"Ada... Siapa?" Lily bergeming di tempatnya berdiri. Perasaannya mulai berkecamuk. Akhirnya, ia bisa bertemu dengan Juna, suaminya. Akhirnya ia bisa melihat suaminya setelah hampir enam jam ia tidak bertemu pria itu sejak mereka berpisah di bandara. Apa yang sedang mereka lakukan? Makan malam berdua? Hanya Juna dan wanita itu? Hati Lily menciut. Pikirnya sudah tidak lagi mampu membayangkan hal yang tidak-tidak. Gumpalan air mata mulai terbentuk di kedua sudut matanya. "Ada Pak Juna di restoran ini." Iwan merasakan perubahan yang terjadi atas istri atasannya itu. Ia merasa bersalah. Seharusnya ia tidak mengatakan kebenaran yang ia lihat barusan. Melihat wanita di depannya terdiam, Iwan langsung berinisiatif untuk mencari restoran lain. 'Lebih baik kita mencari restoran lain , ya Bu"? "Tidak perlu. Kita makan di sini saja. Lily berusaha meredam gejolak dalam hatinya. Lebih baik begini. Mungkin ia akan mendapat jawaban dari keraguan sesaatnya. Lily melangkah masuk ke restoran diikut
Juna melangkah begitu cepat, tanpa diikuti Iwan di belakangnya. Sekretarisnya itu duduk menunggu di lobi hotel. Persoalan yang dihadapi atasannya sekarang bukan termasuk pekerjaannya. Ia mencari tempat aman agar tidak terkena dampak dari keributan mereka. Keributan? Akankah Juna akan ribut dengan Lily? Ponselnya tidak beralih dari telinganya. Juna terus saja menghubungi Lily, meski panggilan yang ia buat diabaikan oleh wanita itu. Langkah yang dibuat Juna lebih lebar dari sebelumnya. Ia seperti berpacu dengan waktu, seakan sebuah bom akan segera meledak di kamar yang ditempati Lily. Tangan kanannya mengeluarkan kartu akses cadangan yang ia dapat dari petugas hotel. Jika Lily tidak juga mengangkat telpon darinya, maka ia akan memaksa masuk ke kamar itu dengan kartu akses cadangan itu. Enam kali adalah batas maksimal dirinya mencoba menghubungi Lily. Juna memasukkan kartu akses cadangan yang diberikan petugas hotel padanya. Ia berusaha sepelan mungkin membuka pintu kamar, seperti seor
Baskara mengetuk pintu besar berwarna hitam di depannya. Ia sudah membereskan semua barangnya dari kamar itu. Sudah saatnya ia pergi dari sini. Tidak ada lagi yang bisa menahannya untuk tetap tinggal di sini. Wanita yang menjadi pengharapan terakhirnya pun kini sudah meninggalkannya. Sekuat apa pun dirinya berusaha, nyatanya dirinya tetap tidak bisa melawan takdir. Pintu di depannya bergeming. Sepuluh menit menunggu, akhirnya Baskara memutar badannya, melangkah menjauh dari kamar yang masih tertutup pintunya meski ia sudah mengetuk berulang kali. Perasaannya sudah mati. Ia tidak lagi mempunyai niatan untuk kembali ke rumah ini lagi. Jika dulu ia kembali kemari karena masih berharap ada setitik harapan untuknya kembali menjalin hubungan dengan Lily, tapi sekarang, semua sudah sirna. Sirna tanpa bekas. Mulai sekarang dirinya harus mulai belajar menerima semua kenyataan ini. Cinta tidak harus memiliki. Sekuat apa pun berusaha, jika memang tidak berjodoh, maka semua itu akan sia-sia.
Juna melangkah masuk ke dalam kamarnya. Dilihatnya Lily sudah berbaring dengan posisi memunggungi dirinya. Ditatapnya sebentar punggung itu sebelum akhirnya berjalan mendekati Lily. "Mengapa kamu tiba-tiba marah begini?" Juna mengambil posisi di ujung ranjang. Ia angkat kedua kaki Lily lalu meletakkannya di atas kedua pahanya. Tangannya tidak tinggal diam. Tidak ingin pertengkaran tanpa sebab ini berlanjut, Juna mencoba merayu Lily. Ia memijit kedua kaki istrinya itu. "Katakan jika aku sudah melakukan kesalahan. Katakan jika aku sudah melakukan hal yang sudah melukai hatimu. Jangan tiba-tiba marah seperti ini." Lily diam. Ia sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Juna. Ingin rasanya ia bangun dari tidurnya dan langsung meninju lengan pria yang kini sedang memijat-mijat kakinya. "Tidak baik jika terus begini. Ingat, di perutmu sudah ada calon penerus perusahaanku. Jangan sampai terjadi sesuatu padanya." Mendengar ucapan Juna, Lily bangun dari tidurnya. "Sekarang kau sudah
Tubuh Baskara terhuyung ke belakang. Matanya mendadak berkabut. Ia berusaha menjaga kesadarannya, namun himpitan di dadanya membuatnya merasa sesak. Qonita panik. "Maaaas!" Sesosok pria tinggi besar masuk ke kamar itu, dan langsung menangkap tubuh Baskara yang limbung dan nyaris menyentuh lantai. "Letakkan di sana saja, Mas." Wajah Qonita menjadi pucat. Meski dirinya sudah memprediksi hal ini, tetap saja ketika hal itu terjadi ia menjadi panik dan gugup. Untung ia mengajak suaminya. Jika tidak, apa jadinya Baskara sekarang ini. "Dia punya asma?" Bayu melirik Qonita. Wanita itu menggeleng. "Setahuku tidak." "Jantung?" "Tidak juga. Mungkin dia syok dengan berita yang ia baca di surat itu." "Mungkin juga." Bayu mulai membantu meregangkan pakaian yang melekat di tubuh Baskara, lalu mengoleskan minyak kayu putih yang diberikan Qonita. "Pelan-pelan saja menyampaikan semua pesan itu. Jika semuanya kamu katakan sekarang, aku tidak yakin dia bisa menanggung rasa bersalahnya." Qonita
Juna menatap layar ponselnya yang baru saka ia nyalakan. Betapa terkejutnya Juna begitu mengetahui Lily sudah berulang kali menghubunginya. Ia baru saja kembali ke kamarnya setelah bertemu dengan calon kliennya yang bernama Elizabeth Wu. Setelah perundingan yang cukup alot, akhirnya tercapai kesepakatan di antara mereka. Juna menekan nama Lily. Berulang kali ia menghubungi Lily, tapi panggilannya selalu gagal, membuat Juna merasa sangat khawatir. Terlebih lagi usia kandungan Lily sudah mendekati usia 9 bulan. Ia takut jika bayi yang sedang dikandung Lily akan lahir prematur. Juna langsung meminta asistennya untuk segera membelikan tiket pulang ke Jakarta. Penandatanganan kesepakatan ia tunda beberapa hari ke depan dan akan dilakukan di Jakarta. Pikirannya kini penuh dengan Lily. Dua jam berikutnya, Juna duduk manis menunggu di ruang tunggu terminal keberangkatan yang akan membawa dirinya kembali ke Jakarta. Perasaannya masih tidak tenang. Ada apa dengan Lily? Mengapa dirinya meng
Baskara dengan tergesa keluar dari taksi online berwarna putih. Ia mengabaikan teriakan sang pengemudi yang mengatakan jika uang yang diterimanya terlalu banyak. Langkahnya ia buat selebar mungkin agar bisa segera tiba di loby bangunan dengan warna serba putih itu. Perasaannya tidak menentu. Ia menghampiri meja resepsionis dan terlibat pembicaraan sesaat. Wajahnya mendadak pucat mendengar jawaban sang petugas, dan melangkah sangat cepat, meski dirinya merasa sangat lemas, ke arah yang sudah ditunjukkan oleh petugas. Bibirnya bergerak-gerak, melantunkan sederet doa. Entah untuk siapa. Dan dirinya langsung menjatuhkan tasnya dan segera berlari, ketika melihat seorang wanita yang sedang hamil tua berteriak histeris di depan ruang ICU. "Lily....!" Baskara berteriak sambil berlari kencang ke arah Lily. Waktu masih berpihak pada Baskara. Ia bisa menangkap tubuh kakak iparnya sekaligus wanita yang sangat ia cintai. Baskara menggendong tubuh Lily yang saat ini tengah tidak sadarkan diri
Berulang kali Baskara menyeka peluh di kening Lily. Ia terus menggenggam tangan Lily. Bukan tanpa alasan. Ia menggantikan Juna untuk memberikan kekuatan pada Lily melewati saat-saat kelahiran anak pertamanya. Ia tidak lagi berpikir jika seharusnya anak yang sedang berusaha untuk keluar dari rahim Lily adalah anak dari benihnya. Saat ini yang ada dalam benaknya adalah bagaimana Lily tidak lagi menderita sakit. Ia benar-benar merasa kasihan. Semua rasa kesalnya terhadap hubungan Lily dan Juna sebagai sepasang suami istri yang sebenarnya, meluap sudah. Yang ia inginkan saat ini hanyalah keselamatan dan kesehatan Lily beserta bayinya. Ia terus memberi semangat pada Lily, memanjatkan doa untuk Lily, berharap semua segera berakhir, dan suara tangisan bayi memenuhi ruangan ini. Suara Lily meredam kesakitannya terus terdengar. Baskara hanya mampu menyalurkan rasa ibanya dengan menepuk-nepuk pelan tangan Lily. Ia sendiri tidak tahu bagaimana menghibur kakak iparnya itu. Dua jam berlalu na