2020—Saat ini
Ting.
BUKBER AKBAR ANGKATAN 2 SD Al-Ikhlas Bogor
Clara mengernyit saat tiba-tiba ada notifikasi masuk di layar ponselnya. Ya, entah dari mana salah satu temannya mendapatkan nomornya dan ia dimasukkan ke dalam grup buka bersama tersebut yang berisikan lebih dari 50 orang. Ia mencuriga Ghifary atau Ica—sahabatnya yang kebetulan satu sekolah dengannya—andil dalam hal tersebut.
Ting.
Ting.
Ting
Getaran ponselnya semakin lama semakin mengganggu konsentrasinya dalam bekerja. Siang ini memang cukup terik walau dia berada di dalam gedung yang full AC tapi hawa panas yang menembus dari jendela kantornya yang langsung mengarah ke tempat duduknya tak bisa ia acuhkan.
"Apasih." Gerutunya sambil membuka grup tersebut. Ia mendapati beberapa temannya me-mention dirinya.
Dio: Nina ikut nggak?
Laras: Geng-an gue ikut semua! @Rista, @Kama, @Lira sama @Ola
Ola: Yok diabsen gaes abseennnnn
Ghifary: @Clara lo ikut kan?
Dio: Dih si Clara mah pasti ga ikut jir
Pras: Wkwk dia emangnya pernah ikut? Udh bukber ke brpa ini woyy
Clara memutar matanya, sebal tapi ia tetap melanjutkan membaca chat itu sampai mention-an kedua namanya.
Ghifary: Aman sih @Clara pasti ikut. Wong ada pawangnyaa *smirk
Ditto: ????
Dio: ???????
Pras: ?????
Rista: Maksudnya gmna gip
Sontak Clara berhenti untuk scroll lebih lanjut karena ada 1 nama yang sangat-sangat anti untuk ia ucapkan.
"Joy." Lirihnya.
Ghiffary: Tenang sodara-sodara semua! @Joy a.k.a cowok bringsakan ini bakal hadir wkwkw karena dia yang jadi ketua panitia acara ini :*
***
Setelah membaca beberapa chat lainnya yang kurang lebih mengatakan betapa semuanya antusias untuk datang ke acara Buka Bersama tersebut, akhirnya Clara duduk dengan lemas. Pikirannya berkelana tanpa tujuan, pekerjaannya sudah dia tidak pedulikan lagi. Bahkan saat atasannya memanggilnya, tidak ia gubris sama sekali—karena saking fokusnya bengong sampai tidak terdengar—yang akhirnya kena teguran.
"Apasih ini astaga!" Makinya dalam hati. Debaran yang menyesakkan di dadanya datang tiba-tiba saat hatinya melafalkan satu nama terlarang—well, terlarang untuk dia ucapkan.
"Eh Ra, udah ada reader data sama grafiknya dari Tim Editor belum?" Tiba-tiba saja Yudith—teman kerjanya—sudah di depannya sambil melirik pada layar komputernya. Saat ini Clara bekerja pada salah satu Start-Up baru yang bergerak dibidang kepenulisan secara online—PENA.
Clara menggeleng lemah. Yudith dan dirinya sudah berteman cukup dekat dari awal bekerja jadi semenjak dekat, mereka berdua sudah saling bertukar cerita dan tak luput, Clara pun sudah menceritakan tentang lelaki yang sudah berhasil menyita perhatian dan perasaannya selama hampir seluruh hidupnya.
Alih-alih menjawab pertanyaan Yudith, Clara menghebuskan napas sambil menatap memelas. "Gue kan mau ikut bukber SD gue ya. Udah planning emang tahun ini gue fix mau ikut. Tapi tau ga?"
Clara kembali menghela napas berat. "Ada dia, Yudith."
Yudith yang belum memahami duduk permasalahannya, tercengang bingung. "Hah?"
"Joy." Satu nama. Satu kata dan Yudith pun langsung paham.
Yudith mengangguk pelan, dia mengambil kursi kosong yang ada di belakang Clara—satu kubikel kosong milik kak Tio yang sedang cuti—lalu duduk disamping Clara sambil mengelus pucuk kepalanya dengan gemas.
"Utututu... Clara tayang lagi bete." Bukannya terhibur, Clara malah kesal.
"Ish! Temennya lagi galau malah gitu! Sana lanjutin kerjaan!" Usirnya.
Yudith tertawa. "Lo juga, bat! Dasar, galak."
"Hei, sobat! Sadar diri ya anda." Ledeknya, Yudith dan beberapa temannya memang suka menggunakan kata "sobat" ketika sedang bercanda atau saling memanggil tanpa nama.
Setelah Yudith kembali ke kubikelnya, Clara menghela napas yang sudah entah berapa kali sejak tadi. Hancur sudah rencananya.
Memang, selama ini bisa dihitung dengan jari berapa kali dia ikut Reuni alias Buka Bersama dengan teman satu angkatannya sewaktu Sekolah Dasar dulu, bahkan kalau diingat-ingat tidak pernah—jika Ghiffary dan Ica masuk ke dalam kata 'Reuni' maka, ya dia cukup sering melakukan hal tersebut, mungkin empat kali?
***
"Ra, sorry ya gue nggak nanya lo dulu."
Ica menyatukan kedua tangannya di depan dada sambil menatap memelas kearahnya. "Hm."
"Dih, nih orang aneh. Udah belasan tahun juga, masih aja kaku kayak kanebo baru lu." Sindir Ghifary.
Ya, setelah kemarin syoknya berakhir sampai jam pulang kerja—yang untungnya tidak kena tegur atasannya lagi—dan berakhir dengan komplenannya pada kedua sahabat yang jahilnya ini dan disinilah mereka. Bukber kali ini, mereka bertiga bertemu dengan muka Clara yang ditekuk semenjak duduk di depan keduanya.
"Ham hem ham hem aja lu."
Clara membuang napas kesal. "Lu kan tau ya, Ghif. Gue nggak bisa kalau ada...you know." Bisiknya pelan pada dua kata terakhir—walau sebenarnya tidak ada yang bakal sadar atau tahu juga siapa yang dia bicarakan jika menyebutkan nama orang itu di restoran ini.
"Setiap ada reunian doang kek, angkatan kita doang kek, berapa angkatan kek, gue nggak pernah mau ikutan karena takut ketemu." Kesalnya.
Jeda sejenak, ia menyeruput jus mangganya. "Tapi semisalnya gue ikut ya, kalian wajib bareng gue!"
Ica mengangguk, juga Ghiffary. "Iya santai aja sih. Gue juga nggak deket-deket amat sama yang lain."
Ica kembali mengangguk, menimpali. "Iya bener tuh, Gip. Dari pada canggung banget, mendingan kita sama-sama aja."
Akhirnya Clara bisa bernapas lega. Setelah menimang-nimang semalaman suntuk kemarin dan malam ini—setelah ia pulang dari buka bersama kedua sahabatnya, ia merasa ada setitik kelegaan.
I mean, ini kan udah lebih dari 15 tahun terakhir gue ketemu dia. I think everything's gonna be okay, right?, tanyanya dalam hati.
Mengangkat tangan kanannya, ia memicingkan sebelah mata, melihat bintang-bintang yang bertaburan dilangit-langit kamar melalui sela-sela jemari.
"Joy."
Duh, menyebutkan nama lelaki itu dengan lantang saja membuat debaran pada dadanya muncul tanpa aba-aba.
"Joy."
Ia ulangi untuk yang kedua kalinya dan tetap, debaran itu masih ada, malah semakin menyesakkan.
"Joy."
Sebutnya untuk yang ketiga kalinya namun berakhir dengan sudut matanya yang memanas. Memang masih sulit untuknya tapi mau bagaimana lagi?
15 tahun berlalu dan sampai detik ini dia masih belum bisa bergerak maju meninggalkan bayang-bayang masa lalu. Clara menurunkan tangan kanannya untuk menyentuh dadanya yang sekarang terasa sedikit kebas dan nyeri.
Ting.
Bunyi pesan masuk menghentikan isaknya yang perlahan mereda. Pelan, ia mengusap kedua mata dengan lengan bajunya lalu setelah mengatur napas, ia mengambil ponselnya dari nakas yang berada di sebelah kanan tempat tidurnya.
"Sial." Rutuknya.
Entah memang kebetulan saja atau ada hal ghaib yang terjadi saat dia menyebutkan nama terlarang tersebut sebanyak tiga kali.
Saat ini ia menatap ponselnya dengan tatapan bingung juga senang. Sudut matanya kembali memanas dan dadanya kembali disergapi oleh sesak. Selain hal menyakitkan itu, entah mengapa rasanya kupu-kupu sedang berterbangan diperutnya saat ini. Tidak mungkin ia makan kupu-kupu hanya untuk merasakan senang seperti ini kan? Ah begini rasanya diingat setelah sekian lama diabaikan.
Pesan Whatsapp
21.00 | +62-87-9999-****: Hi Clara!
21.30 |+62-87-9999-****: Masih inget aku kan?
21.34 | +62-87-9999-****: Kalau kamu lama balas karena takut ini orang nggak jelas wkwk well, it's not. Aku Joy. Save nomorku ya!
21.45 | +62-87-9999-****: Eh, ini bener nomor kamu kan ya? Aku dpt dari grup reuni kita
Berkat empat chat dari lelaki itu, ia telat bangun dan setengah jam telat ke kantornya. Untung saja dengan alasan klasik sejuta umat. Sakit. "Saya agak kurang enak badan, Pak. Tadi pagi saya diare. Makanya telat sampai. Maaf ya Pak, saya telat." Atasannya mengangguk mengerti. Kebetulan juga saking buru-burunya, ia lupa memoles lipstick, jadinya ia pucat alami. Dalam hati ia tertawa sedikit, agak terhibur dengan kejadian ini. 2 tahun bekerja disini, baru 2 kali ia telat selama ini. Pertama karena ada gangguan di kereta yang ia tumpangi saat itu dan yang kedua,well, karena orang itu. Setelah menaruh tas di meja kerjanya, ia segera pergi ke toilet untuk memoles bibirnya. *** Pukul setengah tujuh malam dan Clara baru keluar dari kantornya. Untungnya tadi ada beberapa teman kerjanya yang masih berada di dalam kantor dan memang memesan makanan cepat saji untuk berbuka cukup banyak, jadinya dengan baiknya temannya itu be
Ardhito Pramono - First Love (Cover) playing~Malam ini Clara ditemani oleh Ardhito Pramono yang meng-cover lagunya Nikka Costa dengan judul First Love yang sengaja ia putar non-stop. Kalau kata Ica—sahabatnya, lagu ini adalah lagu kebangsaannya Clara karena sangat dia banget deh.Dengan tatapan lurus ke langit-langit kamarnya yang dipenuhi bintang, tangan kanan berada di atas dadanya—tepat diatas jantungnya yang berdetak tak karuan, dan tangan kiri yang sedari tadi sibuk menghapus airmata yang tidak deras, namun tak berhenti-henti juga turun dari sudut matanya.Hanya ada satu akar kata dari banyak kata yang ingin ia ungkapan namun terlalu kelu untuk disuarakan.Kenapa.Kenapa baru sekarang?Kenapa ia belum bisa move on?Kenapa ia masih terjebak di masa lalu yang kelabu?Kenapa lelaki yang namanya terlarang ia sebutkan itu. . . datang semena-menanya disa
Menghubunginya hampir rutin selama dua hari terakhir. Bertemu juga sudah dua kali. Makan malam juga yang kata lelaki itu sebagai ajang reuni tapi hanya untuk mereka berdua dan untuk pertama kalinya, Clara merasa ada sesuatu yang berbeda. Bukan. Bukan tentang perasaannya tapi mengenai tindak tanduk Joy.Belasan tahun lamanya Clara hanya bisa melihat Joy dari kejauhan dan dekat lewat sosial media yang bisa ia lihat hampir setiap hari—dulu ya, ketika ia masih dibangku SMA namun seiring berjalannya waktu, penuh dengan kesibukan kuliah dan sekarang saat ia sudah bekerja, kelakuannya yang kekanak-kanakan tersebut pun perlahan menghilang."Kenapa ngeliatin aku? Ganteng ya?"Tersadar, Clara cepat-cepat menggeleng lalu mengambil gelas berisi es jeruk dan segera menenggaknya sampai tandas. Lu nggak ada manis-manisnya banget ya, Ra,sungutnya dalam hati."Geer banget."Joy tersenyum mengejek. "Ah masa sih? Bukannya dari dulu kamu suka sama
Hari ini tiba juga, di mana Clara dan teman sekantornya pergi sejenak dari pekerjaan yang membuat mereka jengah dan jenuh dan tentunya, hindari. Kalau bisa, mereka mau tiduran seharian dan tetap digaji namun dunia belum seindah itu. Clara memperhatikan interaksi Rendy dan Friska, Friska yang membawa satu koper sedang dan dua tote bag agak sedikit kewalahan dan Rendy dengan sigak mengambil semuanya, lalu tangan kanan laki-laki itu mengelus pucuk kepala Friska, dan semua interaksi itu tidak luput dari penglihatannya. Hal itu membuatnya tersenyum miris. Dulu, kala keduanya masih berstatus pasangan, Rendy yang awalnya gencar sekali mendekatinya dan ketika sudah berpacaran beberapa bulan, perlahan perhatian Rendy mulai menurun. Meski hubungan mereka berjalan selama satu tahun lebih, tidak membuat Rendy berubah atau berusaha memperbaiki hubungan keduanya. Lihatlah satu pasangan ini, sudah hampir satu tahun pacaran—sama sepertinya dulu, tapi Rendy masih mesra dan benar-benar peduli
Sepanjang perjalanan semenjak terakhir kali Clara dan Joy saling membalas pesan sampai mereka semua tiba di Villa milik keluarga Rio yang berada di kawasan lembang, Clara merasaover hyped. Seperti disuntik sesuatu yang hebat sampai rasanya ia tidak bisa berhenti untuk tersenyum dan sesekali, membuka pesan terakhir dari Joy yang ia baca berulang-ulang. 22.45 | Voldemort: Aku tunggu kamu pulang and let's talk about us Gadis itu menaruh ransel di atas nakas di samping ranjang, Clara selalu memilih sisi kiri ranjang karena ia selalu tidur disisi itu. Merebahkan badannya pada ranjang yang super empuk ini membuatnya memejamkan mata sejenak. "Eh, Ra, mandi dulu gih! Nggak lengket apa lo?" Tegur Yudith yang satu kamar dengannya. Clara menggeleng lemah tapi masih terukir senyum dibibir yang mungil tapi penuh itu. "Eh, Dith." Yudith yang sedang membuka blazzer dan menyampirkan di kursi rias pun m
"Kalian nanti dijemput sama siapa?"Hari ini, hari terakhir merekastaycation yang memang nggak melakukan hal yang signifikan juga selain makan untuk sahur—bagi yang bangun dan sempat, dan berbuka. Pagi sampai hampir buka yang mereka lakukan hanya tidur-tiduran, ngobrol jika tidak mengantuk sambil sesekali mabar—alias main bareng yang kemarin Clara lakukan dengan beberapa temannya.Semua tas dan koper sudah dikumpulkan di ruang tengah, tinggal beberapa orang saja yang masih mandi dan merapihkan kamar yang dipakai."Gue dijemput sama bebeb dong." Jawab Caca pada pertanyaan Rio.Rio mengangguk lalu perhatiannya beralih ke Clara. "Lo dijemput sama siapa, Ra?""Hm, kayaknya gue bakal naik taksi online aja, Kak."Mana tega ia meminta Ayahnya untuk menjemput ke kantor di hari minggu siang yang pastinya panas dan mungkin selalu macet."Gue anter ya."Clara tertawa menanggapi tawaran Rio. "Nggak us
"Ra." Tegur pria yang kini mengejar perempuan yang tanpa ia sadari, sudah ia lukai dengan sikap 'selengean'nya itu. Niatnya bercanda tapi ia mungkin belum menyadari bahwa gadis ini memiliki hati yang setipis kertas. Kena air sedikit, bisa-bisa hancur tak bersisa.Clara masih mendorong troli itu tanpa arah. Yang jelas ia harus pergi sejenak untuk menetralkan perasaanya.Clara akui, ia memang tipe orang yang terlalu serius dan sulit beradaptasi karena pikiran kuno, kaku dan serius juga sensitif, itulah mengapa ia sulit sekali membuka hati dan berakhir dengan suatu hubungan dengan lawan jenis. Rendy saja sulit setengah mati meyakinkan Clara, ya walau pada akhirnya lelaki itu tetap mengecewakannya.Matanya yang tadi memanas sudah mulai kembali normal, degup jantungnya masih kebas sedikit dan pikirannya mulai kembali fokus."Clara."Enggan sekali tapi setelah berhasil meyakinkan dirinya kuat, ia pun menoleh. "Udahkan belanjanya?"Joy menatap waja
"Kamu masih bercanda ya rupanya.""Bagian mana yang mengindikasikan kalau aku bercanda?"Kali ini Clara dapat melihat kilatan marah pada tatapan pria itu. "Jujur, aku meragukan kamu dari awal hingga saat ini.""Kamu aja belum mencoba kenapa malah meragukan aku?""Sekian tahun, kenapa harus sekarang? Dua minggu kurang, bahkan satu minggu kita baru deket kilat danapa tadi?Jokes 'teman hidup' dan 'istri' udah melayang."Joy mendengus kasar. "Jadi menurut kamu orang pdkt yang normal berapa lama? Satu bulan? Satu tahun?"Clara tergagu. Benar juga, masa pendekatan antara sepasang sejoli tidak bisa diukur dari lamanya masa tersebut atau sudah berapa lama saling mengenal. Bahkan ada orang yang sudah cinta mati pada pandangan pertama di pertemuan pertama."Clara Devina."Perempuan itu mendongak ketika pria disampingnya sudah berdiri dan yang membuat matanya membulat ketika pria ini bersimpuh di depannya, mengambil k
Beberapa hari yang lalu saat mereka baru saja tiba di depan rumah Clara pukul sembilan malam sehabis pulang dari kantor seperti biasanya, tiba-tiba saja Joy melontarkan satu pernyataan yang membuatnya syok bukan main sampai-sampai dia kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berpikir. "A-apa kamu bilang?" Pria itu tersenyum tipis, membuat lesung pipinya sedikit terlihat. "Minggu ini aku mau ke rumah orang tua kamu dengan bawa sekalian orangtua aku, Ra. I really want to make it official by asking you formally to your parents." "Kamu gila?" Clara memegang pipinya yang memanas. "Kamu serius?!" Tanya Clara sedikit histeris. Saat Joy mengangguk antusias, perempuan itu pun menghantukkan kepalanya ke dashboard mobil sedikit keras dan menghela napas panjang, batinnya gelisah. Keningnya yang sedikit sakit akibat ulah bodohnya, diusap pelan oleh kekasihnya. "Loh, kok kamu kaget, yang? Katanya kamu nggak mau pisah sama aku. Diajak nikah beneran, malah panik." Pria itu terkekeh. Lalu pucuk
Ini yang Joy takutkan sedari awal. Well, mungkin bukan dari awal tetapi disaat hatinya mulai goyah dan merasakan hal yang berbeda ketika bersama Clara. Dari awal beberapa teman dekatnya sudah mewanti-wanti untuk tidak melakukan dare gila yang Alvin dan Devina usulkan. Namun egonya yang mereka sentil tidak terima akan hal itu. Disaat Clara menghilang beberapa hari terakhir, sebenarnya Joy sudah mengetahui di mana sang kekasih tapi dia menahan diri karena dia sudah siap dengan konsekuensi dari tindakannya yang brengsek. Dia sudah siap saat Clara memutuskan untuk menghilang dari hidupnya. Disaat harapannya sudah hampir pupus, gadis yang sudah berhasil mencuri hatinya itu muncul tepat di depannya pukul 3 pagi dan Joy benar-benar menertawakan dirinya atas apa yang sudah dia tunjukkan. Performa yang sangat baik dia lakukan agar terkesan natural. Dia sama sekali bingung mana yang realita dan mana yang palsu, saking banyak dan sering kebohongannya menumpuk seiring berjalannya waktu. Di
Begitu dia sampai, hal pertama yang dia lakukan adalah tidur. Ya, Clara memilih tertidur di hotelnya dengan lampu cukup remang karena sejujurnya dia tidak punya tenaga untuk melakukan apapun seperti yang sudah direncanakan. Badan dan… hatinya sudah hancur, remuk tak bersisa. Semuanya sakit. Siangnya, Clara terbangun karena alarm yang memang tadi dia pasang agar dirinya tidak terbablas ketiduran sampai sore. Setelah selesai mandi dan rapi, Clara memutuskan untuk makan siang di salah satu kafe kecil di Braga. Berbekal sling bag kecil, sepatu sneakers dan semangat yang perlahan mulai dia rasakan, Clara pergi menuju jalan Braga menggunakan taksi online. Tak banyak yang berubah menurutnya. Bangunan antik dengan struktur yang menurutnya unik, Clara suka itu. Setelah makan di Braga Permai dengan burger yang cukup besar dan membuatnya kesulitan menghabiskan sendiri. Clara kembali membuka list tempat yang sempat dia cari ketika sedang di dalam travel bus. Tujuan Clara selanjutnya adala
"Mbak, tolong bantuin temen saya ya." Pesannya pada pramuniaga di salah satu merk toko ponsel yang sedang banyak diminati muda-mudi saat ini. "Nah, elo." Tunjuk Clara. "Pilih deh lo mau yang mana. Aman pokoknya." "Siap, bosquee!" Clara memilih menjauh dan duduk di salah satu kursi tinggi yang ada di toko itu dan mulai menyeting ponsel baru sesuai dengan gayanya. Dia sudah membeli ponsel lebih dulu dari Yudith karena temannya itu memaksa dan saat ini Yudith tengah memilih warna pilihannya. Walau tadi Yudith setuju untuk dibelikan ponsel baru, tapi ketika menuju toko, Yudith membujuk Clara agar dia bisa membayar setidaknya setengah harga yang mereka putuskan untuk pilih nanti. Setelah perdebatan alot dan pada akhirnya Clara setuju dan sesuai yang mereka sepakati bersama kalau Yudith akan membayar setengah dari harga ponselnya nanti. "Udah selesai pilihnya?" "Hooh." Yudith mengangguk dan mengangkat ponsel barunya. Mereka memiliki tipe ponsel yang sama hanya berbeda warna. Clara
"Karena sekalinya berbohong, akan ada kebohongan lainnya untuk menutupi kebohongan yang pertama dan begitu untuk seterusnya. Kepercayaan aku nggak bisa digadai, Joy, dan aku benci seorang pembohong." Clara menyentuh cincin yang dia kenakan dan memutarnya beberapa kali. "Kamu... kamu nggak pernah bohongin aku, kan?" "Kenapa kamu tiba-tiba tanya begitu?" Tiba-tiba saja Clara tertawa dan menarik Joy berdiri. "Mungkin aku ngelantur ya. Mana mungkin kamu pernah bohongin aku. Yuk masuk." *** Topeng yang sejak tiga jam Clara pakai akhirnya lepas juga ketika pintu kamarnya tertutup. Sekarang sudah pukul sebelas malam ketika Clara sampai rumah setelah diantar Ica dan Ghiffary. Ya, dia diantar temannya karena rupanya Alvin ingin melanjutkan pesta perayaan pertunangannya dengan Monica di salah satu bar di daerah Kemang yang sudah pria itu booking khusus untuk hari ini. Joy pun termasuk di dalam list itu. Dan Clara
"Goyang-goyang lagi... mobilnya! Asyikk!" Kelakar temannya yang lain.Sontak pipi putih pualam perempuan itu memerah melebihiblush on yang dia kenakan malam itu."Huaaa aku maluuu!" Pekik perempuan itu."Aduh, aku malu, Yang." Ulangnya. Refleks Clara menarik kedua tangannya dari genggaman Joy dan menutup wajahnya yang dia sandarkan pada dashboard mobil.Joy berdecak sebal dan membuka kaca mobil."Berisik kalian! Sana pergi!" Teriak laki-laki itu cepat lalu jendela mobiln kembali dinaikkan.Keduanya terdiam, tak lama, mereka tertawa karena dengan ketukan dan kedatangan teman-temannya, sudah merusak momen spesial mereka."Rusak ya momen romantis kita." Kata Joy yang disambut dengan anggukan dan tawa dari Clara."Yasudah, mungkin kita kelamaan di sini jadinya temen-temen kamu curiga. Kok kita lama banget ya di dalam mobil."Joy terkekeh sembari menghapus sisa air mata Clara. "Iya, emang mereka nge
"Kamu tunggu di sini dulu ya, Sayang.""Kamu mau ke mana?" Clara menarik Joy yang tadinya sudah membalikkan badan.Pria itu terkekeh. "Mau cari pramuniaganya dulu. Alvin katanya udah nitip ke si Mbak itu.""Oh, yaudah.""Tunggu di sini ya.""Iya."Joy mengantarnya duduk di salah satu sofa untuk tamu kemudian pergi untuk mencari pramuniaga toko cincin yang mereka datangi saat ini.Khusus hari ini, Clara cuti setengah hari karena malamnya mereka akan datang ke acara reuni SD yang sudah diribut-ributkan sejak berminggu-minggu yang lalu oleh teman-temannya.Berhubung salah satu temannya akan mengadakan acara lamaran dadakan di tempat pertama Alvin dan Monica bertemu dan menjalin hubungan, maka Alvin berniat untuk melamar Monica di sekolahnya itu.Karena Joy salah satu sahabat dekat Alvin dan orang yang mengetahui sepak terjang hubungan keduanya, maka dari itu Alvin meminta bantuan kekasihnya untuk mengambil pesanan cin
Clara terbangun terlebih dahulu karena tubuhnya terasa panas dan terasa berat seperti ada yang menimpanya.Setelah berhasil mengumpulkan kesadarannya, Clara baru ingat dan sadar bahwa semalam dia menginap di apartemen milik sang Kekasih dan saat ini sedang berada di dalam dekapan lelaki itu.Perlahan Clara turunkan lengan Joy yang menahannya di pinggang dan turun dengan sangat hati-hati karena takut membangunkan kekasihnya itu.Matahari belum terbit sempurna ketika Clara membuka tirai. Setelah mencuci muka, Clara berjalan ke dapur untuk membuatkan sarapan untuk mereka berdua.***Joy terbangun ketika tidak merasakan sumber kehangatan disebelah kirinya. Tangannya meraba-raba tapi tak menemukan siapapun.Apa ini mimpi?,pikirnya."Sayang." Panggilnya tapi tetap tak ada siapapun yang menjawab.Joy terdiam sesaat untuk berpikir tentang semalam. Apa benar Clara menginap dengannya dan tidur di dalam dekapannya? Rasanya
"Weekend ini kamu ngga ada kegiatan kan?""Kenapa?""Aku ajak ke rumah ya.""Apart kamu?" Tanya Clara bingung.Ah, Clara rindu bau lelaki ini. Pelukan itu pun dipererat Clara."Ke rumah orang tuaku.""Dadakan?" Clara merenggangkan pelukan mereka. "Aku nggak mau kamu jadi terpaksa ngenalin aku ke keluarga kamu, Joy."Clara menatap lelaki di depannya. "Aku baru sadar, hanya karena kamu udah menjadi bagian keluargaku, bukan berarti kamu juga harus begitu. Aku tahu aku masih belum pantas—""Whoaa... bukan gitu maksudnya. Kamu jangan salah paham dulu ya, Sayangku." Putus Joy. "Kita take it slow aja. Kalau kamu belum mau aku perkenalkan secara resmi dengan kedua orangtuaku yang langsung ke rumahmu, it's okay.""Tapi..."Joy tertawa. "Tapi benar yang kamu katakan waktu itu. Aku terlalu pasif dan saking pasifnya, aku sampai lupa untuk membawa kamu ke duniaku juga. Ke lingkungan pertemananku, ke keluargaku dan yang l