Cerita di mulai setelah hari perubahan. Sejak hari itu, kami berlatih untuk menguasai kekuatan aneh yang kami dapatkan. Dari segala arah kami terkepung oleh berbagai monster. Hanya sekolah kami satu-satunya tempat yang tidak dapat di masuki oleh monster itu, sebuah shelter bagi kami. Meski begitu, kami membutuhkan makanan dan beberapa kebutuhan lain untuk bertahan hidup
3 hari berlalu. Keadaan semakin memburuk. Cadangan makanan di dalam sekolah habis tak tersisa meski kami berpuasa dan hanya makan sekali dalam sehari.
Pada saat itu beberapa murid sudah dapat menggunakan kekuatannya. Pada hari selanjutnya terbentuklah kelompok yang memiliki tujuan mencari bahan makanan di luar area shelter. Tetapi atas perintah kepala sekolah anggota kelompok itu hanya boleh di isi oleh murid kelas 8 dan 9 saja.
Meski begitu tidak banyak orang berani masuk ke kelompok itu. Dari total 300 murid kelas 8 dan 9. Hanya 23 orang saja yang bergabung.
Akhirnya pa
Hanya dengan sekali serangan, Luna mengalahkan skeleton pemanah itu. Setelah itu, dia segera menyusul Leon serta lainnya yang tengah bertarung dengan skeleton berpedang Tidak seperti skeleton pemanah yang lemah. Skeleton berpedang yang mereka lawan tampak lebih kuat. Pergerakannya yang lincah, serta pedangnya yang tajam menyulitkan kami. Jika kami salah bergerak bisa saja kami tertebas olehnya Luna yang baru saja sampai langsung melancarkan bola api. Tetapi dapat dihindari oleh skeleton itu. Dengan amarah yang meledak-ledak Ryan menyerang skeleton itu secara membabi-buta. Dia dapat memojokkan skeleton itu. Meski monster itu kuat. Kami masih unggul dalam jumlah. Pukulan Ryan berkali-kali di tahan oleh monster itu dengan pedangnya. Dengan di bantu oleh Leon yang menyerangnya dari belakang, skeleton itu tampak kesulitan menghadapi mereka berdua. Berusaha menjauh dari mereka berdua. Skeleton itu melompat jauh ke belakang. Tetapi dengan sigap Rudy membuat
Pagi itu di dalam gua, kami menghabiskan waktu untuk saling mengenal. Hanya perkenalan sederhana seperti share nama dan sedikit cerita. Aku cerita pada mereka bahwa aku pergi meninggalkan sekolahku untuk berpetualang dan menolak untuk cerita lebih jauh. Tidak terasa langit mulai terang. Bagi mereka ini waktu untuk mencari makanan. Ryan, Rudy, Venda berniat keluar untuk mencari makanan untuk kami makan. Makanan yang mereka bawa sebelumnya sudah habis di tengah cerita “Kalau begitu kami pergi dulu” Mereka bertiga bergegas keluar sambil membawa sebuah keranjang anyaman. Di luar mereka berdiskusi sejenak “Kemarin kita sudah pergi ke arah sana...” kata Venda sambil menunjuk arah barat “... jadi bagaimana jika kita pergi ke arah sebaliknya, gimana?” “Ngikutlah, sama aja bagiku. Bahkan aku tidak tahu kemarin kita kemana” ucap Ryan setuju Ketika mereka bertiga sedang menentukan arah mana yang akan mereka ambil. Terdengar suara
Hari semakin siang. Hutan yang tadinya terasa dingin berangsur-angsur hangat. Saat ini kami sedang bersiap untuk membuat makan siang. Dengan bahan yang kami dapat pagi tadi. Kami hendak menjadikannya sup sederhana dan membakar daging hewan yang kami bunuh kemarin. Pada akhirnya tugas memotong di serahkan pada aku dan Ryan. Venda, Luna, dan Rudy tidak tahan melihat sisa darah di tubuhnya. Sedangkan Leon juga tidak dapat di harapkan karena tangannya yang patah. Kami berdua sendiri tidak pernah melakukan ataupun melihat pemotongan hewan. Jadi kami benar-benar kesulitan. Karena itu kami memutuskan untuk memotongnya dengan sembarangan. Masing-masing dari kami hanya mengambil bagian yang memiliki warna merah mulai dari kaki depan ke atas. Kami menghindari bagian perut karena merepotkan jika sampai membedah isi perutnya. “Lain kali aku tidak akan mau melakukan hal seperti ini” keluh Ryan “Apa yang kau katakan. Bukannya kau yang ingin makan daging?” j
Setelah makan-makan kemarin. Dengan cepat Nossal dan yang lain terlelap. Setelah beberapa hari menghadapi berbagai bahaya dan bertahan hidup di dalam hutan misterius. Mereka akan kembali ke tempat yang aman. Shelter. Tak terasa pagi telah tiba. Kicauan burung segera membangunkan mereka. Satu hari di dunia yang telah berubah ini kembali terlewati. Geraman serigala dan suara tulang skeleton yang lalu lalang tak lagi terdengar. Dalam keadaan tersebut, kami segera bersiap untuk keluar dari hutan. Ketika aku membuka mataku. Ternyata Venda telah bangun terlebih dahulu. Di susul oleh diriku, kemudian Ryan. Setelah itu, kami membangunkan mereka yang masih tertidur. Di antara kami, orang yang paling susah di bangunkan adalah Luna. Meski dia yang paling kuat ternyata dia adalah orang yang susah bangun pagi. Selain itu, untuk suatu alasan yang tidak jelas. Dia benar-benar menghindari bersentuhan dengan laki-laki. Bukan tanpa alasan. Sejak bertemu dengan dirinya. Aku tid
Sesampainya di dalam ruangan. Kami melihat seorang perempuan terbaring di atas selimut berwarna hijau muda dengan motif bunga, di dekat dinding, dengan kedua tangan terlipat di atas dada. Dia dikelilingi oleh beberapa guru. Melihatnya membuatku teringat cerita putri tidur dan 7 kurcaci.Suara ricuh dari luar terdengar cukup keras. Suara itu berasal dari kumpulan murid yang penasaran dengan apa yang terjadi di dalam kelas ini. Beberapa dari sampai ada yang mengintip melalui pintu, jendela untuk melihat apa yang terjadi. Hasilnya, suara mereka terdengar cukup mengganggu bagiku. Aku telah melihat apa yang terjadi. Bagiku dia tampak seperti sedang tertidur pulas dan tentu saja tidak ada yang dapat dilakukan.Aku berjalan mendekati Luna. Tampak dia sedang berbicara dengan lelaki paruh baya yang mengenakan setelan berwarna coklat. Sepertinya dia merupakan salah satu guru disini.“Luna, di mana lokasi perpustakaan di sini?”Ketika aku bertanya, mereka yang sedang berbicara menghentikan pembi
Hari semakin gelap, matahari yang telah tenggelam. Tergantikan oleh bulan yang memancarkan sinarnya dengan indah. Selain diterangi oleh cahaya bulan dan bintang. Cahaya dari beberapa obor yang dinyalakan di beberapa sudut sekolah ini membantu menghilangkan kegelapan. Di situasi saat ini, sebuah teriakan terdengar dari luar ruangan. Lima orang berdiri di depan ruang penyimpanan makanan. Mereka sadar ada penyusup yang masuk ke dalam ruangan yang mereka jaga. Selain itu, penyusup itu memakan cadangan makanan yang seharusnya menjadi milik bersama. “Kami tahu kau ada di dalam. Keluar kau, penyusup” Seorang lelaki yang berdiri di tengah berteriak memanggil. Menjawab panggilannya, Nossal keluar dari dalam ruangan itu. “Keluar juga kau. Apa yang kau lakukan di dalam?! Kelas berapa kau? Bagaimana kau dapat membuka ruangan ini?” Beberapa pertanyaan diucapkan sekaligus oleh lelaki tadi. Dengan ekspresi menyeramkan, mereka tampak sedang mengintimidasi Nossal. Tentu saja, itu sama sekali tida
Pada malam yang dingin itu, kami berenam berjalan menuju ruangan OSIS. Tidak perlu waktu lama hingga kami sampai disana. Di depan ruangan yang hanya memiliki ukuran setengah dari perpustakaan, Adit meraih gagang pintu, dan segera membuka pintu masuk. Pintu terbuka, Ruangan yang hampir gelap gulita menyambut kami. Ruangan ini hanya terdapat satu buah jendela yang menghadap ke arah timur dari sana sedikit cahaya dari obor yang menyala di lapangan masuk ke dalam ruangan ini. Dalam keadaan seperti ini Adit segera mencari lilin untuk dinyalakan. Tak berselang lama sebuah cahaya hangat dari lilin yang menyala menerangi ruangan osis ini. Ruangan ini berbentuk persegi panjang yang menghadap ke arah selatan. Di samping pintu masuk terdapat beberapa rak buku berisi kertas yang tampak seperti dokumen-dokumen penting, pada bagian belakang juga sama. Ruangan ini hampir di penuhi oleh rak yang berisi berbagai barang yang tidak aku mengerti isinya. Tentu saja mengingat ini adalah ruangan OSIS Sel
Hujan yang tadinya cuma gerimis perlahan menjadi semakin deras. Suasana yang awalnya sudah dingin menjadi semakin dingin karena hujan tersebut. Di tengah diskusi, tepatnya setelah Bibi Nur memeriksa kelayakan ubi yang aku buat.“Nak Nossal, ya kan. Bisa munculkan ubi ini lima lagi? Suasana dingin begini enaknya sambil makan ubi hangat bukan?”Benar juga, suasana dingin ini perlahan terasa menusuk kulitku. Ubi rebus yang hangat pasti akan terasa sangat nikmat. Satu per satu, aku menciptakan lima ubi lagi sesuai yang Bibi itu minta. Ketika selesai, dia mengambil keenam ubi itu dan berdiri. Sayangnya beberapa ubi itu jatuh ke lantai karena tangannya yang tidak dapat membawa semua. Melihat Bibi Nur yang sedang kesulitan, Venda mengambil beberapa ubi yang jatuh.“Ayo Bi, Venda bantu“Makasih ya Venda”Mereka berdua berjalan keluar dan pergi meninggalkan ruangan ini. Suara pintu yang tertutup terdengar menggema di dalam ruangan ini. Api dari lilin yang tampak menari-nari membuat cahaya yang
“Dia adalah Nossal… Nossal Kalamithi.”“Nossal? Hmm… Maksudmu dia? Mengapa kamu berpikir demikian?”“Dia—”Sebelum Luna lanjut bercerita mengenai Nossal, Venda menghentikannya. “Luna, sebaiknya kamu jangan menceritakan hal tersebut kepadaku. Nossal berusaha menyembunyikan masa lalunya dan tidak ingin diketahui oleh siapa pun. Seandainya aku mengetahui masa lalunya, aku harap dia sendiri yang menceritakannya.Mendengar nasihat temannya, Luna tidak jadi menceritakan masa lalu Nossal. Tetapi tampaknya Venda tidak menyangkal bahwa masa lalu Nossal lebih buruk dari apa yang ia alami.“Mari kita kembali; anak laki-laki pasti sudah bosan menunggu.”“Kamu benar; sebaiknya kita bergegas.”Mereka berdua segera beranjak dari tempat itu dan kembali. Venda, yang berjalan di belakang Luna, menatap bagian belakang Luna.“Padahal kamu selalu menyuruhku
Di malam hari yang gelap, hanya ada cahaya bulan redup yang menyinari jalan setapak, sementara suara angin yang lembut menyelusup reruntuhan kota menciptakan suasana yang tenang dan damai. Venda, Ryan, dan Rudy menunggu Nossal yang berjuang untuk meyakinkan Luna untuk kembali.“Kira-kira Nossal berhasil tidak ya membawa Luna kembali?”“Aku percaya padanya”“Sepertinya kamu benar. Kita harus percaya padanya, bukankah begitu, Ven?”Menggosok matanya yang masih terlihat lembap, Venda setuju dengan kedua temannya.“Ya, mereka pasti kembali. Di sinilah kita, menunggu dan akan menyambut mereka.”Tidak berselang lama, dari kejauhan tampak sosok Nossal dan Luna yang berjalan pelan mendekati mereka bertiga. Mereka berdua berjalan seolah mereka sedang dalam perjalanan sepulang sekolah. Melihat Nossal berhasil membawa kembali Luna bersamanya, Ryan melompat dan mengayunkan tangannya ke atas, kemudian berse
Di dalam Akademi Tunas Harapan, di area tempat penahanan anak kelas 6 SD Tunas Harapan.Di antara anak-anak kecil yang sedang meringkuk dalam ketakutan dan rasa lapar, seorang perempuan mencoba keluar dari jendela ruangan yang mengurungnya. Melihat dari balik jendela, anak itu memastikan keadaan di luar. Setelah memastikan kalau keadaannya telah aman, dia melompat keluar lewat jendela.“Seperti biasa, tidak ada seorang pun penjaga yang mengawasi setelah matahari tenggelam,” pikirnya. Akan sangat gawat jika dia sampai ketahuan anggota patroli.Dengan hati-hati, dia berjalan perlahan ke bangunan di sampingnya.“Seharusnya dia sudah kembali ke ruangannya.”Tangisan lirih terdengar dari balik pintu ruangan yang dituju perempuan itu. Perempuan itu mengintip dari luar jendela, memastikan tidak ada orang di dalam, kemudian berusaha membuka pintu ruangan tersebut tanpa menimbulkan suara. Namun ketika hendak masuk ke dalam, seseorang
Nossal yang masih sedikit terhuyung-huyung akibat diapit dua dinding yang dibuat Luna, berlutut di hadapan Luna.“Apa-apaan itu. Kau ingin aku membantu? Sepertinya kau sendiri paham jika sebenarnya tindakan yang kau lakukan ini berbahaya,” Ejek Nossal.Luna sedikit menundukkan kepalanya. Mata mereka berdua bertemu, akan tetapi tatapan matanya berubah. Tekad yang kuat masih terasa dari sorot matanya yang tajam. Dia menutup matanya sejenak, kemudian menjawab,“Itu benar. Aku masih memiliki keraguan dalam menggunakan kekuatan ini. Dalam pikiranku, aku merasa kalau kekuatan ini tidak layak aku terima.”Membuka mata, Luna kembali melanjutkan perkataannya,“Dengan adanya kekuatan, harus disertai tanggung jawab yang besar. Semakin besar kekuatan itu, semakin besar pula tanggung jawab yang harus dipikul, dan aku baru saja menyadarinya.”“Ya. Aku juga sering mendengar perkataan seperti itu. Memangnya kenapa? Pada akhirnya, keputusan untuk memenuhi tanggung jawab itu kembali pada diri sendiri.”
Berdiri di depan jalan masuk ke dalam gedung, aku hampir tidak dapat melihat apa pun. Berjalan masuk perlahan sambil meraba-raba sekitar membuatku sedikit demi sedikit mulai paham bagian dalam mall ini. Pada lantai 1 bagian lobby, berbagai jenis pakaian dipajang pada beberapa rak pakaian, meskipun semua telah hancur dan berserakan dimana-mana. Dengan jumlah yang tidak terlalu banyak dan telah rusak, pakaian-pakaian itu telah berserakan di lantai yang kotor dan lembap dikarenakan kebocoran di beberapa sisi bangunan. Selain itu, lantai 1 juga terdapat supermarket dan beberapa konter reparasi handphone dan jam. Setelah menyusuri area lantai 1, aku berdiri di tengah bangunan, di depan tangga yang menghubungkan lantai 1 dan 2. Sebenarnya dari tengah bangunan mall ini aku sudah dapat melihat area lantai 3 yang sepertinya merupakan area food court.Aku beberapa kali menoleh ke pintu masuk dan area sekitar untuk memastikan apakah ada monster di dalam ataupun di luar bangunan, tidak l
“Itu Luna.” Ujar Venda menghela nafas lega. Dia yang tidak mendengar percakapan dari awal membuatnya tidak tahu lokasi Luna. Meski dia penasaran, Venda segera memberikan beberapa karak dan air putih gelasan pada masing-masing orang. Tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya, Venda bertanya, “Di mana Luna berada?”Menerima makanan dari Venda, perempuan yang sedari tadi berbisik, memberanikan diri untuk berbicara dengan ragu-ragu,“A-aku melihatnya di gedung yang ada di sana. Di lantai 3 di sana, kalian dapat melihat orang sedang berdiri sambil menatap tempat kita berada.”Mengalihkan pandangan setelah mendengar jawaban perempuan itu, Adit bertanya kepada laki-laki yang ada di depannya,“Apakah itu kekuatannya? Melihat jarak jauh? Tapi dalam kondisi gelap gulita seperti ini memangnya kelihatan?” tanyanya penasaranLaki-laki itu menggigit karak yang dibagikan Venda. Hanya dalam 3 kali gigitan, karak itu lenyap, masuk ke dalam mulutnya. Setelah meminum air, dia menjawab,“Kalau tidak s
“Dengan ini selesai...” “Terima kasih,” ucap laki-laki itu. Perawat itu menjawabnya dengan tersenyum lalu menyimpan kembali alat-alat dan obat merah yang telah digunakan ke dalam tas kecil di pinggangnya. “Linda! Apa kamu masih punya sisa perban? Milikku sudah habis ini.” “Ada. Tapi punyaku juga tinggal sedikit. Nih, kamu pake saja.” Perawat bernama Linda itu melemparkan gulungan perban yang sudah terlihat tipis pada rekannya. Menangkapnya, perawat itu mengerutkan alisnya. “Tinggal ini?” “Iya, tinggal segitu doang.” “Yah... Segini mah kurang,” ucapnya sambil menatap gulungan perban yang barusan dia terima. Serbuan kera biru sebelumnya menyebabkan Nossal, Ryan, dan orang-orang yang mereka coba selamatkan mendapatkan luka yang cukup serius. Selain cairan anti septic untuk membersihkan luka, perban yang telah sediakan dengan cepat habis. “Simpan saja sisa perban itu untuk yang lain. Aku tidak memerlukannya.”
Selepas kami kembali, semua masalah tampaknya telah selesai. Wajah Tia masih terlihat marah, alisnya menjadi tegang dan sedikit menurun, nada bicaranya ketika berkoordinasi dengan anggota kelompoknya yang lain juga terdengar meninggi. Di sisi lain, si anak pembuat onar dari kelas 7 hanya berdiri dengan beberapa teman laki-laki kelas 7-nya. Karena suasana tegang akibat kejadian sebelumnya, hal itu membuat semua orang tidak banyak bicara. Mereka hanya fokus dengan masing-masing anggota kelompoknya saja. Dalam kelompok kami, aku menyerahkan urusan koordinasi pada Ryan. lagipula, sepertinya aku jadi dibenci oleh semua anggota kelompokku. Tatapan mereka terasa seperti terpaan angin dingin di musim panas. Terlebih lagi di antara mereka, si pembuat onar yang menerima pukulanku tadi melirikku seolah menyiratkan niat jahat yang tak terungkapkan. Bagaimanapun, aku tidak berniat untuk menanggapinya. *** Kembali, Nossal dan yang lainnya melanjutkan perjalanan dengan formasi yang sama seperti s
Clara meninggalkan Nossal. Dia berlari sesenggukan kembali ke tempat teman-teman yang lain berkumpul. Setiap tetesan air mata yang mengalir dari matanya dia seka dengan punggung tangannya. Berlari, pikirannya tidak dapat melupakan yang barusan Nossal ucapkan. Dadanya sesak setiap kali dia mengingatnya, membuat air mata tidak dapat berhenti menetes. Tanpa Clara sadari, seekor monster mengintainya dari balik bayangan. Seekor kalong yang sedang bergelantungan di bawah atap sebuah bangunan yang tidak jauh darinya. Hendak menjadikannya santapan malam, Kalong itu terbang dengan cepat sambil mengarahkan cakarnya pada Clara yang sedang lengah. Mata Clara terbuka lebar melihat sosok monster itu terbang mendekatinya. Perasaan takut yang luar biasa seperti mencekik dirinya. “Aku harus segera menyingkir” ucapnya dalam hati. Dia mencoba menggerakkan kakinya untuk pergi dari tempat itu tetapi tidak bisa. Rasanya seperti kedua kakinya terpaku di atas tempatnya berpijak. Tidak kuat lagi menahan beba