Obsesi dan cinta adalah dua hal yang berbeda. Cinta yang tulus adalah cinta yang benar-benar berasal dari hati, bukan ego semata atau nafsu ingin memiliki seperti halnya obsesi.
***
Sungguh ironi bukan, ketika kebenaran mulai terkuak, ia dihadapkan pada kondisi yang tak me
Mobil Raka berhenti di depan Restoran Gorgeous. Raka keluar dari mobil, setengah berlari memutar menuju sisi mobil di mana Felisya duduk. Lalu membuka pintu. Felisya menerima uluran tangan Raka dan tersenyum saat Raka membantu Felisya turun.Seorang pelayan berpakaian serba hitam dan putih menyambut kedatangan mereka, lantas mempersilakan mereka masuk dengan ramah. Felisya terperangah. Tangannya membekap mulut saking terkejutnya. Tempat itu benar-benar kosong. Kendati tak seorang tamu pun menempati meja, segerombolan pemain musik berdiri di samping meja yang disinari tiga lilin seraya memainkan lagu klasik penuh penghayatan.“Candle light dinner?” tanya Felisya takjub.Raka mengangguk lantas tersenyum. “Kejutan.”Digiringnya tubuh Felisya ke meja tersebut. Menarik salah satu kursi dan mempersilakan Felisya duduk.“Terima kasih,&
Di belahan bumi lain, kegundahan tercipta di antara kesunyian dan hawa dingin yang menusuk. Pergerakan detak jarum jam semakin menjadi-jadi ditambah, suara sandal bulu milik Syila terseret, memecah keheningan yang menyelubung. Mondar-mandir ke sana kemari tanpa ada tanda-tanda kelelahan.Bibir bawahnya ia gigit, bergantian dengan kuku ibu jari. Menatap keluar kaca jendela dengan cemas, sesekali melirik pintu apartemen, mengharapkan Alfa cepat kembali. Sejak Alfa meninggalkan pertengkaran kecil di antara mereka dua jam yang lalu, Syila dihantam kerisauan karena Alfa tak kunjung kembali. Rasa bersalah pun merayap memenuhi sisi hati Syila.“Kapan menjenguk Tante Risa?” Hanya itu yang ditanyakan Syila pada Alfa, mengingat sudah tiga hari berlalu dari janji awal Alfa yang mengatakan hanya dua hari di London. Namun, sampai sekarang Alfa belum menepati janji.Sudah barang tentu, Syila menagih janj
Dendam dan rasa sakit hanya akan membutakan mata dan akal sehat, sementara kenyataan yang sebenarnya terselubung rapat. Padahal hanya butuh sedikit kelapangan hati maka kebenaran itu akan tersingkap. ***Dari tempatnya berdiri, tatapannya menghunjam tepat di kedua manik mata Syila yang kini memancarkan ketakutan. Tanpa sadar ponsel yang masih menempel pada telinga, ia cengkeram kuat. Sayup-sayup suara Felisya di seberang yang sibuk berteriak memanggil Alfa bercampur isak, tak sanggup mengalihkan Syila dari keterkejutannya dari Alfa.Alfa berderap. Napas Syila tersekat, belum sempat ia menghindar, Alfa sudah berdiri di depannya. Merampas ponsel yang masih terhubung, lantas memeriksa. Kerutan-kerutan di dahinya muncul lalu ia mendongak, menatap Syila dengan dingin. Refleks Syila mundur,
“Sadarkah kamu dia tidak akan menginginkanmu lagi setelah kejadian itu. Masihkah ia menginginkan dirimu yang ternoda? Jangan bermimpi. Kamu hanya akan menghancurkan kebahagiaan orang yang sebelumnya menyayangimu jika kau tetap mengharapkannya.”Tangan Syila yang ia gunakan untuk menggedor pintu berubah menjadi kaku dan terjatuh lunglai di sisi tubuhnya. Ucapan Alfa berhasil menohok hatinya akan kenyataan yang sesungguhnya. Alfa benar. Lelaki yang ia cintai bahkan sangat membencinya. Meninggalkannya dengan luka yang sulit tersembuhkan. Ia pun telah menorehkan kekecewaan pada orang-orang terkasih. Tak mungkin baginya untuk membuat luka lagi dan menyakiti kakaknya. Dia berhak bahagia. Karena ia bukan siapa-siapa dan ia sendirian. Tubuhnya beringsut lalu jatuh menimpa dinginnya lantai. Ia menyandarkan tubuhnya yang lemah ke pintu. Terisak pelan dan memukul dada berkali-kali, berupaya melenyapkan rasa sakit serta sesak. Bahkan untuk men
Mungkin telah ribuan kali raga menampik perasaan cinta lantaran pekhianatan mematikan sebagian hati, tetapi cinta tak akan mudah lenyap jika rasa itu masih bersemayam walau hanya berupa titik kecil. ***Butiran salju melayang di udara. Menemani pejalan kaki di West End menjalani aktivitas mereka. Sekalipun dingin menjalar di seluruh tubuh, sedikit pun tak menyurutkan kegiatan mereka di siang hari itu. Namun, berbeda dengan seorang gadis bertopi rajut, mengenakan mantel bulu dan sepatu boot yang berdiri di salah satu coffee shop sedang memegangi gelas kertas berisi kopi. Ia tampak tak nyaman dengan suhu udara di bawah nol derajat. Karena memang ia tak terbiasa berada di negara yang memiliki empat musim tersebut.Uap putih keluar dari mulut be
“Can be faster again, please?!” geram Raka pada sopir taksi yang mengantarkan mereka langsung dari bandara ke tempat tujuan.“I'm sorry, but this is already the maximum speed.” “Shit!” umpat Raka.Julian memukul kepala Raka. Bosan dengan kegelisahan yang dialami Raka yang menurut Julian sangat berlebihan. Bahkan kalau boleh dengan senang hati ia akan menendang pantat Raka saat itu juga, karena tidak tahan dengan ketidaksabaran pria bodoh itu lantaran ingin cepat-cepat bertemu dengan Syila.“Lo—”“Apa?” potong Julian cepat sambil balas menatap mata Raka yang tajam.“Lo harus sabar. Syila akan baik-baik saja. Aku jamin.”“Tahu dari mana dia akan baik-baik saja?” Raka menghunuskan tatap
Karin mengerjapkan pandangan beberapa kali. Tak mempercayai keputusannya yang jelas-jelas di luar kontrol dirinya. Ia memijit keningnya yang terasa berdenyut. Pusing memikirkan kinerja otak yang mendadak buntu. Dan ia tak tahu harus melakukan apa selain menatap gadis yang menabraknya, yang saat ini duduk di sofa seraya memandangi lantai dengan tatapan kosong.Sebenarnya Karin tak yakin apakah gadis itu memandangi lantai atau lukisan surealisme di dinding karena tatapannya tak menampakkan ekspresi apa pun. Dan Karin tak tahu harus melakukan apa, mengingat setiap kali ia melemparkan pertanyaan pada gadis itu, tak ada satu pun yang dijawabnya. Hal itu membuat Karin gondok setengah mati. Lebih-lebih sekadar anggukan atau gelengan pun tidak dilakukannya. Bagaimana Karinharus bertindak jika lawan bicaranya membisu. Padahal rasa ingin tahunya sangat besar.Menyesal. Tentu saja. Bisa saja Karin berpura-pura tidak mengenalnya dan f
Malam pun telah larut. Namun, acara perayaan belum juga selesai. Benaknya pun sepenuhnya mengarah pada nasib gadis itu yang ia tinggal sendirian. Pikiran buruk memenuhi otak. Ia ingin memastikan gadis itu baik-baik saja, tetapi tak enak harus meninggalkan restoran di tengah-tengah acara sementara pesta itu untuk dirinya. Sudah ratusan kali Karin mendesah dan itu ditangkap oleh asistennya yang duduk bersebelahan dengannya. Bahkan asistennya itu bingung melihat Karin hanya menusuk-nusuk spageti dengan garpu tanpa memakannya.“Kamu kenapa?” tanya Lana cemas seraya menyentuh lengan Karin.Karin memijit kening, agak pusing. “Sepertinya aku kurang enak badan,” kata Karin berbohong.“Lebih baik kamu kembali ke hotel. Biar aku suruh Randy yang mengantar.” Lana bersiap memanggil Randy, tetapi Karin menolaknya.“Kamu serius mau pulang sendiri?”
TV plasma 21 inch itu menayangkan acara komedi di channel lokal. Kendatipun volume suara lumayan keras, telinga Syila seolah kedap suara. Matanya mungkin menyorot penuh ke layar TV, tetapi tidak dengan pikirannya. Sebelumnya kekhawatiran diam-diam menyelusup. Menunggu dengan tak sabar kedatangan Raka. Harusnya ia bertanya lebih spesifik Raka kembali pada jam berapa. Kalau ia tahu kan ia tak secemas ini dan lagi jika ia bisa menghubungi Raka minimal lewat telepon, sayangnya ia tak tahu nomornya. "Sedang melamun?" Syila terlonjak dari duduknya, adrenalinnya meningkat drastis seirama dentuman jantungnya yang bekerja ekstra. "Kak Raka!" sahutnya cepat bercampur kesal. Raka tertawa kecil. Ia duduk di samping Syila dan memandangnya dengan hangat. Usapannya pada kepala Syila melenyapkan kerisauan Syila terhadapnya. "Kakak ke mana saja? Aku sendirian di sini. Menunggu Kak Raka yang tidak datang-datang membuatku gelisah." ketus Syila. "Merindukanku, heh?" Raka terkekeh. Reaksi salah tin
Syila terbangun dari tidurnya. Mengerjap beberapa kali selagi ia mengumpulkan nyawa. Dalam detik berikutnya matanya melotot, serampangan ia bangun dan terduduk dengan mata menelusuri tubuh yang mendengkur halus di sampingnya. Ia tak mempercayai apa yang ia lihat. Namun, tak ada keraguan untuk menyimpulkan bahwa ini nyata. Raka bukan mimpi belaka. Semburat merah muncul di pipinya mengingat ia memeluk Raka dalam tidur. Saking sibuknya Syila dengan pergolakan batinnya tentang sosok Raka yang terasa seperti bayangan semu, ia tak menyadari jika Raka telah bangun. Kini Raka memandangnya penuh minat. Untuk pertama kalinya ia bisa tidur sepulas ini dalam kurun waktu dua tahun dan hal pertama yang ia lihat saat membuka mata adalah disambut wajah cantik pujaan hatinya. Hatinya langsung dibanjiri perasaan kebahagiaan. Ingatkan ia untuk membuat sebuah janji seumur hidup, karena ia akan melakukan apa saja demi melihat Syila, hal pertama kali yang ia lihat ketika membuka mata dari tidurnya. "Pagi
Jalanku adalah menujumu. Bahagia dan kepedihanmu adalah bahagia dan kepedihanku. ***Pagi ini teramat buruk bagi Karin sepanjang ia berada di London atau bahkan mungkin dalam hidupnya. Di samping badannya yang dipaksa tidur semalaman di sofa panjang yang menimbulkan pegal dan sakit, insomnia dan hipotermia juga turut menyerangnya.Satu-satunya ranjang di kamar itu dikuasai sepenuhnya oleh dua sejoli yang sedang dimabuk romantika. Terkutuklah dengan yang namanya cinta. Rasanya ia ingin menghancurkan sesuatu sampai hancur sehancur-hancurnya. Itu salah satu perwujudan dari kegerahan hatinya yang bertentangan dengan suhu udara kota London yang minus di bawah nol derajat.Kau iri kan? Karin mengernyitkan dahi mendengar kata hatinya. Apa mungkin ia merasa iri melihat Syila dan Raka tidur saling berpelukan? Lantas cemburu karena kebalikan dengan kisah perjalanan cintanya yang berliku dan berakhir tragis? Tidak! Tidak! Mungkin itu efek dari insomnia."Berhenti berpikiran yang tidak-tidak Kar
"Tidak ada yang akan menyakitimu lagi. Aku janji ini terakhir kalinya kamu menderita." Kehangatan rengkuhan itu membungkus Syila dalam kedamaian. Menciptakan rasa aman. Melindunginya dari ketakutan. Namun, lambat laun rengkuhan itu terurai, jarak pun tercipta. Kepanikan tak ayal melingkupi Syila tatkala bayangan Raka menjauh. Senyuman itu terkembang untuk Syila hingga akhirnya tenggelam dalam kegelapan. "Tidak! Jangan pergi!" teriak Syila. Tangannya menggapai-gapai udara kosong. Tangisnya pecah, gagal menarik tangan itu yang tak tampak lagi. Kegelapan pun perlahan semakin menelannya. Syila tersentak. Terduduk dalam ranjangnya dalam keadaan napas tersengal. Peluhnya bercucuran membingkai wajahnya yang memancarkan ketakutan. Matanya nyalang menatap ke sekeliling. Cahaya temaram berasal dari lampu tidur di nakas samping ranjang yang menemaninya. Dia Sendirian. Ia mengusap peluhnya di dahi lantas terisak pelan. Tidak ada rengkuhan. Tidak pula dengan adanya sosok Raka. "Jadi, itu hanya
Saat tangan ini merengkuhmu, saat itu pula kepingan hati yang telah lama menghilang, kembali dalam genggaman. Melengkapi hati yang telah lama mati sejak aku melepasmu pergi. ***"Akhirnya aku menemukanmu." Rengkuhannya pada Syila kian mengerat. Tubuh Syila pun bergetar. Jantungnya tak beraturan bergemuruh. Mengalun di antara sunyi senyap. Setetes cairan hangat mengalir. Begitu pula suara tangisnya yang tertahan."Jangan menangis." Lembut suara itu, namun makin membuat Syila sulit mengontrol tangis.Pundak Syila diputar lembut. Syila tak sanggup mengangkat kepala, menolak jika ilusinya memang benar adanya. Karena benaknya terus saja meneriaki kata tak mungkin berulang kali.Namun, saat jemari itu menghapus jejak air matanya. Tangan itu pulalah yang perlahan mengangkat dagu Syila. Kedua matanya mencoba mengerjap, meniadakan kekaburan. Ia terhenyak tatkala senyuman itu tertarik untuknya. Keyakinannya akan sosok di depannya belumlah sepenuhnya terkumpul. Tangannya bergerak mengusap pipi
Telapak tangannya terjulur. Merasakan dinginnya sekaligus kelembutan salju yang berjatuhan di telapak tangan. Senyumnya mengembang, walau tak selebar dulu. Sweater yang ia kenakan tak membantu sama sekali untuk mengusir rasa dingin, padahal sejak kemarin ia tak merasakan dingin seekstrem ini. Mungkin kekacauan pikirannya dan bahaya yang menghadang mematikan saraf kulitnya.Keterpaksaan untuk menelan kepahitan hidup membuatnya nyaris menyerah. Kalaupun ia tetap bangkit, untuk siapa ia harus berjuang. Ia sendirian. Semua orang meninggalkannya. Kecuali, Resti. Bagaimana ia bisa melupakannya. Kesadarannya itu memunculkan kerinduan untuknya. Pasti sahabatnya itu sangat khawatir dan tentunya akan berusaha mencarinya.Syila mendesah. Tangannya menyentuh dinginnya birai pembatas balkon, lantas menatap langit abu-abu. Mendadak ia bersin. Tangannya mengusap hidungnya yang terasa gatal. Syila mendesah. Kenapa baru sekarang ia terserang flu.Dulu, flu sesuatu hal yang sangat tak disukai Syila dan
Karin berulang kali mendesah. Kakinya begitu lihai membawanya ke depan pintu sebuah kamar hotel. Padahal hatinya terus mengelak. Kalau bukan karena merasa kasihan pada Syila dan ingin membantunya, demi apa pun di dunia ini ia tidak akan sudi merendahkan diri muncul di depan pria brengsek itu.Karin bergelut dengan pikirannya. Dan pada akhirnya ia menyerah dan berinisiatif mengorek informasi kepada resepsionis hotel. Sempat terjadi perang urat saraf dengan wanita pirang bermulut nyinyir—julukan Karin pada resepsionis tersebut—ia akhirnya mengetahui Julian Alexander Widjaya ternyata menginap di hotel yang sama dengannya.Lagi-lagi Karin mengurungkan niat untuk mengetuk pintu. Ia merasa sangat bodoh, berdiri di depan pintu hanya untuk menenangkan dentuman jantungnya yang berisik. Sebenarnya ia belum siap untuk berhadapan dengan Julian. Mengingat betapa ia terburu-buru me-judge Julian sebelum mengetahui fakta yang sesungguhnya. Lantas mencaci makinya tanpa ampun. Ia benar-benar tidak puny
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me
Syila benar-benar merasa bingung dengan serentetan pertanyaan tanpa henti yang diajukan Karin padanya. Pertanyaannya adalah kenapa laki-laki itu dikait-kaitkan? Dan pada kenyataannya tidak ada hubungannya sama sekali.“Jawab!” tuntut Karin, lalu ia berkata dengan marah, “nanti biar aku yang akan membalas semua perbuatannya!”Syila mengerutkan dahi, ia mencerna semua kalimat yang terucap dari Karin. Lantas ia menyimpulkan satu hal bahwa Karin telah salah paham. “Kakak salah paham.”“Hah?” Karin melongo. Buru-buru ia membekap mulutnya dan melotot tajam. “Maksudnya?” tanyanya tolol.“Bukan Kak Julian, tapi ....” tiba-tiba tenggorokan Syila seolah disumpal benda tajam, terasa sakit dan napasnya pun tersendat-sendat layaknya dicekik tangan-tangan transparan.Karin memandangi buliran air mata yang meleleh di sudut mata Syila. “Tidak apa-apa kalau kamu tak bisa mengatakannya.” Karin bergerak merengkuh pundak Syila, sementara ia tak kuasa menahan gejolak kesedihan berupa isak tangis.Syila me