main bareng—bersama teman-teman satu tongkrongannya. "Anak itu, bener-bener deh." Gumam Clara kesal. Mendorong kursinya, Clara bergerak untuk menumpuk piring-piring yang kotor. "Sini aku bantuin." Joy mengambil piring kotor, menumpukkannya lalu membawa ke washdisher
Sudah masuk di bulan kedua. Hubungan Joy dan Clara masih berjalan tanpa ada hambatan. Clara bersyukur karena tidak ada tanda-tanda keanehan dari kekasihnya yang sempat membuat Clara ragu dan takut pada awal kedekatan pria itu. Yang juga menjadi peringatan dari sahabat-sahabatnya. Clara tersenyum ketika mobil Pajero hitam kekasihnya berhenti di depan lobi. "Pas banget aku baru sampe lobi dan kamu langsung dateng." Kalimat pertama yang Clara katakan ketika sudah berhasil masuk ke dalam mobil. Joy tertawa. "Pake dulu seatbelt-nya." "Iya." Sesudah Clara memasang seatbelt, Joy pun mulai membawa mobilnya kembali ke jalanan yang sudah dipadati oleh orang-orang yang baru pulang kantor. Sesekali Clara melirik ke arah tangan pria itu yang ada di atas kemudi mobil. Telah terbiasa digenggam, membuat Claramencari jemari besar yang biasa menggenggamnya. "Kenapa?" Tanya Joy bingung ketika Clara menarik tangan kir
"Radit, Mbak mau nginep di rumah temen dulu ya. Mau nenangin diri." Adalah pesannya pada adik bungsunya ketika melihat keributan tadi pagi.Adiknya yang memang tidak pernah ikut campur atau membantu, mengangguk ragu dan pergi dari kamarnya.Clara ingin menjerit.Pernah dengar kalimat ini?"Jangan tertalu banyak tersenyum, nanti bisa nangis."Dan itulah yang Clara lalukan. Semalaman tak henti-hentinya dia tersenyum karena pertama kalinya dalam hidupnya yang absurd ini, dia merasakan bahagia tak terhingga.Namun paginya, kebahagaian itu sirna tatkala ibunya menyeretnya dari atas ranjang dan mengguyurnya dengan air dingin tanpa alasan. Clara saja belum sepenuhnya sadar ketika kejadian itu terjadi. Selama 25 tahun hidupnya, pagi ini adalah titik lelahnya untuk bersabar.Mungkin ibunya itu berani karena ayahnya sedang dinas keluar kota tapi Clara masih belum bisa menebak kenapa ibunya bisa melakukan hal itu.Di samping kanannya suda
Selesai berciuman yang diinisiasi oleh Clara, Clara langsung mendorong Joy sejauh-jauhnya dan dengan kikuk menyiapkan makanan di atas meja makan. Joy pun menikmati makan pagi yang dirangkum menjadi satu menjadi makan siang itu dan tak lupa, untuk menjahili Clara yang mukanya sudah semerah kepiting rebus.Setiap Joy mendekat, Clara pasti memalingkan muka dan berdalih ingin ke kamar mandi lah, mengambil ponselnya dan pura-pura sibuk dan banyak alasan lainnya.Sampai geram sendiri melihat tingkat malu yang menggemaskan Clara, ketika mereka sudah kenyang, Joy menyita ponselnya dan mengurung gadis itu di dalam dekapannya di sofa ber-letter L tersebut.Joy menawarkan Clara untuk menonton sesuatu yang langsung Clara setujui.Mata Clara terpaku pada televisi yang menayangkan dra
Selasa siang, Ica dan Clara bertemu di salah satu restoran di dekat kantor Ica. Kali ini mereka bertemu hanya dua personil saja karena Ghiffary masih dinas di Jogja. Entah mengapa, Clara merasa berbunga-bunga. Dia merasa akhirnya hidupnya seperti yang dia inginkan. Punya sahabat yang pengertian dan sayang dengannya, rekan kantor yang juga berakhir menjadi sahabatnya—minus mantannya yang tidak waras itu, juga seseorang yang dia cintai dari lama dan berakhir menjadi pacarnya—yang ternyata jauh lebih indah dan mendebarkan dibanding jutaan mimpinya, juga keluarga yang… ya syukurnya lengkap—minus ibunya yang selalu bersikap tidak adil dan selalu mencari kesalahannya. Clara merasa hidupnya sudah mencapai satu titik kebahagian tiada tara yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Dengan senyum yang masih menghiasi wajah
Pukul sebelas malam Joy baru mengabarinya. Ada rasa sedih, kecewa, dan marah yang bercokol di dalam hatinya.Berlebihan kah, jika Clara menangis karena hal ini?Berlebihan kah, jika Clara merasa ditipu?Clara pernah percaya pada seseorang tapi kepercayaan itu dihancurkan. Clara pernah mencintai seseorang bertahun-tahun tapi berakhir sengsara bertahun-tahun lamanya juga, walau saat ini kenyataannya Clara bersama sang pujaan hati, hal itu tidak semata-mata membuatnya lega.Ketukan di pintu kamarnya membuat Clara dengan cepat menghapus air mata yang untungnya belum terlanjur deras keluar.“Masuk.”Radit masuk sambil membawa tteokbokki—kue beras,
Beberapa hari yang lalu saat mereka baru saja tiba di depan rumah Clara pukul sembilan malam sehabis pulang dari kantor seperti biasanya, tiba-tiba saja Joy melontarkan satu pernyataan yang membuatnya syok bukan main sampai-sampai dia kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berpikir. "A-apa kamu bilang?" Pria itu tersenyum tipis, membuat lesung pipinya sedikit terlihat. "Minggu ini aku mau ke rumah orang tua kamu dengan bawa sekalian orangtua aku, Ra. I really want to make it official by asking you formally to your parents." "Kamu gila?" Clara memegang pipinya yang memanas. "Kamu serius?!" Tanya Clara sedikit histeris. Saat Joy mengangguk antusias, perempuan itu pun menghantukkan kepalanya ke dashboard mobil sedikit keras dan menghela napas panjang, batinnya gelisah. Keningnya yang sedikit sakit akibat ulah bodohnya, diusap pelan oleh kekasihnya. "Loh, kok kamu kaget, yang? Katanya kamu nggak mau pisah sama aku. Diajak nikah beneran, malah panik." Pria itu terkekeh. Lalu pucuk
Ini yang Joy takutkan sedari awal. Well, mungkin bukan dari awal tetapi disaat hatinya mulai goyah dan merasakan hal yang berbeda ketika bersama Clara. Dari awal beberapa teman dekatnya sudah mewanti-wanti untuk tidak melakukan dare gila yang Alvin dan Devina usulkan. Namun egonya yang mereka sentil tidak terima akan hal itu. Disaat Clara menghilang beberapa hari terakhir, sebenarnya Joy sudah mengetahui di mana sang kekasih tapi dia menahan diri karena dia sudah siap dengan konsekuensi dari tindakannya yang brengsek. Dia sudah siap saat Clara memutuskan untuk menghilang dari hidupnya. Disaat harapannya sudah hampir pupus, gadis yang sudah berhasil mencuri hatinya itu muncul tepat di depannya pukul 3 pagi dan Joy benar-benar menertawakan dirinya atas apa yang sudah dia tunjukkan. Performa yang sangat baik dia lakukan agar terkesan natural. Dia sama sekali bingung mana yang realita dan mana yang palsu, saking banyak dan sering kebohongannya menumpuk seiring berjalannya waktu. Di
Begitu dia sampai, hal pertama yang dia lakukan adalah tidur. Ya, Clara memilih tertidur di hotelnya dengan lampu cukup remang karena sejujurnya dia tidak punya tenaga untuk melakukan apapun seperti yang sudah direncanakan. Badan dan… hatinya sudah hancur, remuk tak bersisa. Semuanya sakit. Siangnya, Clara terbangun karena alarm yang memang tadi dia pasang agar dirinya tidak terbablas ketiduran sampai sore. Setelah selesai mandi dan rapi, Clara memutuskan untuk makan siang di salah satu kafe kecil di Braga. Berbekal sling bag kecil, sepatu sneakers dan semangat yang perlahan mulai dia rasakan, Clara pergi menuju jalan Braga menggunakan taksi online. Tak banyak yang berubah menurutnya. Bangunan antik dengan struktur yang menurutnya unik, Clara suka itu. Setelah makan di Braga Permai dengan burger yang cukup besar dan membuatnya kesulitan menghabiskan sendiri. Clara kembali membuka list tempat yang sempat dia cari ketika sedang di dalam travel bus. Tujuan Clara selanjutnya adala
"Mbak, tolong bantuin temen saya ya." Pesannya pada pramuniaga di salah satu merk toko ponsel yang sedang banyak diminati muda-mudi saat ini. "Nah, elo." Tunjuk Clara. "Pilih deh lo mau yang mana. Aman pokoknya." "Siap, bosquee!" Clara memilih menjauh dan duduk di salah satu kursi tinggi yang ada di toko itu dan mulai menyeting ponsel baru sesuai dengan gayanya. Dia sudah membeli ponsel lebih dulu dari Yudith karena temannya itu memaksa dan saat ini Yudith tengah memilih warna pilihannya. Walau tadi Yudith setuju untuk dibelikan ponsel baru, tapi ketika menuju toko, Yudith membujuk Clara agar dia bisa membayar setidaknya setengah harga yang mereka putuskan untuk pilih nanti. Setelah perdebatan alot dan pada akhirnya Clara setuju dan sesuai yang mereka sepakati bersama kalau Yudith akan membayar setengah dari harga ponselnya nanti. "Udah selesai pilihnya?" "Hooh." Yudith mengangguk dan mengangkat ponsel barunya. Mereka memiliki tipe ponsel yang sama hanya berbeda warna. Clara
"Karena sekalinya berbohong, akan ada kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama dan begitu untuk seterusnya. Kepercayaan aku nggak bisa digadai, Joy, dan aku benci seorang pembohong." Clara menyentuh cincin yang dia kenakan dan memutarnya beberapa kali. "Kamu... kamu nggak pernah bohongin aku, kan?" "Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?" Tiba-tiba saja Clara tertawa dan menarik Joy berdiri. "Mungkin aku ngelantur ya. Mana mungkin kamu pernah bohongin aku. Yuk masuk." *** Topeng yang sejak tiga jam Clara pakai akhirnya lepas juga ketika pintu kamarnya tertutup. Sekarang sudah pukul sebelas malam ketika Clara sampai rumah setelah diantar Ica dan Ghiffary. Ya, dia diantar temannya karena rupanya Alvin ingin melanjutkan pesta perayaan pertunangannya dengan Monica di salah satu bar di daerah Kemang yang sudah pria itu booking khusus untuk hari ini. Joy pun termasuk di dalam list itu. Dan Clara
"Goyang-goyang lagi... mobilnya! Asyikk!" Kelakar temannya yang lain.Sontak pipi putih pualam perempuan itu memerah melebihiblush on yang dia kenakan malam itu."Huaaa aku maluuu!" Pekik perempuan itu."Aduh, aku malu, Yang." Ulangnya. Refleks Clara menarik kedua tangannya dari genggaman Joy dan menutup wajahnya yang dia sandarkan pada dashboard mobil.Joy berdecak sebal dan membuka kaca mobil."Berisik kalian! Sana pergi!" Teriak laki-laki itu cepat lalu jendela mobiln kembali dinaikkan.Keduanya terdiam, tak lama, mereka tertawa karena dengan ketukan dan kedatangan teman-temannya, sudah merusak momen spesial mereka."Rusak ya momen romantis kita." Kata Joy yang disambut dengan anggukan dan tawa dari Clara."Yasudah, mungkin kita kelamaan di sini jadinya temen-temen kamu curiga. Kok kita lama banget ya di dalam mobil."Joy terkekeh sembari menghapus sisa air mata Clara. "Iya, emang mereka nge
"Kamu tunggu di sini dulu ya, Sayang.""Kamu mau ke mana?" Clara menarik Joy yang tadinya sudah membalikkan badan.Pria itu terkekeh. "Mau cari pramuniaganya dulu. Alvin katanya udah nitip ke si Mbak itu.""Oh, yaudah.""Tunggu di sini ya.""Iya."Joy mengantarnya duduk di salah satu sofa untuk tamu kemudian pergi untuk mencari pramuniaga toko cincin yang mereka datangi saat ini.Khusus hari ini, Clara cuti setengah hari karena malamnya mereka akan datang ke acara reuni SD yang sudah diribut-ributkan sejak berminggu-minggu yang lalu oleh teman-temannya.Berhubung salah satu temannya akan mengadakan acara lamaran dadakan di tempat pertama Alvin dan Monica bertemu dan menjalin hubungan, maka Alvin berniat untuk melamar Monica di sekolahnya itu.Karena Joy salah satu sahabat dekat Alvin dan orang yang mengetahui sepak terjang hubungan keduanya, maka dari itu Alvin meminta bantuan kekasihnya untuk mengambil pesanan cin
Clara terbangun terlebih dahulu karena tubuhnya terasa panas dan terasa berat seperti ada yang menimpanya.Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, Clara baru ingat dan sadar bahwa semalam dia menginap di apartemen milik sang Kekasih dan saat ini sedang berada di dalam dekapan lelaki itu.Perlahan Clara turunkan lengan Joy yang menahannya di pinggang dan turun dengan sangat hati-hati karena takut membangunkan kekasihnya itu.Matahari belum terbit sempurna ketika Clara membuka tirai. Setelah mencuci muka, Clara berjalan ke dapur untuk membuatkan sarapan untuk mereka berdua.***Joy terbangun ketika tidak merasakan sumber kehangatan disebelah kirinya. Tangannya meraba-raba tapi tak menemukan siapapun.Apa ini mimpi?,pikirnya."Sayang." Panggilnya tapi tetap tak ada siapapun yang menjawab.Joy terdiam sesaat untuk berpikir tentang semalam. Apa benar Clara menginap dengannya dan tidur di dalam dekapannya? Rasanya
"Weekend ini kamu ngga ada kegiatan kan?""Kenapa?""Aku ajak ke rumah ya.""Apart kamu?" Tanya Clara bingung.Ah, Clara rindu bau lelaki ini. Pelukan itu pun dipererat Clara."Ke rumah orang tuaku.""Dadakan?" Clara merenggangkan pelukan mereka. "Aku nggak mau kamu jadi terpaksa ngenalin aku ke keluarga kamu, Joy."Clara menatap lelaki di depannya. "Aku baru sadar, hanya karena kamu udah menjadi bagian keluargaku, bukan berarti kamu juga harus begitu. Aku tahu aku masih belum pantas—""Whoaa... bukan gitu maksudnya. Kamu jangan salah paham dulu ya, Sayangku." Putus Joy. "Kita take it slow aja. Kalau kamu belum mau aku perkenalkan secara resmi dengan kedua orangtuaku yang langsung ke rumahmu, it's okay.""Tapi..."Joy tertawa. "Tapi benar yang kamu katakan waktu itu. Aku terlalu pasif dan saking pasifnya, aku sampai lupa untuk membawa kamu ke duniaku juga. Ke lingkungan pertemananku, ke keluargaku dan yang l