Dalam rasa sakit yang luar biasa ini aku dikejutkan dengan sisi lain dari Ibu kandungku, sisi yang tak pernah sekalipun aku lihat selama 40 tahun hidupku di dunia ini.Aku menganga tak percaya, berulang kali aku mengucek kedua mataku melihat sosok yang berada di depanku saat ini.Ibu, kenapa bisa? Ya Allah, rahasia apa lagi ini? Atau memang sejatinya Ibu memiliki ilmu khusus? Ah, semua ini membuatku sukit percaya. Susah payah aku bangkit untuk duduk, bahkan Arini dan yang lainnya pun masih nampak terpana hingga tak menyadari jika aku sudah terduduk dengan susah payah."I-Ibuk," gumamku yang di sadari olehnya. Beliau menoleh dan menatapku sendu."Maafkan Ibu, Yu!" ucapnya masih dengan benda itu di tangan Ibu. Ah tidak, melayang lebih tepatnya karena ada jarak antara kulit tangan ibu dengan benda itu.Benda itu berupa keris berwarna coklat keemasan dan bercahaya. Ukurannya lebih besar dari ukuran sepatu, mungkin. Tapi darimana datangnya benda itu tadi? Ah, kenapa seolah aku melihat sos
"Astaghfirullah, Ayah!" pekik Arini terkejut sebab Wahyu tetiba terkulai lemas. Dengan sigap, ia merebahkan tubuh Wahyu yang bersandar di tubuhnya."Buk?" Arini melempar tatapan pada Hasnah."Tak apa, tenanglah! Wahyu sudah masuk ke dimensi lain, kita doakan dan terus bantu dzikir dari sini." jawab Hasnah tenang."Baiknya tolong bantu dibawa ke dalam saja!" titak Pak Kyai pada beberapa santri yang ikut bergabung dengan mereka.Dengan cekatan lima orang santri segera membopong tubuh Wahyu menuju guesshouse yang semalam mereka tempati dan segera merebahkan tubuhnya di atas ranjang."Albi, tolong minta para santri untuk bantu dzikir selama 3 hari kedepan. Semua kelas tolong di koordinir secara bergantian selama 24 jam penuh! Yusuf, tolong buatkan jadwalnya ya!" ucap Pak Kyai pada santrinya."Baik, Pak Kyai! Nanti akan saya kirimkan 10 santri setiap 1 jam bergantian." jawab salah satu santri dengan sopan. Setelah Pak Kyai mengangguk mereka lantas berlalu keluar."Hasnah, kita bantu dzikir
"Paman, Bibik, ini Salwa ada sedikit tabungan. Semoga dengan ini bisa sedikit meringankan beban Paman dan Bibik." ucap Salwa sembari menyodorkan amplop coklat yang berisi sejumlah uang yang ia ambil ke Bank tempo hari.Harun dan Rodiya masih bergeming belum bereaksi apapun menatap amplop itu."Maaf jika selama ini Paman harus hidup susah karena Ibu, dan maaf juga Paman jika cerita hidup Salwa di kota membuat Paman dan Bibik malu." lanjutnya menatap adik dari Ibu kandungnya itu berkaca-kaca."Salwa, awalnya memang Paman marah sekali pada Ratih. Tapi, setelah mendengar cerita kamu dan membuktikannya sendiri, justru kini Paman merasa bersalah padanya.Karena amarah, Paman mengabaikan Ratih yang sebenarnya butuh bantuan Paman. Paman menyesal sekali tidak bisa menolong Ratih." sesalnya mendalam."Paman, kita masih punya kesempatan untuk menolong Ibu.""Tapi bagaimana caranya?" tanya Harun sedikit putus asa."Salwa yakin, kita bisa Paman. Sekarang terima dulu ini sebagai penebus rasa bersal
Dua hari berlalu begitu cepatnya, kini Salwa tengah gelisah sebab dari beberapa hari lalu Randa tak ada kabar beritanya. Sedangkan hari yang dinantikan Mak Saroh tinggal 3 hari lagi."Duh, gimana kalau Ayah Randa gagal menemui mbah Garmo ya?" gumam Salwa kembali mengirim pesan pada Randa namun masih centang satu.Cukup lama ia berdiam diri menantikan kabar dari Randa, bebraoa saat kemudian ia kembali melihat ponselnya rupanya pesan yang ia kirim sudah centang biru, itu artinya telah di baca oleh Randa.[Tenanglah, Ayah berhasil menemui mbah Garmo. Dan dia berjanji akan melepaskanmu jika apa yang menjadi keinginannya sudah ia dapatkan. Besok dia akan berangkat kesana. Ini Ayah sudah dalam perjalanan pulang dan masih di pelabuhan Merak mau menyebrang]Balasan Randa membuatnya sedikit tenang. Kini tugasnya mengikuti Mak Saroh lagi kemanapun ia pergi."Nek! Nek!" panggilnya sembari mengetuk pintu kamar Mak Saroh. Tak ada sahutan dari dalam, Salwa kemudian membuka pintu kamarnya. Rupanya
Usai dari warung, Mak Saroh pamit pergi ke ladang untuk memetik cabai. Sengaja Salwa tak ikut sebab ia akan ke kampung mati menemui Randa.Ia segera menyiapkan beberapa baju lengkap dan ia masukkan kedalam kantong kresek kemudian membawanya pergi menuju kampung mati. Sebelum pergi, ia sempatkan memberitahu Rodiya.Kali ini Salwa hanya memasang beberapa tanda saja, tidak seperti biasanya ia memasang tanda dalam jarak yang tak terlalu jauh.Ia terus melangkah menuju rumah Randa. Di persimpangan ia melihat sekelebat bayangan seorang wanita melintasi belakang rumah mendiang Ratna.Ia abaikan bayangan itu dan terus melajukan langkahnya, ia sudah sangat hafal akan kondisi kampung ini. Setiap kali ia menginjakkan kaki di kampung ini ia selalu di sambut dengan sekelebat bayangan, entah itu wanita, anak kecil bahkan ketika terakhir ia ke kampung ini ia diikuti oleh sesosok laki-laki tanpa lengan dengan wajah hancur, sampai perbatasan jembatan.Tak sampai 10 menit ia kini berdiri di depan rumah
Pagi ini pondok pesantren Al-Darrul Huda begitu riuh akan suara-suara merdu para santri yang turut berdzikir membantu Wahyu dalam usahanya memutus ajian Tali jiwo dalam dirinya.Para Santri dengan senang hati berdzikir, mengaji, berwiridan secara bergantian agar supaya doa mereka tak putus."Alhamdulillah, wa syukurillah! Atas ijin Allah, nak Wahyu sebentar lagi pasti kembali." ucap Pak Kyai kepada keluarga Wahyu."Apa itu artinya Wahyu berhasil, Pak Kyai?" tanya Hasnah."Insya Allah!"Kini mereka duduk melingkar di rumah Pak Kyai, usai sarapan bersama. "Tapi jika nak Wahyu berhasil melepaskan diri, tentu akan ada hal lain yang dilakukan Garmo nanti! Dia tidak akan menerima kekalahannya begitu saja." peringat Pak Kyai."Baiknya kita bersiap pergi ke kampung itu, perjalanan memakan waktu lebih dari 8 jam. Jangan sampai kita terlambat sampai di sana." lanjut Pak Kyai."Apa tidak menunggu Wahyu sadarkan diri lebih dulu, Pak Kyai?" usul Pak Haji Nurman."Kunci dari semua masalah ini ada
Hari ini adalah hari yang sudah Mak Saroh tunggu selama 16 tahun, hari dimana bulan purnama penuh. Sedari pagi Mak Saroh disibukkan dengan berbagai sesajian untuk melakukan ritual nanti malam.Berbanding terbalik dengan sang cucu, Salwa. Ia tengah diliputi kegundahan dan ketakutan luar biasa, sekuat apapun ia menahan air mata tetap mengalir juga dari kedua netranya."Apakah ritual ini akan berhasil menghidupkan Ibu kembali? Lantas bagaimana denganku dan bayi dalam kandunganku?" batinnya dalam hati.Air matanya kian deras membasahi pipi mulusnya. Berkali-kali sesak itu menghampiri mengingat hari ini adalah penentuan hidup dan matinya.Aroma dupa dan kembang tujuh rupa menyeruak indera penciumannya. Kepulan asap memenuhi setiap penjuru ruangan sempit ini.Dalam kondisi lemah tak berdaya Salwa menatap jasad sang Ibu yang terbujur kaku terbaring di sampingnya pada meja yang berbeda. Air mata kian deras mengucur mengingat begitu kejamnya sang nenek yang selama ini ia anggap keluarganya."B
"Salwa! Nak, bangun Salwa!"Randa membopong tubuh Salwa dan segera berjalan menuju pintu hendak keluar. Tapi, lagi mereka terpental ke belakang, tak bisa melewati pintu yang terbuka lebar itu."Arrrggghhhh!!Ber*ngs*k!" umpatnya frustasi. Ia terpaksa kembali merebahkan tubuh kecil Salwa pada meja sebelumnya, memastikan bahwa Salwa masih bernafas."Oh, syukurlah!" gumamnya setelah memastikan Salwa masih bernafas."Oh, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?" ucapnya dalam hati."Yah, sakit!" rintih Salwa setelah sadarkan diri."Kenapa, Nak? Mana yang sakit?" tanyanya panik.Salwa mengerang dengan memegang perutnya, ia meringis kesakitan sedangkan keringat dengan cepat membasahi wajahnya."Permisiii!! Assalamualaikum!!"Randa dan Salwa saling bersitatap keheranan. Sayup mereka mendengar suara orang di luar sana."Permisiiii!!!" "Ayah dengar suara itu?" tanya Salwa."Iya, Ayah dengar. Siapa itu ya?" gumam Randa. Lantas ia bergerak menuju jendela dan melongokkan kepalanya keluar, tapi tetap
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. 6 bulan sudah Salwa dirawat di rumah Murni di Jakarta. Awalnya Salwa menolak dan memilih kembali ke Jambi. Namun, dengan alasan lebih dekat jika harus kembali ke rumah sakit untuk kontrol, akhirnya ia setuju dengan Bik Jani tetap ikut bersamanya. Ia tak mau lagi merepotkan Murni dan Tri juga ketiga saudara tirinya.Kondisi Salwa semakin memprihatinkan, kian hari kian kurus. Rambut indah itu gini tak lagi tersisa sedikitpun dan hanya menampakkan kulit kepalanya saja. Cekungan mata kian kentara bahkan kini untuk bicara saja sudah mulai kesusahan.Satu bulan lalu, kenyataan pahit kembali menghantam mental Salwa. Dokter menemukan adanya pertumbuhan sel kanker yang sudah menyebar di area kerongkongan akibat virus APV yang di sebut kanker orofaring. Sejak itu pula, Salwa kehilangan suaranya.Meski begitu lemah oleh keadaan, semangatnya masih membara dalam dirinya. Ia menjalani hari-harinya dengan ikhlas, tak ada lagi air mata yang keluar dari mat
Sesampainya di rumah sakit, Murni segera memaksa untuk bisa masuk ke dalam ruang ICU menemani Salwa. Setelah mendapat ijin dari dokter Rudi, akhirnya Murni diijinkan masuk dengan mengenakan APD khusus sebelumnya. Sedangkan Tri menemui dokter Rudi untuk meminta penjelasan lebih detailnya."Salwa!" Murni tergugu melihat Salwa terbaring dengan berbagai alat medis menempel pada tubuhnya. Wajahnya kuyu, pucat dan semakin kurus bahkan tulang pipinya nampak menonjol. Matanya menghitam dengan cekungan yang dalam.Murni membelai pipi tirus Salwa dengan air mata membanjiri kedua pipinya."Maafkan Mama, Nak!" lirihnya."Bangun, Nak! Ini Mama datang! Kamu gak sendiri lagi sekarang!" tangisnya kian menjadi kala Salwa tak merespon ucapannya.Sesak dalam dadanya kian menjadi, kala tak ia temukan rambut panjang yang tergerai indah dari kepala sang anak."Ya Allah, kemana rambut indahnya? Kemana senyum cerianya?" batinnya menangis pilu."Kemana Mama, hingga tak menemanimu berjuang melawan sakit, Nak?
Dua tahun kemudian.Tok tok tok"Umi! Umi! Tolong!" teriak seorang wanita paruh baya sembari menggedor pintu rumah utama pondok pesantren Al-Khumairah.KrieetttTak lama pintu terbuka dan muncullah seorang wanita berkaca mata yang dipanggil Umi, oleh seluruh santri di pondok pesantren itu."Ada apa, Bi Jani?" tanyanya pada wanita bernama Jani itu."Mbak Salwa, pingsan lagi Umi!" jawabnya panik."Astaghfirullah! Yasudah, ayok kita kesana!" Kedua wanita itu lantas berjalan cepat menuju salah satu pondok yang selama ini di tempati Salwa dan Jani.Waktu menunjukkan pukul 2 pagi, dan ini bukan kali pertama Salwa jatuh pingsan."Ya Allah, Bik cepat telepon dokter Ana!" titah Umi Dewinta pada Jani setelah mendapati Salwa yang terbaring di atas kasur.Jani segera meraih ponsel dan menghubungi dokter Ana, dokter yang selama ini merawat Salwa.Dua bulan setelah Salwa masuk ke pesantren, dia dinyatakan mengidap penyakit kanker serviks stadium 3. Dimana penyakit itu sudah mulai menyebabkan usus
"Selamat ya, Pak, Bu, bayinya perempuan. Cantik sekali seperti ibunya." ungkap dokter wanita ber tag name dr. Intan Kusuma Sp.Og itu di luar ruang operasi kepada Wahyu dan juga Hasnah yang menunggui proses persalinan Arini secara secar."Alhamdulillah wa syukurilah!""Alhamdulillah ya Allah!" Pekik Wahyu dan Hasnah serempak. Tanpa terasa bulir bening membasahi kedua pipi Wahyu juga Hasnah.Proses persalinan tanpa boleh didampingi oleh siapapun itu, rupanya menjadi hadiah terindah dalam hidup Arini juga Wahyu, dengan kelahiran anak ke tiga berjenis kelamin perempuan.Proses yang sangat menegangkan, pasalnya usia Arini yang tak lagi muda dan riwayat darah tinggi yang tidak memungkinkan Arini untuk melahirkan secara normal. "Bayinya baru dibersihkan, nanti kalau sudah siap, suster akan memberitahu Bapak untuk mengazaninya." setelahnya dokter Intan kembali masuk ke dalam ruang operasi.Tak lama kemudian seorang suster keluar dan memanggil Wahyu untuk mengazankan putrinya. Wahyu tergugu
Perjalanan panjang yang melelahkan jiwa dan raga, namun ada hasil yang melegakan.Hidup kami mulai berjalan normal kembali. Tak ada rintihan kesakitan suamiku, tak ada lagi kejadian-kejadian di luar akal sehat manusiawiku.Hari ini, tepat satu minggu dari kejadian terakhir di kampung waktu itu. Aku mengadakan pengajian syukur untuk kesembuhan suamiku, sekaligus acara syukuran empat bulanan kehamilan ke tiga yang Allah percayakan padaku.Haru, bahagia, lega dan bersyukur akan nikmat Allah yang begitu luar biasa dalam kehidupanku. Aku mengundang 100 anak yatim piatu dari panti asuhan dan juga mengundang seluruh keluarga besarku dan suamiku.Alhamdulillah semuanya datang menghadiri acara syukuran ini, terkecuali Salwa. Ya, Mbak Murni sudah menceritakan semuanya pada kami.Sejatinya kami, terkhususnya aku sendiri tak ada dendam dalam hati untuknya. Karena memang semua yang terjadi diluar kehendaknya sendiri, tapi dia sudah membuat keputusan yang terbaik dalam hidupnya dan kami harus meng
"Kami selaku perwakilan pemerintahan kelurahan Senyerang, mengucapkan banyak terimakasih untuk Pak Kyai Ahmad dan rombongan. Yang sudah berkenan membebaskan salah satu kampung kami yang selama lima tahun terakhir ini hilang dari pandangan mata manusia kami.Insya Allah, dalam waktu dekat kami akan segera membangun kampung mati yang sejatinya bernama kampung Belah ini. Kami akan segera mengajukan untuk penyaluran aliran listrik dan juga pembangunan jalan penghubung, supaya kampung Belah ini tak lagi terisolir.Kami juga akan mencari data pemilik lahan di kampung ini, siapa tahu mereka berkenan kembali menghidupkan kampung Belah ini."Ujar Pak Kades panjang lebar di hadapan para warga dan perangkat desa lainnya.Kejadian malam tadi menarik perhatian orang nomor satu di kelurahan Senyerang ini, lantas mendatangi lokasi beserta para stafnya.Pak Kyai Ahmad menjelaskan secara detail mengenai apa yang terjadi di kampung mati atau kampung Belah ini.Kepala desa dan jajarannya dibuat terkejut
"Sudah cukup main-mainnya, Garmo!"Pak Haji Nurman berdiri dengan gagahnya di ambang pintu. Mbah Garmo berdesis sembari memegangi dadanya."Jangan ikut campur kau, Nurman!" hardiknya sembari bangkit berdiri."Tentu! Aku tidak akan ikut campur jika kau juga tak mengusik keluargaku!" ucap Pak Haji tenang."Keluargamu? Yang benar saja!" Mbah Garmo tertawa sumbang.Sedangkan di luar rumah, Murni, Tri dan Pak Kyai, tengah membantu Harun yang terkapar tak sadarkan diri."Mahardika Mahendra itu keponakanku! Dan kau berani menyentuhnya!" ucap Pak Haji lagi.Salwa dan Rodiya kompak menoleh ke arah Dika yang masih tak sadarkan diri."Jangan salahkan aku, karena bocah ingusan itu yang masuk lebih dulu!" jawab Mbah Garmo."Apa yang kau cari Garmo?" ucap Pak Kyai yang muncul dari balik tubuh Pak Haji Nurman, diikuti Murni dan Tri yang memapah Harun.Rodiya segera berlari menyongsong tubuh suaminya dan segera membantu Tri membaringkan Harun di tepi lantai sebelah kanan, sedangkan Pak Haji dan Pak K
"Masih jauh lagi kah, Mbok? Sudah hampir maghrib loh ini?" tanya Murni semakin cemas."Masih lumayan, Bu. Kita lewat jalur barat jadi memang agak memutar, karena cuma di jalur itu mobil bisa sampai ke kampung. Itupun hanya sampai di kampung Bunga Jati, harus jalan kaki sekitar 15 menit lagi untuk sampai ke kampung Mak Saroh." jelas mbok Satiyem."Ya Allah, Mas tambah kecepatannya lagi!" perintah Murni pada Tri."Gak bisa, Dek. Lha wong jalannya begini, untung ini gak hujan kalau hujan malah kita gak mungkin bisa lewat." jelas Tri tanpa mengalihkan pandangannya pada jalanan yang ia rasa begitu sulit dilalui."Ya Allah, perasaanku gak enak ini." gumamnya sambil beberapa kali menghubungi nomor Harun namun tak dapat tersambung. Akhirnya ia putuskan untuk mengirim pesan saja.[Pak Harun, kami lewat jalur barat kata mbok Yem, ini belum sampai]Pesan ia kirimkan ke nomor Harun, dan masih belum terbaca oleh Harun."Duh, signal aja susahnya ampun, deh!" gerutunya sembari melihat layar ponsel.
"Salwa! Nak, bangun Salwa!"Randa membopong tubuh Salwa dan segera berjalan menuju pintu hendak keluar. Tapi, lagi mereka terpental ke belakang, tak bisa melewati pintu yang terbuka lebar itu."Arrrggghhhh!!Ber*ngs*k!" umpatnya frustasi. Ia terpaksa kembali merebahkan tubuh kecil Salwa pada meja sebelumnya, memastikan bahwa Salwa masih bernafas."Oh, syukurlah!" gumamnya setelah memastikan Salwa masih bernafas."Oh, Tuhan! Apa yang harus aku lakukan?" ucapnya dalam hati."Yah, sakit!" rintih Salwa setelah sadarkan diri."Kenapa, Nak? Mana yang sakit?" tanyanya panik.Salwa mengerang dengan memegang perutnya, ia meringis kesakitan sedangkan keringat dengan cepat membasahi wajahnya."Permisiii!! Assalamualaikum!!"Randa dan Salwa saling bersitatap keheranan. Sayup mereka mendengar suara orang di luar sana."Permisiiii!!!" "Ayah dengar suara itu?" tanya Salwa."Iya, Ayah dengar. Siapa itu ya?" gumam Randa. Lantas ia bergerak menuju jendela dan melongokkan kepalanya keluar, tapi tetap