Tiga puluh menit lagi, pesawat akan segera mendarat di Bandara Internasional Incheon. Seluruh penumpang tengah bersiap. Begitu juga dengan Chan dan Rose yang telah terbangun.Entah terbangun dari tidur atau angan-angan yang tengah mereka bangun. Yang jelas, mereka juga tengah mempersiapkan diri dan mengemas barang yang berserakan. Seperti mp3 beserta headphone milik Chan yang berada di atas meja pesawat.Rose mengikat rambut panjangnya ala Korean bun style yang sempat terurai berantakan. Itu membuat tengkuknya menjadi terlihat jelas. Visualnya menjadi lebih segar dan bercahaya. Chan sempat terpaku.Cih!Chan segera menggeleng, menepis apa yang tengah di perhatikannya saat ini."Ya! Pakai snellimu dan jangan berjalan di sampingku ketika kita sudah sampai di bandara." Chan membeberkan ultimatumnya sebelum mendarat."Ap?! Ini sangat pagi. Bahkan masih gelap. Untuk apa aku mengenakan snelli?! Membuat gerah saja!" protes Rose."Ya! Dasar bodoh!" hardik Chan. "Kau akan terus seperti ini jika
"Selamat pagi!" Rose menyapa Nara yang tengah berkutat di dapur."Oh? Nona Rose?!" Nara terkesiap melihat kecantikan perempuan 30 tahun yang terlihat begitu segar di pagi yang masih buta ini."Ada yang bisa kubantu?" tanya Rose ringan hati."Ah. Tidak! Tidak ada! Ini sudah tugasku menyiapkan sarapan pagi" Nara mengelaknya dengan segera--baginya, bagaimana bisa seorang majikan begitu murah hati.Rose meraih lembaran roti tawar di hadapannya, "Membuatnya bersama, lebih menyenangkan, bukan?"Nara tersenyum cerah. Secerah matahari menyambut dunia, "Terima kasih, Nona."Pun Rose merekahkan senyuman yang begitu luas seraya menyiapkan beberapa piring untuk di bawanya ke meja makan. Menata benda pipih berbentuk lingkaran tersebut di atas meja. Tak lupa dengan gelas, juga susu segar yang telah diolah Nara sebelumnya."Ah, ya.. Tuan Chan sangat menyukai susu sapi segar.""Benarkah?" Rose menghentikan aktifitasnya menata gelas.Nara mengangguk sambil merapikan tatanan kursi meja makan. Chan palin
Si-Woo membukakan pintu mobil bagian penumpang untuk Chan yang baru saja keluar dari rumahnya. Penampilannya benar-benar terlihat mewah dan berkelas. Ia melangkah penuh wibawa. Si-Woo sempat menunduk sopan sebelum Chan benar-benar memasuki mobil."Chaaann!"Teriakan itu membuat Chan mengurungkan niatnya untuk memasuki mobil. Chan mengenali suara itu. Seharusnya ia juga tidak perlu berbalik. Namun, semua terjadi begitu saja sehingga ia menghiraukan Rose yang memanggilnya.Perempuan itu tengah mengatur tempo pernapasannya setelah mensejajarkan kakinya dengan Chan, membuat pria itu mengerutkan keningnya."Kau meninggalkanku? Aku juga harus pergi ke Rumah Sakit untuk hari pertama pemindahan tugas!" tutur Rose memberikan penekanan.Cih! Chan berdecak kesal."Enak saja! Siapa juga yang akan mengantarmu, hah?!" Ia memekik menyebalkan. Menyunggingkan sebelah bibirnya.Masuk ke dalam mobil, namun ia masih melihat Rose yang tak beranjak dari tempatnya. Terlebih ada suram di wajah gadis menyebalk
Kedatangan Chan langsung disambut meriah oleh para jajaran staf Leyo Studio. Pria dengan tinggi semampai itu menebar senyuman khasnya pada seluruh karyawannya itu.Bukan hanya para staf saja, beberapa artis besutannya juga turut bersorak menyambut kedatangannya. Sungguh luar biasa. Chan sudah lebih dari dua bulan vakum dari tugasnya sebagai pemimpin perusahaan. Tak ayal, jika banyak yang merindukan omelan Chan ataupun makiannya."Chan!" teriak Steave seraya menarik kedalam pelukannya, membuat ia sempat tersentak.Steave menepuk punggung Chan kencang. Menyisakan detik-detik yang begitu membahagiakan. Sementara Chan hanya meringis menahan rasa sakit. Tapi percayalah, sepertinya Steave sangat merindukan koleganya itu.Di menit selanjutnya, Steave menguraikan pelukan itu sembari mengajak Chan beranjak ke lantai atas untuk menemui para wartawan yang telah menanti kehadirannya."Beri hormat kepada tuan kami!" seru salah satu staf disana begitu bersemangat."Selamat datang kembali, Pak! Kami
Suasana di gedung pusat LEYO Studio begitu padat. Para staf menyibukkan diri dengan tugasnya masing-masing dalam persiapan menuju ajang kompetisi bagi para musisi se-Korea Selatan.Steave tengah mengkoordinir bagian konseptor untuk merancang tatanan panggung audisi. Sesekali bagian konseptor mengangguk sebagai tanda kepahamannya atas instruksi yang di lontarkan produser musik tersebut.Chan menghampiri untuk melihat bagaimana hasil kerja stafnya. Ia menerawang kesegala arah seraya memasukkan kedua tangan ke dalam saku celananya. Bibirnya diangkat sebelah, membuat kesan angkuh sosok CEO satu ini sangat menyebalkan.Steave berbalik setelah para konseptor bubar barisan untuk melaksanakan tugasnya. Pria berparas manis itu sempat terkesiap melihat keberadaan Chan yang sudah berada di belakangnya."Aigoo! Sejak kapan kau disini?" kaget Steave sambil mengelus dadanya."Baru saja." jawab Chan santai seraya melanjutkan langkahnya untuk melihat-lihat lebih jelas.Steave menggeleng samar bersamaa
"Terima kasih, Min Jae." ucap Rose sebelum keluar dari mobil."Iya, sama-sama. Lain kali, jika kau butuh bantuan, kau bisa segera menghubungiku." Minjae merekahkan kedua sudut bibirnya. Memberikan senyum terbaik.Rose tersemtuh, "Kau sangat baik. Sifatmu mirip sekali dengan hyung-mu.""Ah~ Min-Joon hyung jauh lebih baik dariku."Rose membuka pintunya. Mengalungkan tas di sebelah bahu. Keduanya sempat melambaikan tangan sebelum menutupnya. Saat ini, ada lega di hati perempuan berparas ayu tersebut. Akhirnya ia bisa melaksakan niatnya.Rose sampai rumah pukul setengah sembilan malam. Cukup larut, bukan? Ia menyusuri ruang tamu. Pun lampu-lampu yang gelap seketika menjadi terang benderang seiring dengan langkah kakinya. Jika rumah ini gelap, memangnya tidak ada orang disini? Apa Chan belum pulang?Rose berusaha menepis kekhawatiran pada suami jadi-jadiannya itu. Ia segera membuka gagang pintu kamar.Klek!Sejenak ekor mata Rose memperhatikan kamar Chan yang sangat gelap. Apa Chan sudah t
Min-Jae mengantarkan Rose ke sebuah tempat yang sepi. Bangunan yang besar dan berlorong-lorong. Pemuda itu mengarahkannya masuk kedalam ruangan paling ujung. Ruangan tersebut di penuhi oleh etalase penyimpan abu dari hasil kremasi. Langkah keduanya berakhir di depan dinding yang terdapat sebuah foto.RIP Yook Min-JoonPerlahan, Rose menyentuh foto tersebut. Hanya perlu sekali berkedip untuk meluncurkan air matanya."O-oppa. A-aku datang!" Bibirnya bergetar, karenanya terlalu kuat menahan tangis.Melihat keadaan yang begitu menyiksa Rose, tanpa ragu, Min-Jae menariknya ke dalam pelukan. Seketika tangis Rose pecah. Minjae mengusap punggung wanita itu dengan sangat lembut.Rose semakin menenggelamkan wajahnya di antara bahu Min-Jae. Pemuda itu bisa merasakan betapa rapuhnya sosok Rose. Keduanya larut dalam detik-detik yang sunyi. Tak ada suara lain, selain tangisan Rose.Tanpa mereka sadari, ada sosok yang berhasil mengabadikan momen hangat antara Rose dan Min-Jae. Pria itu mengirimkan fo
"Oh, Tuan Chan ada di studio, Nona. Baru saja dia keluar, tapi sepertinya ia sudah kembali." terang salah seorang staf."Aku dokter pribadinya, Dokter Rose. Aku hanya ingin memberikannya ini, tapi aku tidak bisa masuk karena aku tidak punya akses." Rose menunjukkan sekantung obat di tangannya."Oh begitu. Anda bisa menanti Tuan Chan di ruang tunggu, sepertinya ini sudah di tidak lama lagi.""Terima kasih." Rose menunduk sopan sebelum berbalik. Ia segera menempatkan diri diatas sofa untuk menunggu Chan.Sejatinya, Rose tidak perlu lagi menunggu jika sudah di penghujung acara, tapi entah mengapa ia sangat mengkhawatirkan kondisi pria itu. Setidaknya dengan menunggu seperti ini, ia bisa tau apa saja yang dilakukan Chan. Setidaknya mengawasi.Siapa yang tau jika nanti Chan melakukan hal yang sama seperti sebelumnya.***"Nama saya Han Na-Na. Usia saya 23 tahun. Saya berasal dari Daegu."Pada akhirnya Na-Na memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. Teriakan Som
Penerbangan menuju Osaka tinggal setengah jam lagi. Rombongan medis dari Rumah Sakit Wooridul sedang berkumpul bersama untuk segera mengemas barang setelah hampir satu jam boarding. Rose membuka-buka tas-nya. Ia mencari ponselnya tapi tidak ada. Seketika rose mengutuk dirinya sendiri."Ya! Kau kenapa, sih?" tanya Hyo-Joo yang mersa terganggu dengan keributan yang dibuat kawannya."Aissh! Ponselku tertinggal," rengek Rose."Ya! Sepenting apa ponselmu? Kau punya banyak uang, kan? Beli lagi saja nanti," balas Hyo-Joo seadanya."Memangnya aku ke Osaka untuk belanja? Lagipula aku harus menghubungi Chan!""Bukannya kau akan bercerai, kenapa masih menghubunginya?" Hyo-Joo mengerutkan keningnya"Tentu saja aku harus menghubunginya untuk menayakan kabar setelah si caplang itu mengumpulkan dokumen ke pengadilan!" tegas Rose.Hyo-Joo berkacak pinggang sembari mendecak. "Ya sudah, semoga saja lancar. Kau bisa menggunakan ponselku dulu, jika kau butuh."Bukannya ingin mengelak, tapi rose tidak men
Dengan tangan bergetar dan mata yang memandang datar, Chan mengusap pintu etalase yang didalamnya terdapat sebuah guci penyimpanan abu. Pun tertera jelas beberapa foto disana.R.I.P. Bae Ailin.Alih-alih menangis, Chan justru tidak bisa beraksi apapun saat melihat orang yang dicintai dan dicarinya selama ini telah berubah menjadi abu. Mungkin jika Chan mengetahui kematian Ailin sejak dulu, ia akan menjerit, memaki dirinya sendiri serta menyalahkan keadaan dan segala tingkah konyol lainnya. Sekarang, Chan sudah merelakannya pergi sejak Rose ada dihidupnya. Meski sesekali teringat Ailin dari wajah Han Na-Na yang sangat menyerupainya."Maafkan aku, Ailin. Aku belum bisa menjagamu. Kenapa kau tidak pernah mengatakan padaku jika kau sakit?"Chan sempat memutar memorinya saat di bangku kuliah. Saat itulah, ia mulai sering melihat Ailin muntah-muntah hampir di setiap jam. Tapi, Chan selalu mengikuti ucapan Ailin agar tidak usah menghiraukannya dan menganggap hal tersebut hanyalah akibat dari
Suasana kantor LEYO Studio begitu ramai. Banyak aparat kepolisian yang datang. Para karyawan juga sibuk berlalu lalang. Bagian dalam kantor tersebut juga terlihat sangat berantakan. Park Chan sudah menduga jika mimpinya menjadi kenyataan, meski sebagian. Semalam benar-benar terjadi perampokan. Anehnya, perampok tersebut tidak mengincar alat elektronik, melainkan berkas-berkas berharga dari perusahaan besar tersebut."Oh, Chan?!" Steave berbalik saat mendengar suara sepatu yang menghentak di belakangnya."Apa ada yang mencuri buku besar?" tanya Chan memastikan."Iya. Semalam Na-Na datang kemari dan melihat ada rombongan penyusup datang. Dia menelpon polisi, tapi pelaku masih belum tertangkap. Bahkan kamera pengawas juga tidak beroperasi," tutur Steave. "Kurasa mereka mengendalikannya.""Mimpiku benar-benar nyata," ceplos Chan asal."Apa??" Kening Steave mengerut."Aku memimpikan ini. Tapi pelakunya satu orang." Chan berkacak pinggang sembari menerka banyak hal dan detik selanjutnya men
Selepas pulang dari rumah sakit untuk mencari keberadaan sang istri, Chan sedang menikmati malam terburuknya tanpa Rose di sebuah kedai. Kembali pada soju. Minuman yang sebenarnya sudah tak lama ia nikmati selagi dalam pengawasan Rose demi menunjang kesehatan.Namun kali ini ia tak bisa melewatkannya. Puncak frustrasinya sudah diambang batas. Ia butuh sesuatu untuk setidaknya menenangkan pikirannya. Pun kedai yang disambangi hanya dipenuhi oleh pria-pria tua yang kemungkinan tidak mengenalnya."Rose... Noona." Chan terus memanggil-manggil nama sang istri di bawah angin malam sungai Han. "Ji-Hyun Noona... kenapa kau meninggalkanku tanpa sepatah kata? Aku tau aku jahat.""Tapi, setidaknya berikan aku kesemp..." Chan menggeleng bersama pikriannya yang sudah melayang. "Tidak! Kau bahkan sudah memberikanku banyak kesempatan yang bodohnya selalu kulewati.""Aku tidak tau!" Chan merengek. "Kenapa Han Na-Na membuatku melihat Ailin? Tapi aku tidak ingin melakukan apapun. Aku tidak ingin mencint
Chan memasuki ruangan dokter Ko Tae-Song tanpa permisi, membuat pria berambut silver itu terkejut akan kedatangannya."Apa kau tau dimana istriku?" Chan bertanya seraya mengatur tempo napasnya yang berantakan "Tidak... Maksudku, Dokter Rose. Kekasihku.""Ah... Dokter Rose sudah mengakhiri kontrak kerjanya dengan kami sejak sore tadi."Chan tercenung. Matanya membulat. Ia seolah berada di atmosfer yang berbeda. Semakin lemas mendengar kalimat Dokter Ko."Tidak mungkin!" Chan menggeleng.Dokter Ko lantas mengeluarkan surat pengunduran diri Rose dari Rumah Sakit Haesung-Seoul yang telah disetujui sore tadi. Dokter Rose sudah mengurus semua ini sejak seminggu yang lalu. Tapi kami baru menyutujuinya.Chan membaca seluruh surat yang Rose buat dengan seksama. Di detik selanjutnya, Chan berteriak frustasi. Sepertinya Rose benar-benar ingin bercerai dengannya dan kembali ke Daegu. Dada pria itu tampak naik turun penuh dengan emosi yang ingin meledak. Tidak pada tempatnya.^^^Na-Na mengambil be
Namun ada satu keganjalan di hatinya. Chan buru-buru meminta para staf dan karyawan dari seluruh divisi berkumpul di aula besar tanpa ada yang absen satu orangpun. Hal seperti ini menimbulkan banyak tanya bagi mereka. Jika Chan mengumpulkan seluruhnya, maka akan ada hal yang sangat penting. Brukk! Chan melempar beberapa majalah ke lantai. Menimbulkan suara yang menggema ke seluruh sudut ruangan. Semua penghuni aula terperanjat dengan situasi horor macam ini. Seketika kesunyian begitu terasa. Benar saja, jika Chan murka, maka ia akan lebih seram dari hantu valak. "Kalian sudah melihat berita tentangku?" tanya Chan dengan napasnya yang masih tersengal-sengal akibat menahan emosi. "Ini pencemaran nama baik! Ini tidak benar!" Ia memekik. Wajahnya sangat menyeramkan. "Aku bahkan tidak memiliki hubungan apapun dengan Han Na-Na! Aku tidak akan pernah marah dengan segala pemberitaan buruk tentangku. Tapi jika berita tersebut membawa dampak buruk untuk Rose, maka aku tidak akan diam saja!!!
"Apa kau mengingatku, Park Chan-ssi?" tanya Hyo-Joo memastikan. Ketiganya telah berada di ruangan chan. Duduk saling berhadapan satu sama lain.Chan seperti mengingat sesuatu. "Entahlah. Sepertinya aku pernah melihatmu dengan Rose Noona saat di Daegu.""Ingatanmu bagus juga." Hyo-Joo tersenyum tipis. "Aku teman dekat Rose.""Apa kita perlu berkenalan lagi, Tuan Chan?" Giliran Min-Jae angkat bicara."Uhmm... Kau Yook Min Jae?" Chan memastikan lagi."Aku adalah pria yang kau hajar waktu itu. Tapi aku berbaik hati untuk tidak melaporkanmu karena ternyata kau punya hubungan yang spesial dengan Ji-Hyun Noona," terang Min-Jae samar-samar. Sempat membuat kening Chan berkerut. Apalagi saat mendengar pemuda itu memanggil istrinya dengan nama aslinya. " Sayangnya kita belum berkenalan dengan benar. Kau hanya tau namaku saja, tapi kau belum tau siapa aku sebenarnya." Min-Jae semakin membuat Chan penasaran."Ya! Tujuan kalian datang kesini untuk apa? Sebenarnya aku juga tidak punya banyak waktu un
Suasana di Poli Onkologi salah satu rumah sakit elit di Seoul itu begitu ramainya. Pasien tengah mengantre untuk rawat jalan maupun konslutasi pada dokter di bidangnya. Salah satu dokter yang memiliki cukup pasien hari itu adalah dr. Seo Ji-Hyun.Dua orang telah keluar dari ruangannya bersamaan dengan seorang perawat yang kemudian memeriksa data pasien antrean selanjutnya."Ok, selanjutnya nomor pedaftar...."Belum sempat menamatkan kalimatnya, seorang berbalut jaket hoodie hitam itu hendak memasuki ruangan praktik Dokter Seo Ji-Hyun atau yang lebih dikenal sebagai Dokte Rose."Oh?! Tuan?!" perawat perempuan tersebut menahan pergerakannya. "Anda siapa? Saya bahkan belum menyebutkan nomor pendaftarannya!"Sosok dalam balutan topi yang sedang menyembunyikan wajahnya itu hanya melirik sinis dengan tatapan tajam, lalu menghempaskan tangan perempuan tersebut dan menerobos masuk. Namun, perawat itu terus berusaha menahan pergerakan sosok misterius itu yang pada akhirnya berhasil membuka pin
Chan tampak segar. Ia selalu berpenampilan santai jika pergi ke kantor. Berkaos putih tipis dibalut kemeja denim tebal diluarnya. Langkahnya terhenti saat mendapati keramaian di sudut dapur. Chan mengerutkan keningya, melihat rose tengah membantu nara menyiapkan sarapan pagi seraya bercengkrama. Menebarkan senyumnya dengan mudah, seolah tidak ada hal apapun yang terjadi padanya."Oh, Chan?!" sorak Rose riang sambil membawakannya makanan. Menarik satu kursi untuk pria yang sedang mengamati pergerakannya. "Makanlah, kau perlu banyak energi. Kau sibuk, kan?"Chan mematung sambil memikirkan beberapa asumsi. Ia semakin dibuat pening oleh sang istri. Semalam, ia melihat perempuan itu hancur sejadi-jadinya seperti tidak ada waktu lagi untuk hidup. Pagi ini, Rose justru terlihat berbinar."Kenapa?" Rose menemukan Chan yang masih saja berdiri. Keningnya pria itu berkerut. "Tugasku menjadi istrimu selesai hari ini, kan?" Pertanyaan itu terucap begitu saja melalui bibirnya.Detik itu juga, jantu